• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran PAI yang Humanistik dan Kontekstual Pendidikan seharusnya dimulai dari refleksi filosofis tentang

Dalam dokumen BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PEND (Halaman 100-121)

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN PAI DI SMA NEGERI 1 KOTA TANGERANG SELATAN

A. Pembelajaran PAI yang Humanistik dan Kontekstual Pendidikan seharusnya dimulai dari refleksi filosofis tentang

manusia sebagai sentral pendidikan. Pendidikan dalam pandangan para filosof adalah merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia.1 Pandangan tersebut berimplikasi pada proses pendidikan yang berorientasi kepada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan, baik secara fisik-biologis, maupun ruhaniah-psikologis.2

Dalam praktiknya, pendidikan yang humanistik akan tampak dalam pendekatan belajar sebagaimana yang dikemukakan Asri Budiningsih. Menurutnya belajar bermakna atau meaningful learning adalah merupakan asimilasi bermakna. Materi yang

1Baharudin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik (Jogyakarta: Ar- Ruzz Media Group, 2007), 19.

2A. Malik Fadjar dalam Imam Tolkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), v.

90

dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.3

Berdasarkan hasil observasi penulis dalam proses pembelajaran agama di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan, pengembangan pembelajaran yang dilakukan guru PAI telah berupaya untuk tidak memisahkan antara hal yang bersifat teoritis dengan hal praktis. Selain memberi pengetahuan belajar juga diarahkan untuk dapat dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang selatan, guru senantiasa mengaitkan relevansi materi pelajaran dengan kehidupan nyata peserta didik. Sebagai contoh, ketika memberi materi dengan tema tasamuh atau toleran di kelas 10, guru menekankan maksud dari toleransi sehingga siswa dapat mengamalkan nilai-nilai toleransi dengan teman-temannya yang non Muslim. Demikian halnya dalam tema mengasihi sesama teman di kelas 11, tema ini diajarkan dengan penekanan agar anak didik saling mengasihi baik sesama satu agama ataupun berbeda agama.4

Pembelajaran bermakna mungkin terjadi jika konsep materi pelajaran yang dipelajari peserta didik berhubungan dengan gagasan atau pengetahuan awal lainnya yang sudah dibangun,5 sehingga informasi yang diterima memiliki keterkaitan dengan pengetahuan yang sudah ada. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang kemudian hasilnya diperluas dalam konteks yang terbatas dan tidak sekaligus. Dengan demikian, pengetahuan bermakna terjadi apabila peserta didik membangun (mengkonstruk) pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar,6 dan inilah yang disebut pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik (student centered).

3Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 76.

4Mustahdi, Wawancara, Tangerang Selatan, 27 Maret 2012. 5Trianto,

Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik: Konsep, Landasan Teoritis, Praktis dan Implikasinya (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 107.

6Trianto,

Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik: Konsep, Landasan Teoritis, Praktis dan Implikasinya, 106.

91 Rendahnya motivasi dan minat peserta didik mengikuti pembelajaran agama selama ini salah satu penyebabnya dikarenakan pembelajaran lebih mengedepankan hapalan, tak terkecuali pada pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI). Oleh karena itu tugas utama guru agama adalah menjadikan pembelajaran agama Islam menjadi pembelajaran yang disukai dan menyenangkan peserta didik sehingga pengetahuan yang diperoleh di sekolah kemudian dikembangkan oleh peserta didik sendiri melalui pengalaman dalam kehidupannya.

Dalam rangka mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai toleransi beragama kepada peserta didik, guru PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan senantiasa melakukan model-model pembelajaran untuk memudahkan peserta didik menerima, memahami dan merefleksikan materi pembelajaran yang diperolehnya, diantaranya sebagai berikut:

1. Questioning (Pertanyaan)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Dalam pembelajaran bertanya merupakan strategi utama yang berbasis kontekstual untuk mendorong siswa untuk menggali informasi, mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Sementara bagi guru, bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.7

Selain itu, kegiatan bertanya dalam pembelajaran yang produktif dapat berguna untuk: 1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis; 2) mengecek pemahaman siswa; 3) membangkitkan respons kepada siswa; 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa; 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa; 6) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan 8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.8

7Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan dan Im plementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 115.

8Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan dan Im plementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), 115.

92

Kesempatan untuk mengajukan pertanyaan banyak dilakukan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi, tanya jawab atau debat. Pertanyaan dapat diajukan kepada guru atau kepada sesama peserta didik pada setiap kegiatan pembelajaran. Seperti halnya yang dilakukan dalam pembelajaran PAI di SMANegeri 1 Kota Tangerang Selatan dalam setiap sesi pembelajaran guru selalu membuka forum kepada peserta didik untuk bertanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi pembelajaran terutama mengenai hal-hal terkini, seperti kasus pengrusakan tempat ibadah, pengusiran jemaah Ahmadiyah, dan lain sebagainya. Aktivitas bertanya ini ditujukan untuk mendorong pencapaian keberhasilan belajar peserta didik.

2. Pemodelan

Agar suatu proses pembelajaran dapat lebih bermakna, menampilkan model yang dapat ditiru oleh peserta didik kiranya bisa dijadikan salah cara untuk dilakukan. Asas modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh peserta didik.9

Pemodelan yang dilakukan di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan terkait dengan pembelajaran PAI adalah tidak hanya sekedar pada pemodelan yang bersifat keterampilan saja, tetapi juga pemodelan yang bersifat keteladanan atas nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat. Sebagai aplikasi dari pemodelan seperti ini misalnya guru agama mengundang mubaligh10 yang sedang digandrungi oleh remaja seusia siswa SMA pada peringatan hari-hari besar Islam untuk menyampaikan ceramah keagamaan. 3. Belajar Kelompok

Manusia adalah makhluk yang unik. Di satu sisi ia adalah makhluk individu yang memiliki ciri dan kekhasan tersendiri yang membedakannya dengan yang lain, termasuk kepribadian dan

9Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, 265.

10Salah satu mubaligh yang pernah diundang oleh SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan adalah Ustadz Koko pada tahun 2010. Pemilihan ustadz tersebut didasarkan selain pada unsur idola, juga karena Ustadz Koko merupakan ustadz yang berasal dari etnis minoritas yang ada di Indonesia. (Sumber dokumentasi OSIS).

93 kecakapannya, dan di sisi lain manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan orang-orang lain untuk memenuhi kebutuhannya supaya dapat berkembang sebagai manusia seutuhnya. Keberadaan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial memberikan implikasi pada pembelajaran. Untuk itu pembelajaran harus dirancang dan dilakukan dengan pembelajaran mandiri dan bekerja sama/kelompok.11 Metode kerja kelompok adalah penyajian materi dengan cara pemberian tugas- tugas untuk mempelajari sesuatu kepada kelompok-kelompok belajar yang sudah ditentukan dalam rangka mencapai tujuan.12

Dalam rangka menanamkan sikap tenggang rasa dan kerja sama, pembelajaran agama di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan pada waktu tertentu menggunakan pembelajaran kelompok, dimana siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil (4-5 orang) yang dipilih secara heterogen dari jenis kelamin dan kemampuan yang sebelumnya telah diketahui oleh guru. Masing-masing kelompok kemudian diberi tugas yang berbeda untuk dikerjakan bersama.13 Dengan pembelajaran seperti ini peserta didik bisa terlibat langsung dalam bertukar informasi, bertukar pengalaman dan pengetahuan sehingga lebih didekatkan dengan dunia nyata. Dalam realitasnya, keberagaman merupakan hal yang dijumpai oleh peserta didik dalam masyarakat.14 Pada saat seperti inilah pendidikan menjadi sarana yang tepat untuk melahirkan kecerdasan sosial yang tinggi.

Melalui pembelajaran berkelompok, peserta didik akan memahami keberagaman tersebut, sehingga akan terbiasa menerima perbedaan yang ada dengan tetap dapat bekerja sama dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Selain itu, dalam pembelajaran kelompok peserta didik dapat belajar sekaligus mengaplikasikan rendah hati, sabar, berbagi, empati, menghormati, toleransi, komitmen dan tanggungjawab. Nilai-nilai positif tersebut

11Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna (Bandung: Mizan Learning Center (MLC), 2007), 149.

12Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), 179.

13Mustahdi, Wawancara, Tangerang Selatan, 27 Maret 2012.

14Abdurrahman, Meaningful Learning, Re-invensi Kebermaknaan Pembelajaran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 24.

94

terintegrasi dalam pembelajaran agama Islam di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan. Sementara penilaian dilakukan oleh guru dengan memperhatikan aspek-aspek individu, kelompok, hasil kerja dan cara bekerja sama.

4. Refleksi

Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan humanistik kontekstual, sebelum KBM ditutup guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perenungan atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya. Melalui perenungan ini peserta didik dapat menafsirkan dan menyimpulkan pengalaman belajarnya sendiri sehingga tertanam kesadaran sikap terbuka terhadap pengetahuan-pengetahuan baru.

Refleksi yang dilakukan dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan terkait dengan tema-tema yang diajarkan, misalnya pada tema sifat tercela, guru agama akan meminta siswa untuk merefleksikan sifat yang akan dilakukan siswa sebagai cerminan dari keimanannya sesuai dengan tema keimanan apakah keimanan kepada malaikat atau Allah. Dalam lembar refleksi tersebut peserta didik diminta untuk menuliskan manfaat dari pembelajaran dan rencana yang akan dilakukan oleh peserta didik selanjutnya. Refleksi tidak hanya dilakukan dalam bentuk naratif (tertulis), tetapi juga dalam bentuk karya yang berkaitan dengan pembelajaran seperti; tulisan, gambar dan sebagainya. Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa prinsip refleksi telah diterapkan dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan.

5. Inkuiri (Menemukan)

Inkuiri pada dasarnya adalah cara menyadari apa yang dialami.15 Metode ini menempatkan siswa sebagai subyek belajar. Menurut Trianto sasaran utama kegiatan pembelajaran inkuiri adalah 1) keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar; 2) keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran; dan 3) mengembangkan sikap percaya diri

15E. mulyasa, KBK; Konsep Karakteristik dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosda Karya Offset, 2003), 235.

95 pada siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri.16 Melalui metode ini siswa ditantang untuk mencari, melakukan dan menentukan sendiri.17 Ia lebih banyak belajar sendiri dalam mengembangkan kreativitas dan memecahkan masalah melalui berfikir ilmiah. Guru berperan sebagai pembimbing dan fasilitator belajar untuk memilih masalah yang patut diajukan di kelas untuk dapat dipecahkan oleh siswa sendiri. Tugas lainnya dari guru adalah menyediakan sumber belajar dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya pembelajaran bagi siswa dalam rangka pemecahan masalah serta memberikan bimbingan dan pengawasan.18

Dalam menerapkan metode inkuiri guru menceritakan suatu peristiwa, pertanyaan dan permasalahan. Siswa bertugas merumuskan hipotesa untuk menjelaskan peristiwa atau memecahkan masalah, mengumpulkan data untuk menguji hipotesis dan menarik kesimpulan.19 Prinsipnya, pola pengajaran inkuiri sasaran akhirnya adalah supaya peserta didik dapat merumuskan kesimpulan dengan bahasa sendiri terhadap materi yang telah dipelajari.

Menurut Masnur Muslich langkah-langkah kegiatan dalam kegiatan inkuiri meliputi: 1) merumuskan masalah, 2) mengamati atau melakukan observasi, 3) menganalisa dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lain, 4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasilnya pada pihak lain (pembaca, teman sekelas, guru atau audiens lain).20 Proses berpikir yang sistematis seperti di atas akan menumbuhkan dan membentuk cara berpikir kritis21 dan kreatif.22

16Trianto,

Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis, Praktis dan Implikasinya , 166.

17Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, 197. 18Nana Sudjana, Dasar-dasar, 153.

19

Anita E. Woolfolk, Educational Psycology (Boston: Allyn and Bacon, 1993), 445.

20Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 45. Bandingkan dengan Sudjana dalam Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan dan Im plementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), 172.

21Vincent Ruggiero mengartikan bahwa berpikir kritis adalah segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah,

96

Berdasarkan hasil pengamatan penulisan, metode inkuiri dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan telah diterapkan oleh guru PAI. Sebagai contoh pada pembelajaran akhlak dengan standar kompetensi menghindari sifat tercela; hasud dan ananiah. Peserta didik dilibatkan dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih guru baik dari buku atau pun sumber lainnya yang bertemakan materi tersebut. Pertama, peserta didik diberikan topic tentang hasud atau ananiah yang dialami seseorang. Kedua, mencatat permasalahan yang menimbulkan hasud dan ananiah

dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, peserta didik mengumpulkan informasi tentang akibat buruk dari sifat tersebut dan menganalisa untuk memecahkan masalah timbulnya hasud dan ananiah. Keempat, membuat laporan berupa tulisan, gambar, table dan sebagainya. kelima, laporan tersebut disampaikan di dalam forum diskusi kelas.

Dengan demikian, gambaran tersebut di atas sesuai dengan penerapan asas inkuiri dalam proses pembelajaran yang diawali dari adanya masalah yang ingin dipecahkan, selanjutnya peserta didik didorong untuk menemukan masalah dengan cara mengobservasi suatu fenomena tertentu.

6. Penilaian Autentik

Penilaian autentik adalah suatu penilaian dengan menggunakan berbagai macam strategi penilaian yang dapat mencerminkan hasil belajar sesungguhnya yang diharapkan dari peserta didik.23 Sedang pada pengertian autentik, sebagai bagian dari penilaian membuat keputusan, atau memenuhi keinginannya untuk memahami; berpikir adalah sebuah pencarian jawaban, sebuah pencapaian makna. Vincent Ruggiero, Teaching Thinking Across the Curriculum (New York: Harper and Row, 1988), 2.

22Menurut Elaine B. Johnson (2007) berpikir kreatif merupakan sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, menghidupkan kemungkinan-kemungkinan baru dan membangkitkan ide yang tidak terduga. Berpikir kreatif selalu melibatkan rasa ingin tahu dan biasanya diwujudkan dalam bentuk pertanyaan. Kunci untuk berpikir kreatif adalah berpikiran terbuka dan mau menerima ide-ide. Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, 214-215.

23Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah. 46

97

performance, autentik berarti realistis atau berhubungan dengan aplikasi pada kehidupan nyata.24 Selain untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan pembelajaran pada seluruh aspek, penilaian tersebut dapat pula untuk mengukur tingkat intelektual peserta didik setelah menerima materi pembelajaran. Pelaksanaannya dapat dilakukan sejak proses pembelajaran dimulai hingga akhir kegiatan pembelajaran secara terintegrasi (tidak terpisahkan).

Untuk dapat menerapkan penilaian autentik dengan baik perlu diperhatikan komponen-komponennya, yaitu: penilaian autentik bukan menghakimi peserta didik, tetapi untuk mengetahui perkembangan pengalaman belajar siswa; penilaian dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara penilaian proses dan penilaian hasil; guru menjadi penilai yang konstruktif yang dapat merefleksikan bagaimana peserta didik belajar, bagaimana peserta didik menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan berbagai konteks, dan bagaimana perkembangan peserta didik dalam berbagai konteks belajar; penilaian autentik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat mengembangkan penilaian diri dan penilaian sesama; penilaian autentik mengukur keterampilan dan performasi; penilaian autentik dilakukan dengan menggunakan berbagai alat secara berkesinambungan dan merupakan bagian yang integral dari proses pembelajaran; penilaian autentik dapat dimanfaatkan oleh peserta didik, orang tua dan sekolah untuk mendiagnosis kesulitan belajar, umpan balik pembelajaran, dan atau menentukan prestasi belajar.25 Hal-hal yang bisa digunakan untuk penilaian autentik sebagai alat penilaian meliputi: proyek/kegiatan dan laporannya, pekerjaan rumah (PR), kuis, karya siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis, dan karya tulis.26

24

Jack Ott, Alternative Assessment In Mathematics Classroom (New York: McGraw-Hill, 1994), 6.

25Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah. 47- 48.

26Trianto,

Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis, Praktis dan Implikasinya , 113.

98

Dengan adanya pemahaman terhadap prinsip penilaian sebagaimana tersebut di atas dan dengan melihat sistem penilaian yang diterapkan di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan, penulis mengidentifikasi bahwa penilaian pendidikan agama Islam yang diterapkan telah memenuhi prinsip penilaian autentik. Alasannya adalah: pertama, penilaian PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan meliputi penilaian proses, dan penilaian hasil. Penilaian proses dilakukan oleh guru terhadap peserta didik setiap berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam penilaian proses ini, guru membuat catatan-catatan tentang gambaran perkembangan peserta didik ketika mengikuti pembelajaran. Berdasarkan catatan tersebut, guru dapat mengidentifikasikan peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar dan menganalisis faktor penyebabnya.

Kemudian data ini akan dijadikan referensi bagi guru untuk mengambil langkah yang tepat dalam upaya perbaikan pembelajaran peserta didik tersebut. Penilaian hasil dilakukan pada setiap akhir pembelajaran seperti tes harian, tes mid semester, tes semester dan sebagainya. Kedua, penilaian mata pelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan dilakukan dengan berbagai alat penilaian secara berkesinambungan. Bentuk-bentuk alat penilaian tersebut adalah tes, catatan, refleksi, portofolio, praktik dan catatan lapangan. Ketiga, selain mengukur keberhasilan belajar dari segi kognitif, penilaian pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan juga mengukur aspek keterampilan dan performasi. Materi pembelajaran selalu dikembangkan dengan menampilkan nilai-nilai pluralis yang harus dipraktekkan dalam kehidupan peserta didik. Hal ini tercermin dari konsistensi guru PAI dalam menerapkan dan melaksanakan nilai pluralis tersebut.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan dilaksanakan dengan memberikan pengalaman yang bermakna, pembelajaran dilakukan melalui kerja kelompok, berdiskusi dan saling mengoreksi, menampilkan pemodelan, pembelajaran dilaksanakan dalam suasana menyenangkan, memperhatikan adanya refleksi, dan penilaian autentik. Ini mengindikasikan bahwa pembelajaran di sekolah tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang disebut pembelajaran humanistik kontekstual.

99 B. Evaluasi Pembelajaran yang Holistik

Evaluasi pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam mengambil keputusan.27 Evaluasi juga dimaksudkan untuk mengamati peranan guru, strategi pengajaran khusus, materi kurikulum, dan prinsip-prinsip belajar untuk diterapkan pada pengajaran,28 sehingga ia menjadi alat pijakan untuk menentukan konteks pembelajaran berikutnya.

Menurut M. Ngalim Purwanto, fungsi evaluasi dalam proses belajar mengajar (PBM) antara lain, untuk:

1. Mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan setelah melakukan KBM tertentu. Hasilnya digunakan untuk memperbaiki cara belajar siswa (formatif) maupun menentukan kelulusan siswa (sumatif).

2. Mengetahui tingkat keberhasilan program pengajaran (sebagai sistem).

3. Keperluan bimbingan dan konseling.

4. Keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum sekolah yang bersangkutan.29

Dalam teorinya evaluasi harus mampu menjangkau tiga ranah yang menjadi acuan pengukuran komptensi hasil pembelajaran, yaitu: ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dapat berbentuk tes tertulis, performance, penugasan, proyek, dan portofolio.30

Ranah kognitif terdiri atas pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi.31 Ranah kognitif ini

27

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis, Praktis dan Implikasinya pada KTSP, 252-253.

28

Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), 145.

29M. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 231.

30Trianto,

Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis, Praktis dan Implikasinya pada KTSP, 254.

31W.S. Winkel, Psikologi Pendidikan dan Evaluasi, diterjemahkan oleh Tim Gramedia (Jakarta: PT Gramedia, 1993), 150..

100

merupakan wilayah intelektual atau pengetahuan yang pengukurannya dapat dilakukan dengan teknik observasi, tugas, tes, atau pemberian persoalan.

Ranah afektif disebut juga ranah sikap yang mencakup penerimaan, partisipasi, penilaian/penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup. Terakhir, ranah psikomotorik yang meliputi persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan yang terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreatifitas.32

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah proses membandingkan suatu kegiatan pembelajaran antara rencana yang telah disusun dengan kenyataan yang terjadi untuk menentukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Proses ini terdiri dari: mengumpulkan data, mempertimbangkan data tersebut dengan tolak ukur tertentu, dan membuat keputusan berdasarkan data untuk memilih alternatif.

Berkaitan dengan mata pelajaran PAI, sasaran penilaian meliputi empat kemampuan dasar, yaitu sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan pribadi dengan Tuhan, arti hubungan dengan masyarakat, arti hubungan dengan alam sekitar, dan sikap pandangan terhadap pribadi sebagai hamba Allah dan anggota masyarakat serta khalifah Allah yang mempunyai tanggungjawab untuk mengelola potensi alam.33

Penilaian pembelajaran pendidikan agama Islam dilakukan dengan penilaian berbasis kelas. Untuk menggali dan mengetahui sejauhmana tingkat kompetensi dan pemahaman (kognitif) peserta didik, digunakan alat ukur melalui pertanyaan atau pernyataan (pilihan ganda dan essai); untuk menggali dan mengukur tingkat kompetensi dan penghayatan (afektif) digunakan lembar pengamatan (refleksi) dan skala sikap; untuk menggali dan mengukur kompetensi prilaku atau pengalaman beragama (praktik atau simulasi) alat ukur yang digunakan adalah lembar pengamatan. Di samping itu dapat pula digunakan alat evaluasi portofolio dan tes praktik.34

32

W.S. Winkel, Psikologi Pendidikan dan Evaluasi, 152.

33M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bina Aksara, 1991), 132.

101 Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, evaluasi dan penilaian pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan dilakukan dengan berbagai cara (tes dan non tes). Adapun yang dinilai dalam penilaian berbasis kelas adalah aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, sehingga dalam penilaiannya dapat berbentuk:

1. Tes Tertulis : Pilihan Ganda dan Uraian

Tes tertulis merupakan bentuk evaluasi dimana soal dan jawaban diberikan dalam bentuk tulisan. Menurut Ngalim Purwanto, kelebihan dari tes ini adalah: dapat menilai kelompok

Dalam dokumen BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PEND (Halaman 100-121)