YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ENGELINE
PADA DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM
POLDA BALI
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
JAKARTA
2016
OLEH:
YANUAR RIZAL ARDIANTO
Motto:
“....dandimanapunberada,
memberikan karya terbaik bagi masyarakat, bangsa, negara dan dunia.”
“fiatjustitia ruatcaelum”-tegakkan keadilanwalaulangitakan
runtuh-Persembahan:
“...untukPolriyanglebihbaikdandicintaimasyarakat”
KATAPENGANTAR
Misteri kematian seorang anak bernama Engeline kerap membuat
berbagai pihak bertanya-tanya mengenai sebab kematian yang sebenarnya.
Bagaimana tidak, berbagai elemen dalam masyarakat turut menyampaikan
rasa peduli dan rasa berduka cita pada gadis berumur 8 tahun itu. Beragam
media saling berlomba-lomba dalam menyajikan informasi terkini dan
mengemas misteri kematian ini menjadi sebuah bahan diskusi forum yang
sangat menarik untuk disimak. Penulis kemudian memilih penyidikan tindak
pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline
sebagaiobjekpenelitian.
Pujisyukursenantiasa penulis panjatkankepada AllahSWTkarena atas
rahmat dan hidayahnya, penulis telah berhasil menyelesaikan skripsi dengan
judul “PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG
MENYEBABKAN KEMATIAN ENGELINE PADA DIREKTORAT RESERSE
KRIMINAL UMUM POLDA BALI yang disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperolehgelarSarjanaIlmuKepolisian padaSekolahTinggi IlmuKepolisian
PTIK.
Dalam penyusunan skripsi ini, ucapan terima kasih disampaikan dengan
hormatkepada,
1. Irjen Pol Dr. H. Rycko Amelza Dahniel, S.I.K., M. Si. selaku Ketua
STIK-PTIK yang telah membimbing dan membina penulis selama mengikuti
pendidikandiSekolahTinggiIlmuKepolisian.
2. Dr. Zulkarnein Koto S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing yang tak
pernah lelah dalam membina, memotivasi dan mengarahkan penulis
sehinggaskripsiinidapatdiselesaikantepatwaktu.
3. Direktur Reserse Kriminal Umum Kombes Pol. Drs. Bambang Yogisworo,
SH., beserta staf, atas segenap kesempatan, bantuan, dan dukungan di
dalampelaksanaanpenelitian.
4. Kapolresta Denpasar Kombes Pol A.A Made Sudana SH, SIK yang telah
meluangkanwaktunyauntukpenulisdalammelaksanakanwawancara.
5. Seluruh penyidik Polresta Denpasar dan penyidik Polda Bali yang telah
meluangkanwaktunya untukpenulis dalam rangkamencari informasiterkait
objekpenelitian.
6. Rekan-rekanmahasiswa STIK-PTIKangkatanke-67 ataskebersamaan dan
kerjasamayangterjalinselamaini.
7. Orang tua penulis dr Arif Wijanto M.M., dan Ir. Eka Virliana Putri, atas
segenap doa yang berlimpah, bimbingan, dukungan, motivasi dan selalu
menjadiinspiratorbagipenulis.
8. Istriku Rima Putri Adining Wijayanti atas doa, dukungan, motivasi, dan
pengertianyangtakpernahusaiterberikan.
9. Anak-anakku Helga Aisyahna Alaricputri, Sultan Mazaya Arrafi, yang selalu
menjadisumberinspirasidanmotivasi.
10.Semuapihakyangtelahmembantudalampenyusunanskripsiini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat berterimakasih kepada semua
pihak yang memberikan saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu kepolisian
Indonesia.
Jakarta,16Januari2016
Penulis
DAFTARISI
2.2.4 KonsepTindakPidanaKekerasaanTerhadapAnak ... 25
2.2.5 KonsepGabunganPerbuatanyangdapatDihukum ... 28
2.2.6 KonsepPenyertaanPerbuatanPidana... 30
2.2.7 KonsepPenyidikan ... 31 3.1 PendekatandanMetodePenelitian... 52
3.2 SumberDatadan Informasi... 54
3.3 TeknikPengumpulanData... 57
3.4 TeknikAnalisisData... 58
3.5 KeterbatasanPenelitian... 60
BABIVTEMUANPENELITIAN 4.1 GambaranUmumDaerahPenelitian... 62
4.1.1 GambaranUmumProvinsiBalidanKotaDenpasar... 62
4.1.2 GambaranUmumDitreskrimumPoldaBali ... 67
4.1.3 GambaranUmumSubditIVRenata ... 71
4.2 Deskripsi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak yang MenyebabkanKematianEngeline... 73
4.2.1 MargrietCh.Megawe ... 73
4.2.2 EngelineMargrietMegawe... 74
4.2.3 HubunganMargrietChMegawedanEngeline ... 75
4.2.4 PerbuatanTindakPidanaMargrietCh.Megawe ... 79
4.3 Uraian proses penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline pada DitreskrimumPoldaBali ... 96
4.3.1 PenyelidikanLaporanAnakHilang... 97
4.3.2 PengirimanSPDP ... 103
4.3.3 UpayaPaksa ... 104
4.3.4 PemeriksaanSaksi,AhlidanTersangka ... 116
4.3.5 GelarPerkara ... 155
4.3.6 PenyelesaianBerkasPerkara ... 157
4.3.7 PenyerahanBerkasPerkarakePenuntut Umum... 158
4.3.8 PenyerahanTersangkadanBarangBukti... 158
4.3.9 PenghentianPenyidikan... 159 5.1 Analisis Deskripsi Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak yangmenyebabkanKematianEngeline... 164
5.2 Analisis Proses Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak yang Menyebabkan Kematian Engeline pada DitreskrimumPoldaBali... 168
DAFTARTABEL
Tabel1 : Perbandingan Skripsi Penulis dengan Penelitian
Terdahulu1... 16
Tabel2 : Perbandingan Skripsi Penulis dengan Penelitian Terdahulu2 ... 18
Tabel3 : DataAnggotaSubditIVRenata ... 71
Tabel4 : DaftarSaksi ... 117
Tabel5 : DaftarAhli ... 133
Tabel6 : DaftarTersangka ... 153
DAFTARGAMBAR
Gambar1 : KerangkaBerpikir ...50
Gambar2 : AnalisisDataKualitatif ...59
Gambar3 : PetaProvinsiBali...65
Gambar4 : PetaKotaDenpasar...66
Gambar5 : Struktur OrganisasiDitreskrimum...70
Gambar6 : Struktur OrganisasiSubditIVRenata...72
ABSTRAK
JudulSkripsi : Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian Engeline Pada DirektoratReserseKriminalUmumPoldaBali
NamaMahasiswa : YanuarRizalArdianto,S.H. NomorMahasiswa :14678710
IsiAbstrak :
Peristiwa kematian Engeline telah menjadi sorotan publik bagi masyarakat. Hingga pada akhirnya petugas kepolisian menemukan jenazah yang diduga adalah jenazah Engeline. Munculnya reaksi publik pada peristiwa kematian Engeline dan paradigma Scientific Investigation pada proses penyidikanolehPolrimendorong penulisuntukmelakukanpenelitian ini.Tujuan dalam penelitian ini untuk mendeskripsikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline, mengevaluasi proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Ditreskrimum Polda Bali serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline. Teori dan konsep yang digunakan adalah Teori Hukum Pidana, Teori Manajemen, Konsep Tindak Pidana, Konsep Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak, Konsep Gabungan Perbuatan yang dapat dihukum, Konsep Penyertaan Perbuatan Pidana, Konsep Penyidikan, Konsep Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penyidikan, Konsep Ilmu Kepolisian. Penelitian dilaksanakan di Dit Reskrimum Polda Bali, dengan menggunakan pendekatan kualitatifdanmetodestudikasus.
Ada tiga kesimpulan yang diperoleh. Pertama, penerapan pasal yang dilakukan Penyidik dinilai sudah tepat, sesuai dengan Perbuatan Margriet Ch. Megawe yaitu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap nyawa orang lain, tindak pidana penganiayaan dan tindak pidana kekerasan terhadap anak. Kedua, proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Ditreskrimum Polda Bali telah memenuhi ketentuan undang-undang. Namun demikian terdapat kesalahan prosedur dalam pelaksanaan Olah TKP. Juga terdapatmekanismepenyidikan lainyangdilakukanoleh penyidik,yaituadanya penggabungan berkas perkara antara Polresta Denpasar dan Ditreskrimum Polda Bali karena korban, saksi, terdugapelaku dan barang bukti saling terkait dan bersesuaian satu sama lain. Ketiga, adanya faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penyidikan yaitu faktoraturan hukum, faktorpenegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Dari kelima faktor tersebut, faktor penegak hukum, masyarakat dan kebudayaandinilaimenghambatprosespenyidikanini.
Penulis menyarankan untuk melakukan evaluasi terhadap kemampuan penyidik untuk memberikan pelatihan tentang Optimalisasi Olah TKP dan Pelatihan tentang taktik dan strategi penyidikan yang profesional. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyidik dalam rangka melaksanakan Penegakan Hukum yang profesional, proporsional dan prosedural sesuai Etika Kelembagaan sebagaimana tercantum dalam Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentangKodeEtikProfesiPolri.
1
1.1 Latar Balakang Masalah
Sejak tahun 1989, hak-hak anak telah memperoleh pengakuan di dunia
Internasional pada piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Adalah United Nation Convention on th Rights of the Child atau Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang menjadi tonggak berdirinya sejarah pengakuan terhadap
Hak-Hak Anak. Dalam isinya, Deklarasi Universal tentang Hak-Hak manusia,
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memproklamasikan bahwa masa
kanak-kanak memerlukan perawatan dan pendampingan secara khusus. Meyakini
bahwa keluarga sebagai kelompok dasar dari masyarakat dan lingkungan alam
bagi pertumbuhan dan kesejahteraan dari seluruh anggotanya terutama
anak-anak, harus diberi perlindungan dan bantuan yang diperlukan sehingga ia
sepenuhnya dapat memikul tanggung jawabnya dalam masyarakat. Hal
tersebut seperti tercantum dalam Mukadimah Konvensi Hak-Hak Anak yang
disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20
November 1989.
Begitu juga dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sejak
tahun 1945, Hak warga negara tercantum dalam Pembukaan dan Batang
Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945
dikatakan :
Kemudian tertulis juga mengenai hak-hak yang spesifik terhadap anak
dalam batang tubuh UUD 1945 Amandemen kedua Pasal 28B butir 2 yaitu :
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.” Sehingga pada
hakekatnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatur tentang
kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap
hak-hak anak dalam memperoleh perlindungan terhadap kekerasan.
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah
tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,
memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap
anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan
upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan
tanpa diskriminasi. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak
diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang
dapat menjamin pelaksanaannya. Berbagai undang-undang hanya mengatur
hal-hal tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur
keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak (UU No. 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 23 Tahun 2002
Istilah “perlindungan anak” (child protection) digunakan dengan secara berbeda oleh organisasi yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula.
Namun dalam penelitian ini, Perlindungan Anak tersebut mengandung arti
perlindungan dari kekerasan, abuse, dan eksploitasi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, perlindungan anak mengupayakan agar setiap hak sang
anak tidak dirugikan. Perlindungan anak bersifat melengkapi hak-hak lainnya
yang menjamin bahwa anak-anak akan menerima apa yang mereka butuhkan
agar supaya mereka bertahan hidup, berkembang dan tumbuh.
Dalam kehidupan sosial, anak merupakan pihak yang sangat rentan
menjadi sasaran tindak kekerasan. Hal ini karena anak merupakan objek yang
lemah secara sosial dan hukum, sehingga anak sering dijadikan bahan
eksploitasi dan pelampiasan tindak pidana karena lemahnya perlindungan yang
diberikan baik oleh lingkungan sosial maupun negara terhadap anak.
Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 35 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yaitu Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum (UU No. 35 tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 1 butir 15a). Berbagai bentuk kekerasan yang
diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan,
bidang pekerjaan, penelantaran, penculikan, pelarian anak, dan penyanderaan,
memerlukan penanganan yang serius untuk mencegah munculnya anak
sebagai korban kekerasan. Beberapa uraian mengenai korban kekerasan
adalah sebagai berikut :
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan (Arief Gosita, 1993 : 63).
Korban adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hakhaknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan (Muladi, 2005 : 108).
Menurut perspektif Hukum Pidana :
Pengertian korban kejahatan merupakan terminologi dalam Ilmu Kriminologi dan Victimologi dan kemudian dikembangkan dalam hukum pidana dan/atau sistem peradilan pidana. Konsekuensi logisnya perlindungan korban dalam Kongres PBB VII/1985 di Milan (tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”) dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (“victims rights should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system”).
Pengertian “korban” berdasarkan ketentuan angka 1 “Declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power” pada tanggal 6
September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Nomor
A/Res/40/34 Tahun 1985 ditegaskan, bahwa :
Victims means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power”.
substansial terhadap hak asasi mereka, melalui tindakan atau kelalaian itu merupakan pelanggaran hukum pidana yang dilakukan oleh negara-negara anggota, termasuk hukum-hukum pidana yang melanggar kekuasaan.
(dikutip dari http://www.un.org/documents/ga/res/40/a40r034.htm dan diterjemahkan secara bebas oleh penulis)
Oleh karena itu, anak sebagai pihak yang lemah dan dirugikan dalam peristiwa
tindak pidana, mereka membutuhkan kepedulian sosial dan proses
perlindungan hukum dari lembaga-lembaga sosial utamanya pemerintah
Indonesia. Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab dalam melindungi
kesejahteraan anak, dalam hal ini perlindungan terhadap berbagai bentuk
kekerasan.
Kasus kekerasan terhadap anak yang menjadi perhatian masyarakat di
Indonesia adalah adalah kasus kematian Engeline. Peristiwa ini merupakan
puncak dari seluruh pemberitaan tentang peristiwa kekerasan terhadap anak di
Indonesia selama tahun 2015. Hal ini dibuktikan dengan semakin tingginya
jumlah pemberitaan tentang kekerasan terhadap anak yang menghiasi media
massa.
Salah satu tokoh komunikasi di Indonesia, yang sekaligus menjadi
Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (i2), Rustika Herlambang memaparkan
hasil kajian medianya tentang kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia
yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Portal berita Tempo.co (Hadriyani P.
2015 : URL) mengutip pernyataan Rustika Herlambang sebagai berikut :
luar negeri, setidaknya di beberapa negara terdekat seperti Australia dan Thailand."
Dalam pernyataan Rustika Herlambang (2015) diatas, dapat kita ketahui bahwa
Peristiwa kematian Engeline ini menjadi puncak pemberitaan tentang
kekerasan terhadap anak di Indonesia, oleh karena itu dalam perkembangan
peristiwa ini, muncul perhatian publik dari berbagai kalangan.
Peristiwa Engeline ini juga mendapat perhatian dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Setelah dikabarkan hilang pada tanggal 16 Mei 2015,
keluarga Engeline kemudian melakukan pencarian pribadi dengan
memanfaatkan Media Sosial Facebook dan Media Cetak dan melaporkan
peristiwa anak yang diduga meninggalkan rumah tanpa kabar ke Polsek
Denpasar Timur. Awal keterlibatan petugas dalam kasus Engeline ini yaitu
merespon laporan anak yang hilang dengan melakukan serangkaian kegiatan
kepolisian.
Seiring berjalannya waktu, Kasus anak yang hilang ini dilimpahkan ke
Satuan Reserse Kriminal Umum Polresta Denpasar kemudian direspon dengan
melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini, hal ini
sebagai mana dikatakan oleh salah satu penyidik Polresta Denpasar pada
tanggal 30 November 2015. Upaya pencarian terus dilakukan sehingga pada
akhirnya pada tanggal 10 Juni 2015, salah satu petugas menemukan
bungkusan sprei di halaman belakang tempat tinggal Engeline dan didalamnya
terdapat jenazah yang diduga adalah Engeline.
Perhatian publik tidak saja terfokus pada peristiwa hilangnya Engeline,
bahkan rangkaian proses penyidikan yang dilakukan oleh Polri juga tidak lepas
dari pantauan media. Selama proses penyidikan berlangsung, masyarakat turut
memberitakan perkembangan-perkembangan hasil proses penyidikan supaya
diketahui oleh masyarakat secara luas. Hal ini tentunya memiliki dampak pada
proses penyidikan itu sendiri.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2
KUHAP). Dalam proses penyidikan tindak pidana, Polri memiliki kewenangan
penuh dalam mengungkap fakta-fakta hukum dalam suatu peristiwa pidana.
Polri dituntut profesional, proporsional dan prosedural dalam melakukan
tindakan kepolisian, sehingga hal ini harus diwujudkan dalam penanganan
pada kasus kematian Engeline.
Kasus kematian Engeline yang diwarnai pemberitaan media yang luar
biasa ini dapat dikatakan sebagai Celebrity Case, hal ini memiliki dampak dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Polri. Berbagai pihak memiliki
rasa keingintahuan yang luar biasa terhadap perkembangan sekecil apapun,
bahkan tak jarang muncul opini publik yang belum bisa dipastikan
kebenarannya. Dampak dari penanganan terhadap celebrity case ini memberikan tantangan tersendiri bagi para penyidik Polri.
Seiring berkembangnya teknologi dalam kehidupan umat manusia,
memberikan kemudahan-kemudahan manusia dalam menjalankan
kehidupannya. Dalam dunia penyidikan, teknologi juga memberikan kontribusi
mengumpulkan alat bukti secara Scientific Investigation ini, diharapkan penyidik mampu mengumpulkan alat-alat bukti yang lengkap dan tidak terbantahkan,
sehingga mampu membuat terang suatu peristiwa pidana dan menemukan
pelakunya.
Dalam menemukan titik terang dari peristiwa kematian Engeline ini,
penyidik menduga telah terjadi beberapa tindak pidana, yaitu Tindak Pidana
Pembunuhan dan Tindak Pidana Penelantaran Anak. Sehingga pada proses
penyidikannya, peristiwa ini ditangani oleh Penyidik dari Polresta Denpasar dan
Penyidik Dari Polda Bali. Adapun pembagiannya adalah Penyidik pada
Direktorat Kriminal Umum Polda Bali menangani penyidikan terhadap Margriet
Ch. Megawe, sedangkan Penyidik pada Satuan Reserse Kriminal Polresta
Denpasar menangani penyidikan terhadap Agustay Handa May. Sehingga
pada akhirnya mampu mengungkap pelaku yang sebenarnya.
Fenomena yang muncul dalam peristiwa kematian Engeline ini membuat
penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam. Rangkaian proses penyidikan
kematian Engeline ini merupakan hal menarik yang menjadi objek penelitian
penulis. Penulisan ini juga merupakan bentuk kontribusi dalam penerapan Ilmu
Kepolisian sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang permasalahan
sosial dan cara pencegahannya oleh kepolisian. Oleh karena itu, penulis
termotivasi untuk melakukan penelitian dengan judul “PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN
1.2 Rumusan Permasalahan
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali dan jajarannya melakukan
berbagai upaya kepolisian dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana
dalam kasus kematian Engeline. Penulis mencoba mengangkat pokok
permasalahan Bagaimana Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap
Anak Yang Menyebabkan Kematian Engeline pada Direktorat Reserse Kriminal
Umum Polda Bali?
Berdasarkan perumusan masalah di atas, dapat diambil persoalan
penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana deskripsi tindak pidana kekerasan terhadap anak yang
menyebabkan kematian Engeline?
b. Bagaimana proses penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak
yang menyebabkan kematian Engeline pada Direktorat Reserse Kriminal
Umum Polda Bali ?
c. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penyidikan tindak
pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline
pada Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang penulis uraikan di atas, maka
dapat diketahui tujuan dari penulisan penelitian ini yaitu :
a. Untuk mendeskripsikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang
menyebabkan kematian Engeline.
b. Untuk menguraikan proses penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap
anak yang menyebabkan kematian Engeline pada Direktorat Reserse
c. Untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan
kematian Engeline pada Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini memiliki dua
manfaat yaitu manfaat teoretis dan manfaat akademis. Uraian mengenai
manfaat teoretis dan akademis akan penulis jabarkan sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis peneliti berkeinginan dengan adanya penulisan skripsi ini
dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
Ilmu Kepolisian. Hasil penulisan ini, diharapkan dapat digunakan sebagai
gambaran untuk melihat seberapa jauh teori dan konsep yang dirumuskan
secara akademis, sehingga dapat diterapkan dalam pelaksanaan penyidikan
tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline.
Hasil penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi bagi
para peneliti yang akan meneliti dengan permasalahan serupa.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah :
a. Memberikan kontribusi pemikiran untuk Dir Reskrimum Polda Bali,
Kasubdit IV Ditreskrimum Polda Bali, dan penyidik Direktorat Reserse
Kriminal Umum Polda Bali pada saat melaksanakan penyidikan tindak
pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian korban
Engeline sesuai ketentuan hukum yang ada.
b. Bagi akademisi, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan
penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan
kematian korban Engeline.
c. Bagi Kepolisian, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan
pikiran kepada organisasi Polri, terutama pengetahuan mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penyidikan tindak pidana
kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian korban
Engeline. Sehingga hal tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam
pengambilan kebijakan untuk meningkatkan kinerja para penyidik.
d. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai acuan
pengetahuan dan sumber informasi mengenai penyidikan tindak pidana
kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian korban
Engeline. Hal tersebut dapat digunakan untuk memberikan gambaran
mengenai upaya penyidikan yang dilakukan oleh Polri dalam membuat
terang tindak pidana tersebut.
1.5 Sistematika Penulisan
Penulis menjabarkan penulisan skripsi ini ke dalam enam bab sebagai
berikut :
Bab I Pendahuluan : Bab ini berisi latar belakang permasalahan,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika
Penelitian.
Bab II Tinjauan Kepustakaan : Bab ini berisi kepustakaan penelitian,
kepustakaan konseptual dan kerangka berpikir.
Bab III Rancangan dan Pelaksanaan Penelitian : Bab ini berisi tentang
pendekatan penelitian, metode penelitian, sumber data/informasi, tehnik
Bab IV Temuan Penelitian : Bab ini berisi gambaran umum wilayah
penelitian, deskripsi tindak pidana kekerasan terhadap anak yang
menyebabkan kematian Engeline, Uraian proses penyidikan tindak pidana
kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline pada
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali, serta faktor-faktor yang
mempengaruhi penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang
menyebabkan kematian korban Engeline pada Direktorat Reserse Kriminal
Umum Polda Bali.
Bab V Pembahasan : Bab ini berisi pembahasan dengan menggunakan
berbagai teori dan konsep terhadap deskripsi, tindak pidana kekerasan
terhadap anak yang menyebabkan kematian korban Engeline, Uraian proses
penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan
kematian korban Engeline pada Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali,
serta faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penyidikan tindak pidana
kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian korban Engeline pada
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali.
Bab VI Penutup : Bab ini berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan dan
13 2.1 Kepustakaan Penelitian
Kepustakaan penelitian adalah literatur yang menyajikan informasi tentang
hasil penelitian (terdahulu). Dalam hal ini, hasil penelitian empirik lebih berarti
untuk dirujuk dari pada hasil pengkajian yang bersifat konsepsional. Literatur
dimaksud dapat berupa dokumen laporan hasil penelitian, jurnal-jurnal ilmiah,
majalah polisi, walaupun kenyataannya di Indonesia lebih banyak memuat artikel
tentang pendapat dan gagasan daripada hasil penelitian empirik. Selain itu,
laporan hasil penelitian pada umumnya dapat ditemukan dalam skripsi kepolisian,
tesis kepolisian, atau disertasi kepolisian (Petunjuk Teknis Penyusunan dan
Pembimbingan Skripsi Mahasiswa STIK-PTIK, 2012 : 7)
Kepustakaan penelitian merupakan upaya untuk mendapatkan teori dan
konsep dengan cara mengumpulkan buku-buku atau jurnal berdasarkan hasil
penulisan yang pernah dilakukan dan relevan dengan penulisan ini. Kepustakaan
penelitian sangat berguna dalam suatu penelitian ilmiah, hal ini dimaksudkan
supaya penulis dapat membandingkan penelitian yang dibuatnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh orang lain. Dalam Kepustakaan Penelitian, penulis
akan melakukan pembandingan hasil penelitian terdahulu dengan penelitian yang
akan dilakukan, yang pada akhirnya terdapat persamaan dan perbedaan dengan
penelitian terdahulu.
Kepustakaan Penelitian harus memiliki pokok permasalahan yang hampir
membandingkan penelitian terdahulu dengan konsep permasalahan yang akan
diambil oleh penulis dalam penelitian yang akan dilakukan.
Berdasarkan hasil studi kepustakaan yang dilakukan, penulis menemukan
beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penyidikan tindak pidana
kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian. Kepustakaan penelitian
yang penulis pilih untuk dibandingkan dengan penelitian yang akan dilakukan
adalah karya ilmiah dalam bentuk Skripsi yang disusun oleh : LUKMAN HAKIM
HARAHAP (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014) yang
berjudul “STUDI TENTANG PROSES PENYIDIKAN KASUS PEDOFILIA DI
YOGYAKARTA”
Lukman Hakim Harahap (2014) melakukan penelitian dengan mengangkat
Kasus Pedofilia sebagai objek penelitian. Kasus Pedofilia merupakan kasus
kekerasan seksual terhadap anak yang sering terjadi di Indonesia. Yogyakarta
merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mengalami peningkatan kasus
pedofilia setiap tahunnya. Kasus pedofilia dapat menimbulkan korban mengalami
gangguan fisik maupu psikis yang dapat mangakibatkan tindakan amoral lainnya,
sehingga ada kemungkinan untuk memunculkan korban baru untuk menjadi pelaku
selanjutnya. Penanganan hukum pada kasus pedofilia di Yogyakarta sering kali
dinilai kurang maksimal. Oleh karena itu Lukman Hakim Harahap (2014)
merumuskan persoalan sebagai berikut : Apakah proses penyelidikan dan
penyidikan kasus pedofilia di Polresta Yogyakarta sesuai dengan Undang-undang
No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana? Kemudian
Apa faktor penghambat proses penyelidikan dan penyidikan kasus pedofilia di
Proses penelitian yang dilakukan oleh Lukman Hakim Harahap (2014)
menggunakan pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian dengan pendekatan
undang-undang dan menelaah hukum yang ada permasalahan di dalam praktek.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research)
seperti pengumpulan data langsung dari lapangan dalam bentuk interview,
observasi dan dokumentasi. Lukman Hakim Harahap (2014) juga melakukan Studi
Kepustakaan yaitu dengan mengkaji literatur, hasil penelitian hukum dan jurnal
yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, kemudian Studi Dokumentasi
yaitu degan mengkaji berbagai dokumentasi resmi institusional yang relevan
dengan penelitian. Lokasi penelitian diambil di lingkungan Polresta Yogyakarta.
Hasil Penelitian Lukman Hakim Harahap (2014) mendeskripsikan proses
penyelidikan dan penyidikan kasus pedofilia di Polresta Yogyakarta telah sesuai
dengan Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan faktor
penghambat proses penyelidikan dan penyidikan kasus pedofilia di Polresta
Yogyakarta adalah biaya administrasi yang mahal.
Dari hasil penelitian Lukman Hakim Harahap (2014), terdapat persamaan
dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Adapun
persamaannya mengenai ketentuan hukum atau konsep yang mengatur proses
penyidikan yaitu UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Selain itu,
persamaan berikutnya mengenai pokok permasalahan yang diangkat, sama- sama
mengenai proses penyidikan tindak pidana dengan objek anak. Walaupun secara
spesifik tidak sama, Lukman Hakim Harahap (2014) membahas tentang Kasus
Pedofilia sedangkan penulis membahas tentang tindak pidana kekerasan terhadap
yang terdapat pada penelitian Lukman Hakim Harahap dan penelitian yang akan
dilakukan penulis mengenai metode penelitian. Lukman Hakim Harahap
melakukan penelitian dengan pendekatan Yuridis Empiris dengan menggunakan
metode Penelitian Lapangan, yaitu penelitian dengan pendekatan undang-undang
dan menelaah hukum yang ada permasalahan di dalam praktek. Sedangkan
penulis melakukan penelitian dengan pendekatan Kualitatif dengan metode studi
kasus. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah,
dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan
melibatkan berbagai metode yang ada (Denzin dan Lincoln, 1987). Selain itu,
perbedaan juga mengenai lokasi penelitian, Lukman Hakim Harahab (2014)
melakukan penelitian di Polresta Yogyakarta sedangkan penulis melakukan
penelitian di Polresta Denpasar.
Tabel 1
Perbandingan Skripsi Penulis dengan Penelitian Terdahulu 1
Karya Ilmiah kedua yang penulis jadikan kepustakaan penelitian adalah
sebuah karya Ilmiah dalam bentuk skripsi yang disusun oleh Mahasiswa
STIK-SKRIPSI PENULIS SKRIPSI LUKMAN HAKIM HARAHAP
(2014)
PERSAMAAN
a. KETENTUAN HUKUM TENTANG PENYIDIKAN YAITU UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
b. OBJEK PENELITIAN ADALAH ANAK
PERBEDAAN
b. LOKASI PENELITIAN POLRESTA YOGYAKARTA
PTIK Angkatan 54 BRONTO BUDIYONO (2010). Adapun BRONTO BUDIYONO
(2010) mengangkat judul penelitian “PENYIDIKAN KASUS PENCABULAN
DENGAN TERSANGKA SUPARMAN BIN HARJOREBO OLEH UNIT PPA
POLRES PATI”.
BRONTO BUDIYONO (2010) melakukan penelitian tentang Penyidikan
Kasus Pencabulan dengan tersangka Suparman bin Harjorebo oleh unit PPA
Polres Pati dengan tujuan untuk mengetahui perlindungan anak oleh Unit PPA
Polres Pati dalam penanganan terhadap korban, kemudian menjelaskan
pelaksanaan penyidikan kasus pencabulan dengan tersangka Suparman bin
Harjorebo oleh Unit PPA Polres Pati, serta memberikan gambaran faktor-faktor
yang mempengaruhi pencabulan terhadap anak dan penyidikan kasus pencabulan
dengan tersangka Suparman bin Harjorebo.
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh BRONTO BUDIYONO (2010)
menggunakan pendekatan kualitatif, sedangkan metode yang digunakan adalah
studi kasus. Dalam melaksanakan tehnik pengumpulan data, BRONTO
BUDIYONO (2010) melakukan pengamatan (observasi) pada lokasi penelitian,
yang kemudian melakukan wawancara untuk mendapatkan data primer. Kemudian
Data sekunder diperoleh melalui studi literatur atau studi dokumen dari Unit PPA
Polres Pati dan instansi terkait.
Diperoleh tiga temuan dari penelitian tersebut. Pertama, Unit PPA Polres
Pati telah memberikan perlindungan untuk menempatkan korban di rumah aman
(shelter) ini harus dilakukan untuk menjaga mental korban agar stabil sehingga
dalam pelaksanaan penyidikan lebih maksimal, akan tetapi korban pada penelitian
Unit PPA Polres Pati juga telah memberikan pelayanan kesehatan (pasal 8 UU
PA) serta telah memberikan bantuan hukum (pasal 18 UU PA).
Kedua, Unit PPA Polres Pati hanya melakukan langkah-langkah penyidikan
seperti pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan dan penggeledahan
serta pemberkasan, namun tidak melakukan Olah TKP. Hal ini berdampak pada
kesulitan penyidik dalam merekonstruksi peristiwa tindak pidananya.
Ketiga, Faktor yang mempengaruhi pencabulan yang dilakukan oleh
Suparman bin Harjorebo karena moralitas, rangsangan media, sulit bertemu istri,
minimnya pendidikan dan kurangnya pengawasan oang tua. Sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi penyidikan kasus pencabulan dengan tersangka
Suparman bin Harjorebo adalah kualitas penyidik, kerjasama antar instansi,
pengawasan dan pengendalian pimpinan, rasio penyidik perempuan dibanding
penyidik laki-laki yang minim serta faktor anggaran.
Tabel 2
Perbandingan Skripsi Penulis dengan Penelitian terdahulu 2
SKRIPSI PENULIS SKRIPSI BRONTO BUDIYONO (2010)
PERSAMAAN
a. OBJEK PENELITIAN ADALAH ANAK
b. MENGGUNAKAN PENDEKATAN KUALITATIF c. MENGGUNAKAN METODE STUDI KASUS
d. TEHNIK PENGUMPULAN DATA MENGGUNAKAN WAWANCARA, STUDI LITERATUR / STUDI DOKUMEN
PERBEDAAN
a. KETENTUAN HUKUM TENTANG PENYIDIKAN YAITU UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA
b. LOKASI PENELITIAN POLRES PATI
2.2 Kepustakaan Konseptual
Pada bagian ini, Kepustakaan Konseptual terdiri dua bagian yaitu Landasan
Teori dan Landasan Konsep, yang nantinya akan penulis gunakan untuk
menganalisis temuan penelitian sehingga dapat diketahui hasil penelitian ini.
Selanjutnya penulis akan menjelaskan uraian terkait teori dan konsep dalam
penelitian ini.
Kepustakaan konseptual menyajikan teori, prinsip, pendapat dan/atau
gagasan dari seseorang, yakni yang memiliki kompetensi untuk disiplin ilmu atau
pengetahuan yang ditekuninya berkaitan dengan permasalahan yang diteliti
(Petunjuk Teknis dan Pembimbingan Skripsi Mahasiswa STIK-PTIK, 2012 : 7).
Kerlinger (1973, sebagaimana disadur oleh Sugiyono, 2009 : 41)
menguraikan tentang pengertian Teori dalam kajian ilmiah bahwa :
“[t]theory is a set of interrelated constructs (concept), definitions,and proposition that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with purpose of explaining and predicting the phenomena”
(teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yng berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena).
Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang
dipahami. Menurut Aristoteles dalam "The Classical Theory of Concepts"
menyatakan bahwa :
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik pemahaman bahwa teori dan
konsep merupakan instrumen yang digunakan oleh peneliti untuk memahami dan
memprediksi fenomena dalam penelitian. Dengan demikian, diharapkan penulis
dapat menerapkan teori dan konsep yang tepat sehingga dapat memprediksi dan
menjelaskan fenomena tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menimbulkan
kematian di masa yang akan datang.
2.2.1 Teori Hukum Pidana
Landasan teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah Teori
Hukum Pidana. Hukum Pidana diartikan oleh berbagai pakar hukum. Salah satu
pakar hukum di Indonesia adalah Prof. Moeljatno S.H. Dalam bukunya yang
berjudul Asas-asas Hukum Pidana halaman 1, Moeljatno mengatakan pengertian
hukum pidana yaitu :
Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Kemudian dalam melihat suatu perbuatan pidana itu bersifat melawan hukum,
maka perbuatan tersebut harus dirumuskan dalam Undang-undang. Dalam hukum
pidana dikenal Asas Legalitas, yang mengatakan “Nullum delictum nulla poena
sine previa lege” (tidak ada pidana tanpa peraturan terlebuh dahulu). Asas
Legalitas ini menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
(Von Feurbach dalam Moeljatno 2008 : 25). Selain itu, dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP disebutkan “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas
kekuatan ketentuan pidana dalam udang-undang yang ada terdahulu dari pada
perbuatan itu.”
Selanjutnya Enschede-Heijder (Beginselen van Strafrecht, 1978 : 17 dalam
Andi Hamzah, 2008 : 2) menguraikan hukum pidana secara sistematik yaitu
meninjau hukum pidana sebagai objek studi. Dalam metodenya, Hukum pidana
dapat dibedakan menjadi Hukum Pidana Materiil yaitu Hukum Pidana dan
Hukum Pidana Formil yaitu Hukum Acara Pidana.
Hukum Pidana Materiil mengatur tentang isi atau substansi pidana itu. Disini
hukum pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam.
Hukum Pidana Formil lebih bersifat nyata atau kongkret. Disini kita melihat
hukum pidana yang dijalankan atau dalam keadaan bergerak, berada dalam
sebuah proses. Sehingga disebut juga Hukum Acara Pidana.
Van Bemmelen (Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, 1987 : 17)
menjelaskan sebagai berikut :
Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana yaitu :
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya.
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan kemudian membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. 5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang
dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.
Sehingga dapat kita ketahui bahwa hukum pidana materiil mengandung petunjuk
tentang uraian delilk sedangkan hukum pidana formil mengatur tentang bagaimana
suatu negara melaksanakan proses pemidanaan.
Pembahasan mengenai hukum pidana dan pembagian hukum pidana diatas
menjadi titik awal pemahaman tentang serangkaian proses penyidikan terhadap
peristiwa kematian Engeline, yang selanjutnya akan penulis sajikan juga teori dan
konsep lainnya sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.
2.2.2 Teori Manajemen
George R. Terry dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Manajemen yang ditulis
kembali oleh Winardi, menjelaskan tentang Manajemen sebagai berikut :
Manajemen merupakan sebuah proses khas yang terdiri dari
tindakan-tindakan : perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan dan
pengawasan yang dilakukan untuk menetukan serta mencapai
sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia
serta sumber-sumber lain (Winardi, 1986 : 4).
Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa proses manajemen merupakan suatu
hal yang penting diterapkan oleh setiap organisasi, dalam rangka mencapai tujuan
yang telah ditentukan berdasarkan kemampuan yang ada di dalam organisasi
tersebut. Sehingga dalam pelaksanaan proses penyidikan tindak pidana kekerasan
terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline ini, diperlukan suatu
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian untuk mencapai
2.2.3 Konsep Tindak Pidana
Dalam melaksanakan penelitian tentang Penyidikan tindak pidana
kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline pada
Ditreskrimum Polda Bali, penulis merasa perlu memberikan penjelasan tentang
Tindak Pidana secara umum dan secara spesifik. Hal ini perlu dilakukan untuk
menjawab tujuan pertama dalam penelitian ini, yaitu mendeskripsikan tindak
pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline pada
Ditreskrimum Polda Bali.
Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana halaman 59
mengatakan bahwa :
Perbuatan Pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
1. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
2. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
3. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.
Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan
(die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den
person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal
act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility).
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan
dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang
unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga
dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan
pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan
ancaman pidana kalau dilanggar.
Perbuatan pidana menurut pakar hukum Belanda Simon yaitu Perbuatan
Pidana adalah Strafbaarfeit yaitu kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat
melawan hukum dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab. Kemudian Ahli Hukum Van Hamel mengatakan
bahwa Strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam
undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan
(Chairul Huda dalam Sianturi, 1986 : 2015).
Menurut Simons (Asas-asas Hukum Pidana, 2008), unsur-unsur tindak
pidana (strafbaar feit) adalah :
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
2. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld) 3. Melawan hukum (onrechtmatig)
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit) yaitu :
1. Unsur Obyektif : a. Perbuatan orang
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”
2. Unsur Subyektif
a. Orang yang mampu bertanggung jawab
b. Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
1. Perbuatan (manusia)
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil) 3. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno (2008) terdiri dari : 1. Kelakuan dan akibat
2. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan.
b. Unsur obyektif atau non pribadi yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat.
Selain itu, Pengertian tentang Tindak Pidana juga tercantum dalam Surat
Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000
tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana
yaitu yang dimaksud tindak Pidana adalah setiap perbuatan atau peristiwa yang
diancam hukuman kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun perundang-undangan lain.
2.2.4 Konsep Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak
Setelah memahami pengertian tindak pidana secara umum, penulis ingin
memberikan pemahaman tentang tindak pidana kekerasan terhadap anak. Tindak
Pidana kekerasan terhadap anak akan terbagi menjadi beberapa bagian
pembahasan seperti dibawah ini.
Didalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kekerasan menunjukkan kata
sifat keras pada suatu kegiatan, kekerasan dapat diartikan sebagai “perihal keras
atau perbuatan atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya
orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik orang lain” (W.J.S Poerwadarminta,
1990 : 425).
Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak memberikan pengertian yang
KUHP (R. Soesilo, 1984 : 84) disebutkan bahwa yang disamakan dengan
melakukan kekerasan itu, membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi
(lemah). Penjelasan pasal 89 KUHP (R.Soesilo, 1984 : 84) dijelaskan bahwa :
Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak
kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala
macam senjata, menyepak, menendang, dsb. Yang disamakan dengan kekerasan
menurut pasal ini adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.
Penulis menyadari bahwa belum ada suatu pengertian yang baku atau
resmi termuat tentang Tindak Pidana Kekerasan. Oleh karena itu penulis mencoba
Memberikan pengertian tentang Tindak Pidana Kekerasan, dengan berdasar dari
pengertian tindak pidana kekerasan sebagaimana telah dibahas. Tindak Pidana
Kekerasan adalah suatu tindakan bertentangan dengan aturan hukum yang dapat
memberikan dampak negatif secara fisik, emosional dan psikologis terhadap orag
yang menjadi sasaran.
Didalam KUHP, pengaturan tentang Tindak Pidana Kekerasan tidak
disatukan dalam bab khusus, akan tetapi terpisah-pisah dalam bab tertentu. Di
dalam KUHP (R. Soesilo, 1981) Tindak Pidana Kekerasan dapat digolongkan
sebagai berikut :
1. Tindak Pidana terhadap nyawa orang lain ; pasal 338-350 KUHP 2. Tindak Pidana penganiayaan, pasal 351-358 KUHP
3. Tindak Pidana pencurian, perampokan pasal 365 KUHP
4. Tindak Pidana terhadap Kesusilaan khususnya pasal 285 KUHP
5. Tindak Pidana karena kelalaian menyebabkan kematian pasal 359-367 KUHP
Adapun bentuk-bentuk tindak pidana kekerasan adalah sebagai berikut : 1. Tindak Pidana Pembunuhan
2. Tindak Pidana Penganiayaan Berat
5. Tindak Pidana Kekerasan terhadap Ketertiban Umum.
Dalam rumusan permasalahan penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai
Bagaimana Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak yang
menyebabkan Kematian korban a.n Engeline, terdapat kata “Anak” dalam klausa
rumusan permasalahan penelitian tersebut. Sehingga penulis perlu memberikan
penjelasan mengenai Anak. Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 butir 1
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam Pasal 15a UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Kekerasan terhadap anak dapat mengambil beberapa bentuk. Empat bentuk
kekerasan terhadap anak adalah :
1. Kekerasan secara fisik,
Kekerasan Fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak (dikutip dari Wikipedia : Kekerasan Fisik, 2015 : URL).
2. Pelecehan seksual,
3. Kekerasan Psikologis,
Kekerasan Psikologis adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap hewan peliharaan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan ("Child Abuse". The National Center for Victims of Crime)
4. Penelantaran Anak.
Penelantaran anak adalah situasi dimana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) , atau medis yaitu kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter (dikutip dari Wikipedia : Penelantaran Anak, 2015 : URL).
2.2.5 Konsep Gabungan Perbuatan yang Dapat Dihukum (Samenloop)
Gabungan perbuatan yang dapat dihukum ini membahas tentang
“gabungan (Samenloop) perbuatan yang boleh dihukum atau peristiwa pidana”.
Dalam peristiwa pidana gabungan (Samenloop) melukiskan satu orang melakukan
beberapa peristiwa pidana. Walaupun kita mengenal “mengulangi (Residive)
peristiwa pidana” yang menggambarkan satu orang melakukan beberapa peristiwa
pidana, akan tetapi terdapat perbedaan antara Samenloop dengan Residive.
Perbedaannya yaitu pada Samenloop antara melakukan peristiwa pidana yang
satu dengan yang lain belum pernah ada putusan hakim (vonis), sedangkan dalam
Residive antara melakukan peristiwa pidana satu dengan yang lain sudah ada
putusan hakim (vonis).
Gabungan (Samenloop) peristiwa pidana terbagi menjadi tiga macam yaitu
(R. Soesilo, 1991 : 80) :
a. Gabungan satu perbuatan (concursus idealis) sebagaimana tercantum
Menurut Pasal 63 KUHP dikatakan :
Ayat (1) “Jika sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa ketentuan pidana, maka hanya dikenakan satu saja dari ketentuan itu; jika hukumannya berlainan, maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya.
Ayat (2) “Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan pidana yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan.
b. Pebuatan yang diteruskan (voortgezette handeling) sebagaimana
tercantum dalam pasal 64 KUHP.
Menurut Pasal 64 KUHP dikatakan :
Ayat (1) “Jika beberapa perbuatan berhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran; jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya.”
Ayat (2) “Begitu juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja , bila orang dipersalahkan memalsu atau merusakkan uang dan memakai benda untuk melakukan perbuatan memalsu atau merusakkan uang.
Ayat (3) “Akan tetapi jika kejahatan yang diterangkan dalam pasal 364, 373, dan 379 dan ayat pertama dari pasal 407, dilakukan sebagai perbuatan yang diteruskan dan jumlah dari harga kerugian atas kepunyaan orang lantaran perbuatan terus-menerus itu semua Rp. 25, maka masing-masing dihukum menurut ketentuan pidana dalam pasal 362, 372, 378 dan 406.
c. Gabungan beberapa perbuatan (concurcus realis) sebagaimana tercantum
dalam pasal 65 KUHP.
Menurut Pasal 65 KUHP dikatakan :
Ayat (1) “Dalam gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan sendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja dijatuhkan.”
2.2.6 Konsep Penyertaan Perbuatan Pidana
Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP, Uraian mengenai Penyertaan
Perbuatan Pidana adalah sebagai berikut :
Ayat (1) : Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana i. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan itu.
ii. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan suatu perbuatan.
Ayat (2) : Tentang orang-orang dalam sub (ii) itu yang boleh dipertanggngkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta akibatnya.
Dalam suatu peristiwa pidana dapat dijelaskan bahwa yang dihukum sebagai
“orang yang melakukan” atau dalam hal ini pelaku tindak pidana, dapat
dikategorikan menjadi 4 (empat macam) sesuai pasal 55 KUHP yaitu :
a. Orang yang melakukan (pleger) : Orang ini adalah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana.
b. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) : Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian dia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi dia menyuruh orang lain, disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya dia tidak dapat dihukum karena tidakk dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya
d. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dsb, dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan tersebut (uitlokker) : Orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedang membujuknya harus mamakai salah satu dari jalan seperti pemberian, salah memakai kekuasaan dsb. Yang disebutkan dalam pasal itu artinya tidak boleh memakai jalan lain. Disini seperti halnya dengan “suruh melakukan” sedikitnya harus ada dua orang yaitu “orang yang membujuk” dan “orang yang dibujuk”. Hanya perbedaannya pada “membujuk melakukan”, orang yang dibujuk itu dapat dihukum juga sebagai pleger, sedangkan pada “suruh melakukan”, orang yang disuruh itu tidak dapat dihukum (R.Soesilo, 1991).
2.2.7 Konsep Penyidikan
Konsep mengenai penyidikan pada penelitian ini mengacu pada ketentuan
hukum yang berlaku di Indonesia. Penulis akan mendeskripsikan konsep
penyidikan tindak pidana berdasarkan :
1. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya dalam skripsi
ini disebut KUHAP),
2. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(selanjutnya dalam skripsi ini disebut UU Polri),
3. Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana (selanjutnya dalam skripsi ini disebut Perkap 14/2012) dan
4. UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
Deskripsi tentang penyidikan merupakan konsep dasar dalam menyelesaikan
permasalahan dalam penelitian ini, yaitu tentang penyidikan tindak pidana
kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian korban a.n Engeline pada
Pengertian tentang penyidikan termuat dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP, Pasal
1 butir 13 UU Polri dan Pasal1 butir 2 Perkap 14/2012 yaitu :
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Mengenai penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa penyidikan memiliki dua
tujuan yaitu mencari dan mengumpulkan alat bukti dan dengan alat bukti itu
membuat terang tindak pidana tersebut. Kemudian mencari dan mengumpulkan
alat bukti untuk menemukan tersangkanya. Yang bertugas dalam melaksanakan
penyidikan adalah penyidik dan dibantu oleh penyidik pembantu. Penyidik adalah
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang
tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang
(Pasal 1 angka 1 KUHAP).
Proses Penyidikan Tindak Pidana juga melihat dari tingkat kesulitan dari
perkara yang dihadapi. Sehingga dalam rangka mengoptimalkan kinerja penyidik,
maka dapat dilakukan mekanisme penggabungan penanganan perkara melalui
surat perintah penyidikan gabungan. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 21 Perkap
14/2012 yang menjelaskan bahwa :
Ayat (1) : “Atasan penyidik selaku penyidik wajib mengorganisir seluruh sumber daya yang tersedia untuk : Pembentukan tim penyidik, dukungan anggaran penyidikan dan dukungan peralatan.”
Ayat (2) : “Pembentukan tim penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kompetensi penyidik dan kriteria tingkat kesulitan perkara yang ditangani, dan dapat dibentuk tim penyidik gabungan dari beberapa satuan fungsi reskrim (Join Investgation Team).”
Dasar dimulainya proses penyidikan oleh penyidik Polri adalah adanya laporan
tentang peristiwa yang diduga sebagai peristiwa pidana. Dalam Pasal 1 angka 24
KUHAP, laporan didefinisikan sebagai “pemberitahuan yang disampaikan oleh
seorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepda pejabat
yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa
pidana.”
Tahapan proses penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Perkap
14/2012 meliputi :
1. Penyelidikan 2. Pengiriman SPDP 3. Upaya Paksa 4. Pemeriksaan 5. Gelar Perkara
6. Penyelesaian Berkas Perkara
7. Penyerahan Berkas Perkara Ke Penuntut Umum 8. Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti dan 9. Penghentian Penyidikan
Proses selanjutnya yang dilakukan oleh penyidik adalah melakukan upaya paksa.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Perkap 14/2012 dijelaskan bahwa upaya
paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c meliputi : pemanggilan,
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan
surat.
Tahap Pemanggilan dalam upaya paksa. Ketentuan mengenai
pemanggilan terhadap saksi untuk dimintai keterangannya sesuai pasal 112
KUHAP yaitu :
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Kemudian dijelaskan juga dalam Pasal 27 Ayat (1) Perkap 14/2012 bahwa
Pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dilakukan secara
tertulis dengan menerbitkan surat panggilan atas dasar laporan polisi, laporan hasil
penyelidikan, dan pengembangan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam berita
acara.
Tahapan Penahanan dalam upaya paksa. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP, ketentuan tentang penahanan oleh penyidik
yaitu :
Ayat (1) : Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagimana dimaksud dlam Pasal 20 hanya berlaku paling lama 20 hari, Ayat (2) : Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesei, dapat diperpanjang oleh penuntut umum ynag berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
Kemudian dalam Pasal 44 Perkap 14/2012 juga diatur tentang pertimbangan
penyidik dalam melakukan penahanan terhada tersangka yaitu :
a. Tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri,
b. Tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya, c. Tersangka dikhawatirkan akan meghilangkan barang bukti, dan d. Tersangka diperkirakan mempersulit penyidikan.
Dalam hal penyidik menggunakan kewenangannya untuk melakukan penahanan,
maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi penyidik, yakni syarat objektif dan
syarat subjektif. Syarat objektif diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang
berbunyi sebagai berikut :
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal
296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).
Tahapan Penggeledahan dalam upaya paksa. Dalam hal melaksanakan
kewenangan melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau
penggeledahan barang, penyidik memiliki ketentuan yang dijelaskan pada Pasal
33 KUHAP, yaitu :
a. Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
b. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
c. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.
d. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
e. Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dati turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.
Tahapan Penyitaan dalam upaya paksa. Di dalam Pasal 38 ayat (1)
KUHAP diatur bahwa “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan
surat izin ketua pengadilan negeri setempat.” Selanjuntnya didalam pasal 39 ayat