• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Penelitian Terdahulu

4. Konsep Kemaslahatan sebagai Tujuan Maqâshid Syarî’ah

Hukum dapat memberikan banyak manfaat bagi umat manusia. Selain itu, Hukum juga diharapkan dapat memberikan nilai-niilai keadilan. Secara sub-stansial, hukum harus ditentukan menurut dua asas, yaitu asas keadilan dan faedah (kemanfaatan). Teori Kemanfaatan (utilitas) ini secara umum sangat tepat dan berguna dalam pembahasan yang berkaitan dengan perekonomian. Hanya saja dalam kajian yang berkaitan dengan bisnis syari'ah, teori kemanfaatan (utilitas) nampaknya masih mengandung banyak kelemahan. Kelemahan tersebut terletak pada sesuatu yang dapat dikatakan manfaat tetapi belum tentu maslahat. Karena nilai manfaat itu seringkali hanya diukur dari kesenangan sepihak dan bersifat sementara. Kesenangan bagi seseorang, belum tentu berarti kesenangan bagi orang lain. Bahkan terkadang bisa merupakan penderitaan baginya. Contoh dari hal ini adalah pengambilan keuntungan melalui jalan riba. Bagi pihak yang beruntung, riba memang dapat dikatakan manfaat, karena dapat mendatangkan

atau definitive, bukan yang dhonny. Karena itu, menurut as-Syathibi, dalil-dalil naqli yang diguna-kan sebagai dasar adalah yang mutawatir, sanatnya bersambung dan matannya tidak mengandung kecatatan. Selain itu ia juga menelak intervensi nalar/rasio dalam wilyah ini, karena jika digunakan maka nalar/rasio akan dengan mudahnya ‚menghakimi‛ agama.

126Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1977, h. 223-224.

127Yusdani, at-Tufi dan Teorinya tentang Maslahat, www.yusdani.com, (Akses 16 Nopember 2012).

kesenangan. Tetapi bagi pihak lain (yang diambil keuntungannya) sesungguhnya merupakan penderitaan yang tidak disadari. Sekalipun demikian teori kemanfaat-an (utilitis) di sini, diidentikkkemanfaat-an dengkemanfaat-an teori kemaslahatkemanfaat-an (perspektif Hukum Islam). Karena teori kemaslahatan dalam kerjanya selalu berpijak pada nilai manfaat terlebih dahulu.

Teori kemaslahatan berasal dari teori hukum Islam yang orientasi bidik-annya lebih menekankan kepada unsur kemaslahatan atau kemanfaatan untuk manusia daripada mempersoalkan masalah-masalah yang normatif belaka. Teori kemaslahatan tidak semata-mata melihat bunyi teks hukum (bunyi ayat al-Qur’an dan al-Hadits) maupun undang-undang tertulis, melainkan lebih menitikberatkan pada prinsip-prinsip atau tujuan yang hendak dicapai, yang terkandung di dalam nas atau teks tersebut (Maqâshid Syarî’ah). Karena itu, terkadang teori ke-maslahatan ini secara lahiriah nampak tidak sejalan dengan teks undang-undang baik berupa ayat al-Qur’an maupun al-Hadits, akan tetapi kalau dicermati sesungguhnya justru dapat mengembangkan dan membawa prinsip-prinsip dan misi hukum yang terkandung di dalam teks tersebut. Najm al-Din al-Thûfy dalam hal ini berpendapat lebih ekstrim lagi. Ia lebih mengedepankan kemaslahatan dari pada nas (teks al-Qur’an dan al-Hadits) dalam hal muamalah (hubungan antara manusia dengan manusia yang lain, seperti bisnis dan lain sebagainya).128 Hanya saja pendapat Najm al-Thûfy ini kemudian dikomentari oleh sebagian pakar hukum, bahwa yang dimaksudkan di

128 Wahbah al-Zuaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, juz 2, Damaskus, Dar al-Fikr, 1986. h. 818

sini adalah manakala maslahat tersebut dihadapkan dengan nas yang dhanny.129 Adapun nas yang qoth’y130 menurutnya nas harus tetap didahulukan, dalam arti kemaslahatan tidak boleh bertentangan dengan nas. Itulah sebabnya, dalam pembaruan pemikiran hukum Islam, Saltut juga menggunakan metode maslahat, bahkan dalam kasus tertentu ia lebih mendahulukan maslahat daripada nas131 sebagaimana pernyataan al-Thufy.

Teori kemaslahatan dikemukakan oleh beberapa tokoh dengan sedikit per-bedaan, akan tetapi keseluruhannya mengarah pada kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dengan bukunya yang berjudul Al-Mustasyfa, Imam Syatibi dengan bukunya yang berjudul Al-Muwafaqat, Imam Najm Din al-Thûfy (w.716 H) dengan bukunya yang berjudul Al-Ta’yin fi Syarh al Arba’in, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang bersifat komplementer dalam pem-bahasan teori kemaslahatan ini.

Adapun pengertian maslahat ditinjau dari segi etimologis berasal dari kata bahasa Arab al-mashlahah (تحلصولا ) dari kata kerja shalaha-yashluhu ( حلص- حلصي ) yang berarti kebaikan. Kata al-mashlahah adalah bentuk tunggal (mufrad),

129 Yang dimaksud dengan nas dhanny adalah nas yang memberikan peluang pemikiran manusia untuk ikut memikirkan pengembangan hukum berdasarkan nas yang tertulis (teks) dengan metode penalaran ilmiah (ijtihad). Itulah sebabnya ulama’ ushul mengartikan ayat-ayat yang mengandung hukum dhanny sebagai lafadh-lafadh yang dalam al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk dita’wilkan. Misalnya lafadh musytarak (mengandung pengertian ganda, yaitu lafadh quru’ yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 228) yang sekaligus memiliki makna suci dan haid. Selanjutnya baca Nasrun Haroen, 1997, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos Waacana Ilmu, hal.33, dan Mahmud Saltut, 1966, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Cetakan III, Dar al-Qalam, h.516-519

130 Sedangkan yang dimaksud dengan nas qath’y adalah nas yang memberikan kepastian hukum, sehingga tidak memberikan peluang kepada pemikiran manusia untuk pengembangan hukum melalui jalur penalaran (ijtihad). Maka dengan demikian ayat yang bersifat qath’y adalah lafadh yang mengandung pengertian tungal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Selanjut-nya baca Nasrun Haroen, Ibid, hal. 32.

131 Mahmud Saltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Cetakan III, Dar al-Qalam, 1966, h.516-519.

sedangkan jamaknya adalah al-mashaalih (حلاصولا ) mengikuti wazan (timbangan kata) al-mafaa’il ) لعافولا) yang menunjukkan arti sesuatu yang banyak. Karena itu, kata maslahat berarti sesuatu yang banyak kebaikan dan manfaatnya. Sedangkan di dalam Ensiklopedi Islam, pengertian maslahat dinegasikan dengan mafsadat (Al-mafsadah) sesuatu yang membawa madarah (madarat, bahaya, bencana, atau kerusakan) atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Menurut istilah keagamaan, berati lawan makna maslahat.132

Berdasarkan pengertian etimologis diatas, maslahat memiliki dua pengerti-an. Pertama yaitu hakiki, yaitu maslahat sama dengan manfaat,133 baik dari segi lafal maupun maknanya. Kedua yaitu majazi (metaforis), yaitu maslahat berarti suatu pekerjaan yang mengandung shalah (kebaikan) yang berarti manfaat. Apa-bila dikatakan perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.134 Terkadang yang menjadi sebab kemaslahatan itu adalah mafsadat atau kerusakan, karena itu diperintahkan atau dibolehkan mengerjakannya. Hal itu bukan karena ia merupakan mafsadat atau kerusakan, tetapi karena ia mengantarkan kepada kemaslahatan.135

132 Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru van hove, Jakarta, hal. 1038

133 Teori maslahat dalam pengertian ini sama dengan teori utilitarianisme oleh Bentham. Menurutnya, hakikat kebahagian adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaran. Baca Lili Rasyidi, 2003, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung, Mandar Maju, 2003, h. 116.

134 Muhammad Taufiq, Al-Maslahah sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam ‚Istimbath‛ No.2, Vol. 2, Juni 2005.

135 Izzu al-Din Abdu al-Salam, Qaawaid al Ahkam fi Mashalih al-Anam, jilid 2, Beirut, Dar al-Fikr, tth., h. 5.

Mencermati berbagai pendapat tentang pengertian teori kemaslahatan di atas dapat disimpulkan bahwa secara etimologis, kata maslahat menunjuk kepada pengertian manfaat yang hendak diwujudkan oleh manusia. Penunjukan makna tersebut dimaksudkan untuk meraih kebajikan atau hal yang lebih baik dalam ke-hidupan umat manusia dikemudian hari yang dalam kenyataannya selalu ber-kembang seirama dengan berber-kembangnya peradaban dan kebudayaan umat

manusia. Sementara itu, al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama hukum

Islam hanya menjelaskan segala aspek kehidupan ini secara garis besar atau global. Teks-teks dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai nas hukum itu terbatas (ijaz), sedangkan problematika hukum yang memerlukan solusi tidak terbatas. Karena itu, diperlukan ijtihad untuk menginterpretasi nas yang terbatas itu agar berbagai masalah yang tidak dikemukakan secara eksplisit dalam nas dapat dicari pemecahannya.136 Karena itu, persoalan-persoalan baru yang muncul karena ke-majuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak harus dihadapkan dengan ketentuan-ketentuan nas secara konfrontatif, tapi harus dicari pemecahannya secara ijtihadi.137 Wawasan semacam ini memang merupakan anjuran bahkan perintah para pakar hukum Islam dari generasi ke generasi guna menggali dan mengembangkan keilmuan di bidang hukum. Anjuran tersebut secara monumental banyak dihafal oleh generasi sekarang dari berbagai elemen atau sekte dalam Islam sebagai slogan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Bunyi slogan tersebut adalah menjaga hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Bahkan tidak hanya mengambil yang

136 Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Mesir, Mustafa al-Baby al Halaby, 1967, hal. 199.

137 Abdul Salam Arif, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita, Kajian Pemikiran Hukum Mahmud Syaltut, Yogyakarta: Lesfi, 2003, h. 3.

lebih baik melainkan menciptakan yang lebih baik, sebagai nalar progresif demi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pembinaan dan pembangunan hukum.

Tinjauan terminologis, kemaslahatan memiliki pengertian yang beragam sesuai dengan pendapat masing-masing pakarnya. Al-Imam al-Ghazali kitabnya al-Mustasyfa mengemukakan pendapatnya bahwa kemaslahatan pada dasarnya adalah suatu gambaran dari mendatangkan manfaat (jalb al-manafi’) atau meng-hindarkan kerusakan atau bahaya (daf’ul mafasid). Lebih lanjut al-Ghazali me-negaskan bahwa al-Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ (al-muhafadhah li al maqashid al syar’iyyah). Al-Mashlahah adalah meraih manfaat dan meng-hindarkan bahaya dalam rangka memelihara tujuan syara’ yang meliputi lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.138

Bertitik tolak dari pengertian maslahat yang dikemukakan Al-Ghazali tersebut, maka argumentasi apapun yang dikemukakan oleh seseorang dengan mengatasnamakan kepentingan, manakala bertentangan dengan dalil syara’ (hukum Islam), maka ia akan ditolak dan tidak dapat disebut sebagai maslahat, bahkan disebut sebagai mafsadat (kerusakan). Segala sesuatu yang mengandung pemeliharaan tujuan syara’ yang lima ia berhak dinamakan maslahat akan tetapi kalau mengabaikan tujuan syara’ yang lima tersebut berhak dinamakan mafsadat (kerusakan). Bahkan menolak sesuatu yang mengabaikan tujuan syara’ tersebut justru merupakan suatu maslahat.139 Dilain pihak, Al-Khawarismi menyatakan

138 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Mustasyfa min ‘Ilm al-Ushul, jilid I, Beirut, Dar al-Fikr, tth, h. 140

bahwa al-Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ dengan cara menghindar-kan kerusamenghindar-kan dari manusia.140

Definisi maslahat oleh Al-Khawarismi memiliki ruang lingkup yang lebih sempit bila dibandingkan dengan definisi oleh Imam Al-Ghazali. Al-Khawaritsmi hanya memandang maslahat dari sisi menghindar dari kerusakan saja. Sementara Al-Ghazali, disamping dari sisi kerusakan juga dari sisi manfaatnya. Karena itu, hasil pandangan dari kedua pakar tersebut jelas menunjukkan adanya perbedaan sekaligus menunjukkan kesamaan di sisi yang lain. Hal tersebut karena ketika orang menghindar dari mafsadat atau kerusakan, belum tentu ia mendapatkan manfaat, kecuali hanya manfaat terhindar dari kerusakan yang dimaksud. Sedang-kan manfaat secara material (partikular) tidak didapatkannya. Berbeda bila memakai optik definisi al-Ghazali, selain manfaat terhindar dari kerusakan juga mendapatkan manfaat secara material dari obyek hukum yang dimaksudkan.

Berkaitan dengan tradisi, Najm al-Din al-Thufi (w.716 H.) menjelaskan bahwa kemaslahatan diartikan sebagai sesuatu yang menjadi sebab mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan. Sedangkan menurut syara’ maslahat adalah sesuatu yang menjadi sebab mendatangkan kepada tujuan pembuat hukum (al-Syari’) baik secara ibadah maupun adat kebiasaan.141 Pada dasarnya, definisi yang disampai-kan oleh Al-Thufi tersebut tidaklah jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh Al-Ghazali, perbedaannya hanya terdapat pada formasi antara meraih kemanfaat-an (jalb al-manafi’) yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dengan rumusan sebab yang mendatangkan atau melahirkan kebaikan dan

140 Wahbah al-Zuhaili, op. cit, h. 757.

141 Najm al-Din al-Thufi, Syarh al-Mukhtashar al-Raudlah, jilid III, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1989, h. 239 .

kemanfaatan (al-Sabab al-maaddi ala al-shalah wa al-naf’i) oleh Al-Thufi. Demikian juga dengan rumusan yang kedua, secara syar’i (hukum islam), yakni

yang menghubungkan antara al-maslahah dengan al-maqashid

al-syarî’ah (tujuan-tujuan hukum) yang pada hakikatnya sama dengan pengertian tersebut.

Pengertian-pengertian sebagaimana telah disebutkan diatas merupakan batasan yang diberikan oleh para pakar hukum Islam klasik, Sedangkan pakar-pakar hukum Islam belakangan (kontemporer), sepertinya mencukupkan definisi-definisi tersebut di atas. Artinya mereka menganggap cukup untuk merujuk pada pendapat Al-Ghazali, Al-Thufi dan lain-lainnya. Beberapa definisi tentang ke-maslahatan dengan rumusan yang berbeda di atas dapat dipahami adanya per-samaan persepsi antara pakar hukum Islam yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, secara keseluruhan bahwa teori kemaslahatan dalam pengertian syari’at adalah kemaslahatan yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan kerusakan bagi manusia dan sejalan dengan tujuan syari’at dalam menetapkan hukum.

Kemaslahatan tersebut tidak hanya terbatas di dunia saja, melainkan ke-maslahatan yang berkelanjutan di akhirat, dengan kata lain dari pengertian ini adalah mereka mengkaitkan kemaslahatan dengan tujuan syari’at, dan sepakat bahwa pengertian kemaslahatan tidak hanya terbatas meraih manfaat saja, melain-kan juga menghindarkan bahaya dan kerusakan. Untuk lebih jelasnya aplikasi maqâshid syarî’ah dalam ekonomi Islam dalam menjawab konsep kemaslahatan, dapat dilihat gambar berikut ini:

Gambar 2.1

Kesejahteraan dalam Perspektif Maqâshid Syarî’ah

Al-Qur’an dan Hadits

Ushul Fiqh Maqashid al-Syarî’ah

(Tujuan ditetapkannya hukum Allah adalah untuk kemaslahatan hambanya) Menjaga al-Kulliyat al-Khamsah

(Penjagaan terhadap (1) agama, (2) Jiwa, (3) akal, (4) Keturunan, (5) Harta benda)

(1) Individu (2) keluarga (3) Masyarakat (4) Negara

Hukum memenuhi kebutuhan Dharûriyah adalah wajib, karena ketidakadaan kebutuhan ini akan membahayakan manusia. Penjagaan maqâshid syarî’ah dimulai dari individu

kemudian akan berpengaruh kepada keluarga, masyarakat, dan Negara.

Setelah kebutuhan dharuriyah terpenuhi, maka boleh memenuhi kebutuhan hajiyahnya. Akan tetapi, apabila kebutuhan belum Dharûriyah terpenuhi, maka tidak boleh

men-dahukan kebutuhan Hajiyah. Karena hal ini akan membahayakan manusia.

Setelah kebutuhan dharuriyah dan hajiyah terpenuhi (dengan tetap mendahulukan kebutuhan dlarûriyah diatas hajiyah), maka boleh hukumnya memenuhi kebutuhan

Tahsiniyah. Akan tetapi dengan persyaratan sebagai berikut:

1. Menghindarkan diri dari budaya konsumerisme, yang dalam kacamata islam disebut dengan tabdzîr dan Isrâf

2. Tabdzîr (pembelanjaan yang dilarang dari segi kualitas), yaitu membelanjakan barang atau jasa yang haram dan tidak bermanfaat (tidak efektif).

3. Isrâf (Pembelanjaan yang dilarang dari segi kuantitas), yaitu membelanjakan barang barang dan jasa yang halal, akan tetapi jumlahnya berlebihan (tidak efisien)

4. Sebelum membelanjakan harta untuk kebutuhan tahsiniyah, hendaknya dipastikan bahwa tidak ada hak orang lain didalam harta kita. Dalam artian, apabila sudah wajib untuk mengeluarkan zakat, maka zakat harus didahulak sebelum membelanjakan harta untuk kebutuhan tahsiniyah.

Sehingga jika hal tersebut diatas sudah terpenuhi maka kemaslahatan juga telah tercapai (terwujud)

B. Kinerja