• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wilayah pemukiman masyarakat Desa Miangas seluruhnya berpusat di wilayah bagian barat daya Pulau Miangas. Di samping kontur tanahnya yang cenderung landai, wilayah pemukiman yang dibangun sangat berdekatan dengan garis pantai dan tidak jauh dari pemukiman terdapat sebuah pulau kecil yang bernama Tanjung Wora. Fungsinya sebagai benteng penahan hempasan ombak. Rancang bangun pola pemukiman seperti ini memungkinkan masyarakat lebih mudah untuk mengakses ke arah laut setiap hati. Mereka dapat mendaratkan dan mengikat kapal serta menarik jaring ikan dengan mudah.

Keberadaan wilayah pemukiman ini dirancang dengan memiliki dua dermaga laut yang letaknya berbeda. Keberadaan dua dermaga laut tersebut sangatlah penting dan bermanfaat bagi aktifitas

sehari-hari. Hal ini dimaksudkan untuk mensiasati perubahan kondisi alam berupa datangnya angin dan gelombang yang berasal dari arah yang berbeda. Jika dermaga yang berada di depan kantor Koramil mengalami tekanan angin dan ombak yang besar, maka kapal perintis akan berusaha untuk melakukan akses pendaratan di dermaga yang berada di depan kantor POSAL (Pos Angkatan Laut). Walaupun keberadaan dermaga di depan kantor POSAL (Pos Angkatan Laut) tidak menjamin kapal perintis dapat dengan mudah merapat di dermaga. Perpindahan lalu lintas manusia dan barang dari kapal perintis menuju dermaga masih membutuhkan perahu boat sebagai sarana penunjang.

Pada umumnya, masyarakat Desa Miangas memiliki cara pandang yang khas dalam konteks relasi kewilayahan. Di dalam cara memandang dan membandingkan antara wilayah pemukiman dengan wilayah di luar pemukiman, mereka selalu memposisikan diri sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah "bawah". Konsepsi "bawah" selalu melekat pada keberadaan wilayah pemukiman ketika dibandingkan. Entah pemaknaan konsepsi "bawah" tersebut mengacu pada realitas geografis yang sesungguhnya atau tidak. Ketika wilayah pemukiman dibandingkan dengan wilayah kebun yang berada di bagian Timur Laut Pulau Miangas, wilayah pemukiman bisa dikatakan tepat jika dikonsepsikan sebagai bagian wilayah bawah. Hal ini disebabkan kontur geografis antara wilayah pemukiman dan kebun hingga bukit sangat berbeda, semakin ke wilayah kebun hingga ke atas bukit, kontur tanah semakin naik ke atas. Konsepsi "atas" dan "bawah" menjadi diksi sehari-hari dalam pembicaraan mengenai arah atau tujuan seserorang. Bagi penduduk Desa Miangas yang menjawab akan pergi ke "bawah" , artinya mereka akan pulang ke wilayah pemukiman, sedangkan jika mereka menjawab dengan istilah ke "atas" artinya mereka akan pergi ke kebun.

Pemaknaan mengenai konsepsi "atas" dan "bawah" juga muncul ketika kita berbicara mengenai proses migrasi dalam konteks

tata letak Pulau Mingas dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di wilayah Kabupaten Talaud. Secara konsepsional, relasi antara kedudukan Pulau Miangas dan pulau lainnya tampak tidak setara. Hal ini dapat kita buktikan ketika setiap orang Desa Miangas yang akan bepergian ke luar Pulau Miangas pasti akan menyatakan bahwa mereka akan bepergian ke "atas". Wilayah "atas" bisa berkonotasi pada wilayah kepulauan terdekat di Kecamatan Nanusa seperti Pulau Kakorotan, Marampit namun dapat juga berarti mereka akan menuju Ke Melonguane di Pulau Karakelang atau Ke Kota Manado. Yang pasti sebuah wilayah yang berada diluar Pulau Miangas.

Sebaliknya, jika mereka akan bepergian ke Pulau Miangas atau pulang kampung, mereka menyebutnya akan pulang atau pergi ke "bawah". Begitu juga ketika kita bertanya mengenai asal usul barang yang mereka gunakan. Adakalanya mereka menyebut dalam konteks relasi ketidaksetaraan tersebut. Sebagai contoh, ketika ditanya mengenai asal usul kayu yang mereka gunakan untuk membangun rumah atau perahu nelayan, mereka pasti menjawab "kayu atau perahu ini dibeli dari atas". Maksudnya dibeli di wilayah di luar Pulau Miangas karena di Desa Miangas, benda seperti itu tidak dapat diproduksi atau ditemukan.

Di Desa Miangas, tiga jalan utama yang sudah disemen membelah perkampungan tersebut secara simetris. Tiga jalan utama, pada satu sisi yaitu bagian bawah, semua berakhir di tepi pantai di arah Barat Daya sedangkan sisi yang lain yaitu bagian atas saling berbelok untuk mengarah menuju jalan bagian tengah di belakang Gereja Germita, yang kemudian ketiga simpul jalan terhubung ke jalan menuju ke kebun. Sisi jalan yang berada di ruas Barat Laut terdapat percabangan mengarah ke kebun atau bandara, sedangkan sisi jalan yang berada di wilayah tenggara terdapat percabangan yang akan mengarah ke dermaga di dekat Kantor Koramil.

Tata letak komplek pemukiman di Desa Miangas sangatlah rapi. Polanya mirip dengan komplek perumahan yang ada di kota-kota

besar. Semua bangunan tempat tinggal didirikan dengan pola menghadap ke jalan utama atau percabangannya. Dengan begitu, setiap rumah langsung memilik akses ke jalan utama dan saling berhadapan dengan rumah yang ada di depannya. Hanya beberapa rumah yang memiliki akses berupa jalan gang.

Bangunan rumah yang ada di Desa Miangas cenderung mulai kehilangan ruang-ruang terbuka atau halaman. Ruang - ruang terbuka yang biasanya diisi dengan tumpukan pasir putih, atau ditanami dengan pepohonan yang rindang yang bawahnya bisa ditempatkan

dego-dego atau balai untuk bercengkerama, atau istirahat. Seperti

kata Mbak Surabi (35 th), " dulu.... di situ (depan rumah Pak Mangkubumi II) ada pohon gora (jambu), tapi sekarang sudah ditebang, jadi bangunan... eee sekarang di sini tambah panas". Bangunan - bangunan yang ada di Desa Miangas sekarang cenderung bertambah maju mendekati batas jalan. Beberapa rumah merubah halaman rumah menjadi teras yang tertutup. Sedangkan kondisi rumah yang belum banyak berubah, masih menyisakan halaman yang ditanami tanaman peneduh seperti gora, kelapa atau sekedar dihamparkan tumpukan pasir putih.

Pola-pola acuan dalam membangun rumah tempat tinggal saat ini sudah mengalami banyak perubahan. Rumah hunian yang dahulunya berupa rumah panggung sudah banyak yang ditinggalkan. Rumah panggung yang merupakan rumah asli warga Desa Miangas pada waktu dahulu tingginya antara 130 cm hingga 200 cm. Ruang kosong yang ada di bawah rumah biasanya digunakan untuk menyimpan berbagai bahan mentah seperti untuk menyimpan kayu atau sisa-sisa kulit kelapa. Jika pemilik rumah memiliki hewan peliharaan, hewan tersebut tidak dipelihara di bawah panggung namun disiapkan lahan tersendiri di belakang rumah atau dibiarakan bebas. Saat ini, semuanya rumah hunian sudah "di lantai", kata Pak Mangkubumi II, artinya saat ini sudah banyak yang meninggalkan penggunaan anak tangga untuk masuk ke dalam rumah. Bangunan

yang masih berciri seperti rumah panggung hanyalah dego-dego beratap daun rumbia yang diletakkan di depan, sisi rumah atau kebun. Bangunan itupun tidak menggunakan anak tangga untuk sampai di dalamnya.

Kondisi lantai rumah yang sudah "melantai" ini sangat beragam. Bahan material yang dimanfaatkan untuk melapisi lantai rumah mulai berbahan tanah, lantai yang dikeraskan dengan tambahan lapisan pasir putih di atasnya, dikeraskan tanpa adanya tambahan lapiran pasir putih dan dikeraskan dengan menggunakan lapisan keramik sebagai penghias lantai.

Bahan yang digunakan membangun rumah juga sudah banyak berubah. Bahan material berupa papan kayu mulai tidak terlalu dominan. Penggunaan papan kayu yang dahulunya sebagai dinding keseluruhan rumah, saat ini menjadi bahan penahan cor di lantai dua atau sebagai dinding rumah bagian atas. Penggunaan tembok batako berbahan pasir putih dan semen sudah meluas di Desa Miangas. Bahkan kuda-kuda rumah sudah mulai beralih menggunakan cor. Atap rumah juga sudah menggunakan atap yang berbahan seng. Beberapa warga yang memiliki uang, mereka juga mulai menggunakan atap yang berbahan galvalum meski masih jarang.

Denah rumah masyarakat Desa Miangas secara umum menunjukan dua pola. Pola pertama, mereka membuat ruang tamu yang memanjang hingga ke belakang pada satu sisi pertama, kemudian pada sisi kedua mereka membuat petak-petak kamar untuk keluarga. Lokasi petak-petak kamar sangat bebas, dapat berada di sebelah kanan atau kiri. Kemudian di belakang ruang tamu terdapat ruang keluarga dan dapur. Pola kedua, mereka membuat ruang tamu yang terbatas pada ukuran tertentu tergantung luas lahan. Lokasi ruang tamu juga bebas, dapat di sisi kanan atau kiri tergantung keinginan pemilik rumah. Kemudian di sebelah ruang tamu dan di belakang ruang tamu di buat beberapa petak kamar. Kamar yang berada di sisi sebelah ruang tamu, biasanya dibuat ruangan bebas

untuk ruang keluarga. Selanjutnya di bagian belakang terdapat dapur keluarga. Bagian paling belakang dari kedua pola bangunan rumah tersebut, pada umumnya diakhiri dengan kamar mandi yang menjadi satu dengan WC. WC yang digunakan bertipe jongkok. Di Desa Miangas ini, hanya ada satu rumah yang setiap kamarnya memiliki kamar mandi dan WC sendiri-sendiri. Rumah-rumah yang berada di deretan paling ujung baik sisi kanan ataupun belakang cenderung memiliki sisa lahan untuk halaman belakang. Sedangkan rumah yang berada di deretan tengah, cenderung tidak memiliki halam belakang karena berdempetan dengan tembok rumah milik orang lain.

Kondisi Desa Miangas yang cenderung berhawa sangat panas menyebabkan masyarakat Desa Miangas melakukan pola adaptasi dengan mengurangi atau meniadakan atap ruangan. Kemudian, dengan membuat sistem ventilasi berupan penempatan lubang ventilasi di atas jendela atau daun pintu. Adakalanya dengan menambah jumlah jendela di setiap kamar. Kondisi jendela yang ada di rumah biasanya memiliki daun jendela atau tidak. Bagi rumah yang tidak memiliki daun jendela, mereka menggunakan penutup kasa yang terbuat dari kawat. Ukuran lubang kawat kasa tergantung kebutuhan masing-masing. Sedangkan rumah yang memiliki daun jendela, cenderung daun jendela tidak pernah di tutup setiap hari. Pembuatan ventilasi di setiap kamar merupakan sesuatu yang wajib. Untuk menyempurnakan sistem ventilasi yang ada, pemilik rumah banyak yang membangun tembok samping rumah tidak berdempetan dengan tembok tetangganya. Masing - masing rumah masih menyisakan lahan satu meter baik sisi kanan dan kiri. Diharapkan dengan pola bangunan seperti ini, aliran udara juga dapat mengalir dari sisi samping rumah. Di sisi kanan dan kiri rumah juga terdapat jendela yang dapat dibuka atau tertutup kawat kasa.

Pola bangunan rumah yang sudah memiliki sistem aliran udara yang cukup baik ternyata tidak menyebabkan masyarakat Desa Miangas suka tidur di kamar. Mereka cenderung suka tidur di luar

rumah, baik di teras depan ataupun dego-dego yang ada kalanya hanya ditutup triplek di sampingnya. Jika mereka tidur di dalam rumah, banyak yang tidur di ruang keluarga atau di kamar yang memiliki pintu tirai kain. Pola kamar yang ada di rumah memang cenderung meniadakan pintu kayu. Keberadaan pintu kayu semakin membuat kondisi kamar semakin panas. Oleh sebab itu, banyak pintu kamar yang ada di dominasi oleh pintu yang terbuat dari tirai kain. Tirai kain akan melambai-lambai ketika diterpa angin baik dari dalam maupun dari luar.

Ruang tamu maupun keluarga cenderung digunakan sebagai ruang identitas mengenai eksistensi, sejarah keluarga dan orientasi keagamaan mereka. Namun simbol-simbol yang berkaitan dengan ke-etnisan mereka jarang ditemukan kecuali pada keluarga yang memiliki atau pernah memiliki jabatan adat. Tembok rumah dan almari merupakan wahana yang tepat untuk menjadi layar sinema mengenai siapa mereka, representasi dan aktualisasi keluarga. Setiap tamu yang berkunjung ke keluarga di Desa Miangas selalu disuguhi berbagi ceritakan mengenai kisah-kisah sukses keluarga besar mereka, jejaring kekerabatan yang mereka miliki melalui rangkaian foto-foto dan simbol-simbol yang ada di ruangan tersebut.

Bangunan - bangunan yang diperuntukkan sebagai ruang publik diletakkan di setiap simpul jalan. Namun dalam perkembangan selanjutnya bangunan - bangunan publik sudah mulai menyebar di beberapa wilayah. Bangunan Gereja Germita, sejak dahulu lokasinya tidak pernah berubah, hanya kondisi bangunannya saja yang berubah, dari bahan kayu hingga seperti sekarang berupa bangunan tembok. Bangunan tersebut didirikan tepat di ujung jalan utama sisi tengah dan berada wilayah pemukiman bagian tengah sisi Timur Laut atau masuk dalam kategori wilayah "atas". Bangunan Gereja Germita terlihat sangat besar dan megah hingga sampai di pantai, karena tidak ada apapun yang menghalangi pandangan. Bangunan gereja yang berada di wilayah "atas", menurut Pak Arp (30 th), "tempat ibadah ...

memang harus berada di atas". Namun pendapat ini menjadi berbeda ketika di lapangan ditemukan adanya Gereja Pantekosta yang tidak dibangun di wilayah "atas" namun di sisi Tenggara. Gereja Pantekosta merupakan gereja terakhir yang terdapat di Pulau Miangas. Jumlah pemeluknya sebanyak lima orang saja.

Pada wilayah bagian "bawah" pemukiman terdapat beberapa kantor yang merupakan bentuk representasi tentang keberadaan negara di wilayah Desa Miangas. Di wilayah tersebut terdapat POSAL (Pos Angkatan Laut), Bea Cukai, Imigrasi, Kantor HAM, dan juga ruang pertemuan untuk menjamu beberapa tamu yang datang di wilayah Desa Miangas. Kantor-kantor negara yang lain seperti Kantor PLN, Polsek, Kantor Camat, Balai Karantina, Syah Bandar, dan Koramil dibangun sepanjang jalan menuju demaga yang berada di wilayah bagian Tenggara. Sekolah-sekolah yang ada di Desa Miangas dibangun di wilayah "bawah" seperti SDN dan TK sedangkan SMPN dan SMKN di bangun di wilayah "atas". Kemudian Kantor Marinir, Puskesmas dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya berada di wilayah yang lebih "atas" lagi.

Berkaitan dengan pembangunan bangunan-bangunan yang ada di Desa Miangas. Masyarakat masih melaksanakan adat yang berlaku. Pada bangunan milik publik, biasanya pada peletakan batu pertama dan pemasangan atap, pihak Adat selalu diundang untuk memberikan doa-doa melalui bahasa setempat. Sedangkan untuk bangunan yang sifatnya pribadi, keterlibatan adat hanya sebatas pada pemasangan tonggak rumah atau tiang raja yang berada di atas rumah dan atap rumah.

Gambar 2.7. Desa Miangas dari Drone Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 2.8. Peta Pemukiman Desa Sumber: Dokumentasi Desa Miangas

Kondisi pemukiman masyarakat Desa Miangas saat ini ternyata tidak berbeda jauh dengan kondisi pada saat H.J Lam32 melakukan

kunjungan ke sana tahun 1932. Ia melukiskan di dalam bukunya yang berjudul "Miangas", gambarannya adalah sebagai berikut :

"... the entire population is dwelling in the village Miangas, a very neat kampong, situated on the SW coast and consisting of broad main streat, nearly perpendicular to the coast, and two narrower ones, one on either side paralel to it, these three streets being connected by some cross roads. All roads are neatly paved with white coral sand and very clean. The houses, many of them with a solid but low wall, others resting on quadrangular pillars, about 1 m high, stand wide apart and at a distance of several meters from the cleanly white compound walls along the streets, showing the type common in Talaud Islands and consisting of a front warandah, reached by means of a staircase in the middle and some rooms behind this. As there is graet lack of timber on the island, many houses - among which the school-church and the house of the kapiten laut - are enterely or partly built up from coconut stems. For smaller pieces the wood of nato (paloquium oblusifolium, Burck) is used, a tree that is frequently cultivated for that purpose. For the rest, occasionally timber is imported from the forest reserve of Nanusa, Viz, The island of Garat. the roof are covered with "ataps", made from the leaves of sagu - or coconut palm.

2.4 Sistem Religi