• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Keamanan Pangan dalam Islam

CONTROL POINTS (HACCP)

C. Konsep Keamanan Pangan dalam Islam

Dalam Al-Qur’an salah satu ayat yang menyebutkan kriteria tentang makanan salah satunya adalah QS al-Baqarah ayat 168.

“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian”.

48 FALSAFAH SAINS HALAL

Dalam ayat di atas, Allah menyuruh manusia untuk me-makan me-makanan yang halal dan thayyib dari rezeki yang diberikan Allah kepada mereka, baik makanan itu berasal dari binatang mau-pun tanaman. Makanan yang halal ialah makanan dan minuman yang dibenarkan oleh agama untuk dimakan dan diminum. Ma-kanan yang thayyib ialah maMa-kanan dan minuman yang dibenarkan untuk dimakan atau diminum oleh kesehatan, termasuk di dalam-nya makanan yang bergizi, enak, dan sehat. Makanan yang halal lagi baik inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk dimakan dan di-minum. Makanan yang dibenarkan oleh ilmu kesehatan sangat ba-nyak, dan pada dasarnya boleh dimakan dan diminum.

1. Halal

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata halal (Arab: للاح , ḥalāl; ‘diperbolehkan’) adalah segala objek atau kegiatan yang diizin-kan untuk digunadiizin-kan atau dilaksanadiizin-kan dalam agama Islam. Istilah ini dalam kosa kata sehari-hari lebih sering digunakan untuk me-nunjukkan makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikon-sumsi menurut Islam, menurut jenis makanan dan cara memper-olehnya. Lawan halal adalah haram. Halal menjadi salah satu dari lima hukum yang dikenal dalam agama Islam, yaitu: fardhu (wajib), mustahab (disarankan), halal (diperbolehkan), makruh (dibenci), ha-ram (dilarang).

Pengertian ini tentu saja sangat tidak memadai karena mengurangi makna yang sebenarnya terkandung. Halal mempunyai makna lain yang lebih luas. Halal bisa diartikan menempatkan se-suatu sesuai dengan tempatnya. Hukum semua benda dibolehkan untuk manusia, karena dunia diciptakan untuk manusia. Namun ketika digunakan tidak sesuai peruntukkannya maka dinamakan tidak halal. Halal juga bermakna melepaskan ikatan. Ketika seorang muslim dihadapkan pada makanan syubhat, pasti ada keraguan

untuk mengonsumsinya. Namun ketika diberitahukan bahwa ma-kanan tersebut sudah jelas halal, maka hilang perasaan terikat dan merasa ‘plong’ untuk memakannya (Somad, 2020).

Demikian juga haram, kata ini tidak sederhana diartikan sebagai dilarang. Masjidil haram bukan berarti masjid yang dilarang.

Bulan haram bukan berarti bulan yang dilarang. Haram bisa ber-makna terhormat atau dimuliakan. Ketika seorang muslim diharam-kan memadiharam-kan barang yang haram atau dicegah melakudiharam-kan perbuat-an yperbuat-ang haram, maka makna sesungguhnya adalah ia sedperbuat-ang di-muliakan. Pemahaman ini penting sehingga ketika dihadapkan pada perkara haram, seseorang seharusnya tidak akan menolak atau me-nentang, namun justru bersyukur karena sedang dimuliakan (Somad, 2020).

Ditegaskan juga dalam QS. Al A’raaf ayat 157 bahwa yang halal itu pasti baik dan yang haram itu pasti buruk bagi manusia.

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepada-nya, memuliakankepada-nya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang beruntung.”

2. Thayyib

Lafaz thayyib disebut 13 kali di dalam Al Qur’an. Selengkap-nya dapat dilihat dalam Tabel 3.1.

50 FALSAFAH SAINS HALAL

Tabel 3.1. Ayat Al Quran yang menyebutkan kata halal dan atau thayyib

Surah dan ayat Terjemahan dari https://risalahmuslim.id Al Baqarah (2),

ayat 168 Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.

Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu Ali Imran (3),

ayat 179; Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana dalam keadaan kamu

sekarang ini, sehingga Dia membedakan yang buruk dari yang baik.

An Nisaa (4),

ayat 2 Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu.

An Nisaa (4),

ayat 43 Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam

perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.

Al Maa’idah (5),

ayat 6, Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.

Al Maa’idah (5),

ayat 88 Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya

Al Maa’idah (5),

ayat 100 Katakanlah (Muhammad), “Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung

Al A’raaf (7), ayat

58; Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana.

Al Anfaal (8),

ayat 37 agar Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahanam. Mereka itulah orang-orang yang rugi

Al Anfaal (8),

ayat 69; Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah.

An Nahl (16),

ayat 114; Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya

Al Hajj (22), ayat

24; Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan diberi petunjuk (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji

Faathir (35), ayat

10. Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya.

Adapun orang-orang yang merencanakan kejahatan mereka akan mendapat azab yang sangat keras, dan rencana jahat mereka akan hancur

Kata thayyib banyak disebutkan dalam berbagai bentuk kata, yaitu dengan lafal thayyiban, thayyibah, dan thayyibât. Lafaz ini adalah mashdar dari lafaz thayyaba yaitu menjadikan sesuatu baik dan suci. Ath thayyib mengandung makna setiap sesuatu yang lezatkan indera atau diri, setiap sesuatu yang kosong dari yang me-nyakitkan, kotor, atau najis. Ath thayyib juga bermakna orang yang lepas dari segala kehinaan dan bersifat dengan segala kemuliaan.

Ungkapan fulaan thayyibal qalb bermakna si fulan batin (hatinya) bersih, begitu juga dengan thayyibal izaar atau kain yang bersih. Ath thayyib minal bilaad artinya tanah yang baik.

Oleh karena itu lafaz ini dapat digunakan pada perkara akhlak, percakapan dan manusia secara umumnya. Di dalam Al Qur’an lafaz thayyib mengandung beberapa makna:

a. Sehat, aman dan tepat

Bila dikaitkan dengan makanan ia berarti makanan yang se-hat karena tidak kotor atau rusak dari segi zatnya, atau di-campuri benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya, jadi lafaz tha-yyib dalam makanan adalah makanan yang sehat, tepat dan aman. Sehat berarti makanan yang memiliki zat yang cukup

52 FALSAFAH SAINS HALAL

dan seimbang seperti madu (An Nahl: 69); padi (As Sajadah:

27); ikan (An Nahl: 14) dan sebagainya. Tepat berarti sesuai dengan keperluan pemakan, tidak lebih dan tidak kurang, dan arti aman ialah dengan memperhatikan sisi takwa yang intinya adalah berusaha menghindari segala yang mengaki-batkan siksa dan terganggunya rasa aman.

b. Suci

Karena lafaz ini dikaitkan dengan perkataan sha’iidan yang berarti debu atau tanah. Makna ini terdapat dalam surah An Nisaa: 43 dan Al Maa’idah: 6. Lafaz sha’iidan thayyiban ber-makna debu yang bersih atau suci.

c. Perkataan yang baik Dalam surah Faathir ia bermakna setiap perkataan yang baik berupa doa, zikir, membaca Al Qur’an, tasbih, tahmid dan sebagainya.

d. Bumi atau tanah yang baik Thayyib dikaitkan dengan perka-taan ‘al balad yaitu negeri, seperti yang terdapat dalam surah Al A’raaf : 58. Makna al baladuth thayyib ialah tanah yang baik dan subur yang mengeluarkan tumbuh-tumbuhannya dengan subur dan produktif.

e. Perumpamaan bagi orang MukminAth thayyib ada dua jenis:

bersifat jasmani seperti makna-makna di atas, dan yang ber-sifat rohani adalah perkara yang paling baik dalam mengenal Allah dan taat kepada perintah Allah.

Thayyib menjadi lawan kata dari khabits, merujuk pada al-A’raf: 157 di atas. Makna khabits, yang merupakan turunan kata dari khabutsa – yakhbutsu – khubtsan, diartikan sebagai sesuatu yang rusak, buruk, atau tidak menyenangkan. Karena itulah ia rele-van menjadi lawan kata dari thayyib yang maknanya adalah baik atau menyenangkan. Dari ayat-ayat di atas dipahami bahwa apa yang thayyib atau dipandang baik, maka ia halal. Sedangkan apa

yang dipandang sebagai khabits atau buruk, maka ia diharamkan.

Menurut Al-Qur’an dan Hadits bahwa salah satu kriteria produk halal adalah ia mesti thayyib dan tidak mengandung mu-dharat. Lafal thayyibat mencakup makna halal karena makanan yang thayyib tidak akan mengandung bahaya, larangan maupun madharat lain di dalamnya, sehingga ia halal. Jika yang thayyib ber-arti halal, maka yang buruk (khabits) dapat dinilai haram. Sed-angkan dalam konteks layak, enak, atau lezat, lumrahnya manusia memandang kelayakan, rasa dan lezatnya makanan atau minuman sebagai hal yang baik. Pandangan seperti ini meniscayakan bahwa layak tidaknya makanan/minuman untuk dikonsumsi dinilai dari pengetahuan manusia seputar kelayakan dan manfaat barang ter-sebut.

Dengan mempertimbangkan kompleksitas rantai pasokan makanan moderen saat ini pemahaman halal sebagai indikator yang berdiri sendiri tidak lagi cukup. Oleh karena itu, dalam lingkungan bisnis saat ini, konsep halal harus dimasukkan dengan nilai thayyib, salah satu yang mewujudkan esensi kebersihan, kemurnian, aman dan tinggi yang lebih dikenal sebagai Halallan-Toyyiban.

Banyak cendekiawan Muslim yang menyatakan bahwa kon-sep Toyyiban dan Halal saling terkait. World Halal Forum menyebut-kan bahwa produk halal adalah produk universal dan harus me-miliki standar yang tinggi mengenai kualitas, keamanan, pengemas-an dpengemas-an pelabelpengemas-an (WHF, 2009). Selain itu, sebuah penelitipengemas-an mela-porkan bahwa Good Hygiene Practices (GHP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) adalah persyaratan wajib dalam persiapan makanan Halal (Rahman et al., 2014). Pendekatan ini diperkenalkan sebagai konsep Islamic Manufacturing Practice (IMP).

Konsep Halallan-Toyyiban sesungguhnya bersumber dari dua sumber utama ajaran Islam yaitu Al Quran dan Hadist. Hukum Islam disebut sebagai syariah dan telah ditafsirkan oleh para sarjana

54 FALSAFAH SAINS HALAL

Muslim selama bertahun-tahun. Prinsip dasar hukum Islam sudah pasti dan tidak berubah. Namun, interpretasi dan penerapannya dapat berubah sesuai dengan waktu, tempat, dan keadaan. Selain dua sumber dasar hukum Islam, Alquran dan Hadist, sumber-sumber fiqih lain digunakan untuk menentukan kehalalan pangan, ketika situasi kontemporer tidak secara eksplisit tercakup dalam sumber-sumber dasar tersebut. Sumber petunjuk ketiga disebut Ijihad, atau mengerahkan diri sepenuhnya untuk mendapatkan ja-waban atas masalah. Hal ini dapat dicapai dengan salah satu atau kedua proses berikut: Ijma, yang berarti kesepakatan pendapat, dan Qiyas, yang berarti penalaran dengan analogi. Isu terkini tentang organisme hasil rekayasa genetika (GMO), pakan ternak, hormon, dan lain-lain, didiskusikan berdasarkan dua konsep ini dan bebera-pa sumber lain yang lebih rendah dari yurisprudensi Islam. Sumber bahan yang tidak konvensional, bahan sintetis, dan inovasi dalam penyembelihan hewan dan pemrosesan daging adalah beberapa ma-salah yang dihadapi oleh cendekiawan Muslim dalam membantu konsumen membuat pilihan yang tepat (Regenstein, 2008).

Sementara pemahaman sekuler yang berkembang pasca ke-runtuhan kekhalifahan Ustmani menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dirasakan terpisahkan dari ajaran agama. Hal ini me-nyebabkan aspek jaminan Thoyyiban ditangani sebagai entitas yang terpisah dari jaminan halal dan mengacu pada standard Codex Alimentarius Commision (CAC).

Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah badan antar pemerintah internasional yang mengembangkan standar keamanan pangan dan komoditas berbasis ilmu pengetahuan, pedoman, dan rekomendasi untuk mempromosikan perlindungan konsumen dan memfasilitasi perdagangan dunia. Codex dibentuk oleh badan kerja sama dari dua organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu Orga- nisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia

(WHO). Saat ini, Codex memiliki 165 negara anggota.

Codex didirikan pada tahun 1962 ketika FAO dan WHO me-nyadari perlunya standar pangan internasional untuk melindungi kesehatan konsumen dan untuk memandu industri makanan yang berkembang di dunia dalam menghasilkan makanan berkualitas.

Codex bertugas mengembangkan standar makanan untuk diadopsi dan digunakan oleh negara-negara anggota. Codex Alimentarius sen-diri merupakan kumpulan standar pangan internasional yang di-adopsi oleh Codex Alimentarius Commission dan disajikan secara seragam. Tujuan dari standar ini adalah untuk melindungi kesehat-an konsumen dkesehat-an memfasilitasi praktik ykesehat-ang adil dalam perdagkesehat-ang- perdagang-an makperdagang-anperdagang-an.

Pendekatan sekuler ini dapat mengarah pada situasi yang menyebabkan produk yang sudah disertifikasi halal mungkin tidak aman atau tidak sesuai dengan kualitas yang ditentukan berdasar-kan standard CAC atau dengan kata lain tidak Thoyyiban. Sebagai contoh, kasus di Negara Turki, dari sudut pandang pemerintah, mencatat, bahwa Institut Standard Turki, sebuah lembaga pemerin-tah yang bertanggung jawab atas berbagai standar, menyatakan bahwa masalah keamanan pangan akan didahulukan daripada ma-salah agama dan menambahkan bahwa kantor negara sekuler hanya dapat memutuskan status kehalalan pangan. Sementara itu, di Ma-laysia yang merupakan negara berdasarkan Islam, menurut Un-dang-Undang Uraian Perdagangan Pemerintah Malaysia tahun 1972, Halal harus tidak beracun atau membahayakan kesehatan.

Standar MS 1500: 2009 menyatakan bahwa makanan halal harus aman dikonsumsi, tidak beracun, tidak memabukkan atau tidak berbahaya bagi kesehatan. Di sisi lain, definisi Halal dari CAC/GL 24-1997 tidak menyertakan klausul tentang keamanan (CAC, 2001).

Ini hanya mengacu pada Prinsip Umum Codex tentang Higiene Pangan dan Standar Codex relevan lainnya selama produksi

56 FALSAFAH SAINS HALAL

makanan Halal. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Malaysia dan standar Malaysia MS 1500: 2009 memiliki pendekatan “Halal Toyyiban” yang terpadu sedangkan pedoman Codex mengacu pada Halal dan Toyyiban secara independen (Neio Demirci, et.al., 2016).

Perkembangan sertifikasi halal sekarang semakin kompre-hensif. Aspek Thayyib tidak lagi terpisah dalam standard sistem ja-minan halal. Latif et al. (2014) mencoba membandingkan sembilan lembaga sertifikasi halal di dunia dalam menerapkan standard sis-tem jaminan halal. Setidaknya ada tujuh aspek yang disepakati ber-sama yaitu: 1) tempatnya harus bersih dan tidak terkontaminasi, 2).

penyembelihan hewan harus dilakukan oleh Muslim yang memenuhi syarat, 3). fasilitas dan peralatan tidak boleh terkontaminasi oleh barang non-halal, 4). hanya bahan Halal yang dapat digunakan untuk produk Halal, 5). bahan asal hewan harus berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai dengan hukum Islam, 6). bahan ke-masan tidak boleh mengandung bahan yang melanggar hukum dan berbahaya, serta 7). tidak boleh ada kontaminasi antara produk Halal dan non-Halal selama penanganan penyimpanan, pengang-kutan dan pembuatan.

Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia juga sudah memasuk-kan aspek Thayyib ke dalam proses audit sertifikasi halal. Bagi pro-duk yang terutama akan dipasarkan ke negara Uni Emirat Arab, persyaratan HACCP menjadi tambahan wajib. Sedangkan produk pangan yang lain wajib menerapkan minimum GMP ataupun harus ada prosedur tertulis yang menjamin produk tidak terkontaminasi benda asing dan mikroba atau bakteri patogen. Selain itu bahan yang digunakan juga harus sesuai dengan regulasi pemerintah yang berlaku. Audit pemenuhan regulasi terkait bahan-bahan untuk pro-duk intermediet (pangan, obat dan kosmetik) yang dipasarkan di Indonesia mengacu pada PerKa BPOM No.HK.03.1.23.07.11.6664/

2011 tentang Pengawasan Kemasan Pangan, PerKa BPOM No. 18/

2015 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika, PerKa BPOM No. 10/2016 tentang Penggunaan Bahan Penolong Golongan Enzim dan Golongan Penyerap Enzim Dalam Pengolahan Pangan, PerKa BPOM No.22/2016 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tam-bahan Pangan Perisa, PerKa BPOM No.05/2017 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Obat Dan Makanan Ke Dalam Wilayah Indonesia, PerKa BPOM No. 07/2018 tentang Bahan Baku Yang Dilarang Dalam Pangan Olahan, dan Permenkes No. 33/2012 tentang Bahan Tam-bahan Pangan (LPPOM, 2020).