• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbicara mengenai sebuah konsep, kita tidak bisa melepaskan dengan keberadaan konteks dimana konsep tersebut dipahami. Pemahaman atas sebuah konsep sangat beraksentuasi dan bergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh suatu komunitas atau

34

Pasal 1 huruf a dari Undang-undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No 5 Tahun 1979) yaitu : Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan Masyarakat Hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan urusan rumahtangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah konsep yang sama dapat dipahami dan ditafsirkan secara beragam. Semua tergantung dari konteks dimana individu maupun masyarakat mendapatkan pengetahuan mengenai hal itu untuk menafsirkan sesuatu.

Demikian juga ketika kita berbicara mengenai konsep "sehat". Pemahaman mengenai konsep "sehat" sangatlah beragam, semua tergantung pada tafsir masing-masing komunitas atau masyarakat. Dengan begitu, kita dapat melihat konsep "sehat" dari perspektif etik dan emik.

Dari perspektif Etik, kita dapat melihat secara mendalam berkenaan dengan pemahaman konsep sehat merujuk dari definisi yang dibuat oleh World Health Organization (WHO). Menurut WHO, yang dimaksud dengan sehat adalah "a state of complete physical,

mental and social well being, and not merely the absence of disease or infirmity " (WHO, 1981:38). Dari definisi yang dibuat oleh WHO

terlihat jelas bahwa pemahaman mengenai konsep sehat mengacu pada kondisi fisik, mental dan sosial. Sedangkan menurut Linda Ewles & Ina Simmet (2003)35, bahwa sehat dapat dilihat dari aspek jasmani, mental, emosional, sosial, spiritual dan societal. Dari aspek jasmani, hal yang perlu diperhatikan adalah pada fungsi mekanistik tubuh. Aspek mental, dilihat pada kemampuan seseorang untuk berfikir jernih dan koheren. Aspek emosional dilihat pada kemampuan untuk mengenal emosi yang berbeda seperti marah, takut, duka, nikmat dan mengekspresikan emosi tersebut secara cepat dan tepat. Aspek sosial mengacu pada kemampuan dalam membangun dan mempertahankan suatu hubungan dengan orang lain. Aspek spiritual mengacu pada kepercayaan dan praktek keagamaan dalam hal mengenai prinsip-prinsip berperilaku, mencapai kedamaian dan perbuatan baik. Aspek societal mengacu pada kondisi kesehatan individual yang berkaitan

35

Linda Ewles, Ina Simnett, 2003, Promoting Health, A Practical Guide, Bailliere Tindall; 5 edition

dengan kondisi-kondisi sosial dimana dia hidup seperti kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Bagi masyarakat di Desa Miangas, orang dikatakan sakit adalah ketika mereka tidak bisa pergi ke kebun atau pergi men-cubi di laut namun hanya bisa berbaring di rumah. Makna Sakit dan sehat lebih banyak dikaitkan dengan aktifitas sehari-hari. Mereka tidak membedakan intensitas antara sakit berat dan ringan. Selama masih bisa beraktifitas maka orang tersebut dikategorikan sehat meskipun mereka menderita sakit flu atau sakit kepala/pusing. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Surani,

"kalau orang tidak dapat ke kebun bertanam sayur, mecari kepiting atau men-cubi, itu sakit....tapi kalau masih bisa bekerja itu.. sehat orangnya"

Menurut masyarakat Desa Miangas, penyebab orang sakit itu bisa berasal dari medis, gangguan makhluk halus dan "kuasa kegelapan". Ketika orang merasakan dirinya sakit, maka hal pertama yang ia lakukan adalah melakukan pemeriksaan medis. Namun, jika sistem pengobatan medis dalam jangka waktu tertentu tidak menunjukan perubahan yang nyata, maka ia berganti menuju sistem pengobatan tradisonal dimana mereka percaya bahwa penyebab rasa sakit tersebut pasti disebabkan karena gangguan makhluk halus. Dukun yang sering didatangi untuk menyembuhkan penyakit akibat non medis adalah Dukun Sembur. Bilamana gangguan sakit tersebut masih belum menunjukan hasil, orang Desa Miangas akan menganggap bahwa sakit yang diderita akibat gangguan "kuasa kegelapan".

Pemahaman mengenai konsep gangguan makhluk gaib di Desa Miangas ada dua, pertama gangguan akibat "kuasa kegelapan" yang mengacu pada sistem pengobatan tradisional yang berafiliasi pada pengetahuan agama atau gereja dan kedua adalah gangguan makhluk halus yang mengacu pada sistem pengobatan tradisional yang

berafiliasi pada cara lama dengan menyembur pada pasien. Jika dukun tradisional disebut dukun sembur, maka dukun untuk pengobatan akibat gangguan "kuasa kegelapan" ini tidak berkenan dianggap sebagai dukun namun sebagai orang yang membantu untuk memanjatkan doa kepada Tuhan YME. Sebagaimana pengalaman Ibu Surani :

"dulu ... mas, ...waktu anak saya sakit.... pertama saya bawa ke puskesmas....disana kemudian diberi obat, setelah obat diminum sampai sepuluh hari...ternyata tidak menunjukan dampak apa pun....saya kembali ke puskesmas...diberi obat lagi dan juga tidak menunjukan hasil...setelah itu saya putuskan bahwa anak saya pasti sakit karena gangguan makhluk halus...makanya saya bawa ke Opa Maksi, dukun sembur disini... seandainya masih tidak sembuh.... orang sini sering dibawa ke Mama Nista yang bisa menyembuhkan akibat kuasa kegelapan"

Penyebab utama seseorang mendapatkan penyakit non medis dipercayai akibat seseorang melanggar wilayah-wilayah sakral seperti ke Bukit Keramat tanpa berdoa dengan bahasa adat, memperlakukan barang keramat tidak semestinya seperti alumbanua, melintasi makam yang banyak berserakan di wilayah pemukiman atau akibat ilmu hitam. Cara pengobatan dengan sistem medis tradisional sembur yaitu dengan menggunakan media air yang ditaruh di dalam gelas. Selanjutnya di dalam gelas tersebut, dimasukan benda gaib seperti batu atau sejenisnya dan diiringi dengan doa-doa yang diucapkan oleh dukun sembur tersebut. Setelah prosesi pengucapan doa selesai, maka dukun akan meminum air yang sudah diberi doa dan menyemburkan seluruh air tersebut ke tubuh pasien. Cara ini dilakukan berulang-ulang hingga pasien terkesan basah kuyub akibat semburan air tersebut. Proses pengobatan ini dapat dilakukan beberapa kali dalam satu minggu dan dapat dilakukan di rumah dukun sembur atau rumah pasien, tergantung kondisi dari pasiennya apakah

mampu berangkat ke rumah dukun sembur. Biaya yang diberikan cukup seikhlasnya saja, karena ada kepercayaan ada dukun sembur bahwa mereka dilarang untuk mematok bayaran terhadap orang yang disembuhkan.

Peralatan yang digunakan dalam sistem pengobatan cara sembur, khususnya benda bertuah hampir semuanya diperoleh dengan cara yang tidak lazim. Mereka mendapatkan petunjuk saat mereka bermimpi. Seperti pengalaman Opa Maksi, ketika sedang tidur baik di malam ataupun siang hari, adakalanya ia mendapatkan petunjuk mengenai benda-benda bertuah. Biasanya ia langsung bangun setelah mendapat petunjuk dalam mimpi tersebut dan langsung menuju tempat dimana benda-benda bertuah tadi berada sebagaimana gambaran petunjuk dalam mimpi. Hampir semua petunjuk tersebut benar, ia selalu mendapatkan benda-benda seperti yang digambarkan dalam mimpi tersebut.

Demikian juga dengan Mama Nista, beliau mendapatkan kemampuan tersebut langsung dari mimpi. Kemudian ia praktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk membantu menyembuhkan orang Desa Miangas yang sedang sakit. Berbeda dengan Papa Maksi, peralatan yang digunakan dalam praktek penyembuhan bukan diperoleh dari hasil mimpin namun dibeli dari beberapa daerah, seperti "minyak urapan" sebagai media berdoa dibeli dari Jakarta.

Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan sakit akibat makanan yang dikonsumsi sehari-hari masih rendah. Terbukti dengan semakin meningkatnya penyakit kolesterol, obesitas dan darah tinggi namun mereka masih tetap saja mengkonsumsi asupan-asupan yang memiliki kadar kolesterol yang tinggi. Adakalnya mereka masih menganggap bahwa sakitnya tersebut akibat gangguan makhluk halus bukan merubah pola makan sehari-hari.

2.7 Bahasa

Bahasa dominan yang digunakan di Pulau Miangas adalah Bahasa Indonesia dialek Menado dan Talaud dengan dialek Miangas. Ada beberapa generasi tua orang Miangas yang masih menunjukan kemampuan berbahasa asing yang cukup baik seperti penguasaan Bahasa Tagalok, Bisaya atau Inggris. Kemampuan penguasaan bahasa asing pada generasi tua merupakan hal yang lumrah pada masa yang lalu36. Hal ini dimungkinkan karena aspek sejarah, dimana generasi tua memiliki kebiasaan untuk melakukan hubungan dagang (barter) dengan masyarakat yang ada di Philipina dan juga bekerja sebagai pengurus kebun di Pulau Mindanau.

Menurut S.J Esser (1938) dalam bukunya Atlas Van Tropisch

Nederland, secara umum Bahasa Talaud masuk kedalam keluarga

besar Bahasa Austronesia atau Melayu Polinesia37. Oleh sebab itu, hubungan kekerabatan Bahasa Talaud dengan bahasa - bahasa yang ada di Negera Philipina sangatlah dekat seperti Bisaya dan Tagalok38

39

. Di Kecamatan Nanusa sendiri, tersebar beberapa macam dialek di dalam Bahasa Talaud, seperti Dialek Kabaruan, Dialek Kakorotan, Dialek Marampit dan beberapa Dialek di Karakelang.

Hal yang membedakan antara satu dialek dengan dialek yang lain lebih dominan pada penggunaan fonem akhir kata dan morfem dibandingkan pada penekanan ujaran tertentu dan intonasi. Penekanan pada ujaran tertentu dan intonasi lebih dimaksudkan sebagai bunga-bunga dalam komunikasi didalam dialek tersebut.

36

J.C von Eerde, 1920, Inleiding tot de volkenkunde van Nederlandsch-Indie Haarlem : Erven F. Bohn, p 2 - 4

37

Esser, S.J, 1938, "Talen", in, Atlas van tropisch Nederland, 9-9b (Amsterdam: Koninklijk Nederladsch Aardrijkskundig Genootschap)

38 Anceaux, J.C, 1965a, "Austronesian Linguistics and Intra Subgroup Comparison", Lingua 14:309-314

39

Anceaux, J.C, 1965b, "Linguistic Theories about the Austronesian Homeland", BKI 23:417-431

Dengan begitu, komunikasi antara satu kelompok dialek dengan dialek yang lain masih dapat berlangsung dengan baik meski sedikit terhambat dengan adanya perbedaan penggunaan akhiran. Beberapa masyarakat Desa Miangas, seperti Bapak Mangkubumi 1 mengakui bahwa penggunaan perbedaan akhiran akan menghambat komunikasi terlebih bagi masyakat Desa Miangas yang belum pernah berkomunikasi dengan masarakat Talaud dari pulau lainnya. Namun seiring dengan waktu dan intensifnya kontak dengan saudara dari Pulau yang lain, hambatan komunikasi sedikit banyak akan teratasi dalam percakapan antara orang Talaud dari satu dialek dengan dialek lain.

"....Memang agak beda dik, di sini berupa kita berbahasa hanya berupa kata dasar... kalau di Talaud sana sudah ada dp tambahan. Contoh 'ina" yang artinya ikan, Disini kita bilang "ina" .... kalau sudah kesana bukan "ina" tapi mereka bilang "inasa"... itu daerah Talaud kesana. Kalau disini hanya kata dasar saja... itu di Talaud besar, kalau di Kakarotan dan Karatung sama dengan disini. contoh lagi... "uman" = makan kalau disini bilang "uman" kalau orang sana bilang "umana" ... pisang, disini kita bilang "busa",... tapi disana bilang "busak'a". ya gituuuu....ha ha ha. memang kalau kita ngobrol dengan orang sana agak sulit mengerti dik karena mereka ada tambahan... meski sama sama Talaud. kalau Marampit beda lagu...saja. agak tarik tarik. contohnya ikan disini diucapkan "ina" tetapi di Karatung diucapkan "iiiinaaaaa"

Bahasa Talaud atau bahasa daerah dikenal dengan dengan sebutan bahasa adat. Penggunaan bahasa adat merupakan suatu keharusan di setiap kegiatan yang berkaitan dengan adat. Tanpa kehadiran bahasa adat, setiap kegiatan yang sifatnya lokal atau ritual akan dianggap sebagai ritual yang kurang afdhol dan bermakna. Ketika seseorang memasuki wilayah bukit keramat juga wajib dibuka dengan bahasa adat. Jika tidak orang tersebut ditakutkan akan mengalami sakit. Peletakan batu pertama juga harus dibacakan dengan doa

berbahasa adat. Bahasa adat juga digunakan sebagai sarana berkomunikasi dengan dunia ghaib yaitu opa penunggu Pulau Miangas.

Penguasaan bahasa adat tampaknya cenderung didominasi oleh generasi tua dan pejabat adat setempat. Anak-anak muda di Desa Miangas tidak semua memahami bahasa adat tersebut. Bahkan ketika peneliti mengambil dan menunjukan sebuah tulisan tangan dalam bahasa adat yang berisi mengenai tata cara ritual penyambutan tamu, banyak anak muda yang ditemui tidak mampu menterjemahkan dan memahaminya. Hal ini menunjukan bahwa dalam bahasa adat atau Talaud terdapat kategori antara bahasa pasar dan tinggi. Bahasa Adat (Talaud) tinggi mengacu pada bahasa adat yang digunakan dalam prosesi ibadah lokal atau bahasa teks yang menjadi acuan kegiatan tersebut. Kedua, adalah Bahasa Adat (Talaud) pasar yang digunakan sebagai sarana percakapan sehari hari sebagai bahasa daerah.

Sebagai bahasa tinggi, masyarakat Desa Miangas mengenal Bahasa Talaud yang digunakan dalam berbagai prosesi ritual dengan sebutan Bahasa Talaud Sasara atau Sasahara. Bahasa ini memiliki pengertian yang sangat mendalam sehingga sangat logis jika jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kegunaan Bahasa Talaud

Sasara ini adalah sebagai medium untuk melakukan atau

menciptakan vibrasi suatu kekuatan ghaib. Ada kepercayaan bahwa dengan menggunakan bahasa seperti itu, para opa penghuni Pulau Miangas lebih mudah diajak berkomunikasi. Oleh sebab itu, bahasa ini seringkali dianggap sakral dan bertuah. Ada yang mengatakan bahwa Bahasa Sasara adalah bahasa pantang. Oleh sebab itu, cara penggunaannya sangat khas seperti pelafalan, intonasi atau lagu, dan penyajiannya dalam konteks tertentu.

Beberapa kosa kata Bahasa Talaud pasar adalah sebagai berikut : Makatanah : Tradisional/ alami

Obat makatanah : Obat ramuan tradisional

Encok : Sangngadda

Sakit Kusta : Sait Tontongnga Sakit Bengkak : Bere, Hoggoa Sakit Gigi : Isi Marada Sakit Kepala : Pua Marada Sakit Perut : Tia Marada Sakit Badan : Lawaa Marada Lumpuh/stroke : Perlamen Darah Tinggi : Rara Matangka Kencing Manis : Lia Mamani Kepala Pusing : Puatutiri

Sakit Lutih : Daddaabuti / Saitta Wuti Ganja : Paisu Maawuanna

Khasiat : Sappunne Berkasiat : Piassappunne Manfaat : Hunane Bermanfaat : Piagunanne Dimanfaatkan : Inapahuna Dengung : Salinggutta

Selalu dalam keadaan sakit : Longko na waa

Musim Kamarau : Tandiawa, Allontaterrangaga

Musim Dingin : samu,

allommalurruema

Dipulihkan : Pinassulungnga Urut : U'alinturrutta Madu : Pula

Air madu : U'aempula Kepiting : Sarrangnga Ikan Batu : Sunga Ikan Todak : Salasuhi Ikan Hiu : Ambolengnga

Direndam dalam air : Lakkumanna suralummu paisu

Diperan 3 hari : Ireso tallu allo Suhunya panas : Sawudde maloso Kemudian ditampi : Baute udde tappinna

Hasil tani : Asombanggu pabbawialana Biaya dapur : Reengannu paattu railanna

Bulan pertama : Alatto Bulan kedua : Aru'ane Bulan ketiga : Otallune

Bulan keempat : Raram Mawawo Bulan kelima : Raram Matangga Bulan keenam : Atakka

Bulan ketujuh : Dape Bulan kedelapan : Lattu Bulan kesembilan : Nawarioa Bulan kesepuluh : Naworaalla Bulan kesebelas : Pangumpla Bulan keduabelas : Pauss

Pemahaman menganai bahasa suatu etnisitas akan lebih lengkap jika pengamatan kita tidak hanya berkisar pada kumpulan

kata-kata dasar saja, namu perlu juga memahamai bagaimana kumpulan kata dasar tersebut dirangkaikan sehingga memiliki suatu makna tertentu dalam komunikasi. Secara umum, struktur kalimat bahasa Talaud mengacu pada struktur bahasa dari keluarga Austronesia. Strukturnya adalah dalam penggunaan S-P-O-K secara konsisten. Adapun contoh-contoh struktur kalimat tersebut adalah sebagai berikut :

Bunga melati amat indah, sedap, wangi, harum dan bagus Banti melati tumane mapia, mane nengnga, mawangi burru marran sangnga.

Rumah itu bagus, kuat, besar sekali

Banala udde mapia, matohassa, bahewa atonna Ia memakai perhiasan elok

Itou uapaattu rahi-rahi lorran sangnga hati Air sumur itu dangkal

Paisu parrihi udde mawawo

Obat ini dapat menghilangkan pikiran mual Undamima indi ma awuli ringiranna susalirrawa

Gambar 2.15

Brosur Kesehatan Berbahasa Talaud Sumber: Dokumentasi Peneliti

Disamping, penggunaan Bahasa Talaud, masyarakat Desa Miangas juga menggunakan Bahasa Indonesi sebagai bahasa percakapan sehari-hari terlebih ketika berkomunikasi dengan pendatang. Ketrampilan mereka dalam menggunakan Bahasa Indonesia sangat tinggi mulai dari generasi tua hingga muda. Hal ini tidak lepas dari perjalanan sejarah bagaimana Bahasa Melayu telah menjadi bahasa pengantar. Sebagaimana ungkapan dari Pak Mangkubumi 2, "orang Miangas sejak dahulu kalau ingin sekolah diatas SR (sekolah rakyat) pasti ke pulau seberang...makanya teman sekolahnya banyak dari berbagai pulau... disana bahasa sekolah yang dipake Bahasa Melayu".

Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari masyarakat di Pulau Miangas tidak berbeda dengan dengan dialek Bahasa Indonesia yang dilafalkan di wilayah Manado. Disini terdapat kata seru yang paling sering digunakan dalam percakapan, seperti ujaran "jo", "ndan", "no" dan "depe". Ujaran "jo", "ndan" ini tidak mengandung arti namun sering digunakan sebagai ujaran penguat dalam percakapan. Namun ujaran "depe" seringkali mengacu pada

makna "dia punya" yang secara harfiah dapat dipahami sebagai kata milik mengenai sesuatu yang dilekatkan pada kata benda. Masyarakat Pulau Miangas selalu mengartikulasikan ketiga ujaran secara intensif sebagai bagian dari identitas sebagai penutur Bahasa Indonesia berbahasa ibu Bahasa Talaud. Contoh pengartikulasian dari ketiga ujaran sebagai berikut, "pergi ke kebun, jo", "iya, jo", "iya no", "dia pergi ke kebun depe papa", Mari sini "Mari jo".

2.8 Kesenian

Kesenian yang terdapat dan berkembang di Pulau Miangas sangat beragam, pertama berupa kesenian tari. Kesenian tari ini berkembang sehubungan dengan sejarah yang terjadi di Pulau Miangas yaitu sejarah yang berkaitan dengan perang mempertahankan Pulau Miangas. Untuk mengenang persitiwa keberadaan perang yang sangat heroik dan penuh pengorbanan tersebut diciptakan sebuah tarian yang dinamakan Tari Perang atau

Sasalo. Makna dari tarian tersebut adalah berkenaan dengan tari

kebesaran dan kemenangan melawan musuh.

Tari Perang Sasalo dilakukan olah pentua adat dengan busana yang terdiri dari dua jenis yaitu warna putih dan ungu. Gerakannya cukup sederhana dan mudah dipelajari. Alat-alat musik yang biasa digunakan untuk mengiringi tarian ini berupa tambur sedang, harmonika mulut, pianika dan gamelan. Disamping tari Sasalo, di Pulau Miangas juga terdapat tari yang lain seperti Tari Lenso laki-laki dan perempuan, Tari Gunde pemuda dan Tarian Manam'mi

Desa Miangas juga memiliki kesenian kerajinan tangan yang dikenal hingga negeri seberang Filipina sejak dahulu kala. Kerajinan tangan tersebut dari dahulu hingga sekarang tetap menggunakan bahan baku yang berasal dari tanaman yang tumbuh di Pulau Miangas, yaitu pohon pandan. Pohon pandan yang memenuhi syarat seperti usia, ukuran lebar dan banyaknya daun akan diambil daunnya. Kemudian daun pandan yang sudah dikumpulkan tersebut

dibersihkan, dihaluskan dan dikeringkan dengan dijemur menjadi lembaran-lembaran daun pandan kering. Jika mereka menginginkan adanya motif dalam pembuatan barang-barang kerajinan, maka daun pandan tersebut akan diberi pewarna alami. Setelah siap, seluruh bahan-bahan tersebut siap dianyam sedemikian rupa oleh tangan-tangan oma-oma yang trampil, sehingga akhirnya berwujud menjadi tikar dan topi pandan yang cukup indah.

Motif-motif yang digunakan dalam pembuatan tikar dan topi pandan sangat sederhana. Secara umum mereka selalu menggunakan motif garis lurus yang bersilang di beberapa tempat. Motif-motif yang lain dapat dibuat jika ada orang yang menginginkan. Motif yang sederhana menyebabkan jumlah lembar pandan yang berwarna sangat terbatas antara dua hingga tiga warna saja. Adakalanya mereka hanya menggunakan satu warna saja yaitu warna asli dari daun pandan tersebut.

Produk-produk kerajinan yang indah ini sering dibawa ke negeri Filipina, khususnya wilayah Mindanau. Kegiatan transaksi tersebut hingga saat ini masih berlangsung. Barang kerajinan menjadi salah satu produk yang langsung dapat dipertukarkan dengan produk Filipina yang mereka inginkan. Mereka sering melakukan penjualan hasil kerajinan dengan cara barter atau jika mereka menerima uang

cash dalam bentuk peso Filipina, mereka segera membelanjakan

dalam bentuk barang barang-barang yang akan mereka butuhkan di Desa Miangas.

Saat ini, aktifitas kegiatan kesenian pembuatan tikar dan topi pandan hanya dilakukan untuk mengisi waktu luang. Adakalanya, barang kerajinan tersebut diberikan sebagai tanda mata kepada tamu yang akrab dengan mereka. Oleh sebab itu, penggiat kerajinan ini lebih banyak di dominasi oleh mama-mama atau oma. Sedangkan Ibu-ibu muda dan para gadis-gadis cenderung tidak mewarisi ketrampilan tersebut sercara intensif. Mereka lebih banyak melakukan aktifitas bercerita di ruang publik seperti di depan rumah, dego-dego di kebun,

bermain permainan sejenis halma atau aktifitas olah raga di lapangan. Padahal menurut Oma Awwalla, aktifitas membuat tikar pandan ini pada masa ketika ia masih muda dilakukan secara intensif di setiap rumah. Di sepanjang jalan yang membelah Desa Miangas, setiap rumah yang berderet baik sisi kanan dan kiri selalu diramaikan dengan orang yang beraktifitas membuat tikar pandan.

Aktifitas kesenian yang lain adalah kesenian yang berkaitan dengan seni musik. Adalah Opa Maksi dan Oma Eli yang dikenal sebagai penggiat seni musik. Kedua orang tersebut kondisinya saat ini buta namun memiliki talenta dalam hal bermusik dengan menggunakan peralatan musik setempat seperti gitar opulele (gitar kecil bersenar nylon pancing dari tempurung kelapa). Jika Oma Eli dikenal dengan keahliannya bernyanyi dengan gitarnya, maka Opa Maksi selain dikenal sebagai penyanyi juga dikenal sebagai penggubah lagu. Banyak lagu yang sudah ia ciptakan, Baik yang berbahasa Indonesia maupun Talaud. Sisi kreatif yang menonjol dalam diri Opa Maksi menyebabkan beberapa orang yang datang ke rumahnya sering meminta beliau untuk menyanyikan beberapa lagu saja. Ada juga seorang pejabat di Talaud yang sudah merekam hasil nyanyian Opa Maksi.