• Tidak ada hasil yang ditemukan

Antara Maqashid al-Qur’an dengan Maqashid al-Syari’ah Maqashid al-Qur’an dalam kajian ilmu keislaman mempunyai

MAQASHID AL-QUR’AN DALAM KEHALALAN PRODUK

B. Antara Maqashid al-Qur’an dengan Maqashid al-Syari’ah Maqashid al-Qur’an dalam kajian ilmu keislaman mempunyai

hubungan yang sangat dekat dengan maqashid al-Syari’ah. Hal ini karena keduanya merupakan kajian maqashid yang dilakukan pada sumber otentik Islam. Walaupun demikian, untuk memperjelas arah kajian, penulis akan memaparkan perbedaan antara maqashid al-Qur’an dan maqashid al-Syari’ah. Istilah Maqashid al-Syari’ah lebih populer dalam kajian hukum Islam, sedangkan maqashid al-Qur’an merupakan satu kajian dalam studi al-Qur’an dan Tafsir. Maqashid al-Qur’an secara umum membahas tentang kehendak Allah Swt.

yang diwakili oleh setiap ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan-Nya, baik ayat ahkam (ayat tentang hukum) atau ayat lainnya, sedangkan maqashid al-Syari’ah berdasarkan sumber-sumbernya tidak hanya meliputi ayat ahkam yang ada dalam al-Qur’an, melainkan juga me-liputi hadis ahkam dari Nabi, Ijma’, Qiyas dan sumber ahkam yang lain.[14, p. 8]

Maqashid al-Qur’an dapat diklasifikasikan berdasarkan ruang

22 FALSAFAH SAINS HALAL

lingkupnya, dari yang terkecil hingga yang terbesar. Pertama, ada yang disebut dengan maqashid ayat atau maksud dari suatu ayat, baik yang sudah jelas (sharih) maupun yang masih samar (khafi).

Dalam konteks ini, tugas mendasar seorang penafsir adalah men-jelaskan makna dan maksud setiap ayat yang ditafsirkannya. Kedua, ada pula yang disebut maqashid al-surah atau maksud dari suatu surah. Menurut al-Biqqa’i, setiap surah mempunyai satu pembahas-an tentpembahas-ang tema pokok ypembahas-ang dikpembahas-andungnya dpembahas-an biaspembahas-anya ayat-ayat awal dan akhir pada surah tersebut mengitari tema pokoknya. Lebih lanjut, mufassir ini mengatakan bahwa maqashid al-surah sangat mempengaruhi tujuan-tujuan dan pemaknaan ayat-ayat dalam su-rah tersebut. Ketiga, ada yang disebut dengan maqashid al-Qur’an al-‘Ammah atau maksud al-Qur’an secara keseluruhan. Penafsir me-nempuh satu dari dua cara untuk mengidentifikasi ini, yaitu dengan memerhatikan teks al-Qur’an yang menerangkan tujuan dan sifat-nya sendiri atau dengan merangkum hukum maupun penjelasan al-Qur’an dan menyimpulkan unsurunsurnya yang utama.[14]

Sementara itu, maqasyid al-syari’ah lebih dekat dekat kajian fiqih dan ushul fiqih. Maqasyid al-syari’ah ini mulai berkembang pada era al-Syathibi (abad ke-8 H). Oleh karena itu, al-Syathibi oleh para ulama dijuluki ‘Bapak Maqashid al-Syari’ah’. Al-Syathibi men-cetuskan gagasan maksud diberlakukannya syariat yang lebih dina-mis melalui karya monumentalnya, al-Muwafaqat. Auda menjelas-kan bahwa andil besar al-Syathibi dalam perkembangan ilmu Maqa-shid al-Syari’ah, pada tiga hal, yaitu: pertama, Mengubah persepsi lama tentang Maqashid al-Syari’ah, menjadikan kajian ini menjadi disiplin ilmu mandiri yang sebelumnya menjadi bagian dari ushul fiqih; kedua, al-Syathibi mengkritik penggunaan Maqashid al-Sya-ri’ah hanya sebagai hikmah suatu hukum saja. Ia menyampaikan usulan agar menetapkan hukum dapat digali dari landasan pokok Maqashid al-Syari’ah; ketiga, Maqashid al-Syari’ah dapat dijadikan

sebagai dasar hukum yang pasti, karena bersumber dari nash yang qath’i.[15, pp. 53–54]

Al-Syathibi dalam karya monumentalnya, al-Muwafaqat, mengembangkan kajian maqashid al-syariah menggunakan pende-katan tahlili istiqra’i (analitis induktif). Pendepende-katan ini dirasa sangat memberikan banyak kontribusi dalam pengembangan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dan hadis dalam sebuah maqasyid syariah. Kon-tribusi riel al-Syathibi dalam mengembangkan maqasyid syariah adalah: pertama, mengembangkan ushul fikih sebagai dasar maqa-shid al-syariah dan menjadi maqasyid syariah menjadi disiplin ilmu yang mandiri; kedua, al-Syathibi merupakan founding father yang menambahkan maqashid al-mukallaf ke dalam salah satu tema Ma-qashid al-Syari’ah; ketiga, al-Syatibi adalah tokoh pertama yang me-nyemai metodologi untuk mengetahui tujuan-tujuan Sang Pencipta akan diketahui secara menyeluruh.[16, p. 15]

Hal yang mendasar dari maqasyid al-Syariah al-Syathibi ada-lah bahwa syariat yang diturunkan oleh Alada-lah di muka bumi ini pada hakekatnya untuk merealisasikan merealisasikan kemaslahatan manusia serta menghindari kerusakan. Al-Syathibi membagi kema-slahatan dalam tiga kategori, yaitu; primer (dharuriyat), sekunder (haajiyat) dan tersier (tahsiniyat). Kebutuh primer berarti kebutuhan yang harus ada untuk keberlangsungan hidum manusia. Semisal, menjalankan agama, makan, minum, belajar, menikah, dan lainnya.

Kebutuhan primer ini mencakup lima penjagaan (al-hifzh), atau se-ring disebut dlaruriyat al-khams; menjaga agama (hifzhu al-din), menjaga jiwa (hifzhu al-nafs), menjaga keturunan (hifzhu al-nasl), menjaga harta (hifzhu al-mal) dan menjaga akal (hifzhu al-‘aql). Al-Syathibi juga menjelaskan bagaimana cara untuk dapat melestari-kan lima penjagaan tersebut. Pertama, menjaga segala hal agar ke-beradaannya lestari. Kedua, menghindari dari segala yang bisa me-rusak.[16]

24 FALSAFAH SAINS HALAL

Al-Syathibi mencontohkan; pertama, cara menjaga agama, yaitu dengan menjalankan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan lainya. Sebaliknya, barang siapa memerangi agama harus turut ber-jihad. Kedua, untuk menjaga jiwa, diri harus dijaga dengan baik, tidak boleh melukai diri maupun orang lain. Apabila melukai orang lain atau sampai membunuh maka harus ada syariat qishash. Untuk menghindarkan punahnya agama, maka disyariatkan jihad. Sedang-kan diterapSedang-kannya maslahat hajiyat untuk menghindarSedang-kan diri dari kesulitan dalam hal pelaksanaannya. Semisal, shalat jama’ dan qashar bagi musafir. Sementara maslahah tahsiniyat adalah untuk melestarikan akhlak yang baik. Sekiranya maslahat ini tidak ada, maka tidak akan memunculkan kerusakan atau lenyapnya sesuatu juga tidak akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya, namun dianggap tidak layak dan tidak pantas menurut kesopanan dan tata krama yang berlaku di masyarakat.[17]

Dewasa ini kajian Maqashid al-Syari’ah dielaborasi oleh Ibnu

‘Asyur yang sebelumnya dikembangkan oleh al-Syathibi. Ibn ‘ASyur membagi Maqashid al-Syari’ah dalam dua varian yang belum dikenal sebelumnya, yaitu: umum (al-‘ammah) dan khusus (al-khashsah).

Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa Maqashid al-Syari’ah dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam memahami nash (teks) al-Qur’an mau-pun hadis. Pemikiran lain dari Ibnu ‘Asyur yang membedakan dengan sebelumnya adalah al-hurriyah (kebebasan), al-musawah (kesetaraan), fithrah (kesucian), samahah (toleransi), dan al-haqq (keadilan). Terobosan pemikiran ini sangat urgen untuk meme-nuhi kebutuhan manusia pada konteks modern saat ini. Pemikiran brillian ini berimbas pada jangkauan Maqashid al-Syari’ah yang tidak semata membatasi pada aktifitas individu, namun juga kepada manusia secara menyeluruh.[18, p. 28]

Berkembangnya kajian Maqashid al-Syari’ah berimbas pada munculnya kajian maqasyid al-Qur’an yang menurunkan kajian

tafsir maqashidi. Ketika Maqashid al-Syari’ah dianggap sebagai alat untuk dapat memahamkan syariah agar senantiasa bisa membumi dan memberi kemaslahatan kepada umat manusia, maqashid al-Qur’an juga dimaksudkan agar al-al-Qur’an bisa dipahami secara ho-listik untuk kepentingan umat manusia. Sebenarnya terdapat kesa-maan dalam menggunakan pendekatan sistem antara Maqashid al-Syari’ah dan maqashid al-Qur’an, baik dalam penetapan hukum ataupun dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an, keduanya menjadikan al-Qur’an sebagai sumber utama. Ketika seseorang ber-bicara dan membahas syariat sudah barang tentu juga member-bicara- membicara-kan al-Qur’an.[19, p. 42]

Meskipun tafsir maqashidi yang sebagai turunan dari maqa-shid al-Qur’an belum dikenal luas sebagaimana Maqamaqa-shid al-Sya-ri’ah, namun pelbagai upaya untuk mensosialisikan pemikiran tafsir maqashidi ini telah dilakukan. Gerakan mensosialisasi pemikiran ini dimotori oleh para sarjana muslim dari Marokko. Salah satu upaya adalah diskusi publik ilmiah internasional bertajuk Qira’at al-Jadidah li al-Qur’an al-Karim (Pembacaan baru dalam memahami al-Qur’an) yang diadakan oleh Fakultas Adab dan Humaniora Uni-versitas al-Balag al-Tsaqafi Oujda, Marokko, pada tanggal 18 s.d. 20 April 2007. Momentum inilah yang dianggap sebagai stimulus di-sosialisasikannya tafsir maqashidi sebagai pendekatan baru dalam memahami kandungan a-Qur’an. [20] Kini kajian maqashid Qur’an dan tafsir maqashidi mulai semarak. Banyak sarjana Qur’an menjadikannya sebagai bahan kajian untuk memahami al-Qur’an pada masa kini. Bahkan maqashid al-al-Qur’an dan tafsir ma-qashidi sudah menjadi mata kuliah yang diajarkan di pelbagai per-guruan tinggi keagamaan baik di dalam maupun luar negeri.