• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surga Dukun ‘MAMA BIANG’: DI NEGERI POILATEN. Etnik Talaud – Kab. Kepulauan Talalud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Surga Dukun ‘MAMA BIANG’: DI NEGERI POILATEN. Etnik Talaud – Kab. Kepulauan Talalud"

Copied!
376
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Surga Dukun

‘MAMA BIANG’:

DI NEGERI POILATEN

Etnik Talaud – Kab. Kepulauan Talalud

Arief S.

Ade A.F

Rachmalina Soerachman

Penerbit

(3)

Arief S., dkk.

Surga Dukun ‘MAMA BIANG’:

DI NEGERI POILATEN

Etnik Talaud – Kab. Kepulauam Talaud

Diterbitkan Oleh

UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97

Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang

Gedung C-15Surabaya

Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598

Email: unipress@unesa.ac.id unipressunesa@yahoo.com Bekerja sama dengan:

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749 xv, hal 360., Illus, 15,5 x 23 ISBN: 978-979-028-957-4

copyright © 2016, Unesa University Press All right reserved

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit

(4)

SUSUNAN TIM

Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan

Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc

Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH drs. Kasno Dihardjo

dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK

Sekretariat : Mardiyah, SE. MM Dri Subianto, SE

(5)

Koordinator Wilayah:

1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala

2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan

3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan

4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru

5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan

6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat

7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng

9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke

10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu

Raijua, Kab. Tolikara

12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli, Kab. Muna

(6)

KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat.simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense

of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam

menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.

Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

(7)

Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

(8)

DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Gambaran Umum Studi ... 1

1.1.1 Latar Belakang Studi ... 1

1.1.2 Masalah dan Tujuan Studi ... 11

1.1.3 Batasan Studi ... 12

1.1.4 Desain Studi ... 12

1.1.5 Wilayah Kajian Studi ... 18

1.1.6 Kelemahan-kelemahan Studi ... 18

1.2 Kajian Terdahulu... 19

1.3 Sistematika Buku ... 22

BAB 2 ... 24

2.1 Sejarah Miangas Selayang Pandang ... 24

2.1.1 Asal-usul ... 30

2.1.2 Perkembangan Desa ... 39

2.2 Geografi dan Kependudukan ... 53

2.2.1 Gambaran Geografi ... 53

2.2.2 Kependudukan ... 71

2.3 Pola Tempat Tinggal ... 82

2.4 Sistem Religi ... 91

2.4.1 Kosmologi ... 91

2.4.2 Praktek Keagamaan ... 109

2.5 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan ... 119

(9)

2.5.2 Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal .... 134

2.6 Konsep Tentang Sehat dan Sakit ... 156

2.7 Bahasa ... 161

2.8 Kesenian ... 167

2.9 Mata Pencaharian ... 171

2.10 Teknologi dan Peralatan ... 175

BAB 3 POTRET BUDAYA KESEHATAN ... 180

3.1 Implementasi Pembangunan Kesehatan di Miangas .. 182

3.2 Potret Status Kesehatan Ibu dan Anak ... 192

3.2.1 Pra Hamil ... 192

3.2.1.1 Masa Remaja ... 192

3.2.1.2 Kehamilan yang Tidak Diinginkan... 204

3.2.1.3 Pasangan Usia Subur Belum Memiliki Anak ... 214

3.2.1.4 Nilai Anak dan Pembatasan Jumlah Anak ... 218

3.2.2 Hamil ... 220

3.2.2.1 Upacara Pada Masa Kehamilan ... 220

3.2.2.2 Pantangan dan Keharusan Pada Masa Hamil ... 220

3.2.2.3 Masa Kehamilan : Masa Mendapatkan Perhatian ... 222

3.2.2.4 Pemeriksaan Kehamilan ... 224

3.2.3 Persalinan dan Nifas ... 226

3.2.3.1 Ritual Saat Persalinan ... 226

3.2.3.2 Ritual Ibu Pasca Persalinan ... 236

3.2.3.3 Ritual Bayi APsca Dilahirkan ... 240

3.2.4 Menyusui ... 244

3.2.4.1 ASI Eksklusif dan Makanan Bayi ... 244

3.2.4.2 Pantangan Pada Saat Menyusui ... 246

3.2.5 Neonates, bayi dan Balita ... 247

(10)

3.2.5.2 Imunisasi dan Posyandu Balita ... 248

3.3 Potret Penyakit di Masyarakat ... 249

3.3.1 Tuberculosis ... 250

3.3.2 Panu ... 254

3.3.3 Diabetes Melitus ... 254

3.3.4 Naik Darah (Hipertensi) ... 258

3.3.5 Khosa (Sesak Nafas) ... 261

3.4 Potret Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ... 265

3.4.1 Persalinan dengan Tenaga Kesehatan ... 265

3.4.2 Penimbangan Bayi dan Balita ... 267

3.4.3 ASI Eksklusif ... 269

3.4.4 Cuci Tangan Pakai Sabun ... 269

3.4.5 Jamban Sehat ... 271

3.4.6 Aktivitas Fisik ... 273

3.4.7 Konsumsi Buah dan Sayur ... 274

3.4.8 Tidak Merokok dalam Rumah ... 277

3.4.9 Penggunaan Air Bersih ... 279

3.4.10 Memberantas Jentik Nyamuk ... 281

3.5 Sistem Pelayanan Kesehatan ... 282

3.5.1 Pelayanan Pengobatan Medis ... 282

3.5.2 Pelayanan Pengobatan Tradisional ... 288

3.5.2.1 Pelayanan Pengobatan makatana .. 289

3.5.2.2 Pelayanan Pengobatan dengan kuasa dunia ... 292

3.5.2.3 Pelayanan Pengobatan dengan Kuasa Tuhan ... 296

3.6 Health Seeking Behavior ... 299

3.6.1 Mencari kesembuhan di Miangas ... 300

3.6.2 Puskesmas VS Pelayanan Kesehatan Tradisional ... 303

(11)

BAB 4'MAMA BIANG' SURGA DI NEGERI POILATEN ... 312

4.1 Kondisi Pelayanan Kesehatan di Perbatasan Miangas ... 312

4.2 Adat Mangelo ... 322

4.3 Persalinan di Miangas, Antara Keinginan dan Kenyataan ... 325

4.4 Mama Biang dan Life Circle Anak Miangas ... 333

4.5 Kehamilan dan Pijatan Jemari Mama Biang ... 334

4.6 Mama Biang, Bidadari Penolong di Tengah Keterbatasan ... 337

4.7 Kelahiran hingga Ritual Papancunge ... 339

4.8 Remaja dan Ritual Mangelo ... 340

4.9 Mama Biang Surga di Negeri Poliaten ... 341

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 348

5.1 Kesimpulan ... 348

5.2 Rekomendasi ... 350

DAFTAR PUSTAKA ... 352

GLOSARIUM ... 354

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Matriks Pola Pemilihan Tenaga Penolong Persalinan dengan kondisi

Sosial Ekonomi di Miangas Tahun 2015... 345

Tabel 3.2 Matriks Pola Pemilihan Tenaga Penolong Persalinan dengan kondisi

(13)
(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Cakupan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan

di Kabupaten Talaud Pada Tahun 2009 – 2013. 8 Gambar 2.1 Genelogi Keluarga Marga Ratujuri yang

Merujuk Sopu dan Tinuri ... 39

Gambar 2.3 Peta Perbandingan Jarak Miangas ke Davao dan melong ... 54

Gambar 2.4 Temperatur ... 62

Gambar 2.5 Curah Hujan ... 63

Gambar 2.6 Peringatan menjaga kebersihan sumber air ... 71

Gambar 2.7 Desa miangas dari Drone ... 90

Gambar 2.8 Peta Pemukiman Desa ... 90

Gambar 2.9 Lanta’a ( Meriam Penjaga) ... 94

Gambar 2.10 Pelangi di Pulau Miangas yang tiba-tiba muncul ... 103

Gambar 2.11 Makam dulu dan kini bergaya “berundak” dan “ kepala nisan besar”... 108

Gambar 2.12 Ritual Larenosasua di halaman gereja ... 113

Gambar 2.13 Ritual Manam’I ... 117

Gambar 2.14 Nanguwanua (Mangkubumi 2), Bapak Awalla wafat . 119 Gambar 2.15 Brosur kesehatan berbahasa Talaud ... 166

Gambar 2.16 Tarian dan kerajinan Tikar ... 171

Gambar 2.17 Batu Mura... 179

Gambar 3.1 Puskesmas Miangas ... 183

Gambar 3.2 Kegiatan Posyandu, Imunisasi dan Pemeriksaan Ibu Hamil ... 184

Gambar 3.3 Satu-satunya data tentang Balita yang didapatkan oleh peneliti Di lapangan ... 191

Gambar 3.4 Salah satu rutin remaja yang diatur oleh ada yaitu ibadah minggu ... 198

Gambar 3.5 Talut pinggih pantai tempat favorit para remaja menunggu senja ... 200

(15)

Gambar 3.6 Penyakit urat naga yang diderita Informan TL... 217

Gambar 3.7 Pemerikasaan LILA ibu Hamil pada kegiatan Posyandu .... 224

Gambar 3.8 Kondisi ruang bersalin di Puskesmas Miangas .. 229

Gambar 3.9 Peralatan persalinan yang dimiliki oleh seorang mama biang ... 229

Gambar 3.10 Tumbuhan alang-alang yang dipakai sebagai bahan ramuan Makatana ... 236

Gambar 3.11 Ritual Papancunga saat mama biang menyuapkan hidangan ke bayi ... 242

Gambar 3.12 Ritual papancunge, hidangan yang wajib diberikan kepada si bayi ... 242

gambar 3.13 Sagu Tanah yang sudah dijadikan tepung ... 245

Gambar 3.14 Ibu Muda yang member bubur sagu tanah kepada bayinya Yang berusia 5 bulan ... 246

Gambar 3.15 Posyandu ... 259

Gambar 3.16 Daun Saibanua ... 253

Gambar 3.17 Komplikasi Diabetes mellitus pada salah seorang informan ... 256

Gambar 3.18 Kegiatan penimbangan balita di Posyandu ... 268

Gambar 3.19 Perilaku dan tradisi pemberian sagu tanah pada bayi mulai berusia 3 bulan ... 269

Gambar 3.20 Kebiasaan anak Miangas bermain sambil memakan camilan di pasir ... 270

Gambar 3.21 Seorang anak yang bisulan sedang memegang makanan selagi bermain Di pasir ... 271

Gambar 3.22 Salah satu jamban milik warga ... 272

Gambar 3.23 Aktivitas warga bekerja di kebun ... 273

Gambar 3.24 Aktivitas sore bermain Voli ... 274

Gambar 3.25 Perkebunan Sayur Warga ... 275

Gambar 3.26 Daun Bawang dan cabe rawit yang ditanam secara Mandiri ... 276 Gambar 3.27 Menu makanan masyarakat ketika musim ikan 277

(16)

Gambar 3.28 Perilaku merokok di masyarakat ... 278

Gambar 3.29 Sumber air bersih utama masyarakat ... 280

Gambar 3.30 Masyarakat yang mengangkut air secara mandiri .. 280

Gambar 3.31 Salah Satu Drum penyimpanan air warga ... 281

Gambar 3.32 Spanduk 3M yang dipajang di depan pintu puskesmas . 282 Gambar 3.33 Akses Jalan menuju puskesmas Induk ... 284

Gambar 3.34 Puskesmas Pembantu (Pustu) ... 284

Gambar 3.35 Seorang calon Mama Biang yang Sedang melakukan pengobatan Makatana ... 290

Gambar 3.36 Salah satu tumbuhan ( Sereh) yang dipakai dukun Makatana membuat ramuan .... 291

Gambar 3.37 Peralatan yang digunakan , Batu Putih, Sumpit dan Pisau Putih ... 293

Gambar 3.38 Salah satu cara pengobatn dengan menggunakan media sumpit ... 295

Gambar 3.39 Salah satu cara pengobatan dengan menggunakan media pisau putih ... 296

Gambar 3.40 Media Penyembuhan yang dipakai Ibu AT ... 298

Gambar 3.41 Seorang anak yang membeli obat bebas untuk keluarganya di warung ... 301

Gambar 3.42 Kondisi tenaga kesehatan dan pasien di puskesmas ... 305

Gambar 3.43 Kondisi obat-obatan di apotik puskesmas ... 306

Gambar 3.44 Salah satu kebijakan di Puskesmas ... 307

(17)

Bab 1

PENDAHULUAN

1.1 Gambaran Umum Studi 1.1.1 Latar Belakang Studi

Pencapaian-pecapaian pembangunan yang sudah dilaksanakan di Republik Indonesia dalam tiga dekade terakhir menunjukan fenomena kemajuan yang sangat besar. Pencapaian tujuan pembangunan tersebut meliputi persoalan penurunan tingkat kemiskinan yang ekstrim, menaikkan jumlah angka kelulusan pada tingkat pendidikan dasar. Bahkan pencapain dalam pembangunan kesehatan juga nampak sukses berupa pengurangan munculnya insiden angka malaria dan TBC.

Dibalik kesuksesan pencapaian pembangunan tersebut, ternyata aspek Kesehatan Ibu dan Anak masih menyisakan persoalan yang cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan Survey Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan data bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) 359/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian bayi (AKB) 32/1.000 kelahiran hidup. Lebih dari tiga perempat kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian

(18)

bayi terjadi pada periode neonatus1. Berdasar kesepakatan global (Millenium Development Goal/MDGs 2000) diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23/1000 kelahiran hidup.

Mengacu pada hal di atas, pemerintah hingga kini masih bekerja keras untuk merealisasikannya. Pembangunan Kesehatan pada tahun 2010-2014 diprioritaskan pada peningkatan kesehatan ibu, bayi, Balita dan Keluarga Berencana (KB). Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan memerlukan terobosan baru untuk meningkatkan kesehatan ibu, bayi, Balita dan Keluarga Berencana2.

Upaya-upaya terobosan pemerintah telah banyak dibuat, seperti kebijakan pembiayaan persalinan Jaminan Persalinan (Jampersal) yang dikeluarkan mulai bulan Maret 20113. Namun, penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat4.

Contohnya adalah buku yang ditulis Gutomo Priyatmono yang berjudul Bermain dengan Kematian: Potret Kegagalan Pembangunan

Kesehatan Monokultur di Negeri 1001 Penyakit, merupakan salah satu

contoh bagaimana pembangunan di sektor kesehatan telah memarginalkan atau bahkan membunuh berbagai bentuk kreasi dan

1 Badan Pusat Statistika, 2012. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistika, Macro International, Bappenas.

2

Laksono A.D., Setia P., Wahyu D.A., 2014. Positioning Dukun Bayi. Yogyakarta: Kanisius.

3 Ibid. 4

Protokol Penelitian Riset Etnografi Kesehatan 2015. Surabaya; Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Litbangkes.

(19)

pengetahuan lokal. Pembangunan nasional yang seharusnya bersifat multikultur dalam praktek menjadi tereduksi ke dalam kebijakan yang bersifat monokultur yang berakibat membatasi ruang gerak masyarakat. Ringkasnya, menurut Gutomo Priyatmono, pembangunan kesehatan di bidang malaria telah membunuh pengetahuan lokal tentang kesehatan masyarakat dalam kaitannya dengan pengetahuan penyakit malaria itu sendiri. Pengetahuan masyarakat tentang penyakit dan pengobatan malaria yang secara kultur telah ada sebelum kebijakan pemerintah masuk menjadi termarginalkan dan justru mendatangkan kebingungan masyarakat yang bersangkutan5.

Oleh sebab itu, harus disadari sepenuhnya bahwa masalah kesehatan masyarakat tidak bisa lepas dari faktor sosial, budaya dan lingkungan dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor tradisi, kepercayaan, konsepsi dan pengetahuan masyarakat mengenai berbagai hal seringkali membawa dampak positif dan negatif terhadap kesehatan. Pemahaman tentang nilai budaya yang berkaitan dengan kesehatan menjadi penting untuk diperhatikan. Nilai budaya ini bisa menjadi faktor penentu keberhasilan pembangunan kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous

knowledge (al. kearifan lokal) maka akan menimbulkan kreatifitas dan

inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Hal ini akan menimbulkan rasa memiliki (sense

of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam

menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.

Dengan mengetahui budaya suatu etnik diharapkan dapat membantu kelancaran dan keberlangsungan setiap program, karena sentuhan budaya sebagai katalisator atau pelumas intervensi atau

5 Heru Nugroho (Mewaspadai Pembangunan yang Menggusur Lokalitas) sebuah Pengantar dalam buku “Bermain dengan Kematian: Potret Kegagalan Pembangunan

(20)

perubahan. Semakin disadari budaya tidak bisa diabaikan dalam mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Karena itu riset tentang budaya kesehatan masyarakat dalam upaya peningkatan status kesehatan sangatlah penting untuk dilakukan. Pemahaman budaya secara spesifik, dengan menggali kearifan lokal akan dapat digunakan sebagai strategi upaya kesehatan dengan tepat secara lokal spesifik.

Masalah kesehatan yang lokal spesifik terkait dengan sosial budaya setempat perlu digali guna mengetahui permasalahan mendasar sehingga perlu dilakukan perbaikan atau diberdayakan bagi budaya yang berdampak positif bagi kesehatan. Dengan demikian kekayaan budaya Indonesia yang baik dapat terus dikembangkan, dilestarikan dan dimanfaatkan secara lokal bahkan bila memungkinkan secara nasional. Berdasar budaya yang sudah terpantau tersebut program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak sesuai dengan permasalahan lokal spesifik. Dalam proses ini pendekatan budaya merupakan salah satu cara yang penting dan tidak bisa diabaikan.

Masalah kesehatan tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya antara lain kepercayaan, pengetahuan, praktek atau perilaku mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan, dan pengetahuan tentang kesehatan, dapat membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan.

Hasil temuan Riset Etnografi Kesehatan 2012 dan 2014 di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan terkait budaya kesehatan. Kepercayaan tentang hal-hal mistis masih melekat kuat pada budaya mereka, antara lain mitos bahwa ibu hamil rentan untuk diganggu oleh roh jahat sehingga ibu hamil harus menjalani ritual dan memakai jimat serta mematuhi pantangan dan larangan agar terhindar dari gangguan roh jahat. Pantangan

(21)

mengkonsumsi makanan yang justru mengurangi asupan pemenuhan gizi ibu hamil sangat mempengaruhi status gizi ibu hamil.

Hasil riset tersebut di atas menggambarkan bahwa banyak modal sosial yang dimiliki masyarakat dari berbagai suku yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kesehatan. Menurut Bank Dunia (2011) dalam Rocco & Suhrcke (2012), modal sosial bukan hanya sejumlah gabungan dari institusi dalam masyarakat namun merupakan perekat yang mengikat keseluruhan tersebut yang dapat menghasilkan luaran sosial dan/atau ekonomi yang menguntungkan. Koordinasi akan muncul mengikuti keuntungan-keuntungan potensial yang ada, kemudian diikuti munculnya kepercayaan dalam interaksi sosial yang terwujud6.

Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai macam suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kesehatan bisa berupa pelayanan konvensional maupun tradisional dan komplementer berupa kegiatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya kesehatan diselenggarakan guna menjamin tercapai derajat kesehatan masyakarat setinggi-setingginya. Dalam hal pelayanan kesehatan meliputi pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, di dalam termasuk pengobatan dan cara-cara tradisional yang terjamin keamanan dan khasiatnya.

Salah satu cara mendekati kearifan lokal ini adalah dengan metode etnografi. Etnografi mencoba mendalami masyarakat, menceritakan dengan detail setiap peristiwa yang terjadi, mencoba memahami pola dan mengaitkannya dengan konteks sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sehingga bias menghasilkan deskripsi yang holistik. Studi etnografi memperpendek jarak antara peneliti dengan obyek penelitian, sehingga pendekatan yang dipakai untuk menangkap pola keseharian dan pola kesehatan masyarakat menjadi tidak berjarak.

6

Rocco L, Suhrcke M., 2012. Is social capital good for health? A European

(22)

Penelitian Etnografi Kesehatan ini difokuskan untuk menangkap sisi budaya yang selama ini kurang diperhatikan. Tulisan ini akan membahas persepsi sehat dan sakit pada Etnik Talaud di Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Etnik Talaud merupakan penduduk asli yang tersebar di Kepulauan Talaud. Secara khusus tulisan dalam buku ini akan memfokuskan pada Etnik Talaud yang tinggal di Kecamatan Khusus Miangas.

Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan bagian integral dari Provinsi Sulawesi Utara. Kabupaten ini membawahi 19 kecamatan yang tersebar di 17 Pulau, yaitu 11 kecamatan di Pulau Karakelang, 4 kecamatan di Pulau Salibabu, 2 kecamatan di Pulau Kabaruan, 1 kecamatan di Kepulauan Nanusa, dan yang terakhir 1 kecamatan khusus di Pulau Miangas7. Secara umum status kesehatan di Kabupaten Kepulauan Talaud menurut Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) pada tahun 2013 menduduki peringkat 326 dari 497 kabupaten di Indonesia. Secara khusus, kabupaten ini berada di peringkat 12 dari 15 kabupaten yang ada di Sulawesi Utara8.

Disamping itu, Kabupaten Kepulauan Talaud juga merupakan salah satu Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) yang berbatasan langsung dengan Negara Philipina, khususnya di Kecamatan Khusus Miangas dan Kecamatan Nanusa9. Merujuk pada arah dan strategi nasional dalam RPJMN 2010-2014, disebutkan bahwa salah satu sasaran prioritas nasional adalah pembangunan dan pengembangan kesehatan khususnya ditujukan pada Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) yang berada di wilayah perbatasan dengan negara tetangga. Prioritas pembangunan

7

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Talaud, 2014, Kepulauan Talaud dalam

Dalam Angka. Melonguane; BPS Kabupaten Kepulauan Talaud.

8 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2014.

Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Jakarta; Kemenkes RI.

9

Taulu L.A, Bahtiar, 2013. Profil Kemandirian Pangan Pulau-Pulau Kecil Dan Daerah

(23)

kesehatan di DTPK dimaksudkan agar masyarakat yang berada di daerah tersebut dapat dengan mudah menjangkau pelayanan

kesehatan yang terjangkau dengan mutu yang dapat

dipertanggungjawabkan (Kemenkes, 2012)10.

Hal ini menunjukan bahwa pembangunan kesehatan di Kabupaten Kepulauan Talaud khususnya daerah yang termasuk dalam kategori DTPK menjadi sangatlah penting. Pelayanan kesehatan di DTPK, ditujukan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat di DTPK. Tentunya dengan memperhatikan tuntutan dan kebutuhan masyarakat setempat serta sesuai dengan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi tanpa menimbulkan

culture shock bagi masyarakat11.

Pada prinsipnya, pelayanan kesehatan di DTPK sama dengan pelayanan di tempat lainnya. Akan tetapi, dalam pelaksanaan dan tahapan kegiatan diperlukan pendekatan yang berbeda. Mengingat adanya karakteristik dan hambatan yang berpengaruh secara mendasar, salah satunya yaitu kondisi budaya sosial, ekonomi yang masih tertinggal. Tujuan akhir (impact) peningkatan akses pelayanan kesehatan di DTPK adalah meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat sehingga terjadi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Impact lain yang juga perlu dicegah adalah kekecewaan masyarakat. untuk mencapai IPM, perlu dicapai outcome yang sesuai seperti Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM).

Salah satu indikator penilaian IPKM adalah aspek Kesehatan Ibu. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013 dapat dilihat dalam beberapa indikator, salah satu indikatornya adalah proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga

10 Kementerian Kesehatan RI, 2012. Pedoman Peningkatan Akses Pelayanan

Kesehatan di DTPK. Jakarta; Kemenkes RI.

(24)

kesehatan. Cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan pada tahun 2013 di Kabupaten Kepulauan Talaud mencapai 85%. Angka tersebut meningkat sejak 4 tahun terakhir, yaitu : 80,3% tahun 2010, 83,4% tahun 2011 dan 81,9% pada tahun 2012.Lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikutnya. Nilai cakupan Persalinan yang di tolong oleh Tenaga Kesehatan pada tahun 2013, ternyata belum mencapai target MDGs.Target MDGs diharapkan pada tahun 2015 cakupan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan mencapai 90%12.

Gambar 1.1.

Cakupan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan di Kabupaten Kepulauan Talaud Pada Tahun 2009 - 2013

Sumber: Bidang UPK Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013 Salah satu faktor yang berhubungan dengan pemilihan penolong persalinan adalah masih eratnya hubungan antara mama

biang (dukun bersalin) dalam kehidupan masyarakat Etnik Talaud.

Kedekatan mama biang dengan ibu hamil sudah dimulai jauh sebelum si ibu memeriksakan kandungannya di fasilitas kesehatan formal yang ada. Selain itu, peran mama biang sendiri tak bisa dilepaskan dari

12

Dinkes Kabupaten Kepulauan Talaud, 2013. Profil Kesehatan Kabupaten

(25)

lingkup tradisi ibu dan anak yang sudah melekat pada sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Menurut Setyawati (2010) perilaku pemilihan penolong persalinan dukun sebagai aktor lokal dipercaya oleh masyarakat sebagai tokoh kunci terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan. Pada kasus persalinan, dukun tidak hanya berperan saat proses tersebut berlangsung, namun juga pada saat upacara-upacara adat yang dipercaya membawa keselamatan bagi ibu dan anaknya seperti upacara tujuh bulanan kehamilan sampai dengan 40 hari setelah kelahiran bayi. Aktivitas ini tentunya tidak sama dengan apa yang dilakukan bidan sebagai tenaga paramedis, dan hal ini juga lah yang membuat dukun memiliki tempat terhormat dan kepercayaan yang tinggi di masyarakat13.

Hal serupa ternyata juga ditemukan pada Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2012 dan 2014 yang dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia. Hasil riset tersebut menunjukkan pemasalahan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang terkait budaya kesehatan. Dukun bayi masih berperan dalam menolong persalinan pada Etnik Aceh (Kab. Aceh Barat), Baduy Dalam (Kab. Lebak), Kaili Da’a (Kab. Mamuju Utara), dan Melayu Jambi (di Kab. Sarolangun)14. Pilihan utama untuk persalinan dilakukan di rumah dan dibantu oleh dukun karena ibu merasa aman dari gangguan roh jahat serta nyaman karena ditunggui keluarga. Selain itu, pemotongan tali pusat dengan sembilu (bambu yang ditipiskan dan berfungsi seperti pisau) masih banyak digunakan untuk memotong tali pusat bayi yang baru dilahirkan. Sembilu (betop) masih digunakan untuk potongtali pusat di beberapa daerah penelitian antara lain Kab. Sampang, Manggarai, Murungraya, Gayo

13

Setiawati, Gita, 2010. Modal Sosial Dan Pemilihan Dukun Dalam Proses Persalinan: Apakah Relevan?. Makara, kesehatan vol 14, no.1 Juni 2010: 11-16. 14 Afreni M., Amalian T., Rizaldi, Rahanto S., 2014. Kesembuhan Mulia Mamoh

Ranub. Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014.

(26)

lues, Bantul, Seram Bagian Timur, Toraja Utara, Mamasa dan Pengunungan Bintang (Kemenkes 2012)15.

Disamping itu, terdapat juga penggunaan ramuan yang berasal dari berbagai tumbuhan, baik yang diminum, dibalurkan ke badan maupun yang dimasukkan ke luang vagina, juga dipercaya dapat mempercepat kesembuhan dan mengeringkan vagina ibu setelah melahirkan. Selain itu kebiasaan pijat baik pada ibu paska melahirkan maupun pada bayi yang baru lahir dengan air dingin, di sungai, danau atau sumber air lain, akan menjadikan bayi lebih kuat baik fisik maupun mentalnya. Namun hal ini akan beresiko terhadap kesehatan bayi yaitu terjadinya hipotermi16.

Dari temuan-temuan tersebut maka sangat penting melihat permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan hubungannya dengan budaya kesehatan yang ada pada Etnik Talaud. Oleh sebab itu, tematik yang dipilih dalam studi ini adalah aspek Kesehatan Ibu dan Anak khususnya mengenai peran mama biang (dukun bersalin) yang menjadi alternatif penolong persalinan masyarakat Etnik Talaud, khususnya yang bermukim di Kecamatan Khusus Miangas.

Pengangkatan tematik ini dipandang penting, sebab salah satu poin penting dalam pengurangan insiden Angka Kematian Ibu dan Bayi (AKI dan AKB) adalah ibu melahirkan harus ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Pemilihan mama biang (dukun bersalin) yang menjadi salah satu alternatif tenaga persalinan tentunya tak terlepas dari keberadaan mama biang itu sendiri dalam faktor sosial dan budaya masyarakat setempat. Dengan mendalami aspek sosial budaya dan potret kesehatan masyarakat Etnik Talaud khususnya yang bermukim di Kecamatan Khusus Miangas, diharapkan

15

Kemenkes RI, 2012. “Laporan Hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012”. Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Litbangkes.

16 Ibid.

(27)

dapat menjadi sebuah informasi yang penting dalam menyusun kebijakan berbasis local spesific dan evidence based local wisdom. Diharapkan dengan kebijakan ini, masyarakat tidak akan mengalami

culture shock dalam pengimplementasian intervensi kesehatan yang

diberikan.

Adapun pertanyaan pada studi ini adalah 1) bagaimana konteks sosial budaya pada Etnik Talaud; 2) bagaimana konteks situasi kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Menular (PM), Penyakit Tidak Menular (PTM), serta Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS); 3) bagaimana keterkaitan antara unsur budaya dengan permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), khususnya peranan mama biang dalam studi ini.

1.1.2 Masalah dan Tujuan Studi

Studi ini mengambil topik budaya kesehatan dan dilaksanakan di beberapa wilayah tertentu di Indonesia dengan kategori kabupaten bermasalah berat kesehatan berdasarkan hasil Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Studi ini diharapkan menjawab beragam aspek potensi budaya masyarakat secara menyeluruh terkait masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM), dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Secara umum studi ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM), dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Lebih spesifik lagi tujuan yang ingin dicapai meliputi: 1) mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam kebudayaan setempat dalam rangka memahami masalah Kesehatan Ibu dan Anak pada Etnik Talaud di Kabupaten Kepulauan Talaud, dan 2) menyusun rekomendasi berdasarkan kearifan lokal untuk menyelesaikan masalah-masalah Kesehatan Ibu dan Anak.

(28)

1.1.3 Batasan Studi

Studi ini dilaksanakan dalam waktu 32 hari ( 3 Mei – 5 Juni 2015) dengan mengambil subyek penelitian Etnik Talaud yang tinggal atau menetap di Kecamatan Khusus Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Adapun ruang lingkup masalah studi, yaitu Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM), dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Namun secara spesifik, ruang liangkup yang akan digali secara mendalam adalah dalam lingkup Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) merupakan indikator dasar dalam pemilihan lokasi studi ini. Secara umum, berdasarkan IPKM tahun 2013, Kabupaten Kepulauan Talaud menduduki peringkat 326 dari 497 kabupaten di Indonesia dan peringkat 12 dari 15 kabupaten di Sulawesi Utara17. Disamping itu, Kabupaten Kepulauan Talaud, khususnya Kecamatan Khusus Miangas merupakan salah satu Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) yang berbatasan dengan negara Philipina. Sehingga, penting dialakukan kajian yang mendalam tentang akulturasi dengan warga negara Philipina serta perilaku pemilihan pelayanan kesehatan yang dilakukan masyarakat di perbatasan Miangas-Philipina. Berdasarkan 2 alasan tersebut, maka Etnik Talaud yang menetap di Kecamatan Khusus Miangas dinilai memenuhi kriteri pemilihan lokasi studi.

1.1.4 Desain Studi

Studi ini didesain dengan menggunakan pendekatan etnograf modern yang masuk dalam kategori aliran antropologi kognitif. Menurut kajian Goodenough (1957)18 budaya dalam suatu masyarakat

17

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2014.

Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Jakarta; Kemenkes RI.

18 Goodenough, Ward H, 1957, "Cultural Anthropology and Linguistics:, dalam

Report of the Seven th Annual Round Table Meeting on Lingustics and Language Study. (Penyunting P. Garvin). Washington D.C.: Georgetown University

(29)

terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercaya seseorang agar dia dapat berperilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyarakat. Oleh sebab itu, budaya bukanlah sebuah fenomena yang sifatnya material yang terdiri dari artefak-artefak kebendaan, emosi dan perilaku, namun budaya merupakan suatu bentuk pengorganisasian mengenai segala hal tersebut. Budaya merupakan segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia yang ditempatkan di dalam alam pikirannya dan melalui pikiran inilah, manusia akan mempersepsikan, menghubung-hubungkan dan akhirnya menginterpretasikan mengenai beragam hal.

Pemilihan pendekatan etnografi modern yang mengkaji bidang kesehatan ini, lebih didasarkan pada persoalan yang dikaji dalam penelitian ini berupa pengetahuan masyarakat Desa Miangas yang secara dominan ber-etnis Talaud mengenai kesehatan. Untuk itulah, dalam penelitian ini sangat membutuhkan beragam data yang aktual dan kontekstual. Data-data tersebut akan diperoleh melalui metode pengumpulan data berupa pengamatan terlibat, wawacara terstruktur, pengumpulan cerita-cerita kehidupan. Kedua, pemilihan pendekatan etnografis lebih disebabkan pada persoalan keterkaitan antara persoalan yang dikaji dengan sejumlah data primer dan subyek penelitian yang tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan latar belakang habitat aslinya. Subyek tidak bisa dicerabut dari akar kehidupan sehari-harinya.

Pengetahuan mengenai kesehatan merupakan fenomena yang sifatnya partikular-karakteristik. Hal ini membutuhkan sebuah penjelasan yang lebih mendalam dan spesifik. Dalam penelitian ini, peneliti mencari sesuatu yang umum dan khusus dari sebuah kasus, namun hasil akhirnya selalu menyajikan sesuatu yang unik dan spesifik.

Dengan demikian, etnografi kesehatan merupakan kegiatan yang mendeskripsikan suatu kebudayaan secara holistik dan mendalam khususnya berkaitan dengan persoalan kesehatan

(30)

masyarakat. Bagaimana mereka membangun konsep, berperilaku dan menciptakan artefak dalam konteks kesehatan. Dalam riset ini, peneliti akan memaparkan segala hal yang berkaitan dengan kesehatan subyek dan konteks kehidupannya. Oleh sebab itu, peneliti wajib langsung turun ke lapangan untuk mencari data melalui informan. Tujuan utama dalam aktifitas ini adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli19.

Adapun kerangka konsep studi disusun berdasar teori Blum tentang status kesehatan dan unsur-unsur budaya dari Koentjaraningrat. Kerangka konsep yang digunakan dalam mempelajari status kesehatan dipengaruhi oleh: perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan faktor keturunan. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, sosial, ekonomi, budaya. Terkait dengan tujuan penelitian yang akan mengkaji budaya kesehatan, maka tujuh unsur budaya merupakan kajian pokok untuk menggali budaya setempat yaitu: 1) alam, kedudukan dan tempat tinggal; 2) organisasi sosial dan sistem kekerabatan; 3) sistem teknologi; 4) sistem pengetahuan; 5) sistem mata pencaharian; 6) sistem religi; dan 7) kesenian20.

Dalam proses pencarian data yang berkaitan dengan ketujuh unsur budaya dalam kaitan dengan kesehatan tersebut, perlu adanya prosedur yang perlu dilalui. Secara bertahap, pencarian data harus dilakukan melalui beberapa rangkaian pentahapan seperti melakukan observasi kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat, observasi melalui keterlibatan atau partisipatif, wawancara mendalam, simak (mendengarkan) dan studi pustaka. Pengamatan dan wawancara mendalam melalui keterlibatan di dalam kehidupan masyarakat merupakan tahapan yang paling dominan dalam proses pencarian data dan menjadi elemen paling penting dalam riset etnografi. Terlebih dalam konteks ini, kehadiran peneliti merupakan bagian dari

19

Spradley, James P., 1997. Metode Etnografi (terjemahan). Yogyakarta: Tiara Wacana.

(31)

instrumen penelitian yang tidak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu, pentingnya nilai "kehadiran" peneliti sebagai instrumen berimplikasi pada tidak adanya toleransi untuk menggantikan kehadirannya oleh orang lain atau digantikan dalam bentuk instrumen yang lain.

Sebagai konsekuensi, dimana peneliti sebagai instrumen penelitian, peneliti harus tinggal di lokasi penelitian dalam jangka waktu yang panjang. Lamanya kehadiran peneliti dalam kehidupan masyarakat memungkinkan peneliti dapat menggambarkan secara detail kondisi lingkungan geografis dan menangkap fenomena budaya yang dilakukan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan. Untuk memperoleh kedalaman informasi yang dapat menggambarkan realitas yang sesungguhnya, peneliti perlu melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview) kemudian diikuti dengan tahap triangulasi. Ketekunan, kesungguhan, dan lamanya peneliti tinggal di kehidupan masyarakat yang ditelitinya akan menentukan reliabilitas (keajegan) data yang diperoleh. Agar penggalian data dapat terfokus pada masalah budaya kesehatan, peneliti menggunakan bantuan pedoman wawancara sebagai panduan menggali informasi kepada para informan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian di Desa Miangas menggunakan alur penelitian maju bertahap (The Development Research Sequence). Teknik ini didasarkan pada 5 prinsip, yaitu: teknik tunggal, identifikasi tugas, maju bertahap, penelitian orisinal, dan problem solving.

Pertama, dalam penelitian etnografi, peneliti dapat melakukan

berbagai teknik penelitian secara bersamaan dalam satu fase penelitian, seperti wawancara etnografik, observasi partisipasi, membuat peta genealogis, dan sebagainya. Kedua, peneliti mengenali langkah-langkah pokok yang harus dilakukan dalam menjalankan

(32)

teknik tersebut. Dalam teknik wawancara etnografis Spradley21 menggariskan 12 langkah pokok, yaitu: (1) menetapkan informan, (2) mewawancarai informan, (3) membuat cacatan etnografis, (4) mengajukan pertanyaan deskriptif, (5) melakukan analisis wawancara, (6) membuat analisis domain, (7) mengajukan pertanyaan struktural, (8) membuat analisis taksonomik, (9) mengajukan pertanyaan kontras, (10) membuat analisis komponen, (11) menentukan tema-tema budaya, dan (12) menulis etnografi.

Ketiga, setiap langkah pokok tersebut sebaiknya dijalankan

secara berurutan atau maju bertahap. Keempat, peneliti melakukan proyek penelitian secara sungguh-sungguh. Kelima, teknik alur penelitian maju bertahap didasarkan pada pandangan Spradley 22 bahwa ilmu harus mempunyai kegunaan praktis dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.

Jenis data yang didapatkan meliputi data primer berupa pengetahuan (cara, prosedur, dan tahapan) yang dimiliki oleh masyarakat Desa Mingas. Data ini diperoleh melalui hasil wawancara mendalam dan pengamatan. Kemudian data sekunder yang dibutuhkan berasal dari berbagai dokumen hasil penelitian sebelumnya melalui penelusuran dokumen dan pustaka terkait budaya dan permasalahan kesehatan di Etnik Talaud khususnya di Kecamatan Khusus Miangas, kemudian dokumen-dokumen yang berwujud data monografi desa maupun data kesehatan yang tercatat di puskesmas. Data sekunder diperlukan untuk memperkuat, melengkapi, atau menguji kebenaran data yang diperoleh dari informan. Data visual diperoleh dari pengambilan gambar dan film dengan menggunakan kamera.

21 Spradley, James P., 1997. Metode Etnografi (terjemahan). Yogyakarta: Tiara Wacana.

22

Marzali, Amri, 2007, Antropologi & pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana hal xvi-xvi.

(33)

Informan terpilih yang dilibatkan menjadi subyek dalam penelitian etnografi ini adalah orang-orang yang memiliki pengalaman dan kemampuan mengartikulasikan pengalaman dan pandangannya tentang pengetahuan budaya dan kesehatan. Informan terpilih tersebut, yaitu: pertama, sejumlah tokoh adat seperti Mangkubumi 1 dan dua, ketua-ketua marga, pendeta, kepala desa, guru dan tokoh masyarakat, Kedua, para pelaku pencari kesehatan di Desa Miangas baik penduduk setempat maupun pendatang, Ketiga, sejumlah pejabat birokrasi terutama yang terlibat dalam aktifitas kesehatan di Desa Miangas.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode deskripsi, interpretasi fungsi dalam sudut pandang emik dan etik, analisis keterkaitan dari data yang ditemukan, komparasi data sekunder dan data primer, serta triangulasi data. Adapun prosedur awal dalam teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pertama, melakukan tahap reduksi data berwujud memisahkan antara data yang relevan dan kurang relevan, kedua melakukan pen- display -an data, yaitu dengan melakukan pengkategorian data, ketiga melakukan tahap verifikasi, dan penarikan simpulan 23.

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa setelah data penelitian baik primer maupun sekunder terkumpul, peneliti akan mereduksi sekaligus juga mengkategorikan data mentah untuk diklasifikasi sesuai dengan tujuan penelitian. Data yang sudah tereduksi dan sudah diklasifikasikan ditampilkan (di-display), serta diverifikasi kembali untuk meminimalisir kesalahan dan ketidaktepatan dalam proses interpretasi data. Penafsiran terhadap data yang sudah terkumpul dilakukan pada tahap akhir untuk menemukan pola-pola, bentuk modus operandi partisipasi sekaligus juga solusi yang telah dilakukan oleh subjek penelitian.

(34)

Dalam melakukan analisis data, peneliti akan membahas secara sistematis berdasarkan rumusan dan tujuan penelitian ini, yaitu: untuk mendeskripsikan, menjelaskan, serta menafsirkan konstruksi pengetahuan dan kearifan lokal komunitas masyarakat yang berpartisipasi dalam aktifitas kesehatan. Tahap selanjutnya, peneliti akan menganalisis tentang bentuk-bentuk praktik sosial yang dilakukan oleh masyarakat Desa Miangas.

1.1.5 Wilayah Kajian Studi

Wilayah studi dilakukan pada Etnik Talaud yang berada di Kecamatan Khusus Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Adapun Wilayah kajiannya meliputi Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM), dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Hanya saja, keempat lingkup yang dimaksud, tidak dijelaskan secara keseluruhan dan mendetail dalam buku ini. Hal ini dilakukan karena studi ini dikhususkan membaca secara spesifik dan utuh bagian-bagian tertentu dari keempat wilayah kajian dimaksud.

1.1.6 Kelemahan-kelemahan Studi

Deskripsi tentang Etnik Talaud dalam kaitannya antara unsur budaya dan unsur yang mempengaruhi kesehatan masyarakat diupayakan digali sedalam dan sedetail mungkin. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri dalam proses pengambilan data di lapangan terdapat keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi peneliti. Diantara keterbatasan tersebut yaitu cakupan wilayan penelitian, data-data sekunder yang berhubungan dengan kesehatan, serta keterbatasan waktu studi.

Studi ini tentunya tidak bisa mencakup seluruh wilayah yang dihuni oleh Etnik Talaud yang berada di Kabupaten Kepulauan Talaud. Sehingga, tidak dapat mendeskripsikan Etnik Talaud secara menyeluruh tentang perkembangan dan pembentukan kebudayaan

(35)

Etnik Talaud secara umum. Oleh sebab itu, Etnik Talaud yang dideskripsikan secara mendalam di dalam buku ini adalah Etnik Talaud yang bermukim di Kecamatan Khusus Miangas, bukan Etnik Talaud yang bermukin di berbagai kecamatan lainnya yang menyebar di 17 pulau di kepulauan Talaud.

Ketersediaan data sekunder terutama berupa profil kesehatan masyarakat di Kecamatan Khusus Miangas sangat terbatas, sehingga peneliti tidak bis amelihat pencapaian-pencapain program kesehatan yang telah dilakukan di Kecamatan Khusus Miangas.

Keterbatasan waktu yang dimiliki peneliti di lapangan juga secara tidak langsung perolehan data yang ada di Miangas. hal ini dikarenakan membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk bisa membaur dan diterima oleh masyarkat itu sendiri. Secara tidak langsung, dengan berjalannya waktu penelitian, masyarkat cenderung terbuka dan memberikan informasi secara mendalam mengenai sutu topik studi, tetapi dikarenakan keterbatasan waktu, informasi-informasi lebih mendalam tersebut kurang bisa diekplorasi peneliti, hal tersebut juga terjadi dalam hal observasi terhadap masyarkat yang lebih mendalam.

1.2 Kajian Terdahulu

Kajian terdahulu mengenai Desa Miangas, Kecamatan Miangas secara khusus tidak banyak yang dapat ditemukan. Pada umumnya kajian yang berkaitan dengan wilayah ini terkait erat dengan wilayah Budaya Sangihe Talaud atau wilayah geografis Kecamatan Nanusa.

Tulisan pertama yang khusus membahas mengenai Desa Miangas adalah berasal H.J Lam, 1932, Miangas (Palmas), G. Koff & Co. at Batavia. Secara umum buku ini melukiskan berbagai hal mengenai kehidupan masyarakat Desa Miangas pada tahun 1926. Pertama di lukiskan mengenai kondisi flora yang hidup di wilayah ini. Hal ini tidak lepas dari latar belakang H.J Lamb yang sebagai pegawai Kebun Raya Bogor yang mencoba untuk mengamati berbagai ragam

(36)

flora yang tumbuh di Pulau Miangas dalam rangka mengkaitkan dengan kondisi flora di wilayah Filipina, Maluku dan Australia. Kedua, menceritakan mengenai asal-usul atau mitologi masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Miangas. Ketiga, menceritakan pola tempat tinggal dan irama kehidupan masyarakat Suku Talaud di Desa Miangas. Terakhir, melukiskan mengenai kondisi kesehatan masyarakat Desa Miangas ketika muncul wabah Kolera pada masa Kolonial Belanda dan kebijakannya mengenai transmigrasi ke wilayah Pulau Karakelang.

Kedua, Buku Ulaen, Alex J, 2012, Sejarah WIlayah Perbatasan Miangas - Philipina 1928-2010. Buku ini secara khusus melukiskan kehidupan masyarakat Desa Miangas dalam perspektif sejarah. Aspek sejarah yang diangkat berkenaan dengan asal-usul keberadaan, nama pulau hingga pada persoalan sejarah perebutan kepemilikan dari masa ke masa. Posisi Pulau Miangas atau Palmas yang berada di wilayah perbatasan antara Indonesia dan Filipina, merupakan potensi konflik di wilayah ini. Ulaen mencoba menelusuri secara mendetail bagaimana sejarah kepemilikan Pulau Miangas tersebut silih berganti diperebutkan. Di awali dengan sejarah asal-usul siapa yang bertama kali menemukannya hingga politik perebutan wilayah dalam konteks batas wilayah saat ini hingga potensi munculnya konflik pada masa yang akan datang. Ulasannya cukup komprehensif dan disertai paparan data yang memperkuat kepemilikan Pulau Miangas sebagai bagian NKRI.

Ketiga, paparan paper dari Djorina Velasco, "Navigating the Indonesian-Philippine Border: The Challenges of Life in the Borderzone" dalam Philippine Journal of Third World Studies 2010 25 (1-2):95-118 . Paper ini membahas persoalan yang berkaitan dengan isu-isu terkini mengenai wilayah perbatasan antara Indonesia dan Filipinan. Perbedaan perspektif antara pusat dan masyarakat di wilayah perbatasan seringkali menimbulkan berbagai persoalan yang awalnya tidak mereka rasakan. Negara seringkali mengemukakan

(37)

berbagai idiom yang berkaitan dengan legitimasi wilayah perbatasan.

Negara membangun berbagai kategori yang eksklusif sebagai pembeda yaitu seperti warga negara / alien, hukum / ilegal, lokal / asing. Dampaknya luar biasa. Ruang-ruang sosial dan identitas yang dalam konteks sejarah dahulunya merupakan sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan kini hal tersebut menjadi masalah besar. Ruang tersebut diputus ketiga negara lahir. Sehingga hubungan kerabat yang dulunya rukun sekarang menjadi wacana antara orang legal dan illegal. Pedekatan keamanan menjadi hal yang dominan dan penting dibandingankan dengan pendekatan budaya bagi sebuah hubungan antara saudara yang berbeda negara

Kempat, paparan paper dari M. P. H Roessingh, Dutch relations

with the Philippines: a survey of sources in the General State Archives, the Hague, Netherlands. ASJ 05-02-1967. Paper ini melukiskan menganai hubungan Belanda dalam hal ini VOC dan Filipina pada abad ke 16. Ketika Belanda melakukan pemberontakan terhadap Spanyol, dampak yang muncul adalah tertutupnya berbagai pelabuhan yang ada untuk berdagang dengan Belanda. Hal ini menyebabkan Belanda membangun rute rute baru untuk mendapatkan rempah-rempah di Timur jauh melalui jalur ke Filipina. Namun dalam pembangunan jalur tersebut, Belanda tetap saja bertemu dengan musuh mereka yaitu Spanyol dan Portugis yang menguasai jalur tersebut. Dalam proses pembangunan jalur perdagangan yang baru, Belanda banyak melakukan pendekatan-pendekatan dengan penguasa lokal yang sifatnya penaklukan seperti Raja Kandhar yang menguasai Pulau Miangas pada waktu itu.

Kelima, paparan dari Macario D. Tiu Tiu, 2006 dalam The

Indonesian Migrants of Davao and Cotabato, Kyoto Review of

Southeast Asia. Issue 7. States, People, and Borders in Southeast Asia. September 2006. Paper ini menjelaskan mengenai sejarah migrasi dari orang-orang Sangire dan Talaud ke Davao dan Cotabato. Dari tiga puluh lima informan yang di wawancarai di Davao dan Cotabato,

(38)

semuanya merupakan keturunan Indonesia dari suku Sangire dan Talaud termasuk migran dari Pulau Miangas. Mereka termasuk warga asli dan dikategorikan sebagai native Davao namun sebagai suku yang berbeda separate tribe. Kehadiran mereka di Davao merupakan hasil migrasi pada masa kuno, dimana kontak-kontak antar wilayah tidak dibatasi secara politik. Sampai saat ini, mereka masih membangun hubungan-hubungan kekrabatan dengan masyarakat Sangir dan Talaud di wilayah Indonesia.

1.3 Sistematika Buku

Buku ini terdiri atas lima bab dengan beragam topik pembahasan di masing-masing babnya. Meskipun demikian, deskripsi dan analisis yang dilakukan tetap dalam ruang lingkup kajian dan tidak sama sekali keluar dari wilayah studi yang direncanakan. Kelima bab atau bagian tersebut dideskripsikan secara umum sebagai berikut:

Bab 1 menjelaskan tentang gambaran umum atas studi yang dilakukan, latar belakang, masalah dan tujuan studi, serta batasan-batasan studi. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan masalah desain studi, wilayah kajian, keterbatasan studi, kajian studi terdahulu serta sistematika buku.

Bab 2 menjelaskan tentang unsur budaya Etnik Talaud yaitu sejarah, asal-usul, serta perkembangan yang terjadi pada masyarakat Etnik Talaud. Pada bagian ini akan dijelaskan perihal geografi, kependudukan, pola tempat tinggal, sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan, pengetahuan tentang kesehatan, bahasa, kesenian, mata pencarian, serta adat yang masih hidup bagi orang Talaud yang bermukin di Kecamatan Miangas.

Bab 3 menjelaskan tentang potret budaya kesehatan yang berlaku pada masyarakat Etnik Talaud di Miangas. Pada bagian ini dipaparkan tentang implementasi pembangunan kesehatan di Miangas, potret Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), potret penyakit di masyarakat, potret Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), serta

(39)

sistem pelayanan kesehatan yang ada. Selain dan itu dipaparkan juga tentang perilaku pencarian pengobatan masyarakat Etnik Talaud yang bermukim di Kecamatan Khusus Miangas.

Bab 4 menjelaskan secara lebih mengenai tematik yang diangkat yaitu tentang eksistensi seorang mama biang di Miangas yang ditinjau dari segi budaya dan emik (perspektif informan) dan etik (perspektif peneliti). Pengambilan data tematik ini menggunakan desain studi kasus pada ibu melahirkan maupun ibu yang hamil yang bermukim di Kecamatan Khusus Miangas. Ibu sebagai informan kunci, dilanjutkan dengan pandangan tenaga kesehatan, masyarakat setempat maupun tokoh adat dan ketersediaan pelayanan kesehatan yang ada.

Bab 5 menjelaskan tentang apa yang telah didapatkan dari hasil pengumpulan data yang dirangkum dalam beberapa kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut peneliti mencoba memaparkan rekomendasi yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lokal masyarakat untuk menjamin fisibilitas dari implementasi rekomendasi yang diajukan.

(40)

Bab 2

2.1 Sejarah Miangas Selayang Pandang

Miangas, merupakan istilah yang sebenarnya tidak asing bagi kita, namun sangat jarang terdengar di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan kosa-kata itu cenderung menjadi sangat tidak familiar bagi mereka dan terdengar sangat sayup-sayup dan kemudian menghilang. Kondisi ini akan berubah berbalik 180 derajat, ketika persoalan-persoalan yang mengacu pada pergolakan-pergolakan perbatasan di setiap batas-batas negara mulai mengemuka. Kosa kata ini menjadi terdengar nyaring dan menjadi perbincangan nasional. Bahkan sebagai masyarakat berlomba-lomba untuk membangun kesadaran akan eksistensi mengenai kosa kata tersebut dalam konteks kedaulatan negara.

Dari sinilah kemudian pemahaman mengenai hakikat makna dan keberadaannya tersadarkan. Demikianlah, kosa kata Miangas sangat beraksentuasi dengan persoalan-persolan politik dan kepentingan kepentingan para pemilik "kuasa" di sekitar wilayah tersebut. Ia seakan-akan menjadi putri cantik jelita yang menawan hati dan diperebutkan banyak orang dari masa ke masa. Alex Ulaen (2012) dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Wilayah Perbatasan : Miangas - Filipina 1928 - 2010, Dua nama Satu Juragan", memaparkan dengan panjang lebar mengenai drama sejarah penaklukan dari masa

(41)

ke masa terhadap Pulau Miangas. Ia mengawali dengan deskripsi mengenai penemuan, penguasaan, pendudukan hingga perebutan wilayah hingga saat ini hingga strategi-strategi pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan demi mempertahankan penguasaan atas pulau tersebut. Memang, sejarah Miangas adalah sejarah yang penuh dengan drama-drama penguasaan dan pendudukan, relasi antara satu kuasa dengan kuasa yang lain24.

Hingga saat ini, kosa kata Miangas akan menjadi tautan dan perdebatan yang hangat, hanya jika, ketika muncul adanya pergolakan-pergolakann di sekitar perbatasan. Ia kemudian baru menjadi kosa-kata yang sangat penting dan harus muncul di tengah-tengah kita. Di benak kita, semua orang serempak mengacu pada sebuah pulau penting yang berada sangat jauh di utara yang merupakan batas negara yang menjadi dasar bagi eksistensi sebuah batas-batas kuasa. Begitu istimewanya, wilayah ini akan mendapatkan perhatian sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Di sinilah pergulatan identitas, politik, budaya dan berbagai kepentingan terajut satu dengan lain dari waktu ke waktu. Di satu sisi, ia menjadi halaman belakang, di sisi yang lain yang menjadi beranda depan.

Mengacu pada asal usul nama pulau hingga bernama Miangas, menurut Ikrar Nusa Bhakti dalam Ganesan, N dan Ramses Amer Ed (2010) International Relations in Southeast Asia: Between Bilateralism

and Multilateralism, makna Miangas berarti "terbuka bagi bajak laut"

artinya posisi pulau Miangas seringkali menjadi pulau yang selalu dikunjungi oleh para bajak laut, khususnya bajak laut yang berasal dari Pulau Mindanau Selatan25. Sedangkan menurut Alex Ulaen (2012)

24

Ulaen, Alex J.; Wulandari, Triana; Tangkilisan, Yuda B. (2012). Sejarah WilayahPerbatasan: Miangas - Filipina 1928 - 2010 Dua Nama Satu Juragan. Jakarta: Gramata Publishing.

25

Ganesan, N.; Amer, Ramses (2010). International Relations in Southeast Asia: Between Bilateralism and Multilateralism. Singapore: ISEAS Publishing.

(42)

mengatakan bahwa awal mula nama pulau tersebut bukanlah Miangas, namun di dahului dengan nama Palma26. Nama Palma sudah disematkan menjadi nama pulau tersebut semenjak abad ke 16. Nama Palma mengacu pada bahasa Spanyol yang nota bene menjadi penguasa atas berbagai kepulauan yang berserakan yang menjadi cikal bakal berdirinya negara Filipina. Palma atau Las Palmas dalam Bahasa Spanyol atau Ilha de Palmeiras dalam Bahasa Portugis yang artinya adalah Palem atau Pohon Palem. Keterkaitan nama Pulau Miangas dengan pohon palem ditunjukan dengan adanya bekas tanaman palem yang masih tumbuh di wilayah perbukitan yang sekarang dinamakan bukit keramat.

Masih menurut Alex Ulaen (2012), mengacu pada bahasa lokal yaitu bahasa Sasahara, pulau tersebut diberi nama Tinonda atau Poilaten yang artinya bahwa masyarakat tersebut hidup terpisah dengan rangkaian pulau besar yang ada di wilayah Nanusa Utara27. Pada fase terakhir yaitu tahun 1946, pulau tersebut diberi nama Miangas yang artinya menangis. Dimaknai dengan menangis lebih disebabkan adanya perasaan kesedihan yang berkaitan dengan kondisi lokasi Pulau Miangas yang jauh dari kepulauan induknya yang memiliki kesamaan budaya, atau kasihan berkenaan dengan posisi geografisnya yang sangat terpencil dan jauh dari sarana transportasi laut. Pemaknaan kosa kata Miangas seperti ini juga memunculkan polemik diantara masyarakat Pulau Miangas. Ada dua kubu yang berseteru meskipun tidak terlalu nyata. Sebagian besar masyarakat dan juga para pejabat lokal menyetujui akan pemaknaan tersebut, namun ada juga orang Miangas yang jelas-jelas menolak. Penolakan tersebut sering diutarakan pada beberapa orang yang ia percayai. Mereka yang menolak lebih setuju akan tafsir dari kosa kata Miangas

26 Ulaen, Alex J.; Wulandari, Triana; Tangkilisan, Yuda B. (2012). Sejarah

WilayahPerbatasan: Miangas - Filipina 1928 - 2010 Dua Nama Satu Juragan. Jakarta: Gramata Publishing

(43)

lebih mengacu pada makna akan kemenangan. Kemenangan dalam hal apa ?. Kemenangan dalam melawan berbagai usaha-usaha penjajahan dan pendudukan yang dilakukan oleh berbagai bangsa, khususnya terhadap Bangsa Moro yang sering melakukan penyerangan dan penghancuran terhadap masyarakat di Pulau Miangas.

Sejarah lokal yang diperoleh dari tradisi lisan menunjukan bahwa wilayah-wilayah yang ada di kepulauan Sangir, Talaud dan Sitaro awal mulanya dimiliki oleh dua kerajaan besar yang bernama Tabukan dan Kalongan. Kekuasaan para pangeran-pangeran yang berasal dari kedua kerajaan tersebut hingga mencapai Pulau Miangas. Fakta ini juga diperjelas oleh Roessingh (1967 : 377-407) bahwa sejak Belanda terpikat dengan rempah-rempah di akhir abad 16 dengan memulai perjalanan panjang mereka untuk mencapai kepulauan kaya rempah di Maluku telah membuat proposal kepada sultan penguasa Pulau Mindanau untuk membangun basis-basis dagang di Pulau Mindanau. Meskipun di satu sisi mereka menerima kehadirannya, disisi yang lain sultan juga memiliki ketakutan akan kehadiran mereka28.

Selama menetap di Pulau Mindanau, Belanda juga sering bertemu dengan para pangeran yang berasal dari Sangir. Penampilan dan gaya mereka mirip dengan penguasa Mindanau pada umumnya. Pangeran ini memiliki kekuasaan di beberapa bagian di wilayah Mindanau selatan. Namun sejak 1677, para pangeran merupakan

vassal dari perusahan. Raja Kandhar dari Pulau Sangihe menyerahkan

hasil yang dimiliki kepada Belanda seakan perusahaan hanya memiliki title resmi tanpa kekuasaan di suatu wilayah. Dua abad kemudian, perjanjian dengan raja Kandhar dari Sangir muncul kembali dalam

28

M.P.H Roessingh, 1967, Dutch relations with the Philippines: a survey of sources in the General State Archives, the Hague, Netherlands

(44)

konteks perselisihan antara Amerika sebagai penguasa Filipina menggantikan Spanyol dengan Kerajaan Belanda. Perjanjian dengan Raja Kandhar menjadi dasar agar Amerika menghormati kedaulatan Kerajaan Belanda atas Pulau Miangas akibat hubungannya yang terlebih dahulu dengan pangeran lokal. Belanda membangun kedaulatan diatas wilayah para pangeran tersebut termasuk Pulau Miangas.

Kuatnya cengkeraman Belanda terhadap pulau tersebut juga terbukti dengan adanya pemberian mendali kepada EJ Jellesma yang telah mengunjungi Pulau Miangas pada tahun 1895 dan melihat sendiri bagaimana masyarakat di sana menolak mengibarkan bendera Spanyol. Rentetan dari kunjungan ini, akhirnya Pastor Kroll mencoba untuk membaptis 254 warga merjadi beragama Protestan29.

Pada tahun 1906, sengketa masih berulang. Mengacu pada perjanjian Paris yang memaparkan bahwa wilayah Filipina berada pada batas wilayah yang luas termasuk Pulau Miangas di wilayah selatan. Akhirnya, Jenderal Leonard Wood, Gubernur Jenderal Moro berkunjung ke Miangas pada 21 Januari 1906. Namun sesampainya disana mereka menemukan bendera Belanda masih berkibar di sana dan sebagai dasar bahwa wilayah Pulau Miangas merupakan milik Hindia Belanda. Kemudian atas dasar pengamatannya, ia melapor sekertaris militer Amerika di Zamboanga.

Laporan ini diteruskan ke pengadilan Arbitrase Internasional. Di pengadilan arbitrase internasional yang dipimpin oleh orang Swiss yaitu Max Huber. Arbiter akhirnya memutuskan bahwa kepemilikan Pulau Miangas adalah Hindia Belanda dengan dasar pada penggunaan bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat yang menggunakan Bahasa Talaud dan Melayu sebagai media komunikasi sehari-hari dibandingkan pengunaan bahasa - bahasa yang ada di Filipina.

29 Ulaen, Alex J.; Wulandari, Triana; Tangkilisan, Yuda B. (2012). Sejarah

WilayahPerbatasan: Miangas - Filipina 1928 - 2010 Dua Nama Satu Juragan. Jakarta: Gramata Publishing.

(45)

Kehadiran bahasa inilah yang hingga sekarang menjadi argumen masyarakat Pulau Miangas bahwa perjuangan mereka melawan penjajah bukan atas bantuan siapapun namun karena kehendak dan kemampuan mereka sendiri. Kencintaan mereka terhadap bahasa yang mereka gunakan sehari-hari memunculkan istilah ACI (Aku Cinta Indonesia). Istilah ACI (Aku Cinta Indonesia) berulang-ulang diucapkan dalam berbagai situasi ketika mereka ditanya mengenai perspektif keindonesiaan mereka. Nasionalisme mereka tidak perlu diragukan, namun perhatian pemerintah terhadap mereka yang perlu ditingkatkan. Mereka menghendaki wilayah Miangas sebagai beranda depan negara yang perlu dipersolek, bukan sebagai halaman belakang yang dibiarkan kotor dan tertinggal.

Setelah kemerdekaan, pada tahun 1956, Indonesia sebagai pewaris negara Hindia Belanda membuat perjanjian keimigrasian antara Indonesia dan Filipina. Perjanjian ini memungkinkan warga Sangir, Talaud, Nunukan, Balut dan Sarangani memiliki pas penyeberangan untuk aktifitas perdagangan barter, kekerabatan dan ibadah. Pada tahun 1965 ditanda tangani perjanjian imigrasi dan pembangunan Border Crossing yang memungkinkan wilayah Marore, Miangas, Mabila, dan Balut menjadi cek poit perbatasan.

Pulau Miangas merupakan pulau yang menarik hati banyak pihak. Disamping sebagai menjadi bahan perembutan antara negara-negara barat, yaitu Spanyol, Hindia Belanda dan Amemerika. Pulau Miangas juga mengalami persoalan-persoalan lokal berkaitan konflik diantara mereka. Konflik tersebut berkaitan dengan usaha-usaha dari masyarakat Moro yang berungkali hendak menguasai Pulau setempat. Hal ini terbukti dengan banyaknya situs-situs peninggalan yang berkaitan dengan usaha mereka melakukan penyerangan ke wilayah tersebut. Bagi masyarakat lokal, Miangas pun menjadi situs pertahanan. Hal ini terbukti dengan kehadiran peninggalan yang masih tersisa di Tanjung Bora, Gua Kemenangan, Gunung Ota dan Bukit Keramat.

Gambar

Gambar 2.1. Geneologi Keluarga Marga Ratujuri yg merujuk Sopu dan Tinuri  Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.2. Batu Mura Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.3. Peta Perbandingan Jarak Miangas ke Davao dan Melong
Gambar 2.4. Temperatur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Surat undangan ini disamping dikirimkan melalui email juga ditayangkan pada website SPSE Kabupaten Bolaang Mongondow, oleh karenanya Pokja tidak dapat menerima

But there are a few simple things you can do to enhance your fuel economy no matter what type of vehicle you drive, which means you’ll buy less gas and have more money to enjoy

Memberikan penjelasan tambahan dalam Sistem Pengadaan Barang Jasa Secara Elektronik (SPSE) yaitu; Penjelasan tentang Masa berlaku penawaran selama 30 (tiga puluh) hari kalender

 Kesehatan Lingkungan merupakan bagian dari dasar-dasar kesehatan masyarakat modern yang meliputi terhadap semua aspek manusia dalam hubungannya dengan lingkungan,

1 (satu) or ang Team Leader mer angkap Ahli Perencanaan Kota dengan jumlah 4 or ang bulan yang memiliki latar belakang pendidikan S2 Per encanaan W ilayah dan Kota

[r]

1.20.07.02.10.5.2 Inspektorat Pengadaan Meubelair Pengadaan Filling Kabinet,Papan Pengumuman dan Pengadaan Sofa Belanja Modal Barang 46.000.000 1 Paket Kabupaten Lamandau

[r]