• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Makanan Halal dan Haram dalam al-Qur’an Pengetahuan tentang halal dan haram dalam Islam telah

MAQASHID AL-QUR’AN DALAM KEHALALAN PRODUK

D. Konsep Makanan Halal dan Haram dalam al-Qur’an Pengetahuan tentang halal dan haram dalam Islam telah

28 FALSAFAH SAINS HALAL

Terkadang juga menggunakan kata yuhillu (bentuk fi’il mudhari’ mabni ma’lum/kata kerja aktif), seperti dalam QS. al-A’raf:

157:

ﱡلِحُيَو ُمُھ َل ِتاَبﱢيﱠطلا ُمﱢرَحُيَو ُمِھْيَلَع َثِئاَبَخْلا

Hal yang sama juga pada kata haram yang menunjuk pada makanan. Terdapat beberapa ayat yang secara khusus membahas tentang keharaman memakan makanan tertentu. Penyebutan ha-ram terkadang menggunakan kata harha-rama (bentuk fi’il madhi mabni ma’lum/kata kerja aktif) seperti dalam firman-Nya:

اَمﱠنِإ َمﱠرَح ُمُكْيَلَع َةَتْيَمْلا َو َمﱠدلا َو َمْحَل ِريِزْنِخْلا َو اَم ﱠلِھُأ ِهِب ِرْيَغِل ِﱠﷲ

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika di-sembelih) disebut (nama) selain Allah (QS. al-Baqarah: 173).

Pada ayat yang lain, penyebutan haram menggunakan kata hurrimat (bentuk fi’il mabhi majhul/kata kerja pasif), seperti firman-Nya:

ُمﱠدلٱَو ُةَتْيَمْلٱ ُمُكْيَلَع ْتَمﱢرُح ِھُأ ٓاَمَو ِريِزنِخْلٱ ُمْحَلَو

ُق ْوَمْلٱَو ُةَقِنَخْنُمْلٱَو ۦِهِب ِ ﱠ ٱ ِرْيَغِل ﱠل ُةَيﱢدَرَتُمْلٱَو ُةَذو

لٱ ىَلَع َحِبُذ اَمَو ْمُتْيﱠكَذ اَم ﱠلاِإ ُعُبﱠسلٱ َلَكَأ ٓاَمَو ُةَحيِطﱠنلٱَو ِف ْمُكِل َٰذ ۚ ِمَٰل ْزَ ْلأﭑِب ۟اوُمِسْقَتْسَت نَأَو ِبُصﱡن

ْس ٌق

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, da-ging babi, (dada-ging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditan-duk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan (QS. al-Maidah: 3).

D. Konsep Makanan Halal dan Haram dalam al-Qur’an

haram ini sangat urgen bagi setiap muslim, karena berimbas pada pahala dan dosa, antara kenikmatan surga dan siksa neraka.

Sehingga setiap muslim diwajibkan untuk mengetahui mana makan-an dmakan-an minummakan-an ymakan-ang halal, mmakan-ana ymakan-ang haram. Apabila seormakan-ang muslim dapat mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal saja, serta dapat menghindari dari yang diharamkan Allah Swt, maka niscaya ridha Allah akan menghampirinya. Namun sebaliknya, apabila yang dikonsumsi adalah makanan dan minuman yang ha-ram bukan karena terpaksa, siksa dan murka Allah akan mengham-pirinya.[24, p. 35] Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang muslim memahami konsep halal dan haram.

Konsep halal dan haram merupakan istilah al-Qur’an yang digunakan dalam berbagai pengertian konsep yang berbeda-beda.

Adakalanya dipergunakan untuk konsep yang berkaitan dengan per-nikahan sebagian lagi berhubungan dengan konsep makanan dan minuman. Kata halal dan haram selain sering disebut dalam al-Qur’an juga banyak disebut dalam Hadis Nabi Saw.[25] Ibnu Faris mengindentifikasi kata halal berasal dari kata halla, yang mempu-nyai beragama makna, di antaranya menempati, menguarai, solusi, dan membuka sesuatu.[6] Dalam etimologi fuqaha, kata halal juga sering diartikan kebolehan (al-ibahah). Al-Jurjani menjelaskan kata halal yang berasal dari al-hall memiliki arti terbuka dan mengurai.

Secara terminologi syariah, halal adalah sesuatu apabila dilakukan tidak dikenai hukuman atau sanksi begitu pula apabila ditinggal.

Apabila dihubungkan dengan makanan, halal berarti sesuatu yang boleh dimakan menurut hukum syariat.[26, p. 97]

Sedangkan kata haram berasal dari kata harama yang ber-makna larangan (mamnu’). Haram juga berber-makna peringatan. Ha-ram menurut istilah para ahli fiqih (fuqaha’) adalah sesuatu apabila dilakukan mendatangkan dosa atau dikenai sanksi dari Allah, dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Ini adalah kata

30 FALSAFAH SAINS HALAL

haram yang berantonim dengan wajib. Sementara haram yang ber-antonim dengan halal biasanya lebih kepada larangan terhadap se-suatu yang bisa dirasakan, seperti makanan, pernikahan dan yang lainnya. Menurut al-Asfihani, haram dan halal merupakan bentuk larangan atau kebolehan terhadap sesuatu yang disantap haruslah disararkan pada teks ilahi, karena itu menjadi hukum syara’.[23]

Kata halal yang bermakna kebolehan menyantap sesuatu da-lam al-Qur’an sering disandingkan dengan kata thayyib. Setidaknya ada empat yang dalam al-Qur’an yang menyandingkan kata halal dengan thayyib, yaitu QS. al-Baqarah: 168, QS. al-Maidah: 88, QS.

al-Anfal: 69 dan QS. al-Nahl: 114. Secara bahasa thayyib bermakna sesuatu yang baik yang bersifat umum. Dalam al-Qur’an kata baik selain menggunakan thayyib juga biasa disebut dengan mengguna-kan kata shalih, hasan, khair, birr, dan ma’ruf. Tentu masing-ma-sing kata memiliki spefikasinya tersendiri yang biasa dikaji dalam kajian al-Furuq al-Lughawiyah (perbedaan makna kata dalam baha-sa Arab).[27, p. 275]

Dari empat ayat yang berbicara tentang halal dan thayyib di atas bisa dikatakan bahwa halal dan thayyib bertemu dalam kesa-tuan makna yang berfungsi sebagai penguat (ta’kid) untuk membe-dakan lafaz. Al-Syawkani ketika mengutip pendapat al-Syafi’i menga-takan bahwa thayyib memiliki makna melezatkan. Sementa itu al- Tabari (w. 310 H) menyatakan bahwa makna dari kata thayyib dalam ayat-ayat tersebut adalah sesuatu yang suci dan bersih tidak yang mengandung unsur najis dan tidak juga mengandung unsur haram.

Sementara Menurut Al-‘Arabi, kata thayyib berantonim (kebalikan) dari kata al-khabits, bermakan yang buruk dan jelek. Al-‘Arabi juga menjelaskan bahwa kata thayyib memiliki dua arti. 1), suatu perkara yang dirasa cocok bagi tubuh dan atau sesuatu yang bisa dirasakan lezatnya bagi indera perasa. 2), segala sesuatu baik makanan atau minuman ataupun barang yang dihalalkan Allah Swt.[28]

Konsep halal dan thayyib ini berimplikasi pada makanan yang layak dimakan atau diminum. Ini berarti bahwa makanan yang akan disantap itu tidak hanya halal ketika didapat dan halal jenis makanannya, namun juga harus dipastikan makanan itu layak dan baik untuk disantap. Sehingga halal saja tidak cukup, harus disertai thayyib baik dan layak. Semisal, di hadapan kita ada makanan be-rupa buah mangga, yang kita dapatkan secara halal, namun apabila mangga itu busuk, maka tidak disebut dengan thayyib. Begitu juga ketika dihadapan seseorang ada makanan berupa daging, yang halal ketika ia mendapatkannya, akan tetapi ketika itu ia sedang sakit diabetes yang akut, maka makanan yang dari daging itu tidak baik untuk ia santap.

Mengkonsumsi makanan halal dan thayyib bukan hanya pada umatnya Nabi Muhammad semata, namun para umat nabi-nabi terdahulu juga diperintahkan Allah untuk mengkonsumsi dan memakan makanan yang thayyib. Hal ini tergambar dalam QS. al-Mu’minun: 51. Ayat ini menjelaskan tentang perintah Allah kepada seluruh Rasul dan para umatnya untuk mengkonsumsi makanan halal serta melakukan amal shalih. Berdasarkan ayat ini, mengon-sumsi makanan dan minuman yang halal merupakan perintah aga-ma yang sesuai dengan syar’iat dan teraga-masuk aaga-mal salih, yang se-mua para Rasul telah diperintahkan untuk melaksanakannya.

Pelbagai ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang perintah halal di atas dapat dipahami bahwa mengonsumsi makanan dan minuman yang halal lagi baik merupakan bagian dari kewajiban. Dengan kata lain, ketentuan halal dan haram sangat erat hubungannya dengan ajaran Islam yang terdiri dari akidah (keimanan), syari’at dan akhlak.[28]

Konsep halal dan haram berlaku pada semua orang, bukan hanya kaum muslimin saja. Hal ini didasarkan pada QS. al-Baqarah:

168, “Wahai para manusia, makan lah yang halal lagi thayyib (baik)

32 FALSAFAH SAINS HALAL

dari sesuatu yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Halal dan haram juga manifestasi dari baik dan buruk. Sejak awal penciptaannya manusia sudah dibelaki ilmu mana yang baik dan buruk, yang halal dan haram, yang boleh dan tidak boleh. Oleh karena itu, yang halal dan baik pasti merupa-kan petunjuk dari Allah swt, sementara haram dan buruk bisa di-pastikan sebagai akibat mengikuti langkah setan. Mendasar hal ter-sebut, al-Qur’an memerintahkan manusia secara umum dan kaum muslim secara khusus untuk mengkonsumsi makan halal dan baik yang berupakan bagian dari rizki Allah, dan menjauhkan diri dari sesuatu yang diharamkan. Sebab, menerjang larangan Allah Swt.

akan mendatangkan sanksi dan hukuman dari Allah.

Selain dijelaskan al-Qur’an, Nabi secara jelas juga menguat-kan apa yang terdapat dalam al-Qur’an. Nabi secara khusus pernah menjelaskan halal dan haram ketika beliau ditanyai tentang keju, minyak samin, dan jubah yang diolah dari kulit binatang. Nabi Saw.

menyampaikan bahwa, barang yang halal adalah segala hal yang Allah halalkan dalam Kitab-Nya, dan yang haram adalah segala hal yang Allah haramkan dalam Kitab-Nya. Sedangkan apa yang didiam-kan-Nya (tidak disinggung), maka ia termasuk yang dimaafkan kepa-da kalian (HR. Ibnu Majah kepa-dan al-Tirmidzi). Hadis ini mengingatkan kaum muslim bahwa yang halal dan haram itu sesuatu yang sudah disampaikan oleh al-Qur’an, baik secara eksplisit maupun implisit [29]. Secara ekplisit semisal, bangkai dan lainnya. Sedangkan yang implisit adalah narkoba dan sejenisnya. Pengertian tentang keha-raman narkoba didapat dengan cara memberlakukan qiyas untuk menggali hukum dari narkoba dan sejenisnya.