• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peta hunian orang Suku Talaud, secara umum tersebar pada delapan dari 17 pulau yang ada di Kabupaten Talaud. Di dalam setiap wilayah yang dihuni oleh masyarakat Talaud, selalu terdapat sistem pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin formal yang diangkat oleh negara melalui SK (Surat Keputusan) dan non formal atau formal tradisonal. Pemimpin formal berwujud kepala desa (zaman dahulu disebut kapitne laut dan ditemani seorang jurutulis) dan pemimpin non formal berwujud pemimpin adat seperti Ratumbanua atau

Mangkubumi 1 dan Nanguwanua atau Mangkubumi 2. Pola struktur

pemerintahan formal (Kepala Desa) dan kepemimpinan adat di Miangas di era keresidenan Manado, masuk dalam kesatuan wilayah adaministratif ke-jogugu-an Nanusa, semenjak adanya keputusan

pemerintah pusat33. Oleh sebab itu, pemimpin formal tradisonal juga mewarnai di Desa Miangas, Pulau Miangas. Pemimpin tersebut merupakan pemimpin formal tradisonal yang paling tinggi dalam mengatur kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan adat. Keberadaannya sangat dihargai dan dihormati oleh seluruh masyarakat karena merupakan primus inter pares.

Pengangkatan pemimpin formal tradisonal dalam konteks fungsi tradionalnya adalah, Ratumbanua atau Mangkubumi 1 yang memiliki fungsi sebagai pemimpin adat dengan wewenang mengurusi persoalan pemerintahan adat seperti menjaga keamanan wilayah dari gangguan orang asing, persoalan yang terjadi antar wilayah desa atau pulau dan juga melakukan kegiatan monitoring terhadap seluruh aktifitas dari pejabat adat yang lain. Kemudian, Nanguwanua atau Mangkubumi 2 berfungsi sebagai pemimpin adat yang berwenang mengurusi berbagai hal yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat adat, seperti mengatur berbagai ritual-ritual setempat agar dapat berlangsung, menjaga berbagai aset desa seperti aset sejarah dan melakukan monitoring terhadap berbagai kegiatan pada pejabat adat yang berada di bawahnya. Wewenang lain yang tidak tidak bisa diabaikan adalah menjembatani konflik yang terjadi di dalam keluarga atau antar keluarga. Konsep menjebatani disini adalah dalam rangka memberikan solusi atas persoalan bukan mencari siapa yang bersalah dan kemudian diberikan sanksi (hukum adat).

Nanguwanua merupakan mediator dalam mengumpulkan para tetua

adat serta masyarakatnya untuk menyelesaikan persoalan diatas dengan cara kekeluargaan.

Mengacu pada wewenang yang akan diurus dari setiap pemimpin adat terdapat dua wilayah urusan yang berbeda yaitu mengenai urusan layanan publik pemerintahan dan layanan kesejahteraan sosial atau domestik. Keberadaan kepemimpinan

formal tradisional di wilayah Talaud selalu mengacu pada konsepsi pemimpin yang harus selalu berpasangan atau berpendamping. Pasangan ini dipahami sebagai konsepsi keberadaan "papa dan mama", dimana di dalam konsepsi tersebut peran jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang berorientasi pada peran yang berbeda bukan membantu pemimpin pertama. Oleh sebab itu, dalam konteks ini istilah "wakil" dalam kepemimpinan formal tidak pernah digunakan. Mereka lebih menerima dengan istilah "pasangan atau pendamping".

Hubungan antara pemimpin formal dan formal tradisional sangat erat sekali. Meskipun domain wilayah wewenangnya berbeda satu dengan lainnya. Mereka menyebut pemimpin formal sebagai "sepupu adat". Kedua pemimpin tersebut bahu membahu dalam berbagai aktifitas yang berkaitan dengan pengontrolan kegiatan ekonomi, politik, sosial, budaya keamanan wilayah dan pengendalian sosial sebagai wujud tertib hukum.

Kehadiran pranata kepemimpinan adat memungkinkan masyarakat dapat memecahkan segala persoalan hidup, diawali dari lingkup paling rendah yaitu desa. Pemecahan persoalan melalui musyawarah dan kearifan lokal yang masih hidup, diharapkan segala persoalan tersebut dapat segera dipecahkan tanpa langsung menuju insitusi yang lebih tinggi yaitu pengadilan. Kebutuhan mengenai hal seperti, masyarakat Desa Miangas segera menata kehidupan dengan cara melengkapi struktur adat yang diinginkan seperti mengangkat pimpinan adat seperti, Ratumbanua, Nanguwanua dan Kepala Suku atau Roangan beserta pasangannya.

Kepala Suku/Roangan, Timaddu Ruangnga atau pemangku adat merupakan sebutan bagi pemimpin adat yang berada pada tingkatan yang lebih bawah. Ia memiliki wewenang dalam mengurusi wilayah kesukuan atau marga. Sebagai kepala dari keluarga besar marga, Kepala Suku/ Roangan harus memiliki kemampuan untuk menangani berbagai persoalan dan sengketa yang muncul antar

mereka dalam keluarga kelompok marga tersebut. Di samping itu, keberadaan kepala suku juga sebagai pusat pelaporan, meminta nasehat dan konsultasi mengenai berbagai aktifitas yang dilakukan oleh anggota suku tersebut. Untuk menyukseskan aktifitas tersebut, Kepala suku memiliki pasangan jabatan yang saling bersinergi dalam menyuksesakan segala kegiatan pada tingkat suku.

Proses pengangkatan pemimpin formal tradisional

Ratumbanua dan Nanguwanua dilakukan oleh seluruh masyarakat

Desa Miangas, yaitu melalui perwakilan yang diemban oleh Kepala Suku atau Roangan melalui sebuah ritual adat yang sakral. Sebaliknya, pengangkatan Kepala Suku atau Roangan tidak dilakukan dengan melibatkan seluruh warga desa namun hanya anggota keluarga besar dari marga tersebut. Oleh sebab itu, setiap warga yang memiliki nama marga yang berbeda akan mengikuti seluruh proses pemilihan tersebut sesuai dengan afiliasi nama marga atau sukunya.

Di dalam proses pemilihan pemimpin formal tradisional tersebut terdapat sedikit konvensi. Konvesi berkaitan dengan bagaimana pengangkatan kedua tokoh formal tradisonal tersebut dipilih. Pengangkatan pemimpin formal tradisional Ratumbanua dan

Nanguwanua cenderung berasal dari deretan para kandidat tetua

adat yang diaggap sangat pantas untuk menjabat jabatan formal tradisonal. Sedangkan pengangkatan Kepala Suku atau Roangan cenderung menggunakan prinsip senioritas suku atau marga dalam konteks usia. Senioritas usia penting, karena ia akan menjadi orang yang dianggap "orang tua" atau yang dituakan dari suku. Tugasnya adalah memberikan pengayoman pada kelompok suku tersebut.

Secara umum, aturan yang menjadi syarat untuk dapat terlibat ke dalam pemilihan pejabat adat adalah, pertama yang menjadi pertimbangan adalah usia, senioritas usia menunjukan kematangan dalam mendapatkan berbagai pengalaman hidup kedua, jenis kelamin, mereka cenderung calon pemimpin berjenis kelamin laki-laki karena alasan pertimbangan masa lalu seperti itu, ketiga, sehat jasmani dan

mental, keempat memiliki keteguhan yang kuat dalam mempertimbangkan dan membuat keputusan, memiliki karakter yang baik agar dapat menjadi pemimpin yang bersuri teladan, dan syarat terakhir untuk menjadi calon pemimpin adalah harus memiliki garis keturunan pemimpin pada generasi sebelumnya.

Memiliki "jalur keturunan pemimpin" merupakan prinsip yang utama dan sangat penting di dalam proses pemilihan pemimpin adat. Kandidat-kandidat yang akan terlibat dalam pemilihan pemimpin adat akan diseleksi awal berdasarkan ada tidaknya darah pemimpin atau "darah biru" dalam dirinya. Hanya mereka yang memiliki "moyang pemimpin" yang lolos dari seleksi tersebut. Namun saat ini, keberadaan darah "moyang pemimpin" juga dilengkapi dengan atribut pola perilaku calon pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Jika seorang calon suka mabuk-mabukan, dalam keseharian perilakunya tidak baik, maka calon tersebut tidak boleh diangkat jadi pemimpin. Sebaliknya, jika calon tersebut berperilaku baik, tidak suka mabuk-mabukan, meskipun memiliki sedikit "darah pemimpin", calon tersebut punya peluang untuk diangakat.

Wacana persyaratan mutlak akan pentingnya keberadaan darah keturunan pemimpin menjadi semakin intensif mengemuka ketika berbicara mengenai peluang untuk menjadi seorang pemimpin apapun di Desa Miangas. Bahkan dalam proses pemilihan pemimpin formal seperti kepala desa yang notabene merupakan kepanjangan tangan negara, syarat ini juga wajib diberlakukan secara kultural. Dampak fenomena adanya persyaratan mutlak tersebut semakin menguatkan gambaran mengenai bagaimana lingkaran kekuasaan formal dan formal tradisional selalu dikuasai oleh kelompok-kelompok dari suku atau marga tertentu. Kekuasaan “kepemimpinan adat” cenderung diwariskan secara turun-temurun. Seperti yang dikatakan oleh Pak Suwardi secara diplomatis.

"marga-marga yang memiliki darah kepemimpinan seperti Pade, Menggasa,

Lupa, Taringanen, Papea, Pase, Banera, Esiing, Piteratu, marga-marga yang

pernah memegang kepala suku.

Masa tugas pemimpin formal tradisional tidak pernah ditentukan jangka waktunya secara jelas dan fomal. Menurut konvensi umum, jabatan pemimpin formal tradisonal biasanya akan dijabat hingga pemimpin tersebut wafat atau seumur hidup. Namun pada kenyataannya, tidak semua pemimpin formal tradisional tersebut berkenan menjabat hingga akhir hayat. Ada kalanya, dalam rentang perjalanan hidupnya, jabatan tersebut dialihkan kepada orang lain. Alasan yang mendasari proses peralihan jabatan tersebut adalah, pertama jika pemimpin formal tradisional tersebut menyatakan keinginannya untuk mundur atas dasar usia maupun kesehatan jasmani yang tidak memungkinkan. Atau, ketika dalam perjalanan waktu kepemimpinan, pemimpin formal tradisional tersebut ternyata memiliki kebijakan yang bertentangan dengan aturan adat. Seharusnya beliau adalah pemimpin yang mengayomi adat, tetapi perilaku maupun keputusan yang dibuatnya bertentangan dengan peraturan adat. Maka, dengan terpaksa pemimpin formal tradisonal tersebut akan diturunkan dengan cara paksa. Atas dasar itulah maka pemilihan pemimpin formal tradisional akan dilangsungkan kembali. Mengapa pemimpin formal tradisional yang bertentangan dengan adat wajib diganti, hal ini tidak lepas dari kepercayaan mereka bahwa perilaku seseorang yang tidak baik pasti akan berdampak pada berbagai peristiwa alam. Pemimpin yang perilakunya tidak baik pasti akan diikuti dengan munculnya berbagai bencana alam seperti panen gagal, ikan susah didapat, angin ribut atau datangnya penyakit.

"tidak ada batas masa kerja, dia sampai wafat trus ada juga mengundurakan diri.... baru ada pemilihan atau kita lihat dalam kepemimpinannya, ia menyimpang daripada peraturan yang sudah kita ini to kita bahas

bersama...itu bisa ganti diturunkan.... atau macam dia sudah kayaknya jalannya.... kita ke kanan ia jalan ke kiri .... itu bisa kita ganti"

Keberadaan struktur adat yang lengkap memungkin mereka untuk segera mereproduksi atau melestarikan aturan adat yang sudah ada atau bekerjasama dengan pemimpin formal yang ada dalam rangka implementasi penegakan aturan agar dipatuhi seluruh warga. Namun kepatuhan masyarakat terhadap pemimpin formal tradisonal juga dibangun melalui kepecayaan bahwa pemimpin adat

Ratumbanua dan pasangannya Nanguwanua terdapat kharisma dan

adanya fungsi dari kewajiban-kewajiban yang melekat pada jabatan tersebut. Dengan begitu, agar berbagai fungsi tersebut berjalan dengan baik, masyarakat Desa Miangas pun tanpa segan atau terpaksa ikut berperan serta dalam berbagai aktifitas kepala adat agar kepentingan bersama dapat terwujud.

Beberapa aturan-aturan akan dibentuk dan diterapkan setelah terbentuknya pimpinan adat Ratumbanua dan pasangannya

Nanguwanua dari hasil pemilihan Pimpinan Suku-suku/Roangan yang

terdiri 12 (dua belas) suku-suku atau Roangan. Baik Pimpinan Adat

Ratumbanua dan pasangannya Nanguwanua serta 12 Pimpinan

Suku-suku/Roangan segera bertugas menjalankan aturan adat. Adapun aturan yang akan ditetapkan adalah :

Pertama, Kepala Suku Ratumbanua dan pasangannya

Nanguwanua akan menetapkan sebuah pembagian wilayah teritorial

adat. Secara keseluruhan, tanah adat di Pulau Miangas akan dibagi ke dalam dua kategori utama, yaitu pertama, wilayah yang diperuntukan bagi pada keberadaan 12 suku dan anggotanya. Wilayah adat dalam kategori tersebut dapat dikelola oleh seluruh warga adat untuk diambil manfaatnya seperti untuk berkebun palawija, sayur mayur atau lainnnya. Kedua, adalah wilayah adat yang tidak diperuntukan atau diserahkan kepada masyarakat adat. Wilayah yang masuk dalam kategori ini disebut Tanah Menae. Tanah Menae luasnya kurang lebih

3 ha. Tanah ini biasanya diperuntukan untuk budidaya tanaman yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat adat, misalnya tanaman untuk ramuan rumah, tali hutan dalam prosesi ritual pesta rakyat

manam’mi penangkapan ikan, dan untuk budidaya tanaman

obat-obatan.

Budidaya tanaman obat-obatan di wilayah Tanah Menae menurut Bapak Batuel Lopa, sangat penting dalam peristiwa yang disebut Mangala Alumbanua. Peristiwa Mangala Alumbanua adalah sebuah peristiwa dimana masyarakat adat mendapat serangan dari wilayah luar, khususnya dalam konteks perebutan atau aneksasi wilayah. Selama peristiwa itu, mereka membutuhkan persediaan obat-obatan yang memadai. Lokasi Tanah Menae tepat berada di wilayah yang sekarang menjadi bandara. Ada sedikit kekecewaan dimana tanah penting mereka tergusur oleh pembangunan tersebut. Selain ditanamai tanaman obat-obatan, tanah tersebut juga ditanami pohon buluh atau bambu, dibudidayakan tumbuhan Ngira, untuk keperluan obat dan pertukangan.

Kedua, Kepala Suku Ratumbanua dan pasangannya Nanguwanua akan menetapkan dan menguatkan beberapa aturan

adat yang telah berlaku sejak dahulu kala hingga saat ini. Aturan tersebut berkaitan dengan aspek kegiatan seni budaya, pembinaan moral dan tata krama, aturan adat yang berkaitan dengan perkebunan, aturan adat menjemput tamu, aturan adat pelaksanaan penangkapan ikan tradisional (Manam’mi), aturan adat menanam dan panen yang semuanya berorientasi pada keagungan kuasa Tuhan, serta aturan adat kekudusan hari Minggu sebagai hari Tuhan, dan aturan adat dalam perikanan.

Ketiga, Kepala Suku Ratumbanua dan pasangannya Nanguwanua akan menetapkan aturan adat berkenaan dengan

kelestarian dari keberadaan aset-aset adat Desa Miangas yang memiliki nilai bersejarah seperti,

1. Batu ajaib, seberat 26,6 kg terapung, timbul dari laut, lokasi di Larawa, sebelah matahari terbit.

2. Benteng pertahanan dari batu bersusun berlokasi di gunung Otta 3. Batu tancap seberat 200 Kg oleh pahlawan adat Mura berlokasi di

Raranguina

4. Tempat keramat lokasi di puncak gunung Otta 5. Salib di Wora.

6. Benteng pertahanan dari batu bersusun setinggi 4,5 meter, dan goa kemenangan.

Sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan yang sudah eksis bertahun-tahun, masyarakat Pulau Miangas seperti juga masyarakat yang lainnya memiliki berbagai macam aturan yang fungsinya sebagai sarana pengaturan berbagai aspek kehidupan mereka sehari-hari. Tujuannya adalah agar dapat diperoleh pola kehidupan sehari-hari yang teratur, tentram dan harmonis. Seluruh aspek dapat berjalan dan terintegrasi dengan baik sampai kapanpun. Oleh sebab itu, keberadaan aturan-aturan yang ada digunakan sebagai aspek kontrol agar tujuan itu dapat diperoleh.

Apalagi di tengah gempuran perubahan budaya yang terjadi di Pulau Miangas akibat paparan teknologi informasi dan keberadaan para pendatang melalui jaringan transportasi laut yang cukup memadai. Keberadaan adat istiadat yang terdapat di Pulau Miangas masih sangat dibutuhkan. Untuk itulah, adat setempat tersebut hingga saat ini masih dilestarikan oleh mereka dan beberapa hal telah mengalami sedikit perombakan. Meski demikian, adat-adat tersebut masih memiliki daya esekusi yang kuat terhadap masyarakat baik lokal maupun pendatang.

Keberadaan aturan-aturan adat yang sudah dikodifikasi saat ini merupakan produk yang sudah mengalami banyak perubahan. Sehingga bila dibandingkan dengan masa yang lalu, aturan adat saat ini bisa dikatakan memiliki efek hukuman yang cenderung bersifat mendidik. Faktor yang mandasari perubahan tersebut berkaitan

dengan kondisi masyaakat sekarang yang sudah berbeda dengan masa yang lalu, di samping dengan semakin derasnya informasi mengenai wacana hak asasi manusia melalui jalur televisi yang telah menggunakan antena parabola. Perbedaan pada efek hukuman sangatlah jauh berbeda.

Menurut Pak Pendeta yang memberikan pelayanan di Desa Miangas, pada masa yang lalu hukuman bagi masyarakat yang melanggar aturan sangat mematikan dan kurang bersifat mendidik. Sebagi contoh hukuman bagi warga Desa Miangas yang terbukti memiliki ilmu hitam, ia akan di buang di laut dengan menggunakan sebuah perahu tanpa dayung dan bahan makanan. Dengan seorang diri di dalam sebuah perahu tanpa bekal, ia dibiarkan terapung - apung di lautan mengikuti arah angin dan arus laut. Hukum pembuangan ini bisa diartikan sebagai hukuman mati, karena wilayah Pulau Miangas yang jauh dengan pulau-pulau sekitar menyebabkan siapapun yang dihukum dengan cara ini dapat dipastikan akan segera meninggal dalam waktu beberapa hari. Kedua, bagi warga desa yang suka membantah terhadap tetua-tetua adat, ia akan dihukum dengan membaringkan di tanah dan di jemur di bawah sinar matahari hingga ia meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatannya. Atau, ketika ada kasus tertentu yang menuntut pembayaran denda daging babi, seperti kasus selingkuh. Tetua adat akan melakukan penombakan terhadap seekor babi yang hidup berkeliaran di desa tersebut. Target babi yang akan ditombak bergantung pada selera dari tetua adat. Umumnya, mereka akan memilih seekor babi yang memiliki bobot paling besar. Setelah menombak babi yang diinginkan maka resiko pembayaran akan dibebankan pada individu yang telah melakukan kesalahan tersebut.

Proses perubahan pada pola pemberian hukuman bagi warga desa yang telah melakukan pelanggaran semuanya dibahas pada pertemuan seluruh tetua ada yang ada. Para tetua inilah yang memiliki kekuasaan dan legitimasi untuk menambah, mengurangi efek

hukuman atau menciptakan rancangan pola hukuman yang baru. Jika semua tetua adat sudah sepakat terhadap rancangan hukum adat yang baru, maka tugas tetua-tetua marga untuk mensosialisasikan kepada warga desa agar mereka paham dan efek hukuman dapat dilaksanakan.

Bagi warga pendatang, sebelum mereka memahami keberadaan hukum adat tersebut seringkali daya esekusi tersebut tidak diberikan. Mereka dianggap belum mengetahui aturan yang perlu ditaati. Untuk itulah, demi ketertiban kehidupan di Pulau Miangas, ada suatu gerakan dari tetua adat dan pejabat formal desa untuk melakukan kodifikasi dalam bentuk tertulis agar aturan-aturan adat tersebut nantinya dapat digandakan, diserahkan atau dibaca bagi warga asli dan pendatang. Dengan demikian, siapapun yang melanggar aturan akan mendapatkan sangsi yang setara dengan penduduk setempat. Macam - macam aturan atau tabu yang wajib ditaati baik warga setempat maupun orang beserta berbagai sangsinya. Adapun pola-pola aturan yang berhasil dirangkum adalah sebagai berikut:

Dalam bidang kehidupan ritual dan material :

1. Dalam acara ritual manam'mi, yaitu acara penangkapan ikan secara tradisional terdapat larangan-larangan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat dan pendatang. Larangan tersebut berupa larangan "eha". Larangan eha merupakan larangan untuk melakukan kegiatan di suatu tempat atau mengambil manfaat dari suatu benda atau wilayah baik milik sendiri maupun publik. Dalam kegiatan manam'mi, larangan yang muncul adalah larangan untuk melakukan aktifitas apapun di tepi pantai khususnya di lokasi yang akan dilakukan kegiatan

manam'mi dan juga melakukan kegiatan penangkapan ikan. Bagi

siapapun yang melakukan pelanggaran tersebut, akan dikenakan sanksi adat yang berwujud :

a. denda adat berupa uang sebesar Rp. 100.000,-

b. wajib berjalan keliling kampung dengan membawa tambur yang ditabuh kanan-kiri secara bergantian dengan tekanan keras sambil berteriak "jangan ikuti saya yang telah melangar aturan adat di lokasi ritual adat manam'mi".

2. Bila di pantai Pulau Miangas telah ditemukan ikan paus terdampar baik secara pribadi maupun berkelompok, penemuan tersebut akan diacarakan secara adat. Selanjutnya ikan paus tersebut akan dipotong dan dibagikan kepada seluruh masyarakat secara merata.

3. Bila ana'u wanua (warga/masyarakat adat Miangas), ketika sedang bekerja melaut mendapatkan ikan Toda atau ikan yang berukuran besar lainnya, maka ada aturan adat berkaitan dengan pembagiannya.

a. Kepala ikan bagian kanan akan diberikan kepada Ratumbanua (Mangkubumi I)

b. Kepala ikan bagian kiri akan diberikan kepada

Nangnguwanua (Mangkubumi II) dan Kepala Desa

c. Dagingnya akan diberikan kepada Ketua Kepala Suku dan juga kepada orang tua yang duda, janda dan anak yatim piatu. 4. Bila ana'u wanua (warga/masyarakat adat Miangas) dalam

mencari penghidupan baik di darat maupun laut mengalami banyak gangguan, maka seluruh masyarakat Miangas wajib melaksanakan acara adat dalam bentuk ibadah. Dalam pelaksanaan acara adat tersebut, setiap keluarga perlu menyediakan makanan yang akan didoakan secara adat. Tujuan dalam pemberian doa adalah memohon kepada Tuhan agar menjauhkan segala hama yang menyerang tanaman serta memohon ampun kepada Tuhan berkenaan dengan berbagai pelanggaran dan perbuatan yang mungkin telah dilakukan dan tidak diperkenankan oleh kehendak Tuhan.

5. Bila di kampung ana'u wanua (warga/masyarakat adat Miangas) terserang pagebluk atau wabah penyakit, maka pentua adat akan berkumpul di gereja dan melakukan ibadah singkat atau berdoa. Selanjutnya dilanjutkan dengan aktifitas berjalan dari gereja menuju pantai sambil bernyanyi lagu gereja "Sebuah Kota Allah Hu". Sesampai di pantai, pentua adat berdiri sejenak dan dilanjutkan oleh Ratumbanua dan Nangnguwanua dengan mengucapkan kata-kata adat dalam bentuk doa yang isinya bermohon agar wabah penyakit yang menyerang kampung dapat lenyap dari lingkungan kehidupan masyarakat Desa Miangas. 6. Ana'u wanua (warga/masyarakat adat Miangas) dapat melakukan

pekerjaan berkebun dengan pola "woirro atau mapalus" (berkelompok)

7. Dalam pembangunan rumah, ketika pada tahap penyiapan dan pemasangan atap (kuda-kuda dan penutup seng) wajib dilakukan secara gotong royong.

8. Dalam pembangunan rumah, gedung ibadah serta bangunan pemerintah wajib diawali dengan kata-kata adat dalam peletakan batu pertama dan diibadahkan.

9. Setiap kegiatan pernikahan wajib diawali dengan perkawinan Pamili atau adat. Perkawinan adat wajib dilakukan minimal seminggu sebelum dilangsungkan acara pemberkatan nikah di aula gereja dan pencatatan sipil. Adapun tujuan dari perkawinan Pamili atau adat adalah agar calon suami dan istri tersebut tidak terjebak ke dalam perkawinan yang masih ada hubungan persaudaraan atau ikatan keluarga. Acara penting di dalam perkawinan Pamili atau adat ini adalah pembacaan silsilah keluarga dari kedua belah pihak dari calon suami/istri hingga generasi ke 4 ke atas. Diharapkan dengan pembacaan silsilah ini