• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dan Indikator Toleransi Beragama

Dalam dokumen BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PEND (Halaman 31-47)

TOLERANSI DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, bukti-bukt

A. Konsep dan Indikator Toleransi Beragama

Untuk memperjelas pembahasan pada sub bab ini, penulis membaginya menjadi dua bagian, yaitu konsep dan indikator toleransi beragama.

1. Konsep Toleransi Beragama

Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan Allah dalam beraneka macam suku, bangsa dan bahasa dengan tujuan untuk saling mengenal satu sama lain.2 Dalam proses pengenalannya tersebut tidak jarang terjadi gesekan dan benturan antara satu

1

Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta, Kencana, 2004), 163.

2Q.S. al-Hujura<t (49) : 13. Ayat tersebut adalah:

                      

20

individu/kelompok dengan individu/kelompok lain hingga memakan korban. Pada perkembangan berikutnya, dengan bercermin pada pengalaman-pengalaman pahit masa lalu manusia kemudian melahirkan konsep toleransi.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran yang berarti “bersifat” atau “bersikap menenggang” (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri, sedangkan toleransi diartikan sebagai batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.3

Dalam bahasa Arab toleransi disebut dengan “tasa>muh{”, yang berarti bersikap membiarkan, murah hati, ramah, lunak dan berhati ringan.4 Pengertian toleransi menurut pendapat di atas lebih menekankan pada adanya kepedulian terhadap orang lain.

Bagi Bertelsmann Stiftung toleransi adalah nilai inti dari masyarakat majemuk yang memungkinkan untuk membangun interaksi dan integrasi antara berbagai macam budaya dan pendapat.5 Menurut pendapat ini, toleransi timbul di tengah-tengah keragaman budaya dan gagasan manusia.

Pengertian dasar tentang toleransi ditegaskan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

(UNESCO) yang mengartikan toleransi sebagai sikap “saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia”.6 Secara tidak langsung, menurut batasan ini toleransi harus didukung oleh landasan pengetahuan yang luas, lapang dada,

3Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat bahasa, 2008), 1538.

4Sahibi Naim, Toleransi dalam Pergaulan antar Umat Beragama , (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983), 60.

5

Bertelsmann Stiftung, “A Modern Concept of Tolerance Basis for Democratic Interaction in Pluralistic Societies,”

http://www.bertelsmannstiftung.de/bst/de/media/xcms_bst_dms_17284_17285_2 .pdf (Diakses tanggal 12 Maret 2012).

6UNESCO, “Learning To live Together In Peace and Harmony: Values Education for Peace, Human Rights, Democracy and Sustainable Development for the Asia-Pacific Region,”

http://unesdoc.unesco.org/images/0011/001143/114357eo.pdf (Diakses 27 Maret 2012).

21 adanya dialog, kebebasan menyampaikan ide, pemikiran dan beragama. Dengan demikian, toleransi dapat diartikan sebagai sikap positif dalam menghargai perbedaan dengan orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasinya sebagai manusia.

Dalam Islam, toleransi didefinisikan dengan tasa>muh{ al-Isla>m. Kata tasa>muh{ memiliki arti kemurahan, pengampunan, kasih sayang, dan perdamaian. Jika dikaitkan dengan hubungan antar agama toleransi memiliki arti kemurahan, pengampunan, kasih sayang dan perdamaian Islam terhadap pemeluk agama lain.7 Artinya, Islam adalah agama yang tidak hanya mengedepankan hubungan yang baik antara makhluk dan Khalik semata, tetapi juga terhadap pemeluk yang berbeda agama.

Dalam pandangan Gereja Katolik sebagaimana dikemukakan oleh Agustinus Ulahayanan kerukunan dan toleransi antar umat beragama adalah penting bagi: pertama, praktek hidup beragama secara benar, konsekwen dan efektif. Kedua, tercapainya tujuan dari agama, yakni terwujudnya keselamatan/kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, yang dapat dicapai melalui cinta kasih, yang tidak lain adalah intimitas relasi antara manusia dengan Allah dalam intimitas relasi antara manusia dengan manusia. Ketiga, terwujudnya kebutuhan yang hakiki dan cita-cita setiap insan manusia, yaitu damai sejahtera lahir dan batin dalam “dunia” yang harmonis, rukun dan damai.8

Pendapat tersebut didasarkan kepada Konsili Vatikan II, dimana gereja Katolik sangat menekankan dan turut memperjuangkan kerukunan dan toleransi antar umat beragama, karena dan demi keharmonisan, persaudaraan, damai sejahtera, persatuan, dan “keselamatan” segenap umat manusia. Kerukunan dan toleransi antar umat beragama dilihat sebagai suatu kebutuhan hakiki dan universal. Dikatakan oleh Konsili Vatikan II:

7Abd al-Basit bin Yusuf al-Gharib, Tasa>muh{ al-Isla>m ma’a Ghayr al-

Muslimi>n: Hasyr wa Istiqra’ al-Nusu>s wa al-Atsa>r al-Muta’alliqah bi Ta’a>mul al-Muslimi>n ma’a Ghayrihim,” http://salafy.ws/filesdl/MATERI%. (Diakses tanggal 9 Juli 2012)

8

Agustinus Ulahayanan, “Membangun Kerukunan dan Toleransi

Antarumat Beragama di Maluku,”

http://stpakambon.wordpress.com/membangun-kerukunan-dan-toleransi-antar- umat-beragama-di-maluku/. (Diakses tanggal 28 Juli 2012).

22

“Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra-kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara. Hubungan manusia dengan Allah Bapa dan hubungannya dengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga Allah berkata: “Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah.” (1 Yoh 4:8).9

Jadi, menurut Agustinus, tiadalah dasar bagi setiap teori atau praktek, yang mengadakan pembedaan mengenai martabat manusia serta hak-hak yang bersumber padanya antara manusia dengan manusia, antara bangsa dengan bangsa karena Gereja sangat mengecam setiap setiap diskriminasi antara orang-orang atau penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, sebagai berlawanan dengan semangat Kristus. Oleh karena itu Konsili suci, mengikuti jejak para Rasul kudus Petrus dan Paulus, meminta dengan sangat kepada Umat beriman kristiani, supaya bila ini mungkin “memelihara cara hidup yang baik di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi” (1Ptr 2:12).10 Oleh karenanya, pendapat yang mengatakan tidak ada toleransi beragama dalam perspektif Katolik perlu dikaji kembali.

Sedangkan toleransi menurut agama Kristen seperti dikemukan oleh Stanley R. Rambitan adalah merupakan sikap rela menerima kenyataan bahwa ada pihak-pihak lain yang berbeda di sekitar kita. Toleransi di sini mengandung di dalamnya makna sabar, rela, atau pasrah menerima. Walaupun, menurutnya, istilah toleransi, dalam rangka pluralitas agama memiliki makna negatif.11

Namun demikian, menurut pandangan Kristen, Yesus telah mencontohkan dalam hidupnya dengan tidak menolak kehadiran bangsa/umat lain ada di sekitarnya. Yesus juga tidak memberikan penilaian negatif, atau ia menganggap buruk atau jahat bangsa- bangsa lain itu. Yesus menerima keberadaan bangsa-bangsa lain

9Agustinus Ulahayanan, “Membangun Kerukunan dan Toleransi

Antarumat Beragama di Maluku,”

10Agustinus Ulahayanan, “Membangun Kerukunan dan Toleransi

Antarumat Beragama di Maluku,”

11Stanley R. Rambitan, “ Pluralisme dan Toleransi Beragama dalam

Pandangan Kristen,” http://stanleyrambitan.blogspot.com/2011/07/pluralitas- toleransi-kristen.html. (Diakses tanggal 28 Juli 2012).

23 dan mau bergaul dengan mereka, dan bahkan mengambil contoh yang baik dari bangsa asing itu bagi ajaran moral-etisnya. Misalnya, ilustrasi “Orang Samaria yang baik hati.12

Bahkan terhadap kelompok yang dianggap sebagai musuh oleh masyarakat dan agama-adat Yahudi, seperti bangsa/orang Samaria yang mau bertemu dan bercakap-cakap. Jadi, bangsa-bangsa lain oleh Yesus, dan juga kemudian oleh rasul-rasul (murid-murid atau sahabat- sahabatnya), diakui dan dipahami sebagai pihak yang perlu mendengar berita kesukaan atau injil yang dibawanya.13

Ajaran teologi Kristen juga mengajarkan kepada umatnya untuk mengakui dan menerima eksistensi orang atau agama yang berseberangan. Karena mereka adalah umat/bangsa yang perlu diperlakukan secara baik, dibantu dari kemiskinan, kebodohan, kesakitan dan penderitaan, agar mereka dapat hidup damai sejahtera.14

Toleransi beragama juga diajarkan dalam agama Hindu, seperti yang dikemukan oleh Paduarsana bahwa dalam berbagai pustaka suci Hindu juga banyak terdapat sloka-sloka yang mencerminkan toleransi dan sikap yang adil oleh Sang Hyang Widhi. Umat Hindu menghormati kebenaran dari mana pun datangnya dan menganggap bahwa hakikat semua agama bertujuan sama, yaitu menuju Tuhan, namun dengan berbagai sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda.15 Menurut Hindu semua makhluk adalah sama di mata Tuhan dan itu ditegaskan di dalam Weda.16

Dari paparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa setiap agama memiliki konsep dan perhatian yang serius mengenai toleransi beragama untuk terwujudnya kehidupan yang aman dan

12Lihat, Alkitab, Lukas 10:25-37.

13Stanley R. Rambitan, “ Pluralisme dan Toleransi Beragama dalam

Pandangan Kristen,”

14

Stanley R. Rambitan, “ Pluralisme dan Toleransi Beragama dalam Pandangan Kristen,”

15Paduarsana, “Toleransi dalam Agama Hindu,” http://paduarsana.wordpress.com/2012/05/23/toleransi-dalam-agama-hindu/ (Diakses tanggal 28 Juli 2012).

16Bhagawadgita, 7:21. Berbunyi “Yo yo yām yām

tanum bhaktah

śraddhayārcitum icchati,tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham. ( Artnya: Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap).

24

tentram dalam perbedaan. Dengan demikian, pernyataan yang mengatakan bahwa agama memiliki peran dalam setiap sikap dan perbuatan intoleran perlu diteliti dan dikaji ulang kembali agar tidak menjadi stigma yang tidak baik bagi agama tertentu. Dari beberapa kasus, agama hanya dijadikan sebagai alat untuk memobilisasi massa dan alat pembenaran serta sebagai

rallyingpoint,17 istilah Azyumardi azra, dari sebuah tindakan intoleran.

Menurut M. Quraish Shihab, ada lima bentuk toleransi beragama yang dikembangkan, yaitu: sintesis, rekonsepsi, sinkritisme, substitusi, dan agree in disagreement.18 Penjelasan tentang konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut: pertama, sintesis. Konsep ini menganggap bahwa kesatuan umat beragama dapat terwujud dengan menciptakan agama baru dengan unsur- unsur yang diambil dari berbagai agama yang ada. Unsur-unsur yang diambil adalah bahagian yang dapat diterima dan disepakati dalam pembentukan agama baru itu. Sedangkan unsur-unsur yang tidak disepakati dari agama-agama yang bergabung itu dianggap sebagai ajaran yang perlu dihilangkan dan tidak berlaku lagi bagi pemeluknya.

Kesulitan dalam menentukan unsur-unsur agama mana yang dapat dikembangkan sebagai tolok ukur merupakan kelemahan dari konsep tersebut. Karena bukan hal yang mustahil, setiap penganut agama akan mempertahankan keyakinannya dengan segenap jiwa raganya sehingga akibatnya akan memunculkan persoalan- persoalan baru yang dapat memperluas perbedaan yang telah ada.

Kedua, rekonsepsi. Konsep ini mencanangkan perlunya interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran agama yang ada, dan disesuaikan dengan kondisi sosial keagamaan agar tidak terjadi konflik. Orientasi agama diarahkan kepada situasi kekinian sehingga terciptalah kedamaian diantar pemeluk agama.

17Azyumardi Azra, dalam Usman Ks., Wahyu Iwa Sumantri, dkk., Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat Beragama (Jakarta: PT. Intermasa, 2000), xi.

18M. Quraish Shihab, Prinsip-prinsip Kerukunan Dalam Ajaran Agama Islam (Ujung Pandang: Kanwil Depag Sulawesi Selatan, 1980), 3. Sedangkan menurut Anis Malik Thoha bentuk-bentuk toleransi tersebut adalah sebagai cikal bakal dari lahirnya paham pluralism beragama. Lihat Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Depok: Perspektif, 2005), 3.

25 Kelemahan dan kekurangan dari konsep ini menurut hemat penulis adalah seolah-olah agama sebagai produk/buatan manusia itu sendiri sehingga bisa diutak-atik semaunya yang pada akhirnya bukan agama sebagai penyelamat manusia tetapi agama yang diselamatkan oleh manusia.

Ketiga, sinkretisme. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “syn”

dan “kretizein” yang artinya mempersatukan bersama unsur-unsur yang tidak cocok. Teori ini diperkenalkan oleh Plutarch pada abad ke-2.19 Sinkretisme adalah konsep toleransi yang menghendaki pembauran pelbagai ajaran agama menjadi satu. Dengan pembauran dalam bentuk satu atap ini agama yang membaur tersebut tidak lagi memegang peranan, kecuali sekedar menunjukkan identitas yang dimiliki. Setiap orang dapat memilih ajaran agama sesuai keinginannya tetapi harus tetap pada ajaran- ajaran agama yang turut dalam pembauran tadi.

Bila konsep Sinkretisme diterapkan, bukan tidak mungkin agama kehilangan misi sucinya, sehingga setiap orang bisa mencampur adukkan ajaran agama yang satu dengan ajaran agama yang lain. Pada akhirnya hanya akan melahirkan umat yang memiliki sikap apatis terhadap agamanya sendiri.

Keempat, substitusi. Konsep ini mengajarkan agar sebaiknya umat hanya mengikuti saja salah satu ajaran agama yang ada, yaitu ajaran agama sendiri dengan mengabaikan ajaran agama lain dan ajaran agama itu dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Tentunya, konsep seperti ini hanya akan melahirkan pengikut dengan fanatik buta sehingga prinsip kebebasan beragama menjadi hilang. Agama pada konsep ini tidak akan bisa hidup berdampingan satu dengan lainnya, tapi justru malah menghendaki penghapusan hak hidup dari agama lain.

Kelima, agree in disagreement. Konsep ini bisa diartikan “setuju dalam perbedaan”. Yaitu seseorang meyakini bahwa agama

19Ezra Tari, Sinkretisme sebagai Tantangan dan Kemungkinan, http://ppgtjemaatria.blogspot.com/2010/08/sinkretisme-sebagai-tantangan- dan.html (Diakses tanggal 27 Maret 2010). Bagi Anis, konsep ini tidak lebih dari sekedar “Unitarian” yang mengarah pada persatuan agama-agama atau “adonan spiritual” yang pada akhirnya menjelma menjadi berhala atau sesembahan yang disakralkan dan tak boleh disentuh. Lihat Anis Malik Thoha “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, 263-264.

26

yang dipeluknya adalah agama yang paling benar, namun pada saat yang bersamaan, ia tidak mempermasalahkan bila ada orang lain yang tidak sefaham dengannya dan memiliki keyakinan bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.20 Maksudnya demi tegaknya toleransi di kalangan umat beragama harus ada pengakuan atas eksistensi masing-masing agama. Perbedaan yang ada di antara agama yang satu dengan yang lainnya merupakan masalah yang harus dihormati oleh semua pihak dan masing-masing pemeluk agama diberi kebebasan penuh untuk mengamalkan ajaran agamanya masing-masing.

Konsep agree in disagreement dikemukakan oleh Mukti Ali (Mantan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1971 – 1978). Konsep ini mempunyai implikasi: (1) Menenggang, memahami, menghormati, dan menghargai agama-agama lain yang dalam ajarannya terdapat perbedaan dan persamaan. (2) menghormati para pemeluk agama lain untuk meraih surga melalui agama yang diyakini kebenarannya itu. (3) Penyiaran agama hendaknya dengan cara fair, alami, bermoral, dan mengindahkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, tanpa paksaan, iming-iming material, dan manipulasi.21 Karena itu dalam pelaksanaanya, konsep ini menghendaki keterbukaan semua pihak agar komunikasi dapat berlangsung dengan baik.

Konsep lain yang dapat dikembangkan untuk terwujudnya toleransi beragama adalah dengan mengembangkan pluralisme, inklusivisme dan dialog antarumat beragama secara benar dan konsekuen.

1. Pluralisme

Dalam pandangan Islam, pluralistik atau kemajemukan adalah suatu kenyataan yang sengaja diciptakan Tuhan (sunnatullah) agar

20A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan

Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), 227- 229.

21Ibnu Djarir, “Esensi Agree in Disagreement.”

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/09/22/124241/Esensi- Agree-in Disagreement(Diakses tanggal 16 April 2012).

27 manusia saling mengenal,22 menghargai dan mengayomi disertai dengan berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan,23 sebagai manifestasi ketaqwaan seorang hamba terhadap Tuhannya. Perwujudan dari konsep tersebut akan melahirkan nilai-nilai konstruktif- transformatif yang memungkin terciptanya hubungan yang harmonis antarumat beragama. Sebaliknya, menghindari timbulnya perbuatan destruktif yang akan membawa kepada konflik karena adanya superioritas yang mendominasi minoritas.24 Bagi Muhaimin, sikap pluralistik adalah:

…bukan berarti mengajak seseorang untuk beragama dengan jalan sinkretisme, yakni semua agama adalah sama, dan mencampurbaurkan segala agama menjadi satu. Demikian juga bukan mengajak seseorang untuk melakukan sintesis (campuran) dalam beragama, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari berbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagaian ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis

(campuran) itu. Agama sintesis tidak mungkin dapat diciptakan, karena tiap-tiap agama mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri yang tidak begitu saja dengan mudah diputuskan dan tiap-tiap agama terikat kepada hukum-hukum sejarahnya sendiri.25

22

Q.S. al-Hujura<t (49) : 13. Ayat yang dimaksud adalah:

            

23Q.S. al-Baqarah (2) : 148. Ayat tersebut adalah:

                      

24Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Al-Qur’an Dalam Pendidikan Islam (Jakarta:Ciputat, 2005), 122.

25Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: Rajawali Perss, 2009), 317.

28

Lahirnya pluralisme agama menurut Anis Malik Thoha dilatarbelakangi oleh munculnya pluralisme politik (political pluralism) di Eropa pada abad ke-18 Masehi, yaitu pada masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, yang memunculkan suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. Namun kondisi pluralistik semacam ini hanya terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa. Baru kemudian pada abad ke-20 berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.26 Dalam hal ini agama dianggap sebagai pengekang bagi munculnya kebebasan berekspresi.

Tapi, masih menurut Anis, gagasan pluralisme agama sebenarnya bukan hanya hasil dominasi pemikir Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India, sebagaimana yang muncul pada gerakan- gerakan pembaharuan sosio-religius di wilayah ini. Beberapa peneliti dan sarjana Barat, seperti Parrinder dan Sharpe, justru menganggap bahwa pencetus gagasan pluralisme agama adalah tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir yang berbangsa India.27 Hanya saja, gaungnya kalah dengan pemikir Barat.

Bagi Anis pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (ko-eksistensi) antaragama (dalam arti yang luas) yang berbeda- beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama,28 hal tersebut berbeda dengan yang difatwakan oleh MUI dimana pluralisme diartikan sebagai suatu “paham” yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk

26Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, 16-17. 27Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, 21-22. 28Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, 14.

29 agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.29 Dengan demikian ada perbedaan yang signifikan antara pluralisme sebagai konsep dengan pluralisme sebagai paham.

Agar konsep pluralisme dapat dipraktekkan dengan baik, menurut Alwi Shihab ada hal-hal yang perlu dipahami oleh masing-masing umat beragama, antara lain: Pertama, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif seseorang dalam kemajemukan tersebut. Kedua, pluralisme berbeda dengan kosmopolitanisme yang meniadakan interaksi positif dalam wilayah kemajemukan. Ketiga, pluralisme juga berbeda dengan relativisme, dalam hal ini kebenaran ditentukan oleh kerangka berfikir seseorang yang tidak mengenal dan menerima suatu kebenaran yang menyeluruh (universal) yang berlaku untuk semua tempat dan zaman.30 Keempat, pluralisme agama bukan agama baru yang mengelaborasi ajaran agama lain untuk disatukan dalam satu agama baru tersebut, karena pluralisme berbeda dengan pula dengan sinkretisme.31

Pluralisme agama dalam pendidikan agama mengindikasikan bahwa pendidikan yang dilangsungkan dalam proses pengajaran tidak bersifat eksklusif akan tetapi mengembangkan sikap inklusifisme terhadap berbagai latar belakang kultur, agama, ras dan lain sebagainya.32 Sehingga tujuan dari pembelajaran agama selain dapat mencetak peserta didik yang beriman kuat, juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama.

Dengan demikian, pluralisme beragama adalah menanamkan kesadaran kepada umat beragama bahwa pluralistik merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa ditawar-tawar dan dihindarkan sebagai perwujudan dari kehendak Tuhan agar manusia mengambil makna positif untuk dijadikan ladang kebajikan dengan

29Lihat Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. MUI dalam fatwanya tersebut memutuskan bahwa Pluralisme Agama adalah faham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

30Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999), 41-42.

31

Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antaragama: Studi atas Pemikiran Mohammed Arkoun (Yogyakarta: Bentang, 2000), 167.

32Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Al-Qur’an Dalam Pendidikan Islam, 122.

30

mengembangkan sikap saling berkomunikasi dan menghargai perbedaan dengan cara arif bijaksana, toleran, dan saling menghormati satu sama lain.

2. Inklusivisme

Konsep lain dalam membangun toleransi beragama adalah inklusivisme. Konsep ini dibangun di atas pemikiran atau sikap yang memandang bahwa dalam ajaran setiap agama terdapat nilai- nilai universal yang bisa diakui dan dianut oleh siapa saja dan dari pemeluk mana saja disertai pandangan bahwa kebenaran yang dianut oleh suatu agama adalah juga dianut agama lain. Sehingga terdapat titik temu antara agama-agama yang ada dalam aspek tertentu dari ajaran-ajarannya. Pada tahap ini, setiap pemeluk agama harus mengetahui dan memahami wilayah mana yang termasuk normatifitas dan sakralitas, dan pada saat yang sama juga mengetahui wilayah historitas dan profanitas.33 Artinya, setiap pemeluk agama seharusnya mempelajari dan memahami dengan benar tentang ajaran agamanya, dan untuk menambah keyakinannya maka ia harus mempelajari pula ajaran agama orang lain.

Inklusivisme menurut Anis Malik Thoha merupakan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu pihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar (the truth) secara absolut, tapi, di pihak lain ia

Dalam dokumen BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PEND (Halaman 31-47)