• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Penelitian Terdahulu

3. Maqâshid Syarî’ah

Kata Maqashid merupakan bentuk plural (jama) dari maqshid, sedangkan akar katanya berasal dari kata verbal qasada, yang berarti menuju; bertujuan; berkeinginan dan kesengajaan.105 Kata maqshud-maqashid dalam ilmu Nahwu disebut dengan maf’ul bih yaitu sesuatu yang menjadi objek, oleh karenanya kata tersebut dapat diartikan dengan ‚tujuan‛ atau ‚beberapa tujuan‛. Sedangkan al-Syarî’ah, merupakan bentuk sabjek dari akar kata syara’a yang artinya adalah jalan menuju sumber air sebagai sumber kehidupan.106Secara terminologi, al-Maqashid as-Syarî’ah dapat diartikan sebagai ‚tujuan-tujuan ajaran Islam‛ atau dapat juga dipahami sebagai ‚tujuan-tujuan pembuat syarî’at (Allah) dalam meng-gariskan ajaran/syari’at Islam‛.

Menurut ar-Raysuni, Maqashid digunakan pertama kali at-Turmudzui

al-Hakim, cendikiawan muslim yang hidup pada abad 3 H. Istilah Maqashid

105Hans Wehr, A Dictionary of modern Weritten Arabic (London: McDonald & Evan Ltd, 1980), h. 767.

tersebut digunakan oleh at-Turmudzi dalam beberapa kitabnya, antara lain ash-Shalah wa Maqhasiduhu, Haj wa Asraruhu, ‘Illah, Ial asy-Syarî’ah dan al-Furuq. Setelah itu, Maqashid dibahas juga oleh beberapa tokoh, antara lain Abu Mansur al-Muturudy, Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi, Abu Bakar al-Abhari dan

al-Baqillani.107 Sedangkan menurut Hammadi al-Ubaydi, tokoh yang menggagas

pertam kali tentang maqashid adalah Hibrahiman Nakhai (wafat 96 H).Beliau adalah tabi’in, yang juga kemudian menjadi guru tidak langsung dari Imam Abu Hanifah. Setelah Ubaydi, Maqashid kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh al-Ghazali, Izzuddin Abdussalam, Najmuddin ath-Thufi dan yang terakhir adalah Syâthibi.108

Syâthibi adalah peletak dasar Ilmu Maqashid sehingga wajar jika kemudi-an ia disebut sebagai ‚Bapak Maqashid as-Syarî’ah‛. Syathibi juga kali pertama menyusun al-Maqashid as-Syarî’ah secara sistimatis disusun lebih komunikatif. Teori Maqashid dipopulerkan oleh as-Syâthibi melalui salah satu karyanya yang berjudul al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah, sebuah kitab yang ia tulis sebagai upaya untuk menjembatani beberapa titik perbedaaan antara ulama-ulama

Malikiyah dan ulama-ulama Hanafiyah.109

107Ahmad ar-Raysuni, Nadzariyat al-Maqashid ‘inda al-Imam asy-Syathibi (Beirut: International Islamic Publishing House, 1995), h. 40-46

108Aes Sae pulloh Darusmanwiati, Imam Syathibi: Bapak Maqashid asy-Syari’ah pertama, www. Islamlib.com, (Akses 15 Januari 2015).

109Seperti yang tercatat dalam rekaman sejarah bahwa Syathibi hidup masa rezim yang berkuasa menggunakan mazhab Maliki sebagai mazhab resmi Negara. Imam Syathibi mengkeritik fanatisme berlebihan yang diperaktekkan para ulama Granada dan masyarakat Andulusia saat itu terhadap mazhab Maliki.Mereka memandang setiap orang yang bukan mazhab Maliki adalah sesat. Karena mereka terlalu berlebihan dalam ta’asub, merekan tidak lagi mengenal bahkan cendrung tidak bersahabat dengan mazhab2 lainnya terutama mazhab Hanafi sehinnga Muhammad Fadhil bin Asyur melukiskan: Mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-Muwatha’ Imam Malik. Para ulama yang tidak bermadzhab Maliki saat itu tidak pernah

Syâthibi juga mempersentasikan pada situasi lain mengenai teori Maqashid sebagai upaya untuk mengatasi fiqh karena ilmu ushul yang dibangun Imam Abu Hanafiah dan Imam asy-Syafi’i masih terjebak dalam literalisme teks dan kurang menyentuh aspek paling dalam sebuah teks. Syathibi melengkapi taori ushul fiqh klasik tersebut dalam al-Muwafaqat (sebelum diberi nama kitab al-Muwafaqat, pada awalnya kitab ini diberi judul al-at’rif bi Asrar al-Taklif.) dan merumuskan maqashid Syari’ah yang berpijak pada kulliyatu al-Khamsah (tujuan umum diturunkan hukum-hukum dalam al-Qur’an dalam Perspektif makro ekonomi).

Teori Maqashid tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang

maslahah. karena sebenarnya dari segi substansi, wujud al-maqashid asy-Syarî’ah adalah kemaslahatan.110Menurut Syâthibi, Maqashid dapat dipilih menjadi dua

bagian, yaitu maqshud al-Syarî’ dan maqshud al-Mukallaf. Pada kesempatan ini

terkait apa yang kita maksud dalam pembahasan ini berfokuskan pada maqshud

asy-Syarî’, karena dalam bagian ini terdapat teori-teori pokok tentang maqashid. Maqashid asy-Syarî’ terdiri dari empat bagian, yaitu: (1) Qashdu asy-Syarî’ fi Wadh’i Syarî’ah (maksud Allah dalam menetapkan syariat), (2) Mashud asy-Syaiî’ fi Wadh’I asy-Syarî’ah lil Ifham (maksud Allah dalam menetapkan syari’ah-Nya ini adalah agar dapat dipahami), (3) Mashud asy-Syari’ fi Wadh’i asy-Syarî’ah li al-Taklif bi Muqtadhaha (maksud Allah dalam menetapkan syari’ah agar dapat dilaksanakan), (4) Mashud asy-Syari’ fi Dukhul

lepas dari cercaan bahkan penjiksaan seperti yang dialami oleh al-Allammah Baqa bin Mukhlid, seorang ulama besar bermadzhab Hanafi.

110Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi (Jakarta: Rawali Press,1996), h. 69

tahta Ahkam asy-Asyari’ah (maksud Allah mengapa individu harus menjalankan syari’ah). Jika individu telah melaksanakan syari’ah maka ia terbebas dari ikatan-ikatan nafsu dan menjadi hamba yang dalam istilah Syathibi Ikhtiyaran dan

bukan idhtiraran.111 Pandangan Muhammad Abu Zahrah yang menyatakan bahwa

tujuan hakiki Islam adalah kamaslahatan. Tidak ada suatu aturan pun dalam syari’ah baik dalam al-Qur’an dan Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.112

Jika kembali melihat kebelakang, maslahat dapat dibagi menjadi tiga

bagi-an utama yang berurutan secara hierarkis, yaitu: dlarûriyyat

(necessitias/primer), hajjiyyat (requirements/sekunder), dan tahsiniyyat (beautification/tersier),113 dapat dijelaskan diantaranya:

a) Maslahah Dlarûriyyat

Maslahat Dharûriyat adalah sesuatu yang harus ada atau dilaksana-kan untuk mewujuddilaksana-kan kemaslahatan yang terkait dengan demensi duniawi dan ukhrawi. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan seperti makan, minum, shalat, puasa,

111Imam as-Syathibi, al- Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah. juz, I (Beirut: Dar al-Kitub ai-Ilmiyyah, t. th), h. 128.

112Muhammad Abu Zanrah, Ushul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 336.

113Teori hirarki kebutuhan ini kemudian ‚diambil‛ oleh William Nassau Senior yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia itu terdiri dari kebutuhan dasar (necessity), sekunder (decency), dan kebutuhan tersier (luxury). Bandingkan juga dengan pembagian al-Juwaini tentang al-Mugashid asy-Syari’ah, yang ia bagi menjadi lima tingkatan jika dilihat dari ‘illah-nya, yaitu: asl yang masuk katagori daruriyat (primer), al-hajat al-ammah (sekunder), makramat (tersiar), sesuatu yang tidak masuk dalam kolompok daruriyah dan hajiyat, dan sesuatu yamng tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Abd Maliki ibn Yusuf Abu Ma’ali Juwaini, al-Burhan fi ushul al-fiqh, Jilid II, (Kairo: Dar al-Ansar,1400 H), h 923-930. Bandingkan juga dengan hirarki al-maslih yang diinroduksi oleh Asmuni, yaitu pertama al-masalih al-hayawiyah, kedua al-maslilih al-agliyah dan katiga al-maslilih al-ruhiyah. Asmuni, Penalaran Induktif Syathibi dan perumusan al-Maqashid menuju Ijtihad yang dinamis, dalam www.yusdani.com. (Akses 15 januari 2015.)

dan ibadah-ibadah lainnya.114 Syathibi mencontohkan dalam hal mu’amalah, harus adanya iwadh tertentu dalam teransaksi perpidahan kepemilikan, jual-beli.115 Dharûriyat menunjukkan kebutuhan dasar ataupun primeryang harus selalu ada dalam kehidupan manusia. Dlarûriyat di dalam syariah merupakan suatu yang paling asasi dibandingkan dengan hajiyah dan tahsaniyah. Apa-bila dhariryah tidak bias dipenuhi, maka berakibat akan rusak dan cacatnya jahiyah dan tahsaniyah. Tetapi jika hajiyah dan tahsaniyat tidak bias dipenuhi, maka tidak akan mengakibatkan rusak dan cacatnya dharuriyah. Jadi, tahsaniyah dijaga juga untuk membantu hajiyah, dan hajiyah dijaga untuk membantu dharuriyah.

Ada lima tujuan dalam maslahah dlarûriyyah ini, yang disebut dengan dengan al-kulliyat al-khamsah, yaitu: 1) penjagaan terhadap agama (hifdzud-din), menjaga jiwa (hifdzun-nafs), menjaga akal (hifdzud-‘aql), menjaga keturunan (hifdzud-nasl), dan menjaga harta (hifdzud-maal). Apa-bila kelima hal diatas dapat terwujud, maka akan tercapai suatu kehidupan yang mulia dan sejahtera di dunia dan di akhirat, atau dalam ekonomi islam biasa dikenal dengan falah. Tercukupinya kebutuhan masyarakat akan mem-berikan dampak yang disebut dengan maslahah, karena kelima hal tersebut merupa-kan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh masing-masing individu dalam masyarakat. Apabila salah satu dari kelima hal tersebut tidak terpenuhi dengan baik, maka kehidupan di dunia juga tidak akan berjalan

114Imam As-Syathibi, al-Muwafaqat, juz. II, h. 7.

dengan sempurna dan terlebih lagi akan berdampak negatif bagi kelangsung-an hidup seseorkelangsung-ang.

b) Maslahah Hajjiyyah

Maslahah Hajjiyyah adalah sesuatu yang sebaiknya ada sehingga dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian namun demikian akan berimplikasi adanya masyaqqah dan kesempitan.116

Contoh yang diberikan oleh Syathibi dalam hal mu’amalat pada bagian ini adalah dimunculkannya beberapa transaksi bisnis dalam fiqh mu’amalat, antara lain istisnah, hiwalah, musaqah, salam dan lain-lain.117

c) Maslahah Tahsiniyyat

Maslahah Tahsiniyyat adalah sesuatu yang tidak mencapai taraf dan kategori di atas. Hal-hal yang masuk dalam katagori tahsiniyyat jika lakukan, akan mendatangkan kesempatan dalam suatu aktivitas yang di-lakukan. Ilustrasi yang digunakan Syâthibi dalam bidang mu’amalat untuk hal ini adalah dilarang jual-beli barang najis dan efisiensi dalam penggunaan air dan rumput, sehingga produktivitas manusia bisa berjalan dengan baik, dan ketimpangan terhadap penggunaan tiga jenis kebutuhan di atas dapat dihindari.118

Tahsiniyyat adalah ‚melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari yang buruk sesuai dengan apa telah diketahui akal sehat.‛

116Imam As-Syathibi: t. th, al-Muwafaqat fil Ushul al-Syari’ah, h. 9.

117Ibid, h. 5.

Seseorang ketika menginjak keadaan tahsiniyah berarti telah mencapai ke-adaan, dimana ia bias memenuhi suatu kehidupan yang bias meningkatkan kepuasaan dalam kehidupan. Meskipun kemungkinan besar tidak menambah efisiensi, efektivitas, dan nilai tambah bagi aktifitas manusia. Tahsiniyah juga bias dikenali dengan kebutuhan tersier, atau identik dengan kebutuhan yang bersifat mendekati kemewahan.

Lebih lanjut mengenai maqashid syariah, tujuan diturunkan syari’ah tidak lain untuk mencapai kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan pada dua dimensi waktu yang berbeda (Dunia dan akhirat). Sudah jelas bahwa semua perspertif ajaran Islam harus berorientasi pada tercapainya tujuan yang dimaktub, tidak terkecuali perspektif ekonomi. Karena itu

ekonomi Islam harus mampu menjadi one solution terhadap akutnya

problematika ekonomi kontemporer. Teori Maqashid merupakan landasan

yang sempurna untuk membangun Ekonomi Islam, sejalan pernyataan Syaikh Muhammad Thahir ibn ‘Asyur bahwa melupakan pentingnya sisi maqasid dalam syri’ah Islam adalah faktor utama penyebab terjadinya stagnasi pada fiqh.119 Menghidupkan kembali Ekonomi Islam yang telah sekian lama terkuburkan dan nyaris menjadi sebuah fosil, merupakan lahan ijtihadi, artinya bahwa dituntut kerja keras (ijthad) dari pada ekonomi muslim untuk mencari nilai-nilai yang terkandung dalam Qura’an dan al-Sunnah yang terkait dengan ekonomi. Untuk selanjutnya nilai-nilai ideal

tersebut diverifikasi menjadi teori-teori ekonomi yang kemudian dapat dijadikan rumusan ditataran peraktis.120

Nilai-nilai yang terkandung dalam aturan syar’i lebih mengarah pada

arti pemahamam fiqh. Fiqh al-maqashid al-Syari’ah yaitu sebuah fiqh yang

dibangun atas dasar tujuan ditetapkannya sebuah hukum. Pada teknisnya, metode ini ditujukan bagaimana memahami nash-nash syar’i yang juz’i dalam konteks maqashid al-Syari’ah dan mengkaitkan sebuah hukum dengan tujuan utama ditetepkannya hukum tersebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik dunia maupun akhirat.121

Ekonomi Islam yang dalam banyak hal adalah ‚reinkarnasi‛ dari fiqhmu’amalah,122 semestinya mengembalikan kelenturan dan elastisitas fiqh dengan menjadikan maqashid syari’ah sebagai the ultimate goal dalam proses tersebut. Dalam masalah muamalat, irama teks tidak lagi dominan,

tetapi yang dominan adalah irama maslahat. Pendapat al-Gawl yang unggul

bukan hanya memiliki dasar teks tapi juga bisa menjamin kemaslahatan dan meng-hindar dari kerusakan (al-Mafsadah). Karena itu, menggunakan

kacamata fiqh Maqashid utk mengoprasionalisasikan nili-nilai kemanusiaan

universal, seperti kamaslahatan, keadilan dan kesetaraan kedalam ekonomi Islam men-jadi sebuah keniscayaan.

120Djumadi Tambu Djunaidy, Studi Dampak Kinerja Perbankan Syariah dan Pengeluar-an Pemerintah Terhadap KetimpPengeluar-angPengeluar-an Regional di Propinsi Maluku, (Disertasi, 2014), h. 46

121Yusuf Qardhawi, as-Syar’iyyah fi Dhau’I Nushuh asy-Syari’ah wa maqashidiha, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), h. 228.

122A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek Berkem-bangnya Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 175-199.

Para ekonom muslim saat melakukan berbagai kajian dan analisis terhadap Ekonomi Islam, sebagi salah satu komponen dalam lingkaran Islamic studies, sudah sewajarnya jika melakukan tafsir ulang terhadap nalar syarî’ah yang selama ini berkembang. Dengan menggunakan ‛peking‛ yang agak menggelitik apa yang ditawarkian oleh Yudian Wahyudi untuk men-sinergikan antara apa yang ada di Harvard dan apa yang ada dibalik nama besar Sunan Kalijaga dalam bingkai maqâshid syarî’ah, pada proses meng-embangkan Ekonomi Islam juga layak untuk diapresiasi. Harvard merupakan salah satu ikon pesatnya perkembangan Islamic studies diluar kawasan Timur Tengah, sementara Sunan Kalijaga adalah simbol keberhasilan dak’wa/ Islamisasi yang mampu mensinergikan antara apa yang tercantum dalam tataran normatif dengan realitas yang terjadi di masyarakat.123

Ilmu ekonomi Islam semestinya dibangun tanpa menafikan realitas yang ada namun tetap dalam bingkai maqashid syri’ah. Ini karena maqashid syari’ah sendiri berupaya untuk mengekspresikan penekanan terhadap

hubungan antar kehendak Tuhan dengan aspirasi yang manusiawi.124Sampai

disini dapat kita tarik sebuah benang merah bahwa teori maqashid

menempati posisi yang sangat sentral dan vital dalam merumuskan metodologi peng-embangan Ekonimi Islam, bahkan Syathibi sendiri

menyatakan bahwa maqashid syar’yah merupakan ushulnya usul.125Ini

123Yudian Wahyudi, Maqashid Syariah dalam Pergumalan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Nawesea, 2007), h. 53.

124Wael B. Hallaq, The Primacy of The Qur’an in Syathibi Legal ThiorY, dalam Wael B. Hallaq dan Donald P. Little (eds), Islamic Studies Presented to Charles I. Martin (Leiden: EJ. Brill, 1991). h. 89.

125Iman as-Syathibi, (1995, h. 32). Lihat lanjut ia juga menjelaskan bahwa karena posisi-nya sebagai ushulposisi-nya ushul, maka Maqashid Syari’ah harus berdasar pada dalil-dalil yang qath’it

berarti bahwa menyusun ushul fiqh sebagai sebuah metodologi, tidak dapat lepas dari maqâshid syarî’ah. Hal ini karana tiori maqashid dapat mengantarakan para mujtahid untuk menentukan standar kemaslahatan yang sesuai dengan syariat/ hukum.126 Bahkan terlebih lagi, menurut at-Tufi, hanya dalam wilayah mu’amalat sajalah rasionalisasi kemaslahatan ini dapat diterapkan.127