• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. Operasionaliasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan:

4. Konsep Kesadaran

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa sebelum terlibat dalam sebuah praktik sosial maka seseorang diasumsikan telah memiliki pengetahuan praktis mengenai peraturan yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sosial. Artinya, praktik sosial yang dilakukan berlandaskan atas pengetahuan dan kesadaran praktis, dan akan diproduksi atau direproduksi oleh agen berdasarkan aturan-aturan dan sumber daya yang terdapat di dalam struktur. Struktur-struktur di sini menfasilitasi secara individual dengan aturan-aturan mengarahkan tindakan mereka, tetapi selanjutnya tindakan mereka individu tersebut menciptakan aturan-aturan baru dan mereproduksi aturan yang lama (Priyono, 2003).

Sejatinya yang menjelaskan bagaimana struktur bisa terbentuk melalui perulangan praktik-praktik sosial adalah kesadaran. Sebagaimana “Refleksivitas kehidupan sosial modern terdiri dari fakta bahwa berbagai praktik sosial secara konstan ditelaah dan direformasi dari sudut pandang informasi yang masuk tentang praktik yang mereka lakukan, sehingga secara konstitutif mengubah karakter mereka. Segala bentuk kehidupan sosial sebagian dibentuk oleh pengetahuan para aktor tentang hal tersebut” (Giddens, 2004: 51). Praktik sosial dilakukan oleh

88

agen-agen manusia yang memiliki pengetahuan dengan kemampuan rasional, yaitu membuat perbedaan, dan menjelaskan tindakannya. Para agen memiliki kapasitas untuk melakukan refleksi-diri dalam interaksi sehari-hari, yaitu sebuah kesadaran praktis mengenai apa yang mereka lakukan. Individu-individu memiliki pilihan dan menentukan jati dirinya dalam rangka mempertahankan hidupnya (Gidden, 2009: 185). Dalam teori strukturasi agen atau aktor memiliki tiga tingkatan kesadaran (Giddens, 2010) yaitu:

(1) Kesadaran diskursif (discursive consciousness), yaitu apa yang mampu dikatakan, diucapkan atau diekspresikan secara verbal oleh para aktor atau agen, tentang kondisi sosial, termasuk tindakan-tindakannya sendiri. Kesadaran Dapat juga dikatakan sebagai suatu kemawasdirian dalam bentuk diskursif .

(2) Kesadaran praktis (practical consciousness), yaitu apa yang aktor ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi tindakannya sendiri. Namun dalam kesadaran praktis, aktor atau agen tidak bisa mengemukakan secara verbal (diskursif).

(3) Motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives/cognition). Motif ini lebih cenderung merujuk ke potensial bagi tindakan, daripada cara (mode) tindakan itu yang dilakukan oleh agen. Motif hanya memiliki kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar tindakan-

89

tindakan agen tidaklah dilandaskan pada motif atau koginisi yang tidak sadar.

Pemahaman akan kesadaran praktis tersebut sangat mendasar bagi teori strukturasi, karena struktur dibentuk melalui kesadaran praktis, yaitu suatu tindakan yang berulang-ulang, yang tidak

memerlukan proses refleksif (perenungan), dan tidak ada ‘pengambilan

jarak’ (duree) oleh si agen terhadap struktur. Ketika semakin banyak

agen atau aktor mengadopsi cara-cara mapan atau rutinitas keseharian dalam melakukan sesuatu, maka sebenarnya para agen tersebut telah memperkuat struktur (aturan dan sumber daya).

Peubahan struktur dapat terjadi manakala semakin banyak aktor atau agen yang mengadopsi kesadaran diskursif, yaitu ketika si agen

‘mengambil jarak’ dari struktur, dan melakukan sesuatu tindakan

dengan mencari makna/ nilai dari tindakannya tersebut. Produk dari tindakan agen tersebut berupa tindakan yang menyimpang dari rutinitas atau kemapanan yang ada, sehingga praktis akan mengubah struktur tersebut. Perubahan struktur dapat juga terjadi sebagai akibat dari tindakan, yang hasil sebenarnya tidak diniatkan atau direncanakan sebelumnya (unintended consequences). Dalam hal ini Giddens (2010), menyatakan bahwa unintended consequences mungkin secara sistematis menimbulkan umpan balik, ke arah kondisi-kondisi yang tidak diketahui munculnya tindakan-tindakan yang lebih jauh lagi. Kemudian unintended consequences ini, persoalan utamanya adalah bukan pada ada atau tidaknya niat, namun pada kapabilitas agen; yaitu adanya kompetensi atau kapabilitas dari pihak agen untuk melakukan perubahan.

90

Gambar 2. Model Stratifikasi (tindakan) Agen (Giddens, 2010:8).

Para aktor manusia tidak hanya mampu memonitor aktivitas- aktivitas tindakan mereka sendiri dan aktivitas-aktivitas orang lain dalam perulangan perilaku sehari-hari; mereka juga mampu

‘memonitor monitoring itu’ di dalam kesadaran diskursif, sebagaimana

dalam Gambar 2.2 Model Stratifikasi (tindakan) Agen. Dalam penjelasan mengenai dimensi-dimensi dualitas struktur, Giddens (2010)

menjelaskan, bahwa ‘skema interpretatif’ adalah cara-cara penjenisan

yang tersimpan dalam gudang pengetahuan para aktor, dan diterapkan secara reflektif ketika melakukan komunikasi. Bekal pengetahuan yang digunakan para agen atau aktor dalam memproduksi atau mereproduksi interaksi sama seperti bekal pengetahuan yang membuat mereka mampu menciptakan cerita, mengemukakan alasan-alasan, dan lain sebagainya. Komunikasi makna, bersama dengan seluruh aspek kontekstualitas tindakan, tidak harus dipandang semata-mata terjadi

‘dalam’ ruang dan waktu. Komunikasi, sebagai unsur umum interaksi,

merupakan konsep yang lebih melingkupi dibanding dengan isi

komunikasi (yaitu apa yang ‘hendak’ dikatakan atau dilakukan oleh

para aktor). Monitoring refleksif terhadap aksi Rasionalisasi tindakan Motivasi tindakan Kondisi- kondisi tindakan yang tak dikenali Konsekuensi- konsekuensi tindakan yang tak dikehendaki

91

Struktur Signifikansi Dominasi Legitimasi

(modalitas) Skema interpretatif

Fasilitas Norma

Interaksi Komunikasi Kekuasaan Sanksi

Gambar 3. Dimensi-dimensi dualitas struktur (Giddens, 2010:46).

Ketika dimensi struktur harus dipahami sebagai bagian yang tidak terpisah. Struktur-struktur signifikasi selalu harus dipahami dalam

kaitannya dengan dominasi dan legitimasi. ‘Dominasi’ tidaklah sama

dengan ‘distorsi sistemik’ dalam struktur-struktur karena dominasi

merupakan kondisi keberadaan kode-kode signifikasi itu sendiri.

‘Dominasi’ dan ‘kekuasaan’ tidak bisa dipikirkan hanya dari sisi

asimetri distribusi, melainkan harus dikenali sebagai tak terpisahkan dalam asosiasi sosial (tindakan manusia itu sendiri).

Struktur signifikansi terpisahkan dari dominasi dan legitimasi hanya (untuk kepentingan) secara analitis saja. Dominasi tergantung pada mobilisasi dua jenis sumber daya berbeda; sumber daya alokatif mengacu pada kemampuan-kemampuan (atau lebih tepatnya, pada bentuk-bentuk kemampuan transformatif) yang melahirkan perintah atas obyek, benda-benda atau fenomena material (non manusia). Sumber daya autoritatif merujuk pada jenis-jenis kemampuan

92

transformatif yang melahirkan perintah atas orang –orang atau para aktor (manusia).