• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PEND

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PEND"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Oleh:

ABDUL FATAH

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i

ABSTRAK

Kesimpulan besar tesis ini adalah bahwa pembelajaran pendidikan agama yang kontekstual dan humanistik mampu menciptakan budaya toleransi beragama di lingkungan sekolah yang plural.

Tesis ini memiliki persamaan akademis dengan: pertama, Thorsten Knauth yang menyatakan bahwa untuk menanamkan nilai-nilai toleransi yang sebenarnya maka diperlukan pendekatan yang kontekstual sehingga siswa dapat terlibat langsung dengan materi pelajaran yang telah mereka dapatkan. (Thorsten Knauth, Tolerance a Key concept for dealing with cultural and religious diversity in education”, 2010). Kedua, M. Arfah Shiddiq yang menyimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara relijius, sejak semula, memang telah dibangun di atas landasan normatif dan historis sekaligus. (M. Arfah Shiddiq, “Konflik dan Konformitas antara Islam dan Kristen,” Disertasi, 2000). Ketiga, Nur Enlaila yang menyatakan bahwa nilai-nilai toleransi yang tercantum dalam kurikulum KTSP SMU dapat diimplementasikan dalam pengajaran dan pembelajaran PAI dengan pendekatan kontekstual. (Nur Enlaila, “Kurikulum Pendidikan Agama Berbasis Multikultural,” Tesis, 2010).

Tesis ini berbeda dengan kesimpulan akademis lain, yaitu: pertama, hasil survey PPIM yang menyatakan bahwa guru-guru agama pada SMU di Jawa konservatif dalam pembelajaran, jauh di atas masyarakat Jawa pada umumnya. (PPIM, “Sikap dan Prilaku Sosial Keagamaan Guru-guru Agama di Jawa,” 2008). Kedua, Siti Musdah Mulia yang menyatakan bahwa pendidikan agama saat ini masih minim mengajarkan toleransi beragama sehingga harus dirubah. (Musdah Mulia, “Kurikulum Pendidikan Agama Masih Mengerikan,” 2012).

(3)

ii

Sumber utama tesis ini adalah data-data lapangan yang terkait dengan eksistensi SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan. Data primer diperoleh dari sumber utama yaitu kepala sekolah, Guru Pendidikan Agama Islam, Wakil kepala sekolah bidang Hubungan Masyarakat, ketua Rohis dan beberapa siswa di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan. Sedangkan data skunder diperoleh melalui kajian-kajian dari berbagai sumber tertulis baik berupa tesis, disertasi, jurnal-jurnal, buku-buku, artikel, dan internet.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), karena data-data utama penelitian ini sepenuhnya bertumpu pada data lapangan. Adapun paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kualitatif, karena penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan makna (meaning) dan untuk mendeskripsikan fenomena, latar belakang, dan potensi positif dari pengembangan pembelajaran PAI di tempat tersebut.

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi dan wawancara mendalam (indepth interview) serta observasi. Dokumentasi akan digunakan dengan cara membaca dan menggali informasi dari dokumen-dokumen, agenda kegiatan keagamaan guru dan siswa, silabus dan kurikulum yang terkait dengan penelitian ini. Wawancara mendalam digunakan untuk menggali informasi yang utuh dari komunitas tersebut, yang berasal dari kepala sekolah, guru PAI, ketua Rohis dan siswa. Sedangkan observasi yang dipilih adalah pengamatan langsung pada objek penelitian, yakni siswa dan Guru Pendidikan Agama Islam di lokasi tersebut.

(4)

iii

KATA PENGANTAR

Mengawali tulisan ini, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas ridha dan inayah-Nya, buku yang berjudul “Budaya Toleransi dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam” ini dapat diselesaikan.

Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang ikut berperan dalam proses penyelesaian buku ini, terkhususkan kepada: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA (Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta), Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta) beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan mengasah pengetahuan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Suwito, MA., Prof. Dr. Amany Lubis, Prof. Dr. Abuddin Nata, MA., Dr. Nurlena Rifa’i, MA.,Ph.D, MA, Dr. Fuad Jabali, Dr. Yusuf Rahman, MA., dan Suparto, M.Ed, Ph.D yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam melakukan penulisan sebuah karya ilmiah.

Ayahanda H. Duduh Abdul Kohar dan bunda Ny. Suwaebah yang telah meletakkan dasar-dasar ilmu, iman dan rasa cinta kepada penulis. Ikhtiar dan doanya mampu memberikan semangat dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada program Magister.

Nurmillah (isteri tercinta), dan anak-anak tersayang (Nurlaila Balqis, Muhammad Muslim Az-zakki, Faeyza Putra Alfath), ayahanda Baden dan ibunda Fatim (mertua) yang senantiasa memberikan dorongan semangat kepada penulis untuk terus menimba ilmu. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh keluarga yang tidak dapat penulis cantumkan secara keseluruhan.

(5)

iv

untuk tetap konsisten menulis tesis. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.

Semoga seluruh dukungan moral dan material yang diberikan kepada penulis menjadi amal saleh yang bermanfaat. Amin.

Jakarta, 6 September 2012 M. 19 Syawal 1433 H.

(6)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK_i

KATA PENGANTAR_iii DAFTAR ISI_v

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN_vii DAFTAR SINGKATAN_ix

DAFTAR TABEL_xi

BAB I PENDAHULUAN_1

A. Latar Belakang Masalah_1 B. Permasalahan_8

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan_10 D. Tujuan Penelitian_13

E. Signifikansi Penelitian_13 F. Metodologi Penelitian_ 14 G. Lokasi dan Waktu Penelitian_16 H. Sistematika Penulisan_17

BAB II TOLERANSI DALAM PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM_ 19

A. Konsep dan Indikator Toleransi Beragama_19 B. Toleransi Beragama dalam Pandangan Agama

Islam_35

C. Toleransi Beragama dalam Dunia Sekolah_39 D. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah_46 E. Toleransi Beragama sebagai Budaya dalam

Pembelajaran_50

BAB III DESAIN PEMBELAJARAN PAI BERBASIS

TOLERANSI DI SMA NEGERI 1 KOTA TANGERANG SELATAN_55

A. Sejarah Singkat SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan_55

B. Belajar dan Pembelajaran_58

C. Pendekatan Pembelajaran PAI dalam

(7)

vi

D. Metode Pembelajaran PAI dalam Membangun Budaya Toleransi_80

BAB IV IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN PAI DI

SMA NEGERI 1 KOTA TANGERANG

SELATAN_89

A. Pembelajaran PAI yang Humanistik dan Kontekstual_89

B. Evaluasi Pembelajaran yang Holistik_98

C. Ekstrakurikuler Keagamaan Berbasis

Toleransi_110

D. Realitas Toleransi Beragama dalam Kehidupan Sekolah_120

E. Kendala dan Solusi Pembelajaran PAI Berbasis Toleransi_123

BAB V PENUTUP_125

A. Kesimpulan_125 B. Saran-saran_126

Daftar Pustaka_129 Indeks_ 147

(8)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Konsonan

b = ب

t = ت

th = ث

j = ج

h{ = ح

kh = خ

d = د

dh = ذ

r = ر

z = ز

s = س

sh = ش

s{ = ص

d{ = ض

t{ = ط

z{ = ظ

‘ = ع

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

m = م

n = ن

h = ه

w = و

y = ي

(9)
(10)

ix

DAFTAR SINGKATAN

AMBAK : Apa Manfaat BagiKu

CBSA : Cara Belajara Siswa Aktif

CTL : Contextual Teaching Learning

DI/TII : Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia

FPI : Front Pembela Islam

HAM : Hak Azasi Manusia

ICT : Information and Communication Technology

IT : Information Technology

KBM : Kegiatan Belajar Mengajar

MMI : Majelis Mujahidin Indonesia

PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan

Menyenangkan

(11)
(12)

xi

DAFTAR TABEL

3.1. Jumlah siswa berdasarkan agama yang dianut_ 57

3.2. Perbedaan antara pembelajaran CTL dengan Konvensional_ 72

4.1. Contoh format penilaian praktek sholat_ 103

4.2. Contoh format penilaian portofolio hasil karya siswa_ 106

4.3. Contoh penilaian portofolio proses belajar peserta didik_ 107

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, interaksi antar umat beragama tentu menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Upaya membangun interaksi yang kondusif dan harmonis harus terus diupayakan. Dinamika di masyarakat terkadang menunjukkan realitas yang berbeda. Masyarakat Indonesia yang dikenal religius dan memiliki keramahan, tidak immune dari potensi konflik bermotifkan agama. Gesekan antar anggota atau kelompok masyarakat yang memicu konflik bermotifkan agama sudah sering terjadi, baik antar umat seagama maupun antar agama.1 Potensi konflik bermotifkan agama ini bisa dikatakan sangat laten.

Konflik-konflik bermotifkan agama dapat dipicu oleh beraneka macam. Menurut Nunu pemicu agama bisa disebabkan oleh penistaan terhadap simbol-simbol agama, diantaranya kasus pembuatan karikatur Nabi Muhammad yang dirilis oleh sebuah tabloid di Denmark dan film Fitna yang dibuat Geert Wilders dari Belanda dianggap sebagai propaganda anti Islam yang dimaksudkan untuk membangun kebencian dan sikap-sikap permusuhan dalam skala luas antar kelompok agama.2

Berbeda dengan di atas, menurut Murni Djamal, selain peristiwa 11 September 2001 dan perang di Afganistan dan Irak, faktor lain yang mempengaruhi terjadinya konflik antar agama karena disebabkan oleh trauma historis dari mulai peperangan antara Islam dan Bizantium abad ke-7, Perang Salib abad 11-13, kolonialisme Barat terhadap negara Islam abad 18-20 dengan gerakan misionarismenya yang kemudian diikuti pendudukan Palestina oleh Zionisme yang didukung Barat, dan belakangan sikap Barat yang ambigius dalam penerapan HAM dan demokrasi, di mana demokrasi dan HAM tidak berlaku bagi dunia Islam

1Nunu Ahmad An-Nahidl, dkk. Pendidikan Agama di Indonesia: Gagasan dan Realitas (Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), 259-260.

(14)

2

tertentu, tetapi hanya berlaku untuk dunia Barat, dan Barat pun malah menyokong Negara anti demokrasi di negara-negara Islam.3

Sedangkan untuk kasus di Indonesia, konflik dengan mengatasnamakan agama bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya, pertama, keinginan untuk menjadikan syari’ah sebagai dasar Negara Indonesia, seperti gerakan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (DI/TII). Kedua, karena adanya tekanan dari penguasa yang otoriter, seperti gerakan FPI, Laskar Jihad, dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Ketiga, solidaritas internasional.4 Isu Palestina yang dijajah Israel adalah salah satu faktor yang sangat penting yang disuarakan oleh kelompok Islam.

Keempat, sentimen anti Barat (Amerika dan sekutunya)5 yang telah menyerang dan menganeksasi negara-negara muslim di Timur Tengah khususnya. Dan hal lain yang menjadi penyebab terjadinya konflik adalah penafsiran yang sempit dan kering terhadap ajaran agama.6 Kelima, adanya balapan untuk mengembangkan agama masing-masing antara Islam dan Kristiani.7 Dalam kebanyakan kasus, menurut Azra agama dijadikan rallyingpoint dan titik solidaritas, ketika konflik dan kekerasan terus berkelanjutan, agama didorong tampil ke depan, sehingga menimbulkan kesan bahwa agama menjadi faktor dan motif terpenting bagi tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi,8 sementara pemerintah, tokoh agama dan ormas keagamaan, terutama NU dan Muhammadiyah dianggap gagal mengatasinya karena tidak memiliki early warning system

(sistem peringatan dini) untuk mengetahui problem mendasar dari

3

Murni Djamal, dalam Karlina Helmanita, Pluralisme dan Inklusivisme (Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung (KAS), 2003), v.

4Djamhari Makruf, “Radikalisme Islam di Indonesia: Fenomena

Sesaat?”, dalam Agama dan Radikalisme di Indonesia, Editor Bahtiar Effendi dan Soetrisno Hadi (Jakarta: Nuqtah, 2007), 8.

5Djamhari Makruf, “Radikalisme Islam di Indonesia: Fenomena

Sesaat?”, dalam Agama dan Radikalisme di Indonesia, 8-10. 6

Imam Jazuli, “Mendesaknya Pendidikan Toleransi,” http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/4/33734/Kolom/Mendesaknya_Pendi dikan_Toleransi.html (diakses tanggal 19 Nopember 2011).

7Azyumardi Azra, dalam Usman Ks., Wahyu Iwa Sumantri, dkk., Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat Beragama (Jakarta: PT. Intermasa, 2000), xi.

(15)

3 berbagai kasus intoleransi,9 sehingga tidak bisa memberi jawaban dan terapi pemecahan yang cepat dan benar.

Timbulnya konflik sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar, positif, dan bahkan “harus” terjadi dalam alam demokrasi.10

Dengan adanya konflik, manusia akan belajar bagaimana mengatasi konflik tersebut agar tidak terulang kembali. Namun, konflik menjadi tidak wajar manakala ia harus mengorbankan harta benda bahkan nyawa dengan melanggar hukum, etika, dan tata susila yang telah dibangun dan disepakati bersama selama bertahun-tahun.

Dalam pandangan Masykuri Abdillah, pada masyarakat multikultural, pemenuhan semua aspirasi dan kepentingan bukanlah hal yang mudah. Ini berarti bahwa beberapa di antaranya mungkin tidak dapat dipenuhi dan hal ini dapat menyebabkan kondisi yang tidak memuaskan, yang kemudian dapat mengarah pada protes atau bahkan konflik dan kekerasan antara anggota kelompok sosial dan politik. Benar bahwa proses politik dalam sistem demokrasi seperti pemilu dan kebijakan publik yang dilaksanakan secara bebas dan terbuka dimaksudkan untuk membuat konflik seperti itu dapat dikelola dan dibudayakan melalui badan legislatif dan yudikatif. Namun tidak semua konflik dapat diatasi melalui badan-badan ini, khususnya apabila kasus-kasus yang terjadi menyangkut isu etnis dan agama. Realisasi dari konflik yang dikelola di antara kelompok sosial yang anggotanya sebagian besar berpendidikan rendah tidaklah mudah, sebab masing-masing kelompok bisa saja menampakkan egoismenya.11 Hal ini menunjukkan sebuah kondisi di mana proses demokratisasi tidak berjalan dengan lancar.

9Moderate Muslim Society (MMS), “Laporan Toleransi dan Intoleransi

Tahun 2010: Ketika Negara Membiarkan Intoleransi,” Lihat http://www.moderatemuslim.net/mms/images/stories/pdf/Laporan%20Toleransi %20dan%20Intoleransi%20Tahun%202010.pdf. (Diakses tanggal 26 Maret 2012).

10Sjahrir, Transisi Menuju Indonesia Baru (Jakarta: Yayasan Obor, 2004), 168.

11Masykuri Abdillah, “Toleransi Beragama dalam Masyarakat

(16)

4

Hal lain yang menyebabkan demokratisasi di Indonesia tidak berjalan sesuai harapan sebagaimana Azyumardi Azra tegaskan yang dikutip Dede Rosyada adalah karena politik mono-kulturnya di zaman Soekarno dan Soeharto. Falsafat Bhineka Tunggal Ika hanya menjadi slogan tapi tidak pernah mewujud dalam kenyataan empirik hubungan sosial maupun pranata sosial lainnya. Penghormatan dan penghargaan terhadap keragaman etnik, budaya dan agama tidak sama dan seimbang. Sehingga muncul kesenjangan antara mayoritas dengan minoritas. Ketika simpul-simpul yang mengikat demokratisasi itu dibuka dan dilepas zaman reformasi, maka gagasan multikulturalisme kini mengemuka, dan langsung memasuki wilayah pendidikan, yang seharusnya teori-teori multikulturalismenya itu dirumuskan terlebih dahulu oleh para ahli bidang ilmu-ilmu sosial politik.12

Konflik yang bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) akan senantiasa membayangi bangsa Indonesia sebagai konsekuensi logis dari sebuah negara yang majemuk dan heterogen. Hanya saja, saat ini konflik telah merasuk ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Tawuran dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siswa/mahasiswa sudah menjurus kepada tindak kriminal dan tidak lagi mencerminkan seorang terpelajar. Siswa/mahasiswa yang sejatinya tugasnya hanya belajar, kini mulai disibukkan dengan “kegiatan” tambahan, yaitu tawuran.

Sekolah, sebagai lembaga yang diamanahkan untuk mendidik anak-anak bangsa seolah-olah telah kehilangan wibawanya. Fenomena seperti ini bisa kita lihat setiap hari melalui layar televisi. Mulai dari kasus kekerasan antara kakak kelas terhadap adik kelasya, hingga penyerangan terhadap sekolah lain. Sikap intoleransi para siswa ini disinyalir karena guru masih rendah mengajarkan semangat kebangsaan dan bersifat konservatif,13 dan masih adanya kecenderungan sikap ekslusivisme baik dalam memahami ayat maupun dalam mengaktualisasikan hubungan antar

12Dede Rosyada, Pendidikan Multicultural Melalui Pendidikan Agama (Sebuah Gagasan Konsepsional) Ta’dib Volume 11, No. 1 Juni 2008 , hal. 2-3

(17)

5 umat beragama yang cenderung anti toleransi.14 Hal tersebut juga diperkuat oleh Atho’ Mudzhar, menurutnya moral dan akhlak peserta didik menjadi merosot karena disebabkan oleh kurikulum pendidikan agama yang terlampau padat materi, pembelajaran yang lebih berorientasi pada pemikiran ketimbang membangun kesadaran beragama yang utuh, nilai-nilai keagamaan yang tidak menjiwai metodologi pendidikan agama, dan minimnya sumber bacaan agama di sekolah.15 Akibatnya, peserta didik menjadi rapuh dan mudah diprovokasi.

Ada juga yang berpendapat bahwa ketidakberhasilan pendidikan agama dalam menanamkan sikap inklusif kepada peserta didiknya dikarenakan isi pendidikan agama di sekolah terlalu akademis, terlalu banyak topik, banyak pengulangan yang tidak perlu, serta jumlah jam pelajaran yang terbatas,16 sehingga proses pendidikan agama saat ini masih sebatas mentransfer materi pelajaran ke otak berupa hapalan-hapalan tanpa disertai pemberian pemahaman yang baik.17 Peserta didik dipaksa untuk mendapat nilai tinggi ketika ujian, namun dalam praktiknya tidak disertai dengan moral yang baik.

Tentunya hal tersebut bertolak belakang dengan pesan dan cita-cita luhur pendidikan nasional. Sebagaimana Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

14M. Zulfa, Islam dan Pluralisme Agama dalam AlQur’an Implikasinya terhadap Toleransi Umat Islam (Jakarta: Perpustakaan SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 135.

15Atho Mudzhar, Hasil Studi Litbang Agama dan Diklat Kegamaan (Tempo: 24 November 2004).

16Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia ( Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), 12.

(18)

6

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.18

Lembaga pendidikan dianggap belum bisa mengembangkan nilai-nilai moral dan spiritual peserta didik, sehingga melahirkan generasi yang pragmatik dan oportunistik. Nilai manfaat dan keuntungan ekonomis menjadi yang utama dan mengalahkan nilai-nilai lain yang penting untuk kemanusiaan seperti: kasih-sayang, kesetiaan, kebenaran, keadilan, kejujuran, hormat terhadap martabat dan kehidupan manusia, kesetiakawanan, dan penguasaan diri.19 Dunia pendidikan dinilai gagal melahirkan anak bangsa yang berhati mulia dan toleran kepada yang beda.

Sudah menjadi komitmen bersama bahwa pendidikan mempunyai peran yang mulia dan agung. Sifat yang agung ini ditunjukkan dari peran pendidikan yang dipahami sebagai pemberian bekal peserta didik untuk menghadapi masa depannya, juga peran pendidikan dipahami sebagai sarana untuk pencerdasan seseorang, negara dan bangsa. Sehingga, dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin baik perilaku dan kehidupannya. Dan semakin baik perikehidupan suatu bangsa, maka semakin kokohlah peradaban suatu negara.

Dari sinilah diperlukan sebuah pendidikan yang dapat memanusiakan manusia, yaitu pendidikan yang mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didik dalam lingkup manusia seutuhnya, dengan melestarikan dan mengembangkan secara terus menerus nilai-nilai kehidupan sesuai dengan kodratnya, dan senantiasa menjaga keharmonisan untuk meraih kehidupan yang abadi dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan khalik-Nya,20 karena -hakikatnya- pendidikan tidak dapat dilepaskan dari perhatian adanya keberadaan orang lain

18

Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003,Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: CV. Eko Jaya, 2003), 7.

19F. Winarni, Reorientasi Pendidikan Nilai Dalam Menyiapkan

Kepemimpinan Masa Depan,” lihat www.journal.uny.ac.id/index.php/cp/article, (Diakses tanggal 28 Oktober 2011)

20Muhadjir Effendy, “Tantangan Pendidikan Masa Kini dalam

(19)

7 yang ikut campur dan memengaruhi pembentukan diri kita.21 Seyogianya, lembaga pendidikan sebagai agen perubahan (agent of change) kehidupan bermasyarakat turut bertanggungjawab terhadap merosotnya nilai-nilai toleransi dan sikap inklusivisme yang kembali marak terjadi akhir-akhir ini.

Sudah saatnya pendidikan berperan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal pendidikan harus mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Sudah saatnya pendidikan memberikan jalan keluar yang mencerdaskan melalui desain metode dan materi pembelajaran, serta kurikulum yang dapat menyadarkan masyarakat akan pentingya memiliki sikap saling toleran sebagai aplikasi dari nilai-nilai dasar pendidikan yang menanamkan sikap hormat terhadap perbedaan suku, agama, ras, etnis dan budaya bangsa Indonesia yang majemuk. Sebab nilai-nilai dasar dari pendidikan ini adalah penanaman dan pembumian nilai toleransi, empati, simpati dan solidaritas sosial.22 Pendidikan seharusnya berperan sebagai media transformasi sosial budaya dan multikulturalisme, dan sebagai proses humanisasi seseorang yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan masyarakat yang berbudaya, kini dan masa depan.23 Sehingga tercipta kerukunan yang sebenarnya.

Berdasarkan hasil Kongres Pendidikan Islam Sedunia II di Islamabad yang diselenggarakan 15-20 Maret 1980 sebagaimana dikutip Abuddin Nata menetapkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa, akal pikiran, perasaan, dan fisik manusia.24 Dengan demikian, pendidikan harus mengupayakan tumbuhnya seluruh potensi manusia, baik yang bersifat spiritual, intelektual, daya khayal, fisik, ilmu pengetahuan, maupun bahasa, baik secara perorangan maupun kelompok, dan

21Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: PT Grasindo, 2007), 62.

22A. Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberati, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2004), hlm. 16

23

H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 20.

(20)

8

mendorong tumbuhnya seluruh aspek tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak pada terlaksananya pengabdian yang penuh kepada Allah, baik pada tingkat perseorangan, kelompok maupun kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya.25

Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran yang wajib diselenggarakan di sekolah-sekolah umum mulai dari tingkat SD hingga tingkat SMA dituntut untuk bisa memberikan kontribusi konkrit terhadap pengembangan sikap toleransi keagamaan peserta didik sehingga menjadi sebuah budaya di sekolah. Hal tersebut karena mata pelajaran PAI dan pelajaran agama lainnya memiliki peranan yang sangat penting karena di dalamnya selain mengajarkan tentang norma/aturan, moral, akhlak, etika dan kesantunan juga bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dengan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi insan yang demokratis serta bertanggungjawab.

Pengembangan pendidikan agama Islam sebagai budaya sekolah berarti mengembangkan PAI di sekolah, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga pijakan nilai, semangat, sikap dan perilaku bagi para aktor sekolah seperti kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua, murid dan peserta didiknya.26 Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan pada diri setiap siswa sejak dini sehingga menjadi budaya dalam pembelajaran di sekolah yang berurat dan berakar untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

B. Permasalahan

Supaya penulisan tesis ini menjadi fokus, maka langkah-langkah menentukan permasalahan adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka masalah penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut: pertama, bagaimana nilai-nilai toleransi dapat ditanamkan pada diri siswa. Kedua, bagaimana metode pembelajaran PAI

25Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, 62.

(21)

9 dalam menanamkan nilai-nilai toleransi kepada siswa. Ketiga, bagaimana pendekatan yang digunakan oleh guru PAI dalam mengajarkan nilai-nilai toleransi pada siswa. Keempat, faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam usaha meningkatkan sikap toleransi keberagamaan siswa dan faktor-faktor apakah yang dirasakan dapat mendukung keberhasilan usaha mereka dalam meningkatkan sikap toleransi. Kelima, bagaimana kegiatan ekstrakurikuler keagamaan menanamkan nilai-nilai toleransi pada siswa. Keenam, apakah materi ajar PAI telah mengandung nilai-nilai toleransi.

2. Batasan Masalah

Untuk menghindari penafsiran yang menyimpang, maka perlu diberi batasan mengenai permasalahan dalam penelitian ini. Budaya toleransi yang penulis maksudkan adalah sikap atau perilaku dan tindakan yang mengakui, menghargai dan menghormati adanya perbedaan dalam beragama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya yang diwujudkan melalui kehidupan yang kondusif dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama dalam pergaulan di sekolah. Sedangkan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam tulisan ini adalah segala aktivitas yang ditujukan untuk menambah pemahaman dan pengetahuan siswa di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan baik melalui kegiatan intrakurikuler/mata pelajaran maupun melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Mengingat banyaknya permasalahan seperti tersebut di atas, penelitian dibatasi pada: bagaimana proses pembelajaran PAI dalam menanamkan nilai-nilai toleransi di sekolah.

3. Rumusan Masalah

(22)

10

pertanyaan penelitian harus clear.27 Dengan pertanyaan yang jelas akan memudahkan mengetahui permasalahan apa saja yang terdapat dalam pertanyaan peneliti, sehingga mudah didefinisikan, ditafsirkan, dan dijelaskan secara baik.

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka rumusan penelitian terfokus pada: bagaimana sekolah menanamkan nilai-nilai toleransi melalui pembelajaran PAI sehingga menjadi suatu budaya?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, kajian mengenai konsep pendidikan agama dan toleransi dengan berbagai variannya telah banyak dilakukan. Sebagian besar tema kajian terfokus pada multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia. Sedangkan penelitian tentang budaya toleransi dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) belum banyak yang mengkaji.

Penelitian yang terkait dengan guru-guru mata pelajaran PAI pada sekolah umum, PPIM-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan bahwa 62,4% guru agama Islam masih bersifat konservatif dan sangat rendah mengajarkan semangat kebangsaan.28 Penelitian tersebut di lakukan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Solo dan Cirebon dengan jumlah responden 500 guru agama SMA/SMK di Jawa selama kurun Oktober 2008 dan melakukan wawancara terstruktur terhadap 200 siswa.

Penelitian ini setidaknya dapat dijadikan satu pijakan bagi pemerintah untuk mempersiapkan guru PAI yang lebih profesional. Namun demikian, penelitian ini dianggap tidak mewakili pendapat guru-guru pendidikan agama Islam secara nasional karena hanya dilakukan di pulau Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Moderate Muslim Society (MMS) dalam “Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010: Ketika Negara Membiarkan Intoleransi” menyimpulkan bahwa telah terjadi peningkatan

27

Jack R. Fraenkel dan Norman E. Wallen dalam Yatim Rianto, Metode Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 33.

(23)

11 tindakan intoleransi keberagamaan di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 81 kasus dibandingkan dengan 2009 yang hanya 59 kasus, sebesar 30%.29

Hasil kajian MMS tersebut dengan gamblang menjelaskan siapa dan organisasi apa saja yang terlibat dalam tindakan intoleransi tersebut disertai dengan data-data jumlah korban jiwa, harta benda dan sarana ibadah lainnya. Meski demikian, MMS tidak secara tegas menjelaskan apa yang menjadi penyebab timbulnya sikap intoleran di kalangan umat Islam tersebut.

M. Zulfa menyimpulkan dalam tesisnya bahwa kecenderungan sikap eksklusivisme, baik dalam memahami ayat maupun dalam mengaktualisasikan hubungan antar umat beragama yang cenderung anti toleransi, merupakan akar psikologis yang menjadi kendala untuk terwujudnya dialog antar agama.30 Berdasarkan hasil kajiannya beliau merekomendasikan untuk diadakannya kajian ulang terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang lebih komprehensif dan intensif agar makna “rahmatan lil‘a<lami>n” sebagai identitas ajaran

agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. dapat terwujud dalam kehidupan global.

M. Arfah Shiddiq dalam disertasinya menyimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik, secara relijius, sejak semula memang telah dibangun di atas landasan normatif dan historis sekaligus. Jika ada hambatan atau anomali-anomali di sana-sini, penyebab utama bukan karena inti ajaran Islam itu sendiri yang bersifat intoleran dan eksklusif, tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari komunitas umat Islam di berbagai tempat.31

29

Moderate Muslim Society (MMS), “Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010: Ketika Negara Membiarkan Intoleransi,” Lihat http://www.moderatemuslim.net/mms/images/stories/pdf/Laporan%20Toleransi %20dan%20Intoleransi%20Tahun%202010.pdf. (Diakses tanggal 26 Maret 2012).

30

M. Zulfa, Islam dan Pluralitas Agama dalam AlQur’an Implikasinya terhadap toleransi Umat Islam, 135.

31M. Arfah Shiddiq, “Konflik dan Konformitas Antara Islam dan

(24)

12

Disertasi M. Arfah Shiddiq tersebut sekaligus menepis dugaan yang selama ini menyebutkan bahwa Islam adalah agama yang intoleran dan mengajarkan kekerasan.

Rusmin Tumanggor dan kawan-kawan yang melakukan penelitian di lima wilayah konflik, yaitu: Sambas (Kalimantan Barat), Sampit (Kalimantan Tengah), Poso (Sulawesi Tengah), Ambon (Maluku Selatan), dan Ternate (Maluku Selatan). Kesimpulan dari hasil penelitiannya adalah bahwa konflik diakibatkan oleh distribusi baik ekonomi, sosial, dan politik yang dipandang tidak adil dan bertepatan dengan perbedaan identitas.32

Hasil penelitian Rusmin Tumanggor dan kawan-kawan, tersebut memperkuat pendapat M. Arfah Shiddiq di dalam disertasinya bahwa konflik dan kerusuhan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia tidak murni karena faktor agama sebagai pemicu utamanya.

Terkait dengan kurikulum, tesis Nur Enlaila menyimpulkan bahwa nilai-nilai multikultural sudah terimplementasi dalam KTSP Pendidikan Agama Islam tingkat SMU, baik secara implisit maupun eksplisit.33 Namun demikian, Nur Enlaila tidak menjelaskan apakah proses pembelajaran PAI selama ini mengajarkan intoleransi atau sebaliknya.

Muhammad Fauzi,34 dalam penelitiannya yang berjudul: “Telaah Filosofis Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum: Studi Kritis Kurikulum PAI SMU 1994,” menyatakan bahwa dilihat dari asas dan prinsip pengembangannya, kurikulum PAI SMU 1994 kurang mempertimbangkan asas dinamika masyarakat. Hal ini terlihat dari materi aqidah, ibadah dan akhlak, kurang menyentuh tataran realitas masyarakat yang hidup di era global. Dan bila dilihat dari asas sosiologis, kurikulum PAI SMU 1994 secara representatif sebagiannya sudah sesuai dengan realitas sosial masyarakat Indonesia yang berbhineka, terutama dalam hal pluralisme.

32Rusmin Tumanggor, Jaenal Arifin dan Imam Soeyoeti, “Dinamika

Konflik Etnis dan Agama di Lima Wilayah Konflik Indonesia”.

33Nur Enlaila, “Pendidikan Islam Berbasis Multikultural”, tesis SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

(25)

13 Tesis Syarif Abdurahmanul Hakim menyimpulkan bahwa kurikulum PAI di SMU tidak mengandung unsur-usur radikalisme. Fanatisme dan militansi tumbuh bukan karena pendidikan agama di sekolah-sekolah melainkan adanya pengaruh dari luar.35 Tesis ini sekaligus menjelaskan bahwa pembelajaran PAI sama sekali jauh dari budaya intoleran.

Zakiyuddin Baidhawy,36 dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Agama Berwawasan Multikultur,” menulis tentang suatu konsep pendidikan yang dirancang khusus untuk menciptakan struktur dan proses yang membuka kesempatan yang sama pada semua ekspresi kultur, komunitas peradaban maupun individu semata. Dan untuk menanamkan toleransi beragama diperlukan metode dan pendekatan yang pas dan tepat dalam menyampaikan materi pembelajaran agama di dunia pendidikan.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal, yaitu pertama, untuk membuktikan bahwa nilai-nilai toleransi telah diajarkan di sekolah melalui pembelajaran PAI. Kedua, untuk menganalisa sejauh mana nilai-nilai toleransi beragama diterapkan di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan. Ketiga, untuk menganalisa metode dan pendekatan yang diterapkan oleh guru PAI SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan dalam menanamkan nilai-nilai toleransi beragama sehingga menjadi suatu budaya.

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat terhadap pengembangan khazanah keilmuan terutama mengenai kajian pembelajaran PAI dalam menanamkan nilai-nilai toleransi kepada peserta didik baik secara teoritis maupun praktis. Sehingga seluruh stakeholder pendidikan dapat lebih memahami dan dapat mengembangkan pendidikan yang sudah ada menjadi lebih bermakna bagi peserta didik. Sehingga kegiatan peembelajaran PAI

35Syarif Abdurahmanul Hakim, “Unsur Radikalisme dalam Kurikulum

SMU”, Tesis SPs UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2010.

(26)

14

akan mendapatkan hasil yang maksimal guna mewujudkan manusia Indonesia yang humanis dan inklusif.

F. Metodologi Penelitian

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, metodologi penelitian meliputi:

1. Jenis Penelitian.

Berdasarkan pada tujuan penelitian, jenis penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, maka cara yang dilakukan adalah penelitian lapangan (field research),37 yaitu upaya untuk mengungkapkan secara faktual tentang budaya toleransi dalam pembelajaran PAI. Penelitian ini bermula dari kenyataan yang ada di lapangan dan sudah diketahui banyak pihak, yang nantinya akan menghasilkan sebuah konsep baru tentang pembelajaran PAI berbasis toleransi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami data sentral, dengan mengajukan pertanyaan yang umum dan agak luas.38 Paradigma penelitian kualitatif dilaksanakan melalui proses induktif yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi dikembangkan atas dasar masalah yang terjadi di lapangan.39 Penelitian kualitatif mengeksplorasi sikap, prilaku dan pengalaman melalui wawancara.

Metode ini mencoba untuk mendapatkan pendapat yang mendalam (in-depth opinion) para partisipan.40Adapun pendekatan yang digunakan adalah studi kasus (case study) dengan maksud untuk menggali secara mendalam opini, interpretasi, sikap serta tindakan responden terhadap potensi positif atau negatif dari hubungan yang telah terjalin di kawasan tersebut.

37

Carol A. Bailey, A Guide to Qualitative Field Research (Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press, 2006), 1.

38Conny R. Semiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Grasindo, 2010), 7.

39

Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan sosial, Kuantitatif dan Kualitatif (Jakarta: GP Pers 2008), 187.

40

(27)

15 2. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:pertama, sumber data primer, adalah data-data dan informasi hasil dari wawancara, observasi dan studi dokumentasi yang ditemukan di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan. Kedua, sumber data skunder penelitian ini adalah buku-buku atau literatur-literatur yang membahas tentang tradisi keagamaan dan kependidikan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui:

a. Wawancara

Dalam penelitian ini wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang terstruktur dan dilakukan secara mendalam ( in-depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara yang ditulis secara sistematis.41 Selain itu penulis juga menggunakan lembar catatan dan alat perekam42 untuk meminimalisir kemungkinan kekeliruan penulis dalam mencatat hasil wawancara yang sudah dilakukan.

Sebelum wawancara dilakukan terlebih dahulu menyiapkan instrumen-instrumen pertanyaan yang berkaitan langsung dengan permasalahan terhadap implementasi toleransi beragama dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Untuk memudahkan penulis dalam mendapatkan informasi, maka wawancara akan dilakukan dengan kepala SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan 1 orang, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat 1 orang, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum 1 orang, Guru PAI 2 orang, siswa Muslim kelas X 3 orang, kelas XI 2 orang, kelas XII 2 orang, serta siswa Kristen, Katholik dan Hindu masing-masing 1 orang.

41Pedoman wawancara digunakan agar dapat mengarahkan dan memudahkan dalam mengingat pokok-pokok permasalahan yang diwawancarakan dengan interview. Lihat Louis Cohen dkk, Research Methods in Education (London: Lontletge, 2003), 122.

(28)

16

b. Observasi

Observasi yang dilakukan adalah mengadakan pengamatan langsung pada objek penelitian, yakni siswa dan Guru Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan. Untuk menjaga validitas data, penulis juga menggunakan buku catatan lapangan.43 Pengamatan yang dilakukan difokuskan pada berbagai peristiwa yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan.

c. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dalam rangka mencari data mengenai hal-hal berupa catatan keagamaan siswa, transkip nilai agama, dan agenda kegiatan keagamaan guru dan siswa di sekolah baik yang bersifat intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.

4. Pendekatan dan Analisa Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative) yang merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau tulisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.44 Pendekatan ini untuk mengungkap budaya toleransi dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan secara mendalam sehingga diperoleh model pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah umum, baik konsep maupun penerapannya dalam sistem pendidikan.

Kemudian untuk mendeskripsikan tentang budaya toleransi dalam pembelajaran PAI di sekolah dan pola-pola pengembangannya dalam mewujudkan sikap toleran digunakan teknik descriptif analysis, yaitu mendeskripsikan temuan-temuan di lapangan, melakukan pengamatan (observing), menafsirkan (interpretating), dan selanjutnya melakukan analisis akhir.

G. Lokasi dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian ini adalah SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan yang beralamat di Jl. Pendidikan 49, Ciputat Tangerang

43Norman K. Denzim & Yvonna S. Lincoln, The SAGE Handbook of Qualitative Research (Thousan Oaks: SAGE, 2005), 742.

(29)

17 Selatan Banten, dengan nomor telephone 021-7401602 dan E-mail: www.sman1kotatangsel.com.

Penelitian ini dimulai dengan studi pendahuluan45 pada bulan Desember 2011- Januari 2012, dan memasuki tahap lapangan dengan mengumpulkan data siswa berdasarkan jenis kelamin, suku, agama dan informasi penting lainnya yang berkenaan dengan fokus penelitian dimulai pada bulan Februari 2012 dan berakhir pada April 2012.

Alasan mengapa penulis memilih SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan adalah karena, pertama, keberadaan SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan terletak di pusat Kota Ciputat, berdekatan dengan Kantor Kecamatan Ciputat, Koramil, Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Ciputat, Mesjid Agung Ciputat, Stadion Mini Ciputat, Pasar dan Pusat Pembelanjaan Ciputat, sehingga menjadikannya sebagai sekolah multikultur dan pluralis yang didambakan setiap orang tua dari berbagai suku, ras, dan agama yang berada di kota Tangerang Selatan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut.

Kedua, kondisi pergaulan para siswa yang harmonis dan dinamis di tengah-tengah keberagaman budaya dan agama tentu tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan sebagai hasil dari proses pembelajaran yang panjang dan berkesinambungan yang diajarkan oleh segenap guru tak terkecuali guru PAI.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan laporan penyajian hasil penelitian ini, penulis akan menyusunnya dalam lima bab, sehingga menghasilkan gambaran yang jelas, terarah, logis dan saling berhubungan antara satu bab dengan bab yang lain. Penulisan ini terdiri dari satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan, dan satu bab kesimpulan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab kesatu, merupakan landasan umum dari penulisan ini, terdiri dari pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

(30)

18

permasalahan, rumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, metodologi penelitian, tempat dan waktu penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua penulis akan memaparkan tentang toleransi dalam pendidikan agama Islam, terdiri dari: konsep dan indikator toleransi beragama, toleransi beragama dalam pandangan Islam, toleransi beragama dalam dunia sekolah, tujuan pendidikan agama Islam di sekolah, toleransi beragama sebagai budaya dalam pembelajaran.

Bab ketiga, penulis akan membahas tentang desain pengembangan toleransi di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan yang memuat: sejarah singkat SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan, belajar dan pembelajaran, pendekatan pembelajaran PAI dalam mengembangkan budaya toleransi, dan metode pembelajaran PAI dalam membangun budaya toleransi.

Bab keempat, menjabarkan hasil penelitian di sekolah yang diteliti dengan pokok bahasan implementasi pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan dengan memuat: pembelajaran PAI yang humanistik dan kontekstual, evaluasi pembelajaran yang holistik, ekstrakurikuler keagamaan berbasis toleransi, realitas toleransi beragama dalam kehidupan sekolah, dan, kendala dan solusi pembelajaran PAI berbasis toleransi.

(31)

19 BAB II

TOLERANSI DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, bukti-bukti sejarah sangat kaya tentang itu. Sebelum masuknya Hindu, Budha, Islam dan Kristen ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki keyakinan terhadap kekuatan ghaib yang ada di sekitar mereka. Setidaknya mereka mempercayai adanya kekuatan yang berasal dari roh-roh nenek moyang dan kekuatan yang tersimpan dan bersemayam di benda-benda pusaka dan patung-patung yang mereka buat sendiri. Pandangan hidup religius ini menjadi mental dan pribadi bagi seluruh rakyat Indonesia yang demikian dijadikan falsafah kehidupan bangsa.1 Karena itulah salah satu asas dan ditempatkan pada urutan yang paling atas dari Pancasila adalah Ketuhan Yang Maha Esa.

Untuk itu, pada bagian ini akan dipaparkan konsep dan indikator toleransi, toleransi dalam pandangan agama Islam, toleransi beragama dalam dunia sekolah, tujuan Pendidikan Agama Islam, dan toleransi agama sebagai budaya dalam pembelajaran menurut beberapa ahli muslim maupun non muslim.

A. Konsep dan Indikator Toleransi Beragama

Untuk memperjelas pembahasan pada sub bab ini, penulis membaginya menjadi dua bagian, yaitu konsep dan indikator toleransi beragama.

1. Konsep Toleransi Beragama

Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan Allah dalam beraneka macam suku, bangsa dan bahasa dengan tujuan untuk saling mengenal satu sama lain.2 Dalam proses pengenalannya tersebut tidak jarang terjadi gesekan dan benturan antara satu

1

Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta, Kencana, 2004), 163.

2Q.S. al-Hujura<t (49) : 13. Ayat tersebut adalah:

(32)

20

individu/kelompok dengan individu/kelompok lain hingga memakan korban. Pada perkembangan berikutnya, dengan bercermin pada pengalaman-pengalaman pahit masa lalu manusia kemudian melahirkan konsep toleransi.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran yang berarti “bersifat” atau “bersikap menenggang” (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri, sedangkan toleransi diartikan sebagai batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.3

Dalam bahasa Arab toleransi disebut dengan “tasa>muh{”, yang berarti bersikap membiarkan, murah hati, ramah, lunak dan berhati ringan.4 Pengertian toleransi menurut pendapat di atas lebih menekankan pada adanya kepedulian terhadap orang lain.

Bagi Bertelsmann Stiftung toleransi adalah nilai inti dari masyarakat majemuk yang memungkinkan untuk membangun interaksi dan integrasi antara berbagai macam budaya dan pendapat.5 Menurut pendapat ini, toleransi timbul di tengah-tengah keragaman budaya dan gagasan manusia.

Pengertian dasar tentang toleransi ditegaskan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

(UNESCO) yang mengartikan toleransi sebagai sikap “saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia”.6 Secara tidak langsung, menurut batasan ini toleransi harus didukung oleh landasan pengetahuan yang luas, lapang dada,

3Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat bahasa, 2008), 1538.

4Sahibi Naim, Toleransi dalam Pergaulan antar Umat Beragama , (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983), 60.

5

Bertelsmann Stiftung, “A Modern Concept of Tolerance Basis for Democratic Interaction in Pluralistic Societies,”

http://www.bertelsmannstiftung.de/bst/de/media/xcms_bst_dms_17284_17285_2 .pdf (Diakses tanggal 12 Maret 2012).

6UNESCO, “Learning To live Together In Peace and Harmony: Values Education for Peace, Human Rights, Democracy and Sustainable Development for the Asia-Pacific Region,”

(33)

21 adanya dialog, kebebasan menyampaikan ide, pemikiran dan beragama. Dengan demikian, toleransi dapat diartikan sebagai sikap positif dalam menghargai perbedaan dengan orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasinya sebagai manusia.

Dalam Islam, toleransi didefinisikan dengan tasa>muh{ al-Isla>m. Kata tasa>muh{ memiliki arti kemurahan, pengampunan, kasih sayang, dan perdamaian. Jika dikaitkan dengan hubungan antar agama toleransi memiliki arti kemurahan, pengampunan, kasih sayang dan perdamaian Islam terhadap pemeluk agama lain.7 Artinya, Islam adalah agama yang tidak hanya mengedepankan hubungan yang baik antara makhluk dan Khalik semata, tetapi juga terhadap pemeluk yang berbeda agama.

Dalam pandangan Gereja Katolik sebagaimana dikemukakan oleh Agustinus Ulahayanan kerukunan dan toleransi antar umat beragama adalah penting bagi: pertama, praktek hidup beragama secara benar, konsekwen dan efektif. Kedua, tercapainya tujuan dari agama, yakni terwujudnya keselamatan/kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, yang dapat dicapai melalui cinta kasih, yang tidak lain adalah intimitas relasi antara manusia dengan Allah dalam intimitas relasi antara manusia dengan manusia. Ketiga, terwujudnya kebutuhan yang hakiki dan cita-cita setiap insan manusia, yaitu damai sejahtera lahir dan batin dalam “dunia” yang harmonis, rukun dan damai.8

Pendapat tersebut didasarkan kepada Konsili Vatikan II, dimana gereja Katolik sangat menekankan dan turut memperjuangkan kerukunan dan toleransi antar umat beragama, karena dan demi keharmonisan, persaudaraan, damai sejahtera, persatuan, dan “keselamatan” segenap umat manusia. Kerukunan dan toleransi antar umat beragama dilihat sebagai suatu kebutuhan hakiki dan universal. Dikatakan oleh Konsili Vatikan II:

7Abd al-Basit bin Yusuf al-Gharib, Tasa>muh{ al-Isla>m ma’a Ghayr al

-Muslimi>n: Hasyr wa Istiqra’ al-Nusu>s wa al-Atsa>r al-Muta’alliqah bi Ta’a>mul al-Muslimi>n ma’a Ghayrihim,” http://salafy.ws/filesdl/MATERI%. (Diakses tanggal 9 Juli 2012)

8

Agustinus Ulahayanan, “Membangun Kerukunan dan Toleransi

Antarumat Beragama di Maluku,”

(34)

22

“Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra-kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara. Hubungan manusia dengan Allah Bapa dan hubungannya dengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga Allah berkata: “Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah.” (1 Yoh 4:8).9

Jadi, menurut Agustinus, tiadalah dasar bagi setiap teori atau praktek, yang mengadakan pembedaan mengenai martabat manusia serta hak-hak yang bersumber padanya antara manusia dengan manusia, antara bangsa dengan bangsa karena Gereja sangat mengecam setiap setiap diskriminasi antara orang-orang atau penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, sebagai berlawanan dengan semangat Kristus. Oleh karena itu Konsili suci, mengikuti jejak para Rasul kudus Petrus dan Paulus, meminta dengan sangat kepada Umat beriman kristiani, supaya bila ini mungkin “memelihara cara hidup yang baik di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi” (1Ptr 2:12).10 Oleh karenanya, pendapat yang mengatakan tidak ada toleransi beragama dalam perspektif Katolik perlu dikaji kembali.

Sedangkan toleransi menurut agama Kristen seperti dikemukan oleh Stanley R. Rambitan adalah merupakan sikap rela menerima kenyataan bahwa ada pihak-pihak lain yang berbeda di sekitar kita. Toleransi di sini mengandung di dalamnya makna sabar, rela, atau pasrah menerima. Walaupun, menurutnya, istilah toleransi, dalam rangka pluralitas agama memiliki makna negatif.11

Namun demikian, menurut pandangan Kristen, Yesus telah mencontohkan dalam hidupnya dengan tidak menolak kehadiran bangsa/umat lain ada di sekitarnya. Yesus juga tidak memberikan penilaian negatif, atau ia menganggap buruk atau jahat bangsa-bangsa lain itu. Yesus menerima keberadaan bangsa-bangsa-bangsa-bangsa lain

9Agustinus Ulahayanan, “Membangun Kerukunan dan Toleransi

Antarumat Beragama di Maluku,”

10Agustinus Ulahayanan, “Membangun Kerukunan dan Toleransi

Antarumat Beragama di Maluku,”

11Stanley R. Rambitan, “ Pluralisme dan Toleransi Beragama dalam

(35)

23 dan mau bergaul dengan mereka, dan bahkan mengambil contoh yang baik dari bangsa asing itu bagi ajaran moral-etisnya. Misalnya, ilustrasi “Orang Samaria yang baik hati.12

Bahkan terhadap kelompok yang dianggap sebagai musuh oleh masyarakat dan agama-adat Yahudi, seperti bangsa/orang Samaria yang mau bertemu dan bercakap-cakap. Jadi, bangsa-bangsa lain oleh Yesus, dan juga kemudian oleh rasul-rasul (murid-murid atau sahabat-sahabatnya), diakui dan dipahami sebagai pihak yang perlu mendengar berita kesukaan atau injil yang dibawanya.13

Ajaran teologi Kristen juga mengajarkan kepada umatnya untuk mengakui dan menerima eksistensi orang atau agama yang berseberangan. Karena mereka adalah umat/bangsa yang perlu diperlakukan secara baik, dibantu dari kemiskinan, kebodohan, kesakitan dan penderitaan, agar mereka dapat hidup damai sejahtera.14

Toleransi beragama juga diajarkan dalam agama Hindu, seperti yang dikemukan oleh Paduarsana bahwa dalam berbagai pustaka suci Hindu juga banyak terdapat sloka-sloka yang mencerminkan toleransi dan sikap yang adil oleh Sang Hyang Widhi. Umat Hindu menghormati kebenaran dari mana pun datangnya dan menganggap bahwa hakikat semua agama bertujuan sama, yaitu menuju Tuhan, namun dengan berbagai sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda.15 Menurut Hindu semua makhluk adalah sama di mata Tuhan dan itu ditegaskan di dalam Weda.16

Dari paparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa setiap agama memiliki konsep dan perhatian yang serius mengenai toleransi beragama untuk terwujudnya kehidupan yang aman dan

12Lihat, Alkitab, Lukas 10:25-37.

13Stanley R. Rambitan, “ Pluralisme dan Toleransi Beragama dalam

Pandangan Kristen,”

14

Stanley R. Rambitan, “ Pluralisme dan Toleransi Beragama dalam Pandangan Kristen,”

15Paduarsana, “Toleransi dalam Agama Hindu,” http://paduarsana.wordpress.com/2012/05/23/toleransi-dalam-agama-hindu/ (Diakses tanggal 28 Juli 2012).

16Bhagawadgita, 7:21. Berbunyi “Yo yo yām yām

tanum bhaktah

(36)

24

tentram dalam perbedaan. Dengan demikian, pernyataan yang mengatakan bahwa agama memiliki peran dalam setiap sikap dan perbuatan intoleran perlu diteliti dan dikaji ulang kembali agar tidak menjadi stigma yang tidak baik bagi agama tertentu. Dari beberapa kasus, agama hanya dijadikan sebagai alat untuk memobilisasi massa dan alat pembenaran serta sebagai

rallyingpoint,17 istilah Azyumardi azra, dari sebuah tindakan intoleran.

Menurut M. Quraish Shihab, ada lima bentuk toleransi beragama yang dikembangkan, yaitu: sintesis, rekonsepsi, sinkritisme, substitusi, dan agree in disagreement.18 Penjelasan tentang konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut: pertama, sintesis. Konsep ini menganggap bahwa kesatuan umat beragama dapat terwujud dengan menciptakan agama baru dengan unsur-unsur yang diambil dari berbagai agama yang ada. Unsur-unsur-unsur yang diambil adalah bahagian yang dapat diterima dan disepakati dalam pembentukan agama baru itu. Sedangkan unsur-unsur yang tidak disepakati dari agama-agama yang bergabung itu dianggap sebagai ajaran yang perlu dihilangkan dan tidak berlaku lagi bagi pemeluknya.

Kesulitan dalam menentukan unsur-unsur agama mana yang dapat dikembangkan sebagai tolok ukur merupakan kelemahan dari konsep tersebut. Karena bukan hal yang mustahil, setiap penganut agama akan mempertahankan keyakinannya dengan segenap jiwa raganya sehingga akibatnya akan memunculkan persoalan-persoalan baru yang dapat memperluas perbedaan yang telah ada.

Kedua, rekonsepsi. Konsep ini mencanangkan perlunya interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran agama yang ada, dan disesuaikan dengan kondisi sosial keagamaan agar tidak terjadi konflik. Orientasi agama diarahkan kepada situasi kekinian sehingga terciptalah kedamaian diantar pemeluk agama.

17Azyumardi Azra, dalam Usman Ks., Wahyu Iwa Sumantri, dkk., Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat Beragama (Jakarta: PT. Intermasa, 2000), xi.

(37)

25 Kelemahan dan kekurangan dari konsep ini menurut hemat penulis adalah seolah-olah agama sebagai produk/buatan manusia itu sendiri sehingga bisa diutak-atik semaunya yang pada akhirnya bukan agama sebagai penyelamat manusia tetapi agama yang diselamatkan oleh manusia.

Ketiga, sinkretisme. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “syn”

dan “kretizein” yang artinya mempersatukan bersama unsur-unsur yang tidak cocok. Teori ini diperkenalkan oleh Plutarch pada abad ke-2.19 Sinkretisme adalah konsep toleransi yang menghendaki pembauran pelbagai ajaran agama menjadi satu. Dengan pembauran dalam bentuk satu atap ini agama yang membaur tersebut tidak lagi memegang peranan, kecuali sekedar menunjukkan identitas yang dimiliki. Setiap orang dapat memilih ajaran agama sesuai keinginannya tetapi harus tetap pada ajaran-ajaran agama yang turut dalam pembauran tadi.

Bila konsep Sinkretisme diterapkan, bukan tidak mungkin agama kehilangan misi sucinya, sehingga setiap orang bisa mencampur adukkan ajaran agama yang satu dengan ajaran agama yang lain. Pada akhirnya hanya akan melahirkan umat yang memiliki sikap apatis terhadap agamanya sendiri.

Keempat, substitusi. Konsep ini mengajarkan agar sebaiknya umat hanya mengikuti saja salah satu ajaran agama yang ada, yaitu ajaran agama sendiri dengan mengabaikan ajaran agama lain dan ajaran agama itu dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Tentunya, konsep seperti ini hanya akan melahirkan pengikut dengan fanatik buta sehingga prinsip kebebasan beragama menjadi hilang. Agama pada konsep ini tidak akan bisa hidup berdampingan satu dengan lainnya, tapi justru malah menghendaki penghapusan hak hidup dari agama lain.

Kelima, agree in disagreement. Konsep ini bisa diartikan “setuju dalam perbedaan”. Yaitu seseorang meyakini bahwa agama

(38)

26

yang dipeluknya adalah agama yang paling benar, namun pada saat yang bersamaan, ia tidak mempermasalahkan bila ada orang lain yang tidak sefaham dengannya dan memiliki keyakinan bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.20 Maksudnya demi tegaknya toleransi di kalangan umat beragama harus ada pengakuan atas eksistensi masing-masing agama. Perbedaan yang ada di antara agama yang satu dengan yang lainnya merupakan masalah yang harus dihormati oleh semua pihak dan masing-masing pemeluk agama diberi kebebasan penuh untuk mengamalkan ajaran agamanya masing-masing.

Konsep agree in disagreement dikemukakan oleh Mukti Ali (Mantan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1971 – 1978). Konsep ini mempunyai implikasi: (1) Menenggang, memahami, menghormati, dan menghargai agama-agama lain yang dalam ajarannya terdapat perbedaan dan persamaan. (2) menghormati para pemeluk agama lain untuk meraih surga melalui agama yang diyakini kebenarannya itu. (3) Penyiaran agama hendaknya dengan cara fair, alami, bermoral, dan mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tanpa paksaan, iming-iming material, dan manipulasi.21 Karena itu dalam pelaksanaanya, konsep ini menghendaki keterbukaan semua pihak agar komunikasi dapat berlangsung dengan baik.

Konsep lain yang dapat dikembangkan untuk terwujudnya toleransi beragama adalah dengan mengembangkan pluralisme, inklusivisme dan dialog antarumat beragama secara benar dan konsekuen.

1. Pluralisme

Dalam pandangan Islam, pluralistik atau kemajemukan adalah suatu kenyataan yang sengaja diciptakan Tuhan (sunnatullah) agar

20A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan

Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), 227-229.

21Ibnu Djarir, “Esensi Agree in Disagreement.”

(39)

27 manusia saling mengenal,22 menghargai dan mengayomi disertai dengan berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan,23 sebagai manifestasi ketaqwaan seorang hamba terhadap Tuhannya. Perwujudan dari konsep tersebut akan melahirkan nilai-nilai konstruktif- transformatif yang memungkin terciptanya hubungan yang harmonis antarumat beragama. Sebaliknya, menghindari timbulnya perbuatan destruktif yang akan membawa kepada konflik karena adanya superioritas yang mendominasi minoritas.24 Bagi Muhaimin, sikap pluralistik adalah:

…bukan berarti mengajak seseorang untuk beragama dengan jalan sinkretisme, yakni semua agama adalah sama, dan mencampurbaurkan segala agama menjadi satu. Demikian juga bukan mengajak seseorang untuk melakukan sintesis (campuran) dalam beragama, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari berbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagaian ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis

(campuran) itu. Agama sintesis tidak mungkin dapat diciptakan, karena tiap-tiap agama mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri yang tidak begitu saja dengan mudah diputuskan dan tiap-tiap agama terikat kepada hukum-hukum sejarahnya sendiri.25

22

Q.S. al-Hujura<t (49) : 13. Ayat yang dimaksud adalah:



23Q.S. al-Baqarah (2) : 148. Ayat tersebut adalah:

 Dalam Pendidikan Islam (Jakarta:Ciputat, 2005), 122.

(40)

28

Lahirnya pluralisme agama menurut Anis Malik Thoha dilatarbelakangi oleh munculnya pluralisme politik (political pluralism) di Eropa pada abad ke-18 Masehi, yaitu pada masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, yang memunculkan suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. Namun kondisi pluralistik semacam ini hanya terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa. Baru kemudian pada abad ke-20 berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.26 Dalam hal ini agama dianggap sebagai pengekang bagi munculnya kebebasan berekspresi.

Tapi, masih menurut Anis, gagasan pluralisme agama sebenarnya bukan hanya hasil dominasi pemikir Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India, sebagaimana yang muncul pada gerakan-gerakan pembaharuan sosio-religius di wilayah ini. Beberapa peneliti dan sarjana Barat, seperti Parrinder dan Sharpe, justru menganggap bahwa pencetus gagasan pluralisme agama adalah tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir yang berbangsa India.27 Hanya saja, gaungnya kalah dengan pemikir Barat.

Bagi Anis pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (ko-eksistensi) antaragama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama,28 hal tersebut berbeda dengan yang difatwakan oleh MUI dimana pluralisme diartikan sebagai suatu “paham” yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk

(41)

29 agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.29 Dengan demikian ada perbedaan yang signifikan antara pluralisme sebagai konsep dengan pluralisme sebagai paham.

Agar konsep pluralisme dapat dipraktekkan dengan baik, menurut Alwi Shihab ada hal-hal yang perlu dipahami oleh masing-masing umat beragama, antara lain: Pertama, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif seseorang dalam kemajemukan tersebut. Kedua, pluralisme berbeda dengan kosmopolitanisme yang meniadakan interaksi positif dalam wilayah kemajemukan. Ketiga, pluralisme juga berbeda dengan relativisme, dalam hal ini kebenaran ditentukan oleh kerangka berfikir seseorang yang tidak mengenal dan menerima suatu kebenaran yang menyeluruh (universal) yang berlaku untuk semua tempat dan zaman.30 Keempat, pluralisme agama bukan agama baru yang mengelaborasi ajaran agama lain untuk disatukan dalam satu agama baru tersebut, karena pluralisme berbeda dengan pula dengan sinkretisme.31

Pluralisme agama dalam pendidikan agama mengindikasikan bahwa pendidikan yang dilangsungkan dalam proses pengajaran tidak bersifat eksklusif akan tetapi mengembangkan sikap inklusifisme terhadap berbagai latar belakang kultur, agama, ras dan lain sebagainya.32 Sehingga tujuan dari pembelajaran agama selain dapat mencetak peserta didik yang beriman kuat, juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama.

Dengan demikian, pluralisme beragama adalah menanamkan kesadaran kepada umat beragama bahwa pluralistik merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa ditawar-tawar dan dihindarkan sebagai perwujudan dari kehendak Tuhan agar manusia mengambil makna positif untuk dijadikan ladang kebajikan dengan

29Lihat Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. MUI dalam fatwanya tersebut memutuskan bahwa Pluralisme Agama adalah faham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

30Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999), 41-42.

31

Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antaragama: Studi atas Pemikiran Mohammed Arkoun (Yogyakarta: Bentang, 2000), 167.

(42)

30

mengembangkan sikap saling berkomunikasi dan menghargai perbedaan dengan cara arif bijaksana, toleran, dan saling menghormati satu sama lain.

2. Inklusivisme

Konsep lain dalam membangun toleransi beragama adalah inklusivisme. Konsep ini dibangun di atas pemikiran atau sikap yang memandang bahwa dalam ajaran setiap agama terdapat nilai-nilai universal yang bisa diakui dan dianut oleh siapa saja dan dari pemeluk mana saja disertai pandangan bahwa kebenaran yang dianut oleh suatu agama adalah juga dianut agama lain. Sehingga terdapat titik temu antara agama-agama yang ada dalam aspek tertentu dari ajaran-ajarannya. Pada tahap ini, setiap pemeluk agama harus mengetahui dan memahami wilayah mana yang termasuk normatifitas dan sakralitas, dan pada saat yang sama juga mengetahui wilayah historitas dan profanitas.33 Artinya, setiap pemeluk agama seharusnya mempelajari dan memahami dengan benar tentang ajaran agamanya, dan untuk menambah keyakinannya maka ia harus mempelajari pula ajaran agama orang lain.

Inklusivisme menurut Anis Malik Thoha merupakan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu pihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar (the truth) secara absolut, tapi, di pihak lain ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan transfor-masinya untuk mencakup seluruh pengikut agama lain. Inklusivis-me ini Inklusivis-mendapatkan ekspresinya yang begitu artikulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para teolog semisal Karl Rahner dengan teori “Anonymous Christian”

(Kristen anonim)-nya, yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan Raimundo Panikkar dengan „the unknown Christ of Hinduism’. Masih menurut Anis, sejauh yang bisa dilacak, teologi inklusif ini secara artikulatif hanya muncul di lingkungan Kristen dan dalam waktu yang relatif belakangan, sebagai respon, di satu fihak, terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada

Gambar

Table 3.2. Perbedaan antara pembelajaran CTL dengan Konvensional52
Table 4.1. Contoh format penilaian praktek shalat41
Tabel 4.3. Contoh penilaian portofolio proses belajar peserta didik52
Tabel 4.4. Contoh penilaian portofolio tugas diskusi kelompok53

Referensi

Dokumen terkait

‘Tata bahasa’ ini kemudian banyak dianggap sebagai dasar penting kerangka analisa multimodality , dan bersandar pada kerangka ini banyak kajian telah dilakukan

Dua hal ini yang sudah dilakukan bingsoo untuk memaksimalkan  penggugahan, bingso tidak hanya melakukan penggugahan secara offline, akan tetapi bingsoo juga mengajak para

Selain itu, terdapat perbedaan variabel independen untuk menilai penyebab stres kerja, penelitian terdahulu menilai penyebab stres kerja berdasarkan kebisingan,

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah serta karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Pemberian morfin dalam dosis kecil (5-10 mg) akan menyebabkan euforia pada pasien yang sedang nyeri. Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai

Hasil pengujian menunjukkan, bahwa (1) secara simultan, struktur kepemilikan, profitabilitas, dan ukuran perusahaan mempunyai pengaruh signifikan terhadap kebijakan

Metode bimbingan psikoreligius yang dikembangkan di Panti Pamardi Putra &#34;Mandiri&#34; sangat efektif dalam membimbing para pasien, sebab metode yang dikembangkan sesuai

Istilah reading therapy dikenal juga dengan sebutan bibliotherapy yang mempunyai makna “terapi menggunakan literature atau buku” (Agustina, 2014 hlm.. Dipilihnya