• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PANDANGAN MASYARAKAT LOKAL AKAN

A. Pandangan Masyarakat Lokal akan Kehadiran PT Chevron

2. Pandangan Masyarakat Lokal

Kehadiran peusahan besar berteknologi tinggi ditengah-tengah masyarakat seringkali menimbulkan pro dan kontra bagi mereka. Bagi masyarakat yang pro atau mendukung terhadap kehadiran PT. CGI, karena kehadiran tersebut membawa dampak positif menurut mereka. Sedangkan mereka yang kontra, mereka menganggap kehadiran tersebut membawa dampak negatif.

Pada beberapa informan yang melihat kehadiran PT. CGI secara positif, sebagian melihat banyaknya bantuan yang diberikan oleh perusahaan kepada warga sekitar. Bantuan yang paling dirasakan sangat bermanfaat adalah pada pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan gorong-gorong. Khusus mengenai pembangunan jalan dari PT. CGI, hampir semua informan bersikap positif. Mulusnya jalan mendukung mobilitas kegiatan ekonomi masyarakat lokal, yang sebagian besar adalah petani sayur. Waktu tempuh untuk mengirim sayuran untuk dijual ke pasar menjadi lebih cepat. Sebagaimana pendapat dari salah seorang informan, bahwa:

“Pendapat bapak mah alhamdulilah dengan adanya Chevron teh

jalan-jalan terutama lingkungan-lingkungan diantara masyarakat teh alhamdulillah ku Chevron ka bantos, pami ngabangun jalan, irigasi, air bersih pami ku swadaya mah moal kadugi, tapi ku Chevron mah alhamdulillah kebijakan Chevron

teh karaos ku bapak. Bapak ngan saukur ngajengkeun terutama

nampi, pami masalah pembiayaan mah teu terang nu didamel teu terang upah tah kitudiantarana mah biaya secara globalna mah teu terang” (TM).

139

Bahkan berdasarkan informasi informan, setiap tahunnya selalu dilakukan perbaikan jalan atas sumbangan Chevron. Perbaikan jalan ini dimuali dari jalur masuk dari arah Tarogong --kecamatan Samarang--- kecamatan Pasirwangi menuju lokasi PT. CGI. Dengan demikian jalur ini juga penting bagi mobilitas kepentingan perusahaan tersebut. Namun jika diperhatikan secara seksama tidak semua jalan di desa-desa di Kecamatan Pasirwangi dilakukan perbaikan oleh PT. CGI. Terutama desa-desa yang lokasinya agak jauh terpencil dan tidak dilalui jalur utama menuju PT. CGI, mereka jarang memperoleh bantuan.

Sedangkan pada warga yang berpandangan negatif, menurut informan antara lain mereka khawatir dengan kebocoran gas, dan tenaga kerja lokal yang masih jarang dipekerjakan oleh PT. CGI. Pihak perusahan kurang terbuka untuk memberikan informasi kebutuhan tenaga kerja. Bahkan pada sebagian warga masyarakat, mereka memandang PT. CGI telah mengeksploitasi sumber daya alam milik mereka. Mereka merasa, masyarakat tidak pernah diberi informasi berkaitan dengan eksploitasi, mereka tidak diberi tahu sampai kapan periodesasi kontrak PT. CGI, dan ketiga berkaitan dengan hutan di Darajat Pass yang semakin gundul. Tidak banyak warga masyarakat lokal yang dapat menanami hutan, karena lahan hutan sudah diambil alih oleh PT. CGI. Menurut mereka masyarakat membutuhkan 3 (tiga) hal pertama, persoalan ekonomi, kedua masalah infrastruktur, dan ketiga adalah masalah pendidikan. Tetapi masyarakat merasa tidak berdaya, karena sumberdaya alam, menurut mereka, terus dikeruk; sementara pemerintah setempat pun seolah tutup mata.

140

Sebagian masyarakat mengetahui pemilik PT. CGI adalah pihak asing, yaitu Amerika yang kemudian dikaitkan dengan Yahudi. Sehingga muncul sentimen di kalangan sebagian warga keinginan untuk menasionalisasi kepemilikan PT. CGI. Tentang pengalihan kepemilikan tersebut, bagi sebagian warga seringkali dikaitkan dengan kehadiran PT. CGI yang belum mampu memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Bahkan pada sebagian warga yang dahulu memiliki lahan, bahwa mereka dipaksa untuk menjual tanah mereka dengan harga murah kepada Pertamina pada era tahun 1982-an. Sebagaimana dikemukakan oleh informan berikut ini:

“...(tahun) ’82. Jadi eta teh pertama-tamana tanah masyarakat,

ngan eta teh tanah paksa tea, jual paksa ke pertamina, mula- mulana mah. Kahoyong masyarakat mah jadi eta teh hoyong sapartos sewa lahan. Ayeuna aya perkembangan, Chevron, jadi perkembangan deui naik deui, sewaan. Ternyata-nyata pemerintah itu gabung dengan tokoh-tokoh yang terkaya di Kepakan, seperti Pak Maman, dulu-dulunya. Jadi, dipaksa dijual-belikan kitu. Jadi per meter 7.000 (Rupiah). Ti payun teh per meter kana leuweung ti payun. Tah ari jadi ka hoyong ku abdi mah jadi hoyong sewa lahan kitu. Jadi, nambah deui

PLTU tenaga uap berkembang, jadi berkembang deui, jadi ka anak incu teh kabagian. Jadi lamun dijual beli keun mah, ka anak incu mah, ka anu bungsu-bungsu na, bontot-bontot na teu kabagian kitu. Jadi anu ageng na hungkul ka tuang teh. Tah ayeuna mah jadi sisa, anu jadi kanyeuri kapeurih teh iwal ku alit-alitna kitu. Tenjo ka….. jadi ka anak incu mah teu turun- menurun. Jadi tanah paksa tadi na mah, kedah dipaksa ku tokoh-tokoh na. jadi atos ageng tea penggusuran kitu. Disuhunkeun 20 ge permeter ti payun ge henteu iyeu, 7.000 eta teh permeter! Da Jadi 150 tumbak naming kabagian artos abdi teh 45 juta. Nuju SMP abdi oge eta teh. Ayeuna teh anu meserna pertamina (kebelakang), (sekarang) Chevron anu meserna. Anu ngelolana. Ti payun mah Pertamina, anu mula- mulana. (WM 2).

141

Berdasarkan pernyataan tersebut nampak bahwa ada pengalaman negatif yang mempengaruhi pandangan mereka menjadi pandangan negatif terhadap keberadaan perusahaan di daerah mereka. Suatu persepsi yang muncul dengan tidak tiba-tiba, tetapi suatu persepsi negatif yang terpelihara seiring perjalanan waktu, hingga saat ini. Persepsi negatif ini merupakan gejolak masyarakat yang bersifat laten, dan tidak muncul ke permukaan. Apabila PT. CGI dan pemerintah lokal, pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak mampu mengelola konflik laten tersebut, maka dikhawatirkan situasi tersebut akan muncul menjadi konflik yang manifes. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, bahwa:

“sebenernya mah masyarakat mah pingin nasionalisasi lah. Jadi perusahaan asing ke (ber)alih... sebenernya nunggu waktu lah, sebenernya gerakan itu pasti ada, tapi kan masih menunggu waktu. Jadi keinginan masyarakat pingin nasionalisasi, jadi pengelola Pertamina gitu. Karena sulit gitu kalo dengan perusahaan asing mah.” (TP 1).

Sebagian masyarakat lokal yang memandang kehadiran PT. CGI sebagai sesuatu yang kontradiktif. Masyarakat lokal memahami bahwa pendapatan yang diperoleh PT. Chevron adalah triliunan, sangat kontradiktif dengan kondisi masyarakat sekitarnya. Bahkan muncul nada sarkastik dari sebagian warga yang menyatakan kehadiran PT. CGI sebagai mengerikan, sehingga masyarakat selalu was-was jika suatu saat terjadi bencana.

“ya itu pernyataan sikap masyarakat mah, karena itu tanah

kami, itu sumber daya alam kami, maka kembalikan lagi kepada kami. Terkait dengan masalah pengelolaan, ya silahkan mau

142

dikelola. Tapi masyarakat juga harus menikmati. Jangan hasil buminya dikeruk semua, diambil gitu harta kekayaannya,

masyarakat dibiarkan.” (TP 1)

Pada sebagian masyarakat, mereka memahami kalau seandainya banyak bantuan yang diberikan di desa-desa wilayah Kecamatan Pasirwangi, daripada daerah lainnya di wilayah Kabupaten Garut. Desa-desa yang berdekatan dengan lokasi operasional PT. CGI masuk dalam wilayah Ring 1, sedangkan Kecamatan Samarang masuk wilayah Ring 3. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, mengenai kehadian PT. CGI, bahwa:

“...sangat mendukung sekali, boleh dikatakan undang-undang ya? Sekarang dengan adanya undang-undang nomer 33 tentang perimbangan keuangan sudah ada ya, sudah ada pembagian hasil dari pada penghasilan pajaknya. Kalau dulu ketika belum

diselesaikan itu kabupaten itu hanya “to” menerima itu “DAPU” penghasilan yang dikelola oleh Chevron sendiri langsung ke pusat. Nah sekarang ada bagian tapi masuknya tidak ke kecamatan terdekat, tapi ke APBD kabupaten, itu di bidang keuangannya. Terus di bidang kesejahteraan masyarakatnya juga ada andil yang terdekat saat ini ada penerimaan karyawan diutamakan putra daerah dari ini (masyarakat lokal) ya tapi itu untuk pekerja kasarnya saja, kalau untuk yang ahli pastinya ya yang sudah ahli. CSR, sangat mendukung sekali wilayah yang ada disekitar Chevron terutama di wilayah Pasirwangi itu. Sangat besar program untuk ke sana, kan Pasirwangi dekat sekali dengan Chevron. Kalau Samarang ini mah katanya ring 3, kalau tidak salah ya. Da saya kan soalnya orang baru juga disini, kalau katanya mah ring satunya itu pasirwangi, ring 2 nya Sukaresmi nah Samarang ini ring 3. Sehingga sebagian besar CSRnya ada di Pasirwangi tapi di Samarang juga ada kebagian, ada pembangunan gedung SD, musholla, madrasah, sarana kesehatannya juga ada, kemudian infrastruktur jalan, ya jadi banyaklah kalau dari Chevron yang di kabupaten Garut ini mah”. (PK 3)

143

Kalau melihat pendapat dari salah satu informan di atas yang berasal dari aparat Kecamatan Samarang dapat terlihat mulai munculnya kecemburuan mengenai penyaluran program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari PT. CGI. Informan tersebut menganggap bahwa bantuan CSR dari PT. CGI lebih banyak dinikmati oleh masyarakat Kecamatan Pasirwangi. Namun demikian mereka memaklumi besarnya bantuan untuk warga di Kecamatan Pasirwangi tersebut. Karena bantuan CSR PT. CGI baik untuk infrastruktur dan non infrastruktur juga diberikan untuk kepentingan warga masyarakat di wilayah Kecamatan Samarang. Jika diperhatikan lebih seksama mengenai fokus wilayah program CSR PT. CGI, nampaknya Kecamatan Pasirwangi dan Kecamatan Samarang memperoleh perhatian lebih dari pada kecamatan lainnya di Kabupaten Garut.

Isyu lain yang muncul dari kehadiran PT. CGI adalah persoalan kekhawatiran kerusakan lingkungan yang mengakibatkan menurunnya produksi lahan pertanian, serta isyu ketenagakerjaan masyarakat lokal, sebagaimana dikemukakan oleh infoman berikut ini.

“secara pribadi sebagai masyarakat yang saya harapkan orang

Chevron bergaul dengan masyarakat, karena yang dapet bantuan orangnya itu-itu aja,...kenapa mereka membabat hutan habis-habisan ...karena mereka kekurangan lahan yang pertama, yang kedua ...barangkali ada kan efek negatif dari gas yang dikeluarkan dari Chevron.... Dulu hutan kita ...rindangnya bukan main, dinginnya bukan main tapi sekarang malem aja udah panas, kalau dulu jam 2 siang teh udah banyak kabut dingin banget sejuk udaranya.... Sebetulnya masyarakat jangan terlalu disalahkan, kalau ada kerjasama yah ayoo, misalkan ada ajakan ayo masyarakat desa Karyamekar kerjasama gue misalkan, jangan yang kerja teh itu-itu aja harus ada rekomendasi lah harus ada ijazah lah. Masyarakat Desa

144

Karyamekar mah yang masuk Chevronnya hanya satu orang yang benar-benar kerja di Chevron.” (WM 4 & WM 5)

Informan mengkaitkan isyu menurunnya kualitas lingkungan di kawasan hutan Darajat, dengan menipisnya hutan di wilayah tersebut. Perambahan hutan oleh warga tersebut karena berkurang lahan pertanian, yang sebagian besar menanam kentang. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa di sekitar puncak Darajat merupakan wilayah potensi wisata yang berkembang dengan pesat. Beberapa warga yang memiliki modal yang menginvestasikan dananya untuk membangun wisata kolam air panas. Setidaknya terdapat sekitar 10 (sepuluh) kolam air panas dengan wisata air lainnya terdapat di daerah tersebut. perkembangan tersebut diikuti dengan meningkatnya prasarana pendukung lainnya, seperti penginapan, rumah makan, serta lahan parkir (masih kurang). Namun, kebutuhan lahan untuk tersedianya prasarana wisata tersebut mendesak lahan-lahan pertanian sehingga semakin menipis. Meningkatnya jumlah sarana dan prasarana wisata merupakan pull factor sehingga menjadikan jumlah wisatawan yang datang ke lokasi tersebut terus meningkat. Menjelang libur atau hari Sabtu kepadatan pengunjung wisata ke Darajat Pasirwangi sudah terasa sejak dari pasar Samarang. Sehingga apabila sedang padat pengunjung, waktu tempuh menuju tempat wisata Darajat dari kecamatan Samarang yang seharusnya 30 menit menjadi 3 hingga 4 jam.

Dalam penelitian Prayogo (2008: 72) menunjukkan bahwa relasi masyarakat dengan perusahaan yang mengarah pada konflik atau ketegangan hubungan dimulai dengan ‘rumor’  ‘kekecewaan’ 

145

menyatakan bahwa agen dan struktur saling jalin-menjalin tanpa terpisahkan dalam praktik sosial manusia. Artinya dalam hal ini perusahaan dan masyarakat merupakan agen, yaitu orang-orang atau kelompok yang terus terlibat dalam arus kontinu tindakan. Sementara tindakan masyarakat dan perusahaan akan bergantung pada pemahaman (kesadaran) mereka akan struktur CSR yang mereka pahami. Perbedaan-perbedaan pemahaman antara masyarakat dan perusahaan akan CSR ini lah yang mendorong timbulnya flukutuasi dan dinamisnya hubungan antara masyarakat dengan perusahaan.