• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Dalam dokumen BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PEND (Halaman 58-67)

TOLERANSI DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, bukti-bukt

D. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas harkat dan martabat manusia. Ia dilakukan sebagai usaha pengembangan sumber daya manusia secara sistematis, terprogram dan bertingkat- tingkat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dari peserta didiknya.

Untuk mengukur tercapainya peningkatan kualitas diri manusia melalui pendidikan, menurut Muhammad Tholhah Hasan ada lima (5) aspek yang bisa dijadikan ukuran. Pertama, adanya peningkatan kualitas fikir, seperti: kecerdasan, kemampuan analisis, kreatifitas dan visioner. Kedua, peningkatan kualitas moral, yang meliputi ketaqwaan, kejujuran, ketabahan, keadilan dan tanggungjawab. Ketiga, peningkatan kualitas kerja, seperti: etos kerja, keterampilan, profesional, dan efisien. Keempat, peningkatan kualitas pengabdian yang tandai dengan semangat berprestasi, sadar pengorbanan, dan kebanggaan terhadap tugas. Kelima, adanya peningkatan kualitas hidup seperti: kesejahteraan materi dan rohani, ketentraman dan terlindunginya martabat dan harga diri.81

Penyelenggaraan pendidikan agama seperti ditegaskan A. Malik Fadjar bertujuan untuk membangkitkan intuisi agama dan kesiapan rohani dalam rangka mencapai pengalaman

transcendental, yaitu upaya untuk menggugah fitrah insaniyah (to stir up certain innate powers).82 Menurut Faisal Ismail tujuan pendidikan agama tidak lain adalah upaya yang terencana untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada peserta didik agar dapat dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat merespon masalah-masalah sosial yang berkembang dan menonjol

81

Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah: Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lantabora Press, 2005), 136-137.

82H.A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998), 145.

47 pada setiap zaman untuk mencapai tujuan seperti yang dikehendaki oleh agama.83

Sementara menurut Haidar Putra Daulay pendidikan agama setidaknya memiliki tiga (3) tujuan yang ingin dicapai, yaitu untuk mengisi otak (knowledge), mengisi hati (value), mengisi tangan (psichomotorik) peserta didik sehingga seseorang bertindak dan berperilaku sesuai dengan tuntunan agama.84 Menurut pendapat ini, ketidak tercapaian salah satu dari tujuan tersebut menyebabkan tidak tercapainya suatu pendidikan.

Dari beberapa pendapat pakar di atas, bisa disimpulkan bahwa tujuan pendidikan agama adalah terwujudnya ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ajaran-ajaran agama senantiasa menjadi acuan dan pijakan dalam berhubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam.

Tujuan penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah menurut M. Arifin hendaknya diarahkan untuk membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) peserta didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya yang dilakukan oleh orang dewasa muslim yang bertaqwa dan secara sadar,85

sehingga terbentuk pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.86 Menurut pendapat ini pendidikan agama Islam lebih ditekankan kepada usaha membimbing pertumbuhan kemampuan dasar anak didik ke tingkat yang maksimal.

Dalam pandangan Zakiah Daradjat dkk, setidaknya ada empat (4) tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI), yaitu: pertama, tujuan umum. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusian seperti sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Kedua, tujuan akhir, yaitu bahwa pendidikan agama Islam bertujuan mencetak manusia yang bertaqwa dan berserah diri sepenuhnya kepada

83Faisal Ismail, dalam M. Saerozi, Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), xix.

84Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia , 164.

85

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 32.

86Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 2002), Cet. IV, hal. 8.

48

Allah SWT. Ketiga, tujuan sementara. Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Indikatornya adalah ciri pokok sebagai insan kamil dengan pola taqwa sudah mulai kelihatan pada pribadi anak didik. Keempat, tujuan operasional, yaitu tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Dalam tujuan operasional ini lebih banyak dituntut dari aspek anak didik suatu kemampuan dan keterampilan tertentu. Sifat operasionalnya lebih ditonjolkan dari sifat penghayatan dan kepribadian.87 Keberhasilan tercapainya masing-masing tujuan tersebut tentunya tidak akan diraih dengan mudah dan instant.

Dalam bukunya tentang tujuan pendidikan agama Islam Abuddin Nata menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbinanya seluruh bakat dan potensi manusia sesuai dengan nilai- nilai ajaran Islam, sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka pengabdiaannya kepada Tuhan.88 Artinya, ajaran agama harus dijadikan pijakan dalam melakukan segala aktivitas demi terciptanya tatanan kehidupan yang sesuai dengan kehendak Tuhan.

Tujuan pendidikan agama Islam di sekolah menurut Muhaimin adalah untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, pengahayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.89 Tujuan pendidikan Agama Islam ini mendukung dan menjadi bagian dari tujuan pendidikan nasional sebagaimana diamanatkan oleh pasal 3 Bab II Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional,90 yang kemudian diperjelas oleh Depdiknas dalam Kurukulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah menjelaskan bahwa:

87Zakiah Darajat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksrasa, 2008), 30-33.

88Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, 70. 89

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Rosdakarya, 2004), 78.

90Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003,Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: CV. Eko Jaya, 2003), 7.

49 Pendidikan Agama Islam adalah sebagai upaya sadar

dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utama kitab suci al-Qur’an dan al-hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi tuntunan untuk menghargai penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antarumat berbagama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.91

Menurut Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum Negeri (Ditbinpasium) seperti dikutip Zakiah Daradjat menyatakan bahwa pendidikan agama Islam adalah bimbingan dan asuhan terhadap anak didik, agar nantinya setelah selesai dari pendidikan dapat memahami apa yang terkandung di dalam Islam secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta menjadikan ajaran-ajaran agama Islam yang telah dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya, sehingga dapat mendatangkan keselamatan dunia dan akhiratnya kelak.92

Untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya konflik dalam diri siswa sebagai akibat dari pertentangan antara yang dipelajarai dengan realitas di masyarakat, guru harus mampu menjelaskan adanya disparitas tersebut, jika tidak maka sikap siswa akan beraneka ragam; (1) siswa akan menjadi manusia agamis yang terkungkung karena ajaran agama yang dipelajari berlawanan dengan lingkungannya, (2) siswa akan menjalankan ajaran agama sebagian-sebagian, (3) siswa akan mengabaikan ajaran agama sama sekali, karena ia kalah dengan lingkungan. Jadi pembelajaran pendidikan agama hanya sekedar memenuhi kewajiban akademis belaka dan tidak untuk memperbaiki perilaku dan corak

91

Depdiknas, Kurukulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah, (Jakarta: Depdiknas, 2003), 7.

50

kehidupannya sama sekali.93 Dan pembelajaran seperti ini yang sangat berbahaya di alam yang pluralis.

Dengan demikian, penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada sekolah umum bertujuan meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengalaman siswa terhadap ajaran agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam rangka beribadah kepada Allah SWT94 sebagaimana kita sebut sebagai insan kamil. E. Toleransi Beragama sebagai Budaya dalam Pembelajaran

Pendidikan baik secara teoritik maupun secara praktis tidak terlepas dari kebudayaan.95 Pendidikan tidak terjadi di dalam ruangan yang vakum tetapi terjadi di dalam interaksi antara manusia di dalam suatu masyarakat yang berbudaya.96 Oleh sebab itu, pendidikan dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan. Kebudayaan itu dinamis dan terus berkembang karena adanya

93Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Depag, 2005),41.

94

Q.S. Adh-Dha<riya<t (51) : 56. Ayat tersebut adalah:

      

95Parsudi Suparlan menginterpretasikan kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia yang terdiri dari seperangkat model pengetahuan yang secara selektif digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapinya. Selain itu, kebudayaan juga sebagai pemenuhan kebutuhan, pendorong serta pencipta tindakan-tindakan yang diperlukan. Lihat Parsudi Suparlan “Kebudayaan dan Pembangunan”, dalam Chryshnanda DL dan Yulizar Syafri, eds. Dari Masyarakat Majemuk Menuju Masyarakat Multikultural (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2008), 807. Sedangkan bagi Will Kymlicka kebudayaan mengacu kepada sebuah komunitas antar generasi bangsa, menempati wilayah atau tanah air tertentu yang terdiri dari berbagai bahasa dan sejarah yang berbeda. Lihat Will Kimlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory Of Minority Right (New York: Oxpord University Press, 1995), 18. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan diciptakan oleh dan untuk masyarakat sekaligus milik individu sebagai proses pengalaman manusia untuk dijadikan pedoman dalam kehidupannya.

96H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 49.

51 proses pendidikan.97 Keterkaitan antara pendidikan dan kebudayaan berdasarkan pendapat di atas sangatlah kuat.

Dalam pandangan PJ. Zoemulder yang dikutip

Koentjaraningrat, kebudayaan diambil dari bahasa Sangsekerta,

bhudayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan ilmuwan lain mengatakan bahwa, kata budaya merupakan pengembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dan budi. Sehingga, menurut pendapat ini, budaya berbeda dengan kebudayaan. Jadi, budaya adalah daya dan budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Dalam istilah antropologi budaya, menurut Koentjaraningrat perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya dipakai sebagai suatu singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama.98

Sebagai sebuah pranata sosial, lembaga pendidikan adalah tempat yang tepat dan layak untuk mewujudkan tumbuhnya suatu sistem norma dengan mengembangkan interaksi antara pendidik dan peserta yang harmonis. Di sinilah pentingnya lembaga pendidikan mengembangkan budaya yang sesuai dengan tatanan moral yang ideal dalam proses pelaksanaannya, yang pada akhirnya dapat dikembangkan dan diterapkan dalam lingkungan masyarakat yang sesungguhnya.

Untuk bisa dikatakan sebagai budaya, maka pendidikan harus memenuhi karakteristik tertentu sebagaimana Conrad P. Kottak dalam M. Ainul Yaqin jelaskan. Pertama, budaya adalah sesuatu yang general sekaligus spesifik. Kedua, budaya adalah sesuatu yang dipelajari. Ketiga, budaya adalah sebuah simbol. Keempat, budaya dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Kelima, budaya adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama- sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat. Keenam, budaya adalah sebuah model. Ketujuh, budaya adalah sesuatu yang bersifat adaftif.99 Terpenuhinya ketujuh kriteria tersebut, diharapkan pendidikan menjadi sesuatu yang dibutuhkan.

97H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, 50.

98Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), 146.

99M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 6-9.

52

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pendidikan yang baik menurut Fuad Hassan harus dilakukan melalui tiga upaya utama, yaitu pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan.100 Melalui pembiasaan diharapkan peserta didik menjadi tidak terbebani dalam melakukan suatu kebaikan, bahkan menjadikannya suatu kebutuhan. Sedangkan upaya pembelajaran membutuhkan keseriusan peserta didik untuk mengambil manfaat dari apa yang dipelajarinya. Adapun upaya peneladanan bertujuan agar peserta didik menjadikan contoh yang baik sebagai pegangannya dalam melakukan segala tindakan.

Pengembangan nilai-nilai toleransi beragama sehingga terbentuk menjadi budaya melalui pembelajaran di sekolah tidaklah mudah untuk diraih. Ia harus direncanakan dan menjadi bagian penting dari kebijakan institusi, sehingga diperlukan pendekatan secara sistematis dengan menggunakan strategi yang tepat. Pengembangan budaya toleransi beragama bertujuan untuk membangun keyakinan dan sikap menerima keanekaragaman ajaran agama selain dari agama yang dianutnya dengan mengembangkan nilai-nilai seperti pluralisme, inklusifisme dan dialog antaragama, 101 sehingga tumbuh dalam kepribadian peserta didik sikap saling menghormati keyakinan religius masing-masing dan penghormatan terhadap martabat manusia dan hak-hak asasinya.

Dengan demikian, supaya pembelajaran dapat membentuk karakter dan menjelma menjadi budaya positif dalam diri setiap peserta didiknya dibutuhkan tiga pilar utama yang harus dikerjakan oleh pelaku pendidikan, yaitu; pertama, pembelajar harus mengembangkan sikap toleran, empati, dan simpati yang merupakan prasyarat esensial bagi keberhasilan koeksistensial dan proeksistensial dalam keragaman agama. Pembelajaran agama harus dirancang (didesain) untuk menanamkan: 1) Sikap toleransi dari tahap yang minimalis hingga tahap maksimalis, dari yang sekadar dekoratif hingga yang solid. 2). Klasifikasi nilai-nilai

100Fuad Hassan, “Pendidikan adalah Pembudayaan, dalam P endidikan Manusia Indonesia, editor Tonny D. Widiastono (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2004), 52.

101M. Sastrapratedja, “Apa dan Siapakah Manusia?”, dalam

Pendidikan Manusia Indonesia, Editor Tonny D. Widiastono, 21.

53 kehidupan bersama menurut perspektif agama-agama. 3) pendewasaan emosional. 4) Kesetaraaan dan partisifasi . 5) kontrak sosial baru dan aturan main kehidupan bersama antar agama. Kedua, membangun saling percaya (mutual trust). Rasa saling percaya adalah salah satu modal sosial (social capital) terpenting dalam penguatan masyarakat. Ketiga, memelihara rasa saling pengertian (mutual understanding). Memahami bukan serta merta juga bermakna menyetujui. Keempat, menjunjung sikap saling menghargai.102

Sebagai lembaga yang dipercaya mampu mengembangkan kecerdasan, memberikan pengetahuan, dan membentuk kepribadian peserta didik, sekolah juga diharapkan dapat mentransformasikan nilai-nilai budaya. Untuk itu, sekolah dituntut supaya bisa mengembangkan dua prinsif proses pertransformasian nilai-nilai budaya, yaitu: pertama, pengakuan adanya kenyataan keragaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Kedua, nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat Indonesia dengan ke-bhinekaannya perlu dipilah-pilah untuk memilih nilai-nilai luhur yang perlu dipertahankan, serta meninggalkan nilai-nilai yang tidak berfungsi lagi dalam menghadapi perubahan.103

Demikian pula halnya dalam proses pembelajaran, konsep- konsep tersebut di atas harus bisa diterapkan dan dilaksanakan oleh guru. Perubahan paradigma belajar yang semula teacher centris ke

student centris harus dibarengi dengan kemampuan berkreasi menciptakan berbagai gagasan, prakarsa, serta cara-cara memberikan pelajaran yang bersifat menantang dan menggairahkan belajar peserta didik dengan menerapkan model-model pembelajaran yang bersifat partisipatif, kooperatif dan kreatif.104

Dengan penerapan konsep-konsep tersebut, diharapkan pembelajaran yang berlangsung tidak hanya sebagai proses pemindahan informasi dari guru ke peserta didik (siswa), namun mampu membentuk suatu perubahan sikap ke arah yang lebih dewasa, lebih arif, dan lebih bijaksana. Dan itu dimulai dari pembelajaran yang demoktaris.

102

Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan multicultural konsep dan aplikasi (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008),214.

103H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, 211. 104Abuddin Nata, Modernisasi P endidikan Islam di Indonesia , 119.

55 BAB III

DESAIN PEMBELAJARAN PAI BERBASIS TOLERANSI

Dalam dokumen BUDAYA TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN PEND (Halaman 58-67)