• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHA"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)

YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ENGELINE

PADA DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM

POLDA BALI

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

JAKARTA

2016

OLEH:

YANUAR RIZAL ARDIANTO

(2)
(3)
(4)
(5)

Motto:

“....dandimanapunberada,

memberikan karya terbaik bagi masyarakat, bangsa, negara dan dunia.”

“fiatjustitia ruatcaelum”-tegakkan keadilanwalaulangitakan

runtuh-Persembahan:

“...untukPolriyanglebihbaikdandicintaimasyarakat”

(6)

KATAPENGANTAR

Misteri kematian seorang anak bernama Engeline kerap membuat

berbagai pihak bertanya-tanya mengenai sebab kematian yang sebenarnya.

Bagaimana tidak, berbagai elemen dalam masyarakat turut menyampaikan

rasa peduli dan rasa berduka cita pada gadis berumur 8 tahun itu. Beragam

media saling berlomba-lomba dalam menyajikan informasi terkini dan

mengemas misteri kematian ini menjadi sebuah bahan diskusi forum yang

sangat menarik untuk disimak. Penulis kemudian memilih penyidikan tindak

pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline

sebagaiobjekpenelitian.

Pujisyukursenantiasa penulis panjatkankepada AllahSWTkarena atas

rahmat dan hidayahnya, penulis telah berhasil menyelesaikan skripsi dengan

judul “PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG

MENYEBABKAN KEMATIAN ENGELINE PADA DIREKTORAT RESERSE

KRIMINAL UMUM POLDA BALI yang disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperolehgelarSarjanaIlmuKepolisian padaSekolahTinggi IlmuKepolisian

PTIK.

Dalam penyusunan skripsi ini, ucapan terima kasih disampaikan dengan

hormatkepada,

1. Irjen Pol Dr. H. Rycko Amelza Dahniel, S.I.K., M. Si. selaku Ketua

STIK-PTIK yang telah membimbing dan membina penulis selama mengikuti

pendidikandiSekolahTinggiIlmuKepolisian.

(7)

2. Dr. Zulkarnein Koto S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing yang tak

pernah lelah dalam membina, memotivasi dan mengarahkan penulis

sehinggaskripsiinidapatdiselesaikantepatwaktu.

3. Direktur Reserse Kriminal Umum Kombes Pol. Drs. Bambang Yogisworo,

SH., beserta staf, atas segenap kesempatan, bantuan, dan dukungan di

dalampelaksanaanpenelitian.

4. Kapolresta Denpasar Kombes Pol A.A Made Sudana SH, SIK yang telah

meluangkanwaktunyauntukpenulisdalammelaksanakanwawancara.

5. Seluruh penyidik Polresta Denpasar dan penyidik Polda Bali yang telah

meluangkanwaktunya untukpenulis dalam rangkamencari informasiterkait

objekpenelitian.

6. Rekan-rekanmahasiswa STIK-PTIKangkatanke-67 ataskebersamaan dan

kerjasamayangterjalinselamaini.

7. Orang tua penulis dr Arif Wijanto M.M., dan Ir. Eka Virliana Putri, atas

segenap doa yang berlimpah, bimbingan, dukungan, motivasi dan selalu

menjadiinspiratorbagipenulis.

8. Istriku Rima Putri Adining Wijayanti atas doa, dukungan, motivasi, dan

pengertianyangtakpernahusaiterberikan.

9. Anak-anakku Helga Aisyahna Alaricputri, Sultan Mazaya Arrafi, yang selalu

menjadisumberinspirasidanmotivasi.

10.Semuapihakyangtelahmembantudalampenyusunanskripsiini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat berterimakasih kepada semua

pihak yang memberikan saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini. Semoga

(8)

skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu kepolisian

Indonesia.

Jakarta,16Januari2016

Penulis

(9)

DAFTARISI

2.2.4 KonsepTindakPidanaKekerasaanTerhadapAnak ... 25

2.2.5 KonsepGabunganPerbuatanyangdapatDihukum ... 28

2.2.6 KonsepPenyertaanPerbuatanPidana... 30

2.2.7 KonsepPenyidikan ... 31 3.1 PendekatandanMetodePenelitian... 52

3.2 SumberDatadan Informasi... 54

3.3 TeknikPengumpulanData... 57

3.4 TeknikAnalisisData... 58

3.5 KeterbatasanPenelitian... 60

BABIVTEMUANPENELITIAN 4.1 GambaranUmumDaerahPenelitian... 62

4.1.1 GambaranUmumProvinsiBalidanKotaDenpasar... 62

(10)

4.1.2 GambaranUmumDitreskrimumPoldaBali ... 67

4.1.3 GambaranUmumSubditIVRenata ... 71

4.2 Deskripsi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak yang MenyebabkanKematianEngeline... 73

4.2.1 MargrietCh.Megawe ... 73

4.2.2 EngelineMargrietMegawe... 74

4.2.3 HubunganMargrietChMegawedanEngeline ... 75

4.2.4 PerbuatanTindakPidanaMargrietCh.Megawe ... 79

4.3 Uraian proses penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline pada DitreskrimumPoldaBali ... 96

4.3.1 PenyelidikanLaporanAnakHilang... 97

4.3.2 PengirimanSPDP ... 103

4.3.3 UpayaPaksa ... 104

4.3.4 PemeriksaanSaksi,AhlidanTersangka ... 116

4.3.5 GelarPerkara ... 155

4.3.6 PenyelesaianBerkasPerkara ... 157

4.3.7 PenyerahanBerkasPerkarakePenuntut Umum... 158

4.3.8 PenyerahanTersangkadanBarangBukti... 158

4.3.9 PenghentianPenyidikan... 159 5.1 Analisis Deskripsi Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak yangmenyebabkanKematianEngeline... 164

5.2 Analisis Proses Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak yang Menyebabkan Kematian Engeline pada DitreskrimumPoldaBali... 168

(11)

DAFTARTABEL

Tabel1 : Perbandingan Skripsi Penulis dengan Penelitian

Terdahulu1... 16

Tabel2 : Perbandingan Skripsi Penulis dengan Penelitian Terdahulu2 ... 18

Tabel3 : DataAnggotaSubditIVRenata ... 71

Tabel4 : DaftarSaksi ... 117

Tabel5 : DaftarAhli ... 133

Tabel6 : DaftarTersangka ... 153

(12)

DAFTARGAMBAR

Gambar1 : KerangkaBerpikir ...50

Gambar2 : AnalisisDataKualitatif ...59

Gambar3 : PetaProvinsiBali...65

Gambar4 : PetaKotaDenpasar...66

Gambar5 : Struktur OrganisasiDitreskrimum...70

Gambar6 : Struktur OrganisasiSubditIVRenata...72

(13)

ABSTRAK

JudulSkripsi : Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian Engeline Pada DirektoratReserseKriminalUmumPoldaBali

NamaMahasiswa : YanuarRizalArdianto,S.H. NomorMahasiswa :14678710

IsiAbstrak :

Peristiwa kematian Engeline telah menjadi sorotan publik bagi masyarakat. Hingga pada akhirnya petugas kepolisian menemukan jenazah yang diduga adalah jenazah Engeline. Munculnya reaksi publik pada peristiwa kematian Engeline dan paradigma Scientific Investigation pada proses penyidikanolehPolrimendorong penulisuntukmelakukanpenelitian ini.Tujuan dalam penelitian ini untuk mendeskripsikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline, mengevaluasi proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Ditreskrimum Polda Bali serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline. Teori dan konsep yang digunakan adalah Teori Hukum Pidana, Teori Manajemen, Konsep Tindak Pidana, Konsep Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak, Konsep Gabungan Perbuatan yang dapat dihukum, Konsep Penyertaan Perbuatan Pidana, Konsep Penyidikan, Konsep Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penyidikan, Konsep Ilmu Kepolisian. Penelitian dilaksanakan di Dit Reskrimum Polda Bali, dengan menggunakan pendekatan kualitatifdanmetodestudikasus.

Ada tiga kesimpulan yang diperoleh. Pertama, penerapan pasal yang dilakukan Penyidik dinilai sudah tepat, sesuai dengan Perbuatan Margriet Ch. Megawe yaitu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap nyawa orang lain, tindak pidana penganiayaan dan tindak pidana kekerasan terhadap anak. Kedua, proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Ditreskrimum Polda Bali telah memenuhi ketentuan undang-undang. Namun demikian terdapat kesalahan prosedur dalam pelaksanaan Olah TKP. Juga terdapatmekanismepenyidikan lainyangdilakukanoleh penyidik,yaituadanya penggabungan berkas perkara antara Polresta Denpasar dan Ditreskrimum Polda Bali karena korban, saksi, terdugapelaku dan barang bukti saling terkait dan bersesuaian satu sama lain. Ketiga, adanya faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penyidikan yaitu faktoraturan hukum, faktorpenegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Dari kelima faktor tersebut, faktor penegak hukum, masyarakat dan kebudayaandinilaimenghambatprosespenyidikanini.

Penulis menyarankan untuk melakukan evaluasi terhadap kemampuan penyidik untuk memberikan pelatihan tentang Optimalisasi Olah TKP dan Pelatihan tentang taktik dan strategi penyidikan yang profesional. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyidik dalam rangka melaksanakan Penegakan Hukum yang profesional, proporsional dan prosedural sesuai Etika Kelembagaan sebagaimana tercantum dalam Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentangKodeEtikProfesiPolri.

(14)

1

1.1 Latar Balakang Masalah

Sejak tahun 1989, hak-hak anak telah memperoleh pengakuan di dunia

Internasional pada piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Adalah United Nation Convention on th Rights of the Child atau Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan

Bangsa-Bangsa yang menjadi tonggak berdirinya sejarah pengakuan terhadap

Hak-Hak Anak. Dalam isinya, Deklarasi Universal tentang Hak-Hak manusia,

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memproklamasikan bahwa masa

kanak-kanak memerlukan perawatan dan pendampingan secara khusus. Meyakini

bahwa keluarga sebagai kelompok dasar dari masyarakat dan lingkungan alam

bagi pertumbuhan dan kesejahteraan dari seluruh anggotanya terutama

anak-anak, harus diberi perlindungan dan bantuan yang diperlukan sehingga ia

sepenuhnya dapat memikul tanggung jawabnya dalam masyarakat. Hal

tersebut seperti tercantum dalam Mukadimah Konvensi Hak-Hak Anak yang

disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20

November 1989.

Begitu juga dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sejak

tahun 1945, Hak warga negara tercantum dalam Pembukaan dan Batang

Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945

dikatakan :

(15)

Kemudian tertulis juga mengenai hak-hak yang spesifik terhadap anak

dalam batang tubuh UUD 1945 Amandemen kedua Pasal 28B butir 2 yaitu :

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.” Sehingga pada

hakekatnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatur tentang

kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap

hak-hak anak dalam memperoleh perlindungan terhadap kekerasan.

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam

dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah

tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,

memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin

kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap

anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat

kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara

optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan

upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan

memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan

tanpa diskriminasi. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak

diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang

dapat menjamin pelaksanaannya. Berbagai undang-undang hanya mengatur

hal-hal tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur

keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak (UU No. 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 23 Tahun 2002

(16)

Istilah “perlindungan anak” (child protection) digunakan dengan secara berbeda oleh organisasi yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula.

Namun dalam penelitian ini, Perlindungan Anak tersebut mengandung arti

perlindungan dari kekerasan, abuse, dan eksploitasi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, perlindungan anak mengupayakan agar setiap hak sang

anak tidak dirugikan. Perlindungan anak bersifat melengkapi hak-hak lainnya

yang menjamin bahwa anak-anak akan menerima apa yang mereka butuhkan

agar supaya mereka bertahan hidup, berkembang dan tumbuh.

Dalam kehidupan sosial, anak merupakan pihak yang sangat rentan

menjadi sasaran tindak kekerasan. Hal ini karena anak merupakan objek yang

lemah secara sosial dan hukum, sehingga anak sering dijadikan bahan

eksploitasi dan pelampiasan tindak pidana karena lemahnya perlindungan yang

diberikan baik oleh lingkungan sosial maupun negara terhadap anak.

Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 35 Tahun

2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yaitu Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau

penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,

atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum (UU No. 35 tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Pasal 1 butir 15a). Berbagai bentuk kekerasan yang

diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan,

(17)

bidang pekerjaan, penelantaran, penculikan, pelarian anak, dan penyanderaan,

memerlukan penanganan yang serius untuk mencegah munculnya anak

sebagai korban kekerasan. Beberapa uraian mengenai korban kekerasan

adalah sebagai berikut :

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan (Arief Gosita, 1993 : 63).

Korban adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hakhaknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan (Muladi, 2005 : 108).

Menurut perspektif Hukum Pidana :

Pengertian korban kejahatan merupakan terminologi dalam Ilmu Kriminologi dan Victimologi dan kemudian dikembangkan dalam hukum pidana dan/atau sistem peradilan pidana. Konsekuensi logisnya perlindungan korban dalam Kongres PBB VII/1985 di Milan (tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”) dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (“victims rights should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system”).

Pengertian “korban” berdasarkan ketentuan angka 1 “Declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power” pada tanggal 6

September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Nomor

A/Res/40/34 Tahun 1985 ditegaskan, bahwa :

Victims means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power”.

(18)

substansial terhadap hak asasi mereka, melalui tindakan atau kelalaian itu merupakan pelanggaran hukum pidana yang dilakukan oleh negara-negara anggota, termasuk hukum-hukum pidana yang melanggar kekuasaan.

(dikutip dari http://www.un.org/documents/ga/res/40/a40r034.htm dan diterjemahkan secara bebas oleh penulis)

Oleh karena itu, anak sebagai pihak yang lemah dan dirugikan dalam peristiwa

tindak pidana, mereka membutuhkan kepedulian sosial dan proses

perlindungan hukum dari lembaga-lembaga sosial utamanya pemerintah

Indonesia. Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab dalam melindungi

kesejahteraan anak, dalam hal ini perlindungan terhadap berbagai bentuk

kekerasan.

Kasus kekerasan terhadap anak yang menjadi perhatian masyarakat di

Indonesia adalah adalah kasus kematian Engeline. Peristiwa ini merupakan

puncak dari seluruh pemberitaan tentang peristiwa kekerasan terhadap anak di

Indonesia selama tahun 2015. Hal ini dibuktikan dengan semakin tingginya

jumlah pemberitaan tentang kekerasan terhadap anak yang menghiasi media

massa.

Salah satu tokoh komunikasi di Indonesia, yang sekaligus menjadi

Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (i2), Rustika Herlambang memaparkan

hasil kajian medianya tentang kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia

yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Portal berita Tempo.co (Hadriyani P.

2015 : URL) mengutip pernyataan Rustika Herlambang sebagai berikut :

(19)

luar negeri, setidaknya di beberapa negara terdekat seperti Australia dan Thailand."

Dalam pernyataan Rustika Herlambang (2015) diatas, dapat kita ketahui bahwa

Peristiwa kematian Engeline ini menjadi puncak pemberitaan tentang

kekerasan terhadap anak di Indonesia, oleh karena itu dalam perkembangan

peristiwa ini, muncul perhatian publik dari berbagai kalangan.

Peristiwa Engeline ini juga mendapat perhatian dari Kepolisian Negara

Republik Indonesia. Setelah dikabarkan hilang pada tanggal 16 Mei 2015,

keluarga Engeline kemudian melakukan pencarian pribadi dengan

memanfaatkan Media Sosial Facebook dan Media Cetak dan melaporkan

peristiwa anak yang diduga meninggalkan rumah tanpa kabar ke Polsek

Denpasar Timur. Awal keterlibatan petugas dalam kasus Engeline ini yaitu

merespon laporan anak yang hilang dengan melakukan serangkaian kegiatan

kepolisian.

Seiring berjalannya waktu, Kasus anak yang hilang ini dilimpahkan ke

Satuan Reserse Kriminal Umum Polresta Denpasar kemudian direspon dengan

melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini, hal ini

sebagai mana dikatakan oleh salah satu penyidik Polresta Denpasar pada

tanggal 30 November 2015. Upaya pencarian terus dilakukan sehingga pada

akhirnya pada tanggal 10 Juni 2015, salah satu petugas menemukan

bungkusan sprei di halaman belakang tempat tinggal Engeline dan didalamnya

terdapat jenazah yang diduga adalah Engeline.

Perhatian publik tidak saja terfokus pada peristiwa hilangnya Engeline,

bahkan rangkaian proses penyidikan yang dilakukan oleh Polri juga tidak lepas

dari pantauan media. Selama proses penyidikan berlangsung, masyarakat turut

(20)

memberitakan perkembangan-perkembangan hasil proses penyidikan supaya

diketahui oleh masyarakat secara luas. Hal ini tentunya memiliki dampak pada

proses penyidikan itu sendiri.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2

KUHAP). Dalam proses penyidikan tindak pidana, Polri memiliki kewenangan

penuh dalam mengungkap fakta-fakta hukum dalam suatu peristiwa pidana.

Polri dituntut profesional, proporsional dan prosedural dalam melakukan

tindakan kepolisian, sehingga hal ini harus diwujudkan dalam penanganan

pada kasus kematian Engeline.

Kasus kematian Engeline yang diwarnai pemberitaan media yang luar

biasa ini dapat dikatakan sebagai Celebrity Case, hal ini memiliki dampak dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Polri. Berbagai pihak memiliki

rasa keingintahuan yang luar biasa terhadap perkembangan sekecil apapun,

bahkan tak jarang muncul opini publik yang belum bisa dipastikan

kebenarannya. Dampak dari penanganan terhadap celebrity case ini memberikan tantangan tersendiri bagi para penyidik Polri.

Seiring berkembangnya teknologi dalam kehidupan umat manusia,

memberikan kemudahan-kemudahan manusia dalam menjalankan

kehidupannya. Dalam dunia penyidikan, teknologi juga memberikan kontribusi

(21)

mengumpulkan alat bukti secara Scientific Investigation ini, diharapkan penyidik mampu mengumpulkan alat-alat bukti yang lengkap dan tidak terbantahkan,

sehingga mampu membuat terang suatu peristiwa pidana dan menemukan

pelakunya.

Dalam menemukan titik terang dari peristiwa kematian Engeline ini,

penyidik menduga telah terjadi beberapa tindak pidana, yaitu Tindak Pidana

Pembunuhan dan Tindak Pidana Penelantaran Anak. Sehingga pada proses

penyidikannya, peristiwa ini ditangani oleh Penyidik dari Polresta Denpasar dan

Penyidik Dari Polda Bali. Adapun pembagiannya adalah Penyidik pada

Direktorat Kriminal Umum Polda Bali menangani penyidikan terhadap Margriet

Ch. Megawe, sedangkan Penyidik pada Satuan Reserse Kriminal Polresta

Denpasar menangani penyidikan terhadap Agustay Handa May. Sehingga

pada akhirnya mampu mengungkap pelaku yang sebenarnya.

Fenomena yang muncul dalam peristiwa kematian Engeline ini membuat

penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam. Rangkaian proses penyidikan

kematian Engeline ini merupakan hal menarik yang menjadi objek penelitian

penulis. Penulisan ini juga merupakan bentuk kontribusi dalam penerapan Ilmu

Kepolisian sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang permasalahan

sosial dan cara pencegahannya oleh kepolisian. Oleh karena itu, penulis

termotivasi untuk melakukan penelitian dengan judul “PENYIDIKAN TINDAK

PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN

(22)

1.2 Rumusan Permasalahan

Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali dan jajarannya melakukan

berbagai upaya kepolisian dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana

dalam kasus kematian Engeline. Penulis mencoba mengangkat pokok

permasalahan Bagaimana Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap

Anak Yang Menyebabkan Kematian Engeline pada Direktorat Reserse Kriminal

Umum Polda Bali?

Berdasarkan perumusan masalah di atas, dapat diambil persoalan

penelitian sebagai berikut :

a. Bagaimana deskripsi tindak pidana kekerasan terhadap anak yang

menyebabkan kematian Engeline?

b. Bagaimana proses penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak

yang menyebabkan kematian Engeline pada Direktorat Reserse Kriminal

Umum Polda Bali ?

c. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penyidikan tindak

pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline

pada Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang penulis uraikan di atas, maka

dapat diketahui tujuan dari penulisan penelitian ini yaitu :

a. Untuk mendeskripsikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang

menyebabkan kematian Engeline.

b. Untuk menguraikan proses penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap

anak yang menyebabkan kematian Engeline pada Direktorat Reserse

(23)

c. Untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas

penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan

kematian Engeline pada Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini memiliki dua

manfaat yaitu manfaat teoretis dan manfaat akademis. Uraian mengenai

manfaat teoretis dan akademis akan penulis jabarkan sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis peneliti berkeinginan dengan adanya penulisan skripsi ini

dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di bidang

Ilmu Kepolisian. Hasil penulisan ini, diharapkan dapat digunakan sebagai

gambaran untuk melihat seberapa jauh teori dan konsep yang dirumuskan

secara akademis, sehingga dapat diterapkan dalam pelaksanaan penyidikan

tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline.

Hasil penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi bagi

para peneliti yang akan meneliti dengan permasalahan serupa.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah :

a. Memberikan kontribusi pemikiran untuk Dir Reskrimum Polda Bali,

Kasubdit IV Ditreskrimum Polda Bali, dan penyidik Direktorat Reserse

Kriminal Umum Polda Bali pada saat melaksanakan penyidikan tindak

pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian korban

Engeline sesuai ketentuan hukum yang ada.

b. Bagi akademisi, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan

(24)

penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan

kematian korban Engeline.

c. Bagi Kepolisian, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan

pikiran kepada organisasi Polri, terutama pengetahuan mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penyidikan tindak pidana

kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian korban

Engeline. Sehingga hal tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam

pengambilan kebijakan untuk meningkatkan kinerja para penyidik.

d. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai acuan

pengetahuan dan sumber informasi mengenai penyidikan tindak pidana

kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian korban

Engeline. Hal tersebut dapat digunakan untuk memberikan gambaran

mengenai upaya penyidikan yang dilakukan oleh Polri dalam membuat

terang tindak pidana tersebut.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulis menjabarkan penulisan skripsi ini ke dalam enam bab sebagai

berikut :

Bab I Pendahuluan : Bab ini berisi latar belakang permasalahan,

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika

Penelitian.

Bab II Tinjauan Kepustakaan : Bab ini berisi kepustakaan penelitian,

kepustakaan konseptual dan kerangka berpikir.

Bab III Rancangan dan Pelaksanaan Penelitian : Bab ini berisi tentang

pendekatan penelitian, metode penelitian, sumber data/informasi, tehnik

(25)

Bab IV Temuan Penelitian : Bab ini berisi gambaran umum wilayah

penelitian, deskripsi tindak pidana kekerasan terhadap anak yang

menyebabkan kematian Engeline, Uraian proses penyidikan tindak pidana

kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline pada

Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali, serta faktor-faktor yang

mempengaruhi penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang

menyebabkan kematian korban Engeline pada Direktorat Reserse Kriminal

Umum Polda Bali.

Bab V Pembahasan : Bab ini berisi pembahasan dengan menggunakan

berbagai teori dan konsep terhadap deskripsi, tindak pidana kekerasan

terhadap anak yang menyebabkan kematian korban Engeline, Uraian proses

penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan

kematian korban Engeline pada Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali,

serta faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penyidikan tindak pidana

kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian korban Engeline pada

Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali.

Bab VI Penutup : Bab ini berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan dan

(26)

13 2.1 Kepustakaan Penelitian

Kepustakaan penelitian adalah literatur yang menyajikan informasi tentang

hasil penelitian (terdahulu). Dalam hal ini, hasil penelitian empirik lebih berarti

untuk dirujuk dari pada hasil pengkajian yang bersifat konsepsional. Literatur

dimaksud dapat berupa dokumen laporan hasil penelitian, jurnal-jurnal ilmiah,

majalah polisi, walaupun kenyataannya di Indonesia lebih banyak memuat artikel

tentang pendapat dan gagasan daripada hasil penelitian empirik. Selain itu,

laporan hasil penelitian pada umumnya dapat ditemukan dalam skripsi kepolisian,

tesis kepolisian, atau disertasi kepolisian (Petunjuk Teknis Penyusunan dan

Pembimbingan Skripsi Mahasiswa STIK-PTIK, 2012 : 7)

Kepustakaan penelitian merupakan upaya untuk mendapatkan teori dan

konsep dengan cara mengumpulkan buku-buku atau jurnal berdasarkan hasil

penulisan yang pernah dilakukan dan relevan dengan penulisan ini. Kepustakaan

penelitian sangat berguna dalam suatu penelitian ilmiah, hal ini dimaksudkan

supaya penulis dapat membandingkan penelitian yang dibuatnya dengan

penelitian yang dilakukan oleh orang lain. Dalam Kepustakaan Penelitian, penulis

akan melakukan pembandingan hasil penelitian terdahulu dengan penelitian yang

akan dilakukan, yang pada akhirnya terdapat persamaan dan perbedaan dengan

penelitian terdahulu.

Kepustakaan Penelitian harus memiliki pokok permasalahan yang hampir

(27)

membandingkan penelitian terdahulu dengan konsep permasalahan yang akan

diambil oleh penulis dalam penelitian yang akan dilakukan.

Berdasarkan hasil studi kepustakaan yang dilakukan, penulis menemukan

beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penyidikan tindak pidana

kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian. Kepustakaan penelitian

yang penulis pilih untuk dibandingkan dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah karya ilmiah dalam bentuk Skripsi yang disusun oleh : LUKMAN HAKIM

HARAHAP (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014) yang

berjudul “STUDI TENTANG PROSES PENYIDIKAN KASUS PEDOFILIA DI

YOGYAKARTA”

Lukman Hakim Harahap (2014) melakukan penelitian dengan mengangkat

Kasus Pedofilia sebagai objek penelitian. Kasus Pedofilia merupakan kasus

kekerasan seksual terhadap anak yang sering terjadi di Indonesia. Yogyakarta

merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mengalami peningkatan kasus

pedofilia setiap tahunnya. Kasus pedofilia dapat menimbulkan korban mengalami

gangguan fisik maupu psikis yang dapat mangakibatkan tindakan amoral lainnya,

sehingga ada kemungkinan untuk memunculkan korban baru untuk menjadi pelaku

selanjutnya. Penanganan hukum pada kasus pedofilia di Yogyakarta sering kali

dinilai kurang maksimal. Oleh karena itu Lukman Hakim Harahap (2014)

merumuskan persoalan sebagai berikut : Apakah proses penyelidikan dan

penyidikan kasus pedofilia di Polresta Yogyakarta sesuai dengan Undang-undang

No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana? Kemudian

Apa faktor penghambat proses penyelidikan dan penyidikan kasus pedofilia di

(28)

Proses penelitian yang dilakukan oleh Lukman Hakim Harahap (2014)

menggunakan pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian dengan pendekatan

undang-undang dan menelaah hukum yang ada permasalahan di dalam praktek.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research)

seperti pengumpulan data langsung dari lapangan dalam bentuk interview,

observasi dan dokumentasi. Lukman Hakim Harahap (2014) juga melakukan Studi

Kepustakaan yaitu dengan mengkaji literatur, hasil penelitian hukum dan jurnal

yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, kemudian Studi Dokumentasi

yaitu degan mengkaji berbagai dokumentasi resmi institusional yang relevan

dengan penelitian. Lokasi penelitian diambil di lingkungan Polresta Yogyakarta.

Hasil Penelitian Lukman Hakim Harahap (2014) mendeskripsikan proses

penyelidikan dan penyidikan kasus pedofilia di Polresta Yogyakarta telah sesuai

dengan Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan faktor

penghambat proses penyelidikan dan penyidikan kasus pedofilia di Polresta

Yogyakarta adalah biaya administrasi yang mahal.

Dari hasil penelitian Lukman Hakim Harahap (2014), terdapat persamaan

dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Adapun

persamaannya mengenai ketentuan hukum atau konsep yang mengatur proses

penyidikan yaitu UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Selain itu,

persamaan berikutnya mengenai pokok permasalahan yang diangkat, sama- sama

mengenai proses penyidikan tindak pidana dengan objek anak. Walaupun secara

spesifik tidak sama, Lukman Hakim Harahap (2014) membahas tentang Kasus

Pedofilia sedangkan penulis membahas tentang tindak pidana kekerasan terhadap

(29)

yang terdapat pada penelitian Lukman Hakim Harahap dan penelitian yang akan

dilakukan penulis mengenai metode penelitian. Lukman Hakim Harahap

melakukan penelitian dengan pendekatan Yuridis Empiris dengan menggunakan

metode Penelitian Lapangan, yaitu penelitian dengan pendekatan undang-undang

dan menelaah hukum yang ada permasalahan di dalam praktek. Sedangkan

penulis melakukan penelitian dengan pendekatan Kualitatif dengan metode studi

kasus. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah,

dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan

melibatkan berbagai metode yang ada (Denzin dan Lincoln, 1987). Selain itu,

perbedaan juga mengenai lokasi penelitian, Lukman Hakim Harahab (2014)

melakukan penelitian di Polresta Yogyakarta sedangkan penulis melakukan

penelitian di Polresta Denpasar.

Tabel 1

Perbandingan Skripsi Penulis dengan Penelitian Terdahulu 1

Karya Ilmiah kedua yang penulis jadikan kepustakaan penelitian adalah

sebuah karya Ilmiah dalam bentuk skripsi yang disusun oleh Mahasiswa

STIK-SKRIPSI PENULIS SKRIPSI LUKMAN HAKIM HARAHAP

(2014)

PERSAMAAN

a. KETENTUAN HUKUM TENTANG PENYIDIKAN YAITU UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

b. OBJEK PENELITIAN ADALAH ANAK

PERBEDAAN

b. LOKASI PENELITIAN POLRESTA YOGYAKARTA

(30)

PTIK Angkatan 54 BRONTO BUDIYONO (2010). Adapun BRONTO BUDIYONO

(2010) mengangkat judul penelitian “PENYIDIKAN KASUS PENCABULAN

DENGAN TERSANGKA SUPARMAN BIN HARJOREBO OLEH UNIT PPA

POLRES PATI”.

BRONTO BUDIYONO (2010) melakukan penelitian tentang Penyidikan

Kasus Pencabulan dengan tersangka Suparman bin Harjorebo oleh unit PPA

Polres Pati dengan tujuan untuk mengetahui perlindungan anak oleh Unit PPA

Polres Pati dalam penanganan terhadap korban, kemudian menjelaskan

pelaksanaan penyidikan kasus pencabulan dengan tersangka Suparman bin

Harjorebo oleh Unit PPA Polres Pati, serta memberikan gambaran faktor-faktor

yang mempengaruhi pencabulan terhadap anak dan penyidikan kasus pencabulan

dengan tersangka Suparman bin Harjorebo.

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh BRONTO BUDIYONO (2010)

menggunakan pendekatan kualitatif, sedangkan metode yang digunakan adalah

studi kasus. Dalam melaksanakan tehnik pengumpulan data, BRONTO

BUDIYONO (2010) melakukan pengamatan (observasi) pada lokasi penelitian,

yang kemudian melakukan wawancara untuk mendapatkan data primer. Kemudian

Data sekunder diperoleh melalui studi literatur atau studi dokumen dari Unit PPA

Polres Pati dan instansi terkait.

Diperoleh tiga temuan dari penelitian tersebut. Pertama, Unit PPA Polres

Pati telah memberikan perlindungan untuk menempatkan korban di rumah aman

(shelter) ini harus dilakukan untuk menjaga mental korban agar stabil sehingga

dalam pelaksanaan penyidikan lebih maksimal, akan tetapi korban pada penelitian

(31)

Unit PPA Polres Pati juga telah memberikan pelayanan kesehatan (pasal 8 UU

PA) serta telah memberikan bantuan hukum (pasal 18 UU PA).

Kedua, Unit PPA Polres Pati hanya melakukan langkah-langkah penyidikan

seperti pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan dan penggeledahan

serta pemberkasan, namun tidak melakukan Olah TKP. Hal ini berdampak pada

kesulitan penyidik dalam merekonstruksi peristiwa tindak pidananya.

Ketiga, Faktor yang mempengaruhi pencabulan yang dilakukan oleh

Suparman bin Harjorebo karena moralitas, rangsangan media, sulit bertemu istri,

minimnya pendidikan dan kurangnya pengawasan oang tua. Sedangkan

faktor-faktor yang mempengaruhi penyidikan kasus pencabulan dengan tersangka

Suparman bin Harjorebo adalah kualitas penyidik, kerjasama antar instansi,

pengawasan dan pengendalian pimpinan, rasio penyidik perempuan dibanding

penyidik laki-laki yang minim serta faktor anggaran.

Tabel 2

Perbandingan Skripsi Penulis dengan Penelitian terdahulu 2

SKRIPSI PENULIS SKRIPSI BRONTO BUDIYONO (2010)

PERSAMAAN

a. OBJEK PENELITIAN ADALAH ANAK

b. MENGGUNAKAN PENDEKATAN KUALITATIF c. MENGGUNAKAN METODE STUDI KASUS

d. TEHNIK PENGUMPULAN DATA MENGGUNAKAN WAWANCARA, STUDI LITERATUR / STUDI DOKUMEN

PERBEDAAN

a. KETENTUAN HUKUM TENTANG PENYIDIKAN YAITU UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA

b. LOKASI PENELITIAN POLRES PATI

(32)

2.2 Kepustakaan Konseptual

Pada bagian ini, Kepustakaan Konseptual terdiri dua bagian yaitu Landasan

Teori dan Landasan Konsep, yang nantinya akan penulis gunakan untuk

menganalisis temuan penelitian sehingga dapat diketahui hasil penelitian ini.

Selanjutnya penulis akan menjelaskan uraian terkait teori dan konsep dalam

penelitian ini.

Kepustakaan konseptual menyajikan teori, prinsip, pendapat dan/atau

gagasan dari seseorang, yakni yang memiliki kompetensi untuk disiplin ilmu atau

pengetahuan yang ditekuninya berkaitan dengan permasalahan yang diteliti

(Petunjuk Teknis dan Pembimbingan Skripsi Mahasiswa STIK-PTIK, 2012 : 7).

Kerlinger (1973, sebagaimana disadur oleh Sugiyono, 2009 : 41)

menguraikan tentang pengertian Teori dalam kajian ilmiah bahwa :

“[t]theory is a set of interrelated constructs (concept), definitions,and proposition that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with purpose of explaining and predicting the phenomena”

(teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yng berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena).

Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang

dipahami. Menurut Aristoteles dalam "The Classical Theory of Concepts"

menyatakan bahwa :

(33)

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik pemahaman bahwa teori dan

konsep merupakan instrumen yang digunakan oleh peneliti untuk memahami dan

memprediksi fenomena dalam penelitian. Dengan demikian, diharapkan penulis

dapat menerapkan teori dan konsep yang tepat sehingga dapat memprediksi dan

menjelaskan fenomena tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menimbulkan

kematian di masa yang akan datang.

2.2.1 Teori Hukum Pidana

Landasan teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah Teori

Hukum Pidana. Hukum Pidana diartikan oleh berbagai pakar hukum. Salah satu

pakar hukum di Indonesia adalah Prof. Moeljatno S.H. Dalam bukunya yang

berjudul Asas-asas Hukum Pidana halaman 1, Moeljatno mengatakan pengertian

hukum pidana yaitu :

Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Kemudian dalam melihat suatu perbuatan pidana itu bersifat melawan hukum,

maka perbuatan tersebut harus dirumuskan dalam Undang-undang. Dalam hukum

pidana dikenal Asas Legalitas, yang mengatakan “Nullum delictum nulla poena

sine previa lege” (tidak ada pidana tanpa peraturan terlebuh dahulu). Asas

Legalitas ini menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam

(34)

(Von Feurbach dalam Moeljatno 2008 : 25). Selain itu, dalam pasal 1 ayat (1)

KUHP disebutkan “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas

kekuatan ketentuan pidana dalam udang-undang yang ada terdahulu dari pada

perbuatan itu.”

Selanjutnya Enschede-Heijder (Beginselen van Strafrecht, 1978 : 17 dalam

Andi Hamzah, 2008 : 2) menguraikan hukum pidana secara sistematik yaitu

meninjau hukum pidana sebagai objek studi. Dalam metodenya, Hukum pidana

dapat dibedakan menjadi Hukum Pidana Materiil yaitu Hukum Pidana dan

Hukum Pidana Formil yaitu Hukum Acara Pidana.

Hukum Pidana Materiil mengatur tentang isi atau substansi pidana itu. Disini

hukum pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam.

Hukum Pidana Formil lebih bersifat nyata atau kongkret. Disini kita melihat

hukum pidana yang dijalankan atau dalam keadaan bergerak, berada dalam

sebuah proses. Sehingga disebut juga Hukum Acara Pidana.

Van Bemmelen (Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, 1987 : 17)

menjelaskan sebagai berikut :

Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana yaitu :

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.

3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya.

4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan kemudian membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. 5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang

dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.

(35)

7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.

Sehingga dapat kita ketahui bahwa hukum pidana materiil mengandung petunjuk

tentang uraian delilk sedangkan hukum pidana formil mengatur tentang bagaimana

suatu negara melaksanakan proses pemidanaan.

Pembahasan mengenai hukum pidana dan pembagian hukum pidana diatas

menjadi titik awal pemahaman tentang serangkaian proses penyidikan terhadap

peristiwa kematian Engeline, yang selanjutnya akan penulis sajikan juga teori dan

konsep lainnya sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.

2.2.2 Teori Manajemen

George R. Terry dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Manajemen yang ditulis

kembali oleh Winardi, menjelaskan tentang Manajemen sebagai berikut :

Manajemen merupakan sebuah proses khas yang terdiri dari

tindakan-tindakan : perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan dan

pengawasan yang dilakukan untuk menetukan serta mencapai

sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia

serta sumber-sumber lain (Winardi, 1986 : 4).

Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa proses manajemen merupakan suatu

hal yang penting diterapkan oleh setiap organisasi, dalam rangka mencapai tujuan

yang telah ditentukan berdasarkan kemampuan yang ada di dalam organisasi

tersebut. Sehingga dalam pelaksanaan proses penyidikan tindak pidana kekerasan

terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline ini, diperlukan suatu

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian untuk mencapai

(36)

2.2.3 Konsep Tindak Pidana

Dalam melaksanakan penelitian tentang Penyidikan tindak pidana

kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline pada

Ditreskrimum Polda Bali, penulis merasa perlu memberikan penjelasan tentang

Tindak Pidana secara umum dan secara spesifik. Hal ini perlu dilakukan untuk

menjawab tujuan pertama dalam penelitian ini, yaitu mendeskripsikan tindak

pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline pada

Ditreskrimum Polda Bali.

Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana halaman 59

mengatakan bahwa :

Perbuatan Pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :

1. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.

2. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

3. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan

(die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den

person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal

act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility).

Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan

dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang

(37)

unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga

dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan

pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan

ancaman pidana kalau dilanggar.

Perbuatan pidana menurut pakar hukum Belanda Simon yaitu Perbuatan

Pidana adalah Strafbaarfeit yaitu kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat

melawan hukum dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang

yang mampu bertanggung jawab. Kemudian Ahli Hukum Van Hamel mengatakan

bahwa Strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam

undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan

(Chairul Huda dalam Sianturi, 1986 : 2015).

Menurut Simons (Asas-asas Hukum Pidana, 2008), unsur-unsur tindak

pidana (strafbaar feit) adalah :

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

2. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld) 3. Melawan hukum (onrechtmatig)

4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit) yaitu :

1. Unsur Obyektif : a. Perbuatan orang

b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.

c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”

2. Unsur Subyektif

a. Orang yang mampu bertanggung jawab

b. Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

(38)

1. Perbuatan (manusia)

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil) 3. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno (2008) terdiri dari : 1. Kelakuan dan akibat

2. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :

a. Unsur subyektif atau pribadi yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan.

b. Unsur obyektif atau non pribadi yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat.

Selain itu, Pengertian tentang Tindak Pidana juga tercantum dalam Surat

Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000

tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana

yaitu yang dimaksud tindak Pidana adalah setiap perbuatan atau peristiwa yang

diancam hukuman kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun perundang-undangan lain.

2.2.4 Konsep Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak

Setelah memahami pengertian tindak pidana secara umum, penulis ingin

memberikan pemahaman tentang tindak pidana kekerasan terhadap anak. Tindak

Pidana kekerasan terhadap anak akan terbagi menjadi beberapa bagian

pembahasan seperti dibawah ini.

Didalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kekerasan menunjukkan kata

sifat keras pada suatu kegiatan, kekerasan dapat diartikan sebagai “perihal keras

atau perbuatan atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya

orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik orang lain” (W.J.S Poerwadarminta,

1990 : 425).

Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak memberikan pengertian yang

(39)

KUHP (R. Soesilo, 1984 : 84) disebutkan bahwa yang disamakan dengan

melakukan kekerasan itu, membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi

(lemah). Penjelasan pasal 89 KUHP (R.Soesilo, 1984 : 84) dijelaskan bahwa :

Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak

kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala

macam senjata, menyepak, menendang, dsb. Yang disamakan dengan kekerasan

menurut pasal ini adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.

Penulis menyadari bahwa belum ada suatu pengertian yang baku atau

resmi termuat tentang Tindak Pidana Kekerasan. Oleh karena itu penulis mencoba

Memberikan pengertian tentang Tindak Pidana Kekerasan, dengan berdasar dari

pengertian tindak pidana kekerasan sebagaimana telah dibahas. Tindak Pidana

Kekerasan adalah suatu tindakan bertentangan dengan aturan hukum yang dapat

memberikan dampak negatif secara fisik, emosional dan psikologis terhadap orag

yang menjadi sasaran.

Didalam KUHP, pengaturan tentang Tindak Pidana Kekerasan tidak

disatukan dalam bab khusus, akan tetapi terpisah-pisah dalam bab tertentu. Di

dalam KUHP (R. Soesilo, 1981) Tindak Pidana Kekerasan dapat digolongkan

sebagai berikut :

1. Tindak Pidana terhadap nyawa orang lain ; pasal 338-350 KUHP 2. Tindak Pidana penganiayaan, pasal 351-358 KUHP

3. Tindak Pidana pencurian, perampokan pasal 365 KUHP

4. Tindak Pidana terhadap Kesusilaan khususnya pasal 285 KUHP

5. Tindak Pidana karena kelalaian menyebabkan kematian pasal 359-367 KUHP

Adapun bentuk-bentuk tindak pidana kekerasan adalah sebagai berikut : 1. Tindak Pidana Pembunuhan

2. Tindak Pidana Penganiayaan Berat

(40)

5. Tindak Pidana Kekerasan terhadap Ketertiban Umum.

Dalam rumusan permasalahan penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai

Bagaimana Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak yang

menyebabkan Kematian korban a.n Engeline, terdapat kata “Anak” dalam klausa

rumusan permasalahan penelitian tersebut. Sehingga penulis perlu memberikan

penjelasan mengenai Anak. Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 butir 1

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu Anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dalam Pasal 15a UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :

Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Kekerasan terhadap anak dapat mengambil beberapa bentuk. Empat bentuk

kekerasan terhadap anak adalah :

1. Kekerasan secara fisik,

Kekerasan Fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak (dikutip dari Wikipedia : Kekerasan Fisik, 2015 : URL).

2. Pelecehan seksual,

(41)

3. Kekerasan Psikologis,

Kekerasan Psikologis adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap hewan peliharaan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan ("Child Abuse". The National Center for Victims of Crime)

4. Penelantaran Anak.

Penelantaran anak adalah situasi dimana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) , atau medis yaitu kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter (dikutip dari Wikipedia : Penelantaran Anak, 2015 : URL).

2.2.5 Konsep Gabungan Perbuatan yang Dapat Dihukum (Samenloop)

Gabungan perbuatan yang dapat dihukum ini membahas tentang

“gabungan (Samenloop) perbuatan yang boleh dihukum atau peristiwa pidana”.

Dalam peristiwa pidana gabungan (Samenloop) melukiskan satu orang melakukan

beberapa peristiwa pidana. Walaupun kita mengenal “mengulangi (Residive)

peristiwa pidana” yang menggambarkan satu orang melakukan beberapa peristiwa

pidana, akan tetapi terdapat perbedaan antara Samenloop dengan Residive.

Perbedaannya yaitu pada Samenloop antara melakukan peristiwa pidana yang

satu dengan yang lain belum pernah ada putusan hakim (vonis), sedangkan dalam

Residive antara melakukan peristiwa pidana satu dengan yang lain sudah ada

putusan hakim (vonis).

Gabungan (Samenloop) peristiwa pidana terbagi menjadi tiga macam yaitu

(R. Soesilo, 1991 : 80) :

a. Gabungan satu perbuatan (concursus idealis) sebagaimana tercantum

(42)

Menurut Pasal 63 KUHP dikatakan :

Ayat (1) “Jika sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa ketentuan pidana, maka hanya dikenakan satu saja dari ketentuan itu; jika hukumannya berlainan, maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya.

Ayat (2) “Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan pidana yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan.

b. Pebuatan yang diteruskan (voortgezette handeling) sebagaimana

tercantum dalam pasal 64 KUHP.

Menurut Pasal 64 KUHP dikatakan :

Ayat (1) “Jika beberapa perbuatan berhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran; jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya.”

Ayat (2) “Begitu juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja , bila orang dipersalahkan memalsu atau merusakkan uang dan memakai benda untuk melakukan perbuatan memalsu atau merusakkan uang.

Ayat (3) “Akan tetapi jika kejahatan yang diterangkan dalam pasal 364, 373, dan 379 dan ayat pertama dari pasal 407, dilakukan sebagai perbuatan yang diteruskan dan jumlah dari harga kerugian atas kepunyaan orang lantaran perbuatan terus-menerus itu semua Rp. 25, maka masing-masing dihukum menurut ketentuan pidana dalam pasal 362, 372, 378 dan 406.

c. Gabungan beberapa perbuatan (concurcus realis) sebagaimana tercantum

dalam pasal 65 KUHP.

Menurut Pasal 65 KUHP dikatakan :

Ayat (1) “Dalam gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan sendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja dijatuhkan.”

(43)

2.2.6 Konsep Penyertaan Perbuatan Pidana

Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP, Uraian mengenai Penyertaan

Perbuatan Pidana adalah sebagai berikut :

Ayat (1) : Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana i. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan itu.

ii. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan suatu perbuatan.

Ayat (2) : Tentang orang-orang dalam sub (ii) itu yang boleh dipertanggngkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta akibatnya.

Dalam suatu peristiwa pidana dapat dijelaskan bahwa yang dihukum sebagai

“orang yang melakukan” atau dalam hal ini pelaku tindak pidana, dapat

dikategorikan menjadi 4 (empat macam) sesuai pasal 55 KUHP yaitu :

a. Orang yang melakukan (pleger) : Orang ini adalah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana.

b. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) : Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian dia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi dia menyuruh orang lain, disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya dia tidak dapat dihukum karena tidakk dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya

(44)

d. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dsb, dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan tersebut (uitlokker) : Orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedang membujuknya harus mamakai salah satu dari jalan seperti pemberian, salah memakai kekuasaan dsb. Yang disebutkan dalam pasal itu artinya tidak boleh memakai jalan lain. Disini seperti halnya dengan “suruh melakukan” sedikitnya harus ada dua orang yaitu “orang yang membujuk” dan “orang yang dibujuk”. Hanya perbedaannya pada “membujuk melakukan”, orang yang dibujuk itu dapat dihukum juga sebagai pleger, sedangkan pada “suruh melakukan”, orang yang disuruh itu tidak dapat dihukum (R.Soesilo, 1991).

2.2.7 Konsep Penyidikan

Konsep mengenai penyidikan pada penelitian ini mengacu pada ketentuan

hukum yang berlaku di Indonesia. Penulis akan mendeskripsikan konsep

penyidikan tindak pidana berdasarkan :

1. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya dalam skripsi

ini disebut KUHAP),

2. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(selanjutnya dalam skripsi ini disebut UU Polri),

3. Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak

Pidana (selanjutnya dalam skripsi ini disebut Perkap 14/2012) dan

4. UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak.

Deskripsi tentang penyidikan merupakan konsep dasar dalam menyelesaikan

permasalahan dalam penelitian ini, yaitu tentang penyidikan tindak pidana

kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian korban a.n Engeline pada

(45)

Pengertian tentang penyidikan termuat dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP, Pasal

1 butir 13 UU Polri dan Pasal1 butir 2 Perkap 14/2012 yaitu :

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Mengenai penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa penyidikan memiliki dua

tujuan yaitu mencari dan mengumpulkan alat bukti dan dengan alat bukti itu

membuat terang tindak pidana tersebut. Kemudian mencari dan mengumpulkan

alat bukti untuk menemukan tersangkanya. Yang bertugas dalam melaksanakan

penyidikan adalah penyidik dan dibantu oleh penyidik pembantu. Penyidik adalah

pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang

tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang

(Pasal 1 angka 1 KUHAP).

Proses Penyidikan Tindak Pidana juga melihat dari tingkat kesulitan dari

perkara yang dihadapi. Sehingga dalam rangka mengoptimalkan kinerja penyidik,

maka dapat dilakukan mekanisme penggabungan penanganan perkara melalui

surat perintah penyidikan gabungan. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 21 Perkap

14/2012 yang menjelaskan bahwa :

Ayat (1) : “Atasan penyidik selaku penyidik wajib mengorganisir seluruh sumber daya yang tersedia untuk : Pembentukan tim penyidik, dukungan anggaran penyidikan dan dukungan peralatan.”

Ayat (2) : “Pembentukan tim penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kompetensi penyidik dan kriteria tingkat kesulitan perkara yang ditangani, dan dapat dibentuk tim penyidik gabungan dari beberapa satuan fungsi reskrim (Join Investgation Team).”

(46)

Dasar dimulainya proses penyidikan oleh penyidik Polri adalah adanya laporan

tentang peristiwa yang diduga sebagai peristiwa pidana. Dalam Pasal 1 angka 24

KUHAP, laporan didefinisikan sebagai “pemberitahuan yang disampaikan oleh

seorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepda pejabat

yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa

pidana.”

Tahapan proses penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Perkap

14/2012 meliputi :

1. Penyelidikan 2. Pengiriman SPDP 3. Upaya Paksa 4. Pemeriksaan 5. Gelar Perkara

6. Penyelesaian Berkas Perkara

7. Penyerahan Berkas Perkara Ke Penuntut Umum 8. Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti dan 9. Penghentian Penyidikan

Proses selanjutnya yang dilakukan oleh penyidik adalah melakukan upaya paksa.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Perkap 14/2012 dijelaskan bahwa upaya

paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c meliputi : pemanggilan,

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan

surat.

Tahap Pemanggilan dalam upaya paksa. Ketentuan mengenai

pemanggilan terhadap saksi untuk dimintai keterangannya sesuai pasal 112

KUHAP yaitu :

(47)

(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Kemudian dijelaskan juga dalam Pasal 27 Ayat (1) Perkap 14/2012 bahwa

Pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dilakukan secara

tertulis dengan menerbitkan surat panggilan atas dasar laporan polisi, laporan hasil

penyelidikan, dan pengembangan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam berita

acara.

Tahapan Penahanan dalam upaya paksa. Sebagaimana diatur dalam

Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP, ketentuan tentang penahanan oleh penyidik

yaitu :

Ayat (1) : Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagimana dimaksud dlam Pasal 20 hanya berlaku paling lama 20 hari, Ayat (2) : Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesei, dapat diperpanjang oleh penuntut umum ynag berwenang untuk paling lama empat puluh hari.

Kemudian dalam Pasal 44 Perkap 14/2012 juga diatur tentang pertimbangan

penyidik dalam melakukan penahanan terhada tersangka yaitu :

a. Tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri,

b. Tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya, c. Tersangka dikhawatirkan akan meghilangkan barang bukti, dan d. Tersangka diperkirakan mempersulit penyidikan.

Dalam hal penyidik menggunakan kewenangannya untuk melakukan penahanan,

maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi penyidik, yakni syarat objektif dan

syarat subjektif. Syarat objektif diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang

berbunyi sebagai berikut :

(48)

a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal

296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).

Tahapan Penggeledahan dalam upaya paksa. Dalam hal melaksanakan

kewenangan melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau

penggeledahan barang, penyidik memiliki ketentuan yang dijelaskan pada Pasal

33 KUHAP, yaitu :

a. Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.

b. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.

c. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.

d. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.

e. Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dati turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Tahapan Penyitaan dalam upaya paksa. Di dalam Pasal 38 ayat (1)

KUHAP diatur bahwa “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan

surat izin ketua pengadilan negeri setempat.” Selanjuntnya didalam pasal 39 ayat

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Perbandingan Skripsi Penulis dengan Penelitian terdahulu 2
Gambar 1 : KERANGKA BERPIKIR
Gambar 2 : Analisis Data Kualitatif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis statistik yang digunakan adalah Friedman dan jika signifikan maka dilakukan uji LSD (Least Significant Difference). Hasil terbaik uji organoleptik dilakukan

Kepemimpinan yang tidak aman pada traffic accident PT Pamapersada Nusantara jobsite Kideco tahun 2012 sebanyak 22.95% disebabkan oleh kepemimpinan yang tidak adekuat, 18.03%

Dalam upaya pengembangan produksi kopi menjadi industri hulu dan hilir perlu adanya keseriusan dari pemerintah maupun dari pihak-pihak yang terkait, melalui (i) perlu

Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan,.. konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya disusun

Oleh karena itulah, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menge- tahui perbedaan hasil kualitas hidup antara berbagai metode manajemen nyeri pada pasien nyeri

berpedoman pada kurikulum 2013 dan dikembangkan sesuai dengan konsisi lingkungan sekolah masing-masing, Perencanaan pembelajaran matmatika disusun sebagai pedoman

a) Administrasi niaga internasional (business international administration) adalah seluruh kegiatan dan tindakan dari organisasi internasional dalam perniagaan

Hasil dari Pengujian Hipotesis menentukan bahwa Hipotesis Alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan oleh teka teki silang dalam penguasan kata