• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Pembelajaran PAI dalam Mengembangkan Budaya Tolerans

Dalam dokumen BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PEND (Halaman 78-92)

DESAIN PEMBELAJARAN PAI BERBASIS TOLERANSI DI SMA NEGERI 1 KOTA TANGERANG SELATAN

C. Pendekatan Pembelajaran PAI dalam Mengembangkan Budaya Tolerans

Supaya pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik, maka diperlukan berbagai pendekatan sebagai titik tolak atau sudut pandang yang dapat memberikan inspirasi, menguatkan, dan menjadi wadah dengan dilandasi teori oleh tertentu. Menurut Nelly Nurmelly, dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: pertama, pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach), dan kedua, pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).34 Dari kedua pendekatan tersebut, pendekatan yang pertama dianggap paling tepat untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dalam proses pembelajaran.

Pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa (student centered approach) dapat diartikan sebagai pendekatan yang didasarkan pada anggapan bahwa mengajar adalah proses mengatur lingkungan agar siswa belajar. Tujuannya adalah agar siswa mempunyai keinginan untuk belajar. Dalam konteks ini mengajar tidak ditentukan oleh lama dan banyaknya materi yang disampaikan, tetapi dampak proses pembelajaran itu sendiri. Bisa saja guru hanya beberapa menit di muka kelas, namun waktu yang sangat singkat itu membuat siswa sibuk melakukan proses belajar.

33

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan, 61.

34Nelly Nurmelly, “Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik

dan Model Pembelajaran,” http://sumsel.kemenag.go.id/file/file/ (Diakses tanggal 4 April 2012).

67 Metode yang tepat digunakan adalah metode pemecahan masalah (problem solving), kerja kelompok, penugasan, sosio drama, karya wisata, latihan siap (driil), uji coba (eksperimen), dan cara belajar siswa aktif (CBSA).35 Dengan demikian, pendekatan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu proses pembelajaran.

Bagi E. Mulyasa terdapat lima bentuk pendekatan dalam pembelajaran, yaitu: pertama, pendekatan kompetensi. Kompetensi ini menunjukkan kepada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pembelajaran dan latihan yang dilandasi oleh rasionalitas dan kesadaran penuh. Kedua, pendekatan keterampilan proses. Pendekatan ini bertolak dari suatu pandangan bahwa setiap siswa memiliki potensi yang berbeda dan dalam situasi yang normal, mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Ketiga, Pendekatan lingkungan. Dalam pendekatan ini pelajaran disusun sekitar hubungan dan manfaat lingkungan. Keempat, pendekatan kontekstual. Pendekatan ini merupakan konsep belajar yang menekankan pada keterkaitan antara pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar. Kelima, pendekatan tematik. Pendekatan ini merupakan pendekatan pembelajaran untuk mengadakan hubungan yang erat dan serasi antara berbagai aspek yang mempengaruhi siswa dalam proses belajar.36

Saat ini pembelajaran di sekolah tidak lagi berfokus pada guru, terutama untuk sekolah-sekolah yang ada di perkotaan. Peserta didik dibawah asuhan dan arahan guru diberi kebebasan untuk menentukan cara belajarnya masing-masing dalam mengasah dan menggali potensi yang ada dalam dirinya dengan memilih jurusan pendidikan yang dikehendakinya. Apa lagi, informasi dan teknologi semakin canggih. Hal ini tentu berimbas terhadap kesiapan guru agama dalam mempersiapkan pendekatan dan metode pembelajaran termasuk di dalamnya menguasai komputer dan internet.

35Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, Cet. I, 2010), 153.

36E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), 96-104.

68

Dengan demikian, beberapa pendekatan dalam rangka menanamkan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran PAI adalah: pendekatan kontekstual, pendekatan konstruktivisme, pendekatan inklusif, pendekatan humanistik, dan pendekatan sains dan teknologi.

1. Pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL)

Pendekatan CTL merupakan pendekatan pembelajaran yang lebih memperhatikan karakteristik siswa atau daerah tempat pembelajaran. Aplikasi pendekatan CTL terinspirasi dari penelitian John Dewey pada tahun 1916 yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik bila apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Tentu dengan kesesuaian terhadap masalah-masalah yang dikaji oleh siswa di sekolah, hal ini diharapkan agar siswa tidak tercerabut dari akar realitas.37

Penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual berpotensi tidak hanya untuk mengembangkan ranah kognitif dan keterampilan proses, tetapi juga untuk mengembangkan sikap, nilai, serta kreativitas siswa dalam memecahkan masalah yang terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari melalui interaksi dengan sesama teman,38 misalnya melalui pembelajaran kooperatif, sehingga juga mengembangkan keterampilan sosial (social skills).39

Dalam rangka menumbuhkan sikap toleransi beragama terhadap siswa, seorang guru dituntut untuk memberikan contoh nyata yang telah dipraktekkan oleh dirinya. Ia tidak bisa hanya memberikan penjelasan yang sifatnya ceramah. Peserta didik harus dilibatkan dengan cara melihat, berfikir, memahami, dan membuktikan secara langsung pembelajaran tersebut yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari (contextual teaching).40

37Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning, penerjemah

Ibnu Setiawan (Bandung: Mizan, 2008), 31.

38E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, 96.

39Dirjen Dikmenum, Pengembangan Pelaksanaan Broad-Based

Education, High-Based Education, dan Life Skills di SMU (Jakarta: Depdiknas, 2002), 6.

40Slavin, R.E., Educational Psychology: Theory and Practice, 5th ed.

69 Guru dapat memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses pembelajaran kepada peserta didik untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri dan memberdayakan peserta didik itu sendiri dalam strategi belajar.

Untuk dapat mempraktekkan pendekatan pembelajaran CTL dengan baik dan memenuhi tujuan pembelajaran, maka harus memperhatikan enam komponen pembentuknya, antara lain; pertama, pembelajaran konstruktivisme. Kedua, belajar dengan penemuan konsep secara mandiri (inquiry atau discovery). Ketiga, dilakukan dengan bekerja sama. Keempat, modeling (pemodelan). Kelima, melakukan refleksi, yaitu respon atas kejadian atau informasi yang baru diterima. Keenam, penilaian nyata yang tidak terbatas pada tes tertulis.41

Sedangkan prinsip-prinsip dalam pendekatan pembelajaran CTL adalah sebagai berikut:

1. CTL mencerminkan prinsip kesaling-bergantungan (intedependensi). Prinsip ini membuat hubungan yang bermakna (making meaningfullconnections) antara proses pembelajaran dan konteks kehidupan nyata sehingga peserta didik berkeyakinan bahwa belajar merupakan aspek yang esensial bagi kehidupan di masa datang. Prinsip ini mengajak para pendidik mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya, peserta didik,

stakeholder, dan lingkungannya.42

2. CTL mencerminkan prinsip diferensi. Diferensi menjadi nyata ketika CTL menantang para siswa untuk saling menghormati keunikan masing-masing, untuk menghormati perbedaan, untuk menjadi kreatif, untuk kerja sama, untuk menghasilkan gagasan

41Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning, 64-65.

Bandingkan dengan Wina Sanjaya. Menurutnya CTL sebagai pendekatan pembelajaran komponen memiliki tujuh komponen atau asas yang melandasinya yaitu: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), 118-122.

42Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran

70

dan hasil baru yang berbeda, dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan.43

3. CTL mencerminkan sikap pengaturan diri. Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa proses pembelajaran diatur, dipertahankan, dan disadari oleh peserta didik sendiri. Pengaturan diri terlihat ketika para siswa mencari dan menemukan kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda.44

4. CTL mencerminkan penilaian authentik. Penggunaan penilaian authentik, yaitu menantang siswa agar dapat mengaplikasikan berbagai informasi akademis baru dan keterampilannya kedalam situasi konstekstual secara signifikan.45

Selain pembelajaran itu harus dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari, dalam rangka menumbuhkan sikap toleransi beragama maka guru bisa mengembangkan: pertama, pendekatan historis. Pendekatan ini mengandaikan bahwa materi pendidikan agama Islam diajarkan kepada peserta didik dengan menengok kembali ke belakang; maksudnya adalah para pendidik dan peserta didik mempunyai kerangka berfikir yang komplet sampai ke belakang untuk kemudian merefleksikannya pada masa sekarang dan masa yang akan datang.46

Kedua, pendekatan sosiologis. Pendekatan ini mengandaikan terjadinya “kontekstualisasi” atas apa yang pernah terjadi sebelumnya. Dengan pendekatan sosiologis, pendidikan agama Islam akan lebih menjadi aktual. Sehingga diharapkan dapat memberikan pertolongan pada peserta didik untuk memiliki pijakan bagaimana memotret secara mendalam kondisi soial masyarakat, dengan tidak menekankan pada adanya indoktrinasi semata, tetapi lebih ke arah berfikir kontekstual kekinian.47

Ketiga, pendekatan kultural. Melalui pendekatan ini diharapkan peserta didik mampu membedakan mana yang

43Sugiyanto, Model-model Belajar Inovatif (Surakarta: FKIP UNS,

2009), 15.

44Sugiyanto, Model-model Belajar Inovatif, 1.

45Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran,

69.

46Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 215.

47Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, 216.

71 termasuk tradisi dan mana yang autentik, orsinil.48 Sehingga peserta didik tidak terjebak pada perdebatan normatifitas dan

sakralitas tetapi mampu menganalisa sikap-sikap yang perlu dikembangkan dalam kebhinekaan. Keempat, pendekatan psikologis.49 Artinya setiap pendidik (guru) harus memahami betul kondisi kejiwaan peserta didiknya, sehingga mampu memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhannya. Kelima, pendekatan estetik.50 Pendekatan estetik dalam pendidikan agama diharapkan mampu menanamkan rasa penghargaan terhadap realitas yang majemuk yang berkembang di sekitar dirinya. Keenam, pendekatan bersperspektif gender, yaitu penanaman sikap tidak membeda- bedakan seseorang karena berdasarkan jenis kelamin. Ketujuh, pendekatan filosofis. Siswa diajak memahami segala kelebihan yang diberikan Tuhan kepada makhluk-Nya sebagai bukti kasih sayang-Nya untuk dipergunakan dalam mengolah dan mengambil manfaat dari alam semesta ini.

Penerapan CTL sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan, hubungan pengetahuan di dalam kelas dan di luar kelas menjadi pengalaman yang akan mereka terapkan dan sangat relevan serta sangat berarti bagi peserta didik dalam mengembangkan dan membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual dalam pendidikan merupakan pembelajaran secara holistik dan komprehensif yang bertujuan untuk memotivasi peserta didik untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari.51 Sehingga peserta didik dapat mengambil sikap yang terbaik ketika menghadapi suatu masalah.

Ada perbedaan yang mendasar antara pembelajaran CTL dengan pembelajaran konvensional seperti yang banyak diterapkan

48Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, 217.

49Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, 217.

50Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, 218-219.

72

di sekolah-sekolah sekarang ini, antara lain sebagaimana yang tersebut pada table di bawah ini:

Table 3.2. Perbedaan antara pembelajaran CTL dengan Konvensional52

No. Pembelajaran CTL No. Pembelajaran Konvensional

1 Siswa sebagai subjek belajar 1 Siswa sebagai objek belajar

2

Kegiatan belajar lebih banyak dengan melalui kegiatan kelompok, seperti diskusi dan lain-lain

2

Siswa lebih banyak belajar secara individual, seperti: mencatat, menghapal, dan lain-lain

3

Pembelajaran

dikaitkan/dihubungan dengan kehidupan nyata yang dialami atau dirasakan siswa

3

Pembelajaran bersifat teoritis atau abstrak

4 Kemampuan didasarkan pada pengalaman-pengalaman 4

Kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan

5

Pengetahuan yang dimiliki selalu berkembang seiring dengan pengalaman yang dialami siswa

5

Pengetahuan tidak/kurang berkembang karena

pengetahuan yang diperoleh dikonstruk oleh orang lain

6

Pembelajaran bisa terjadi di mana-mana sesuai dengan konteks dan kebutuhan

6

Pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas

Hasil pengamatan penulis tentang penerapan pendekatan ini di SMA Negeri 1 Tangerang Selatan menunjukkan bahwa, guru PAI setelah proses absensi siswa selesai beliau membuka pembelajaran (apersepsi) dengan bertanya kepada siswa tentang informasi terbaru yang didapat siswa pada hari itu. Setiap satu orang siswa menyampaikan berita terbarunya, guru kemudian meminta tanggapan siswa tersebut dan kemudian kepada siswa yang lain. Demikian seterusnya. Kegiatan ini berlangsung selama 30 menit pertama, satu jam pelajaran berikutnya kemudian guru mengkaitkan dengan materi pelajaran disertai dengan penjelasan

52Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), 115-116.

73 dari beberapa sumber. Diakhir pembelajaran guru mengadakan tes untuk mengetahui tingkat penyerapan materi oleh siswa.53

Dengan demikian, penanaman nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran PAI dengan menerapkan pendekatan CTL akan membantu guru dan siswa melihat realitas kehidupan yang sesungguhnya untuk kemudian secara bersama-sama mencari solusi untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Pendekatan Konstruktivisme

Kontruktivisme54 merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Kelebihan teori konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan pembelajaran terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar.55

Menurut konstruktivis pembelajaran tidak hanya sekedar menghapal tetapi peserta didik harus mampu membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan yang diperoleh peserta didik bukan dari informasi yang diberikan oleh guru, melainkan dari proses menemukan dan mengkonstruksi sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta tetapi mencerminkan

53Pengamatan penulis terhadap proses KBM PAI kelas X di SMA

Negeri 1 Tangerang Selatan Tanggal 13 Maret 2012.

54Falsafat konstruktivisme digagas oleh Mark Baldwin dan

dikembangkan oleh Jean Piaget. Menurut konstruktivis, pemerolehan pengalaman seseorang itu dari proses asimilasi dan akomodasi. Pengetahuan selalu menunjukkan kepada struktur konsep yang dibentuk dan pengetahuan tidak lepas dari orang atau subyek yang tahu. Paradigm konstruktivistik oleh Jean Pieget melandasi timbulnya strategi kognitif, disebut juga teori meta cognition, merupakan keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya yang meliputi empat (4) jenis, yaitu: keterampilan pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis dan kreatif. Lihat Martinis Yamin, Paradigma Pendidikan Konstruktivistik: Implementasi KTSP dan UU. No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

(Jakarta: Gaung Persada Press, 2005),1-11.

55Esdi Pangganti, “Macam-macam Pendekatan Pembelajaran,” Lihat http://esdikimia.wordpress.com/category/kumpulan-artikel-esdi/page/2/ (Diakses tanggal 18 April 2012).

74

keterampilan yang dapat diterapkan.56 Untuk itu, strategi pembelajaran lebih ditekankan kepada: (1) penyajian isi, menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan kepada bagian; (2) pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk melayani pertanyaan atau tanggapan peserta didik; (3) aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis; dan (4) pembelajaran ditekankan pada proses bukan pada hasil.57 Berdasarkan pendapat ini, hasil bukan tujuan, tapi proses yang menentukan bagaimana hasil yang dihasilkan.

Berbeda dengan pendapat di atas, menurut Kauchak (1998) seperti dikutip Dede Rosyada, aliran konstruktivisme mengembangkan belajar dengan menekankan pada empat komponen kunci utama, yaitu: pertama, siswa membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar bukan karena disampaikan kepada mereka. Kedua, pelajaran baru sangat tergantung pada pelajaran sebelumnya. Ketiga, belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi sosial. Keempat, penugasan- penugasan dalam belajar dapat meningkatkan kebermaknaan proses pembelajaran.58 Artinya, bahwa keberhasilan pembelajaran sangat berkait erat dengan apa yang dialami oleh peserta didik.

Dengan demikian pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih mengutamakan kepada keaktifan siswa sebagai subyek pembelajaran dan guru sebagai mitra dalam mendampingi mereka menemukan ilmu baru untuk kemudian diterapkan didalam kehidupan sehari-harinya.

3. Pendekatan Inklusif

56

Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Pendidikan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) (Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003), 26.

57Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), 205. Bandingkan dengan catatan hasil pengamatan penulis pada footnote no. 16.

58Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, cet III (Jakarta: Kencana, 2007), 94.

75 Guru memegang peranan yang sangat penting, oleh sebab itu guru dituntut untuk benar-benar profesional sebagai tenaga pendidik, sebagaimana yang terdapat pada kompetensi sosial, guru harus bersikap inklusif.59 Artinya bahwa, guru harus memberikan contoh dalam kehidupan nyata sebagai orang yang terbuka walaupun terhadap teman sejawat dan lingkungan yang berbeda agama dan pandangannya, untuk kemudian diajarkan kepada peserta didik sebagai bagian dari pembelajaran.

Sebagai contoh, dalam penyampaian ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan mu’min- kafir, surga-neraka pahala-siksa dalam pembelajaran, seorang guru harus telah memahami dengan benar tentang adanya perbedaan-perbedaan ahli tafsir dalam mencari makna yang sesuai untuk kemudian dikaitkan dengan kehidupan pribadi Rasulullah dan para sahabat sehari-hari dalam memperlakukan orang-orang yang berbeda haluan tadi.60 Sehingga, guru tersebut menjadi kaya informasi dan mampu mengambil jalan terbaik untuk kemudian disampaikan kepada peserta didiknya. Di sini, guru dituntut memperkaya referensinya dengan membaca berbagai sumber yang otoritatif dan bertanya kepada orang-orang yang berbeda tadi.

Inklusifisme bukanlah paham yang instant, karena sejak awal, paham ini mempunyai karakter terbuka, maka inklusifisme membutuhkan penafsiran yang sangat terbuka yang bersifat rasional dan kontinyu terhadap doktrin keagamaan. Menurut Raimundo Panikkar, tafsir terhadap teks keagamaan tidak hanya dimaksud mempunyai relevansi dengan pihak-pihak lain yang berbeda, tetapi juga berfungsi agar pandanganya dapat diterima oleh pihak lain.61 Ini berarti bahwa, inklusifisme merupakan keniscayaan sosiologis dalam memahami perbedaan tidak bisa hanya mengandalkan aspek-aspek yang ada dalam komunitas masing-masing. Tidak bisa dipungkiri bahwa inklusifisme merupakan salah satu jalan untuk membangun peradaban toleransi.

59Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.16

Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru

(Jakarta: BSN, 2007), 42.

60Mustahdi, Wawancara, Tangerang Selatan, 27 Maret 2012.

61Raimundo Pannikar, The Intra-Religious Dialogue, (New York,

76

Dalam pembelajaran membahas tema yang berkaitan dengan akidah, guru PAI di SMA Negeri 1 Tangerang Selatan lebih cenderung menggunakan kata “berbeda” dari pada kata “sesat” untuk menjelaskan tentang adanya keanekaragaman dalam memahami dan menganut agama seseorang. Pemilihan kata “berbeda” didasarkan kepada realitas yang ada untuk kemudian direfleksikan dengan firman Allah SWT dan contoh dari perikehidupan Rasulullah SAW dalam memperlakukan orang- orang yang berbeda (tidak beriman). Sedangkan untuk mendapatkan penjelasan mengenai makna upacara-upacara keagamaan di luar Islam, maka guru PAI mengundang guru agama atau siswa yang non muslim untuk menjelaskan kepada siswa secara langsung di dalam pembelajaran PAI, sehingga guru dan siswa muslim mendapat informasi yang utuh dari sumbernya langsung.62 Di sinilah letak nilai inklusifisme dalam pembelajaran yang menjadi tujuan dari sebuah proses pembelajaran.

4. Pendekatan Humanistik

Adanya keanekaragaman suku, budaya dan agama yang berkembang di masyarakat tentu harus menjadi perhatian utama dalam pembelajaran. Pemilihan pendekatan dalam menyampaikan materi ajar yang tepat akan melahirkan sikap saling menghormati dan menghargai di antara peserta didik. Terkait dengan penanaman sikap toleransi beragama, pendekatan humanistik bisa menjadi alternatif.

Pandangan filosofis yang menjadi wacana para ahli pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia.63 Suatu pandangan yang berimplikasi pada proses pendidikan serta berorientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan, baik secara fisik-biologis maupun ruhaniah- psikologis.64 Dalam pelaksanaannya, pengajaran humanistik, mempunyai implikasi bagi pengembangan kehidupan sosial,

62Mustahdi, Wawancara, Tangerang Selatan, 27 Maret 2012.

63Lihat Baharudin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Madia Group, 2007), 19.

64A. Malik Fadjar dalam Imam Tolkah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), v.

77 budaya, ekonomi, politik dan idologi.65 Dengan demikian, pembelajaran yang humanistik merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusiaan yang bersifat universal, global di atas semua suku, aliran, ras, golongan, dan agama.

Secara prinsip, manusia adalah makhluk yang diciptakan unik. Manusia memiliki ciri khas tersendiri, demikian pula dengan siswa. Implikasinya guru harus menyadari bahwa peserta didik memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya. Demokratisasi dalam pembelajaran menjadi bagian yang tak terpisahkan, sehingga memaksakan kehendak kepada peserta didik merupakan tindakan yang tidak humanis.66 Ini berarti, dalam pembelajaran dengan pendekatan humanistik di tengah-tengah keanekaragaman tidak akan terwujud dengan baik dan mencapai tujuan jika tidak didukung oleh kondisi yang demokratis.67 Penerapan pendekatan ini di sekolah mampu menciptakan suasana kondusif dan demokratis.68

Suasana yang demokratis dalam pembelajaran adalah syarat mutlak untuk memanusiakan manusia, sebagaimana yang dijelaskan oleh A. Waidl tentang prinsip-prinsip demokrasi, yaitu: pertama, manusia memiliki sejarah yang bisa mengkoreksi dan merekonstruksi baru di masa depan; kedua, manusia memiliki ciri khas yaitu individualitasnya berdasarkan potensi yang dimilikinya; ketiga, manusia selalu berkepentingan bersosialisasi antara manusia; keempat, manusia mengadakan hubungan dengan alam sekitarnya; kelima, manusia mempunyai kebebasan mengolah alam pikirnya sehingga bisa menemukan yang transidental (hubungan

65Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2003), 92.

66Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendiidkan (Jogjakarta, 2002), 272-273.

67Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (terj), (Jakarta:LP3IS,

2000), Paulo Freire yang menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini hampir dianggap sakral, penuh kebajikan ternyata mengandung penindasan (dehumanisasi), ini bertentangan dengan fitrah manusia, William F. O'neill, Idiologi-idiologi Pendidikan. Penerjemah Omi Intan Naomi (Jakarta: Pustaka Pelajar, 20002), x.

78

manusia dengan Tuhannya).69 Dengan pendekatan humanistik, diharapkan peserta didik akan menjadi manusia yang otentik,70 artinya, manusia yang memiliki simpati dan empati terhadap sesamanya.

5. Pendekatan Sains dan Teknologi

Perkembangan ilmu dan teknologi (science) yang pesat dan disertai semakin kritisnya masyarakat tentu berdampak terhadap cara berpikir siswa di sekolah. Perubahan sikap akibat cepatnya informasi yang diterima siswa harus mampu diimbangi oleh guru dalam pembelajaran di sekolah. Maka dari itu penggunaan media teknologi modern dan canggih seperti internet adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari.

Belakangan ini profesi guru dianggap sejajar dengan profesi

Dalam dokumen BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PEND (Halaman 78-92)