• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Sejarah Miangas Selayang Pandang

2.1.2. Perkembangan Desa

Secara geografis, Desa Miangas terletak di Pulau Miangas. Namun secara administrasi, Desa Miangas awal mulanya merupakan bagian dari Kecamatan Nanusa, namun semenjak keluarnya Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2006 tertanggal 7 Desember 2006, terjadi pemekaran Kecamatan. Kedudukan Desa Miangas ditingkatkan menjadi Kecamatan Khusus Miangas. Dampak dari pemekaran tersebut, maka segera diangkat Bapak Sepno Lantaa SH sebagai Kepala Kecamatan Khusus melalui surat Keputusan Bupati No 78 Tahun 2007.

Dari kejauhan, penampakan Pulau Miangas terdiri dari dua gugus pulau, pertama adalah pulau besar yang sekarang menjadi wilayah hunian masyarakat dan kedua adalah gugus pulau kecil yang dikenal sebagai Tanjung Wora. Tanjung Wora saat ini tidak dihuni namun dijadikan lahan perkebunan kelapa dan simbol keberadaan khas masyarakat religius dengan adanya lambang salib raksasa yang terpancang di depan.

Meskipun gugus Pulau Tanjung Wora saat ini tidak berpenghuni, Tanjung Wora dipercaya merupakan cikal bakal dari kehidupan masyarakat di Desa Miangas saat ini. Hal ini terbukti dengan masih banyak ditemukan sisa-sisa pemukiman di Tanjung Wora, namun sisa-sisa pemukiman berupa batu-batu yang tampak berserakan atau tertata karena telah dirubah menjadi lahan perkebunan kelapa. Sisa-sisa yang masih tampak sangat baik adalah peninggalan susunan batu karang sebagai benteng kecil. Benteng itu merupakan susunan batu yang diatur dengan posisi tertentu yang menyerupai benteng. Tanjung Wora sendiri merupakan gugus pulau yang sangat khas karena kecuramannya. Sisi-sisi yang sangat curam tidak nampak adanya bekas susunan batu yang berbentuk benteng namun pada beberapa sudut wilayah yang cenderung landai susunan tersebut terlihat jelas. Apalagi pada sudut wilayah yang merupakan pintu keluar masuk orang melakukan kontak dengan dunia luar sangat khusus dibuat seperti perbentengan.

Kehidupan masyarakat Miangas selama berada di Tanjung Wora sangatlah susah, disamping pulaunya yang sangat kecil, sumber daya alamnya juga sangat terbatas. Keterbatasan lahan menyebabkan pembangunan tempat tinggal menjadi tidak bisa berkembang dalam masa yang akan datang demi mengakomodasi perkembangan jumlah penduduk yang berubah setiap waktu. Sedangkan keterbatasan sumber daya alamnya menyebabkan kebutuhan sehari-hari menjadi sangat terbatas, terlebih ketika laut saat pasang. Mereka tidak dapat mencari pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari di Tanjung Wora

namun harus keluar menuju Pulau Miangas yang mana kaya dengan sumber pangan seperti sagu, laluga, kelapa, kepiting kenari (ketang). Untuk itulah, mereka perlu setiap hari menyeberang menuju ke Pulau Miangas.

Persoalan menjadi sangat berat ketika sekeliling wilayah gugus pulau Tanjung Bora dikepung oleh Bangsa Moro. Kehadiran Bangsa Moro selalu disertai dengan niat jelek terhadap mereka, yaitu berniat untuk menghancurkan. Niat Bangsa Moro selalu gagal untuk mencapai perkampungan mereka di Tanjung Bora. Hal ini disebabkan adanya benteng alam berupa kecuraman kondisi pulau dan adanya pasukan yang ada di benteng. Pasukan yang ada di benteng selalu siap setiap sat melempar senjata batu dari atas untuk menghancurkan orang-orang Moro tersebut.

Kesulitan yang selalu berulang seperti itu, menyebabkan tetua-tetua adat mengambil keputusan untuk berpindah ke sebuah bukit yang ada di Pulau Miangas. Bukit tersebut dikenal sebagai keramat. Proses perpindahan tersebut dimulai ketika kepungan Bangsa Moro menyebabkan kelaparan yang sangat di pemukiman masyarakat Miangas di Tanjung Bora tersebut. Satu demi orang-orang di Tanjung Bora berenang menuju bukit tersebut. Strategi yang dilakukan agar tidak diketahui oleh Bangsa Moro adalah dengan berenang dan bersuara seperti burung camar. Perilaku orang-orang di Tanjung Bora yang mirip perilaku burung camar dalam proses migrasi masal ke wilayah perbukitan sangat membantu mereka dalam proses tersebut. Proses migrasi menjadi sangat tersamar dan Orang Moro mengira orang-orang yang ada di Tanjung Wora telah mati kelaparan akibat pengepungan, sehingga memutuskan untuk kembali ke daerahnya.

Di wilayah perbukitan keramat di Pulau Miangas, masyarakat membangun pemukiman baru. Pemukiman tersebut berada di perbukitan yang sekelilingnya ditandai dengan kontur-kontur yang sangat curam. Di pemukiman yang baru inilah mereka juga membangun perbentengan seperti yang pernah mereka buat di

Tanjung Bora. Keputusan membuat benteng juga bermanfaat ketika Bangsa Moro melakukan penyerangan kembali. Mereka masih bisa menghadapi penyerangan yang mereka lakukan. Namun kondisinya sangat jauh berbeda jauh dengan sebelumnya ketika masih tinggal di Tanjung Wora. Ketika pemukiman telah berada di bukit keramat, setiap ada pengepungan yang dilakukan oleh Bangsa Moro, mereka masih bisa mencari dan memenuhi kebutuhan pokok. Alam di sekitar pemukiman di bukit Keramat masih luas dan mampu mengakomodasi segala kebutuhan selama pengepungan.

Gambar 2.2. Batu Mura Sumber: Dokumentasi Peneliti

Masa-masa penyerbuan Bangsa Moro yang semakin berkurang intensitasnya, kontur tanah yang sangat berbukit dan angka penambahan penduduk, menyebabkan para tetua memutuskan untuk memindah pemukiman di wilayah bawah Pulau Miangas yang cenderung landai. Wilayah yang dipilih adalah wilayah yang terdapat sumber air tawar dan mudah mengaksesnya. Beberapa wilayah yang landai memiliki sumber-sumber air yang cenderung payau.

Rancangan wilayah pemukiman di tempat yang baru dibuat seperti model pemukiman di perumahan di kota. Wilayah pemukiman tersebut dibelah oleh tiga jalan utama yang mengarah pada arah utara

- selatan (bukit keramat - pantai). Dari ketiga jalur utama tersebut, terdapat satu jalur yang melintang agak ditengah dengan arah barat - timur yang menuju ke dermaga. Rumah-rumah dibangun saling sejajar dan berhadapan. Setiap rumah memiliki beberapa ruas tanah yang menjadi halaman. Rancang bangun situs pemukiman seperti ini dipercaya oleh masyarakat telah ada sejak dahulu kala. Hanya saja, pada masa itu, semua rumah dibangun dengan menggunakan bahan kayu yang diambil di wilayah setempat. Konstruksi bangunan berwujud seperti rumah panggung, namun ketinggian bangunan juga menjadi perhatian khusus bagi masyarakat setempat. Hal ini berkaitan dengan cara adaptasi mereka dengan kondisi lingkungan yang cenderung tidak stabil, dimana arah dan kekuatan angin menjadi persoalan khusus pada bukan-bulan tertentu. Bagian bawah rumah panggung umumnya dibiarkan menjadi ruang kosong. Mereka meletakkan binatang peliharaan di belakang rumah yang memang sengaja disediakan untuk peliharaan hewan ternak seperti babi atau yang lain.

Bangunan rumah yang terbuat dari kayu atau berpondasi semen dengan dinding kayu sudah mulai banyak berubah saat ini. Bangunan-bangunan permanen dengan bahan batako yang dibuat sendiri dengan menggunakan campuran pasir putih dan semen banyak bertebaran di sepanjang ruas jalan. Sehingga berkesan seperti kompleks perumahan. Beberapa keluarga juga sudah mulai beralih dengan membangun rumah dengan gaya arsitektur rumah urban, sebagian mempertahan gaya lama atau mencoba membuatnya bertingkat. Bagian dasar rumah sudah sangat rendah, jarak antara lantai rumah dengan tanah nyaris sama. Kondisi ini menyebabkan kehadiran tangga menuju kedalam rumah sudah banyak yang dihilangkan. Namun ada hal yang hingga kini masih dipertahankan, yaitu berkenaan dengan kearifan lokal mengenai pola adaptasi bangunan rumah berkaitan dengan kemampuan menahan tekanan angin, dalam hal ini adalah ketinggian rumah. Setiap memasuki bulan

yang penuh dengan angin, setiap hari angin akan bertiup kencang tanpa henti. Kerasnya tekanan angin adakalanya dapat merobohkan pohon kelapa yang ada atau memporak-porandakan atap rumah penduduk.

Kondisi jaringan jalan utama yang membelah pemukiman saat ini sudah sangat berubah. Pada masa sebelumnya, jaringan jalan utama masih berwujud jalan berbatu (makadam) atau tanah, baik yang sudah diperkeras maupun belum. Namun sekarang, kondisi jalan sudah diperkeras dengan semen, sehingga semakin memudahkan akses dan meminimalkan munculnya debu. Pola rancangan jaringan jalan seperti ini, memungkinkan semua rumah-rumah warga memiliki akses langsung terhadap jalan, dan memudahkan mobilitas .

Jaringan jalan yang terdapat di pemukiman saat ini sudah terhubung dengan baik dengan jaringan jalan yang menuju ke arah kebun. Kondisinya pun relatif sangat baik karena telah diperkeras dengan beton. Sehingga memungkinkan masyarakat mudah melakukan mobilitas ke kebun baik dengan jalan kaki, membawa gerobak ataupun dengan menggunakan kendaran bermotor seperti sepeda motor, mobil pickup, truk dan Sepeda.

Pengerasan jalan yang sudah dilakukan di Desa Miangas memang belum dilakukan seluruhnya khususnya jaringan jalan di dalam kebun. Ada beberapa ruas jalan yang terhubung dengan jalan yang masih bertumpu pada jalan tanah. Namun kondisi ini sudah membawa kegembiraan bagi masyarakat setempat karena dengan perubahan kondisi jalan yang lebih baik, proses pemindahan buah kelapa menjadi lebih cepat dan ringan. Kegiatan pengerasan jalan berhasil karena ditunjang oleh dana PNPM pada tahun 2011.

Perlintasan jalan ke arah kebun melintasi perkebunan kelapa, rawa, kebun laluga dan sagu. Di perkebunan kelapa disisi sebelah utara cenderung dimanfaatkan dengan cara tumpangsari. Mereka memanfaatkan lahan berkebunan dengan menanam sayuran. Berbagai ragam sayuran mereka tanam seperti kangkung, terong, rica

(lombok), ketela pohon, ketela rambat, dan tomat. Seluruh sayuran cenderung dijual kepada pendatang terutama orang-orang yang bekerja di proyek-proyek negara. Namun sekarang ada kecenderungan, sayuran tersebut juga dibeli masyarakat setempat yang tidak melakukan penanaman di kebunnya.

Kebun di sisi bagian barat cenderung tidak dimanfaatkan dengan cara tumpang sari. Kebun dibiarkan saja ditumbuhi ilalang, sehingga terkesan gelap. Sedangkan kebun yang dimanfaatkan untuk berkebun sayur cenderung terang dan bersih karena setiap hari pemiliknya selalu membersihkan lahan tersebut. Mereka membersihkan rumput yang mengganggu tanaman sayurnya, menyiram atau membersihkan daun kelapa yang sudah tua.

Lahan kebun dan rawa-rawa yang terdapat tanaman laluga dan sagu juga banyak yang tidak mendapatkan perawatan. Saat ini tanaman-tanaman tersebut dibiarkan tumbuh liar. Sangat berbeda dibandingkan dengan masa-masa yang lalu dimana ketika tanaman laluga dan sagu masih menjadi tanaman pokok dan satu-satunya yang bisa diakes. Setiap penduduk setiap hari pasti akan pergi ke kebun untuk menanam dan merawat tanaman-tanaman tersebut. Kehadiran tanaman tersebut berkaitan dengan masalah hidup dan matinya ia tinggal di Pulau Miangas. Mereka yang malas menanam dan merawat pasti akan mendapat resiko kematian atau bergantung pada tetangganya untuk menghidupi keluarganya. Pada masa itu tidak ada alternatif bahan pangan pokok yang bisa mereka konsumsi. Jadi setiap keluarga harus giat bekerja merawat tanaman di kebun.

Berubahnya kondisi tersebut banyak disebabkan adanya penetrasi bahan pokok berupa beras yang luar biasa. Beras saat ini sudah menjadi makanan pokok bagi warga Desa Miangas. Ketersediaan bahan pokok tersebut juga sangat mudah. Setiap warung yang ada di desa tersebut selalu memiliki stok beras yang bisa dikonsumsi sehari-hari. Kehadiran beras dan mudahnya beras di dapatkan sewaktu-waktu di Pulau Miangas telah mengubah pola

perilaku masyarakat. Mereka menjadi tidak rajin untuk mengolah dan merawat tanaman pokok yang telah diturunkan oleh nenek moyang.

Disamping perubahan berkenaan dengan konsumsi makanan pokok, perubahan yang lain yang terjadi di Desa Miangas adalah berkenaan dengan kodifikasi mengenai hukum ada. Hukum adat yang digunakan sudah mengalami banyak perbaikan. Dasar perbaikan mengacu pada kemampuan masyarakat dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, hukum adat yang ada saat ini bisa dikatakan cukup ringan dibandingankan dengan kondisi masyarakat di Miangas pada masa yang lampau. Meskipun dikatakan cukup ringan, namun dalam konteks masyarakat Desa Miangas, hukuman yang diberlakukan cukup berat juga. Apalagi berkenaan dengan kemampuan mereka mendapatkan penghasilan dari hasil berkebun, mencari ikan dan menjadi tenaga angkut di pelabuhan atau kuli di beberapa proyek di wilayah setempat.

Kondisi solidaritas masyarakat setempat cukup baik dan terpelihara. Hal ini nampak ketika masyarakat setempat melakukan kegiatan, seperti acara perkawinan atau acara yang lain. Pada kegiatan acara-acara tertentu, pada umumnya mereka saling berkerjasama untuk mempersiapkan lokasi, membersihkan, memasak dan memasang tenda di depan rumah. Dengan begitu setiap ada acara, keluarga dalam satu marga selalu berkumpul bersama dibantu dengan warga yang lain.

Ketika ada masyarakat yang memiliki hajat perkawinan, disamping warga setempat membantu mempersipakan acara tersebut, ternyata ketika hari "h" pelaksanaan, setiap undangan pasti membawa makanan sendiri-sendiri. Baik membawa nasi maupun lauk-pauk. Di tempat pelaksanaan perkawinan, mereka dapat mempertukarkan lauk-pauk yang mereka bawa dari rumah satu dengan lain. Mereka sangat bangga jika lauk-pauk yang mereka masak dari rumah ternyata disukai oleh tamu undangan yang lain. Dengan begitu, setiap tamu akan menikmati hidangan yang dibawa oleh tamu

undangan yang lain. Pemilik rumah biasanya hanya menyediakan minuman dan daging babi.

Kondisi solidaritas dan kegotongroyongan semakin terpupuk dengan adanya ritual manami yang dilakukan setiap tahun. Ritual Manami merupakan ritual pesta adat yang diwujudkan berupa penangkapan ikan bersama dan dimakan bersama-sama. Biasanya ritual ini dilakukan dilakukan pada bulan mei. Acara ritual ini akan dianggap berhasil jika setiap eleman masyarakat yang ada saling bantu membantu. Tanpa adanya kerjasama dan solidaritas, bisa dipastikan jika ritual penangkapan ikan akan gagal untuk mendapatkan ikan dan konsekuensinya acara bakar ikan sebagai puncak dari nilai-nilai kerja sama akan hilang. Di dalam acara ini egoisme akan dibuang jauh-jauh demi kebersamaan.

Sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan dengan jarak yang sangat jauh, mobilitas masyarakat bisa dikatakan sangat tinggi. Tingginya mobilitas ditunjang dengan kehadiran sarana transportasi berupa kapal laut yang melayari setiap 15 hari sekali. Setiap kapal yang melewati Pulau Miangas pasti akan dipenuhi dengan warga Miangas yang akan turun maupun naik. Antusiasme masyarakat menggunakan kapal tersebut lebih disebabkan angkutan tersebut merupakan satu-satunya kapal yang mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan mereka terhadap bahan pokok, bahan bangunan, pengiriman kopra dan beberapa kepentingan bagi para pegawai setempat.

Disamping kehadiran kapal yang melayari wilayah ini, Pulau Miangas juga dilengkapi dengan sarana komunikasi. Sarana komunikasi yang ada disediakan oleh provider Simpati. Kehadiran

provider ini memungkinkan masyarakt Desa Miangas dapat

berkomunikasi dengan siapapun. Namun hal yang menjadi kendala berkaitan dengan kehadiran provider tersebut adalah berkenaan dengan masalah daya listrik yang menjadi kekuatan peralatan komunikasi tersebut. Daya listrik yang menunjang keberlangsungan

peralatan ini disuplai oleh panel tenaga surya dan PLN setempat. Panel tenaga surya saat ini berada dalam kondisi rusak pada switch yang mengubah secara otomatis dari panel tenaga surya ke PLN jika daya di dalam accu telah habis. Demikian juga berkaitan dengan daya yang diambil dari tenaga listrik PLN juga mengalami kendala berkaitan dengan kontuinitasnya. Pada siang hari PLN juga mendapat suplai dari panel surya hingga sore kemudian dilanjutkan pada sore hari dengan tenaga diesel. Kondisi ini menyebakan stabilitas layanan komunikasi dari provider Simpati menjadi naik turun tergatung catu daya yang ada.

Banyaknya konsumsi tenaga listrik di Desa Miangas juga mempengaruhi daya listrik yang dihantar dan diditribusikan ke masyarakat. Pertumbuhan peralatan listrik sangat signifikan. Hampir semua telah memiliki alat musik yang membutuhkan daya listrik tinggi, kulkas, televisi flat dan fan. Secara tidak langsung, pertumbuhan alat listrik dan ketiadaan penambahan sumber daya listrik yang memadai menyebabkan daya listrik di wilayah ini cenderung naik turun. Konsekuensinya, banyak ditemukan beberapa peralatan listrik warga mengalami persoalan serius.

Disamping berkenaan dengan stabilitas layanan, provider komunikasi disini juga tidak memiliki spot layanan sinyal yang cukup lebar. Sinyal yang terlayani cenderung di wilayah pemukiman yang dekat dengan menara sinyal. Sedangkan pemukiman di dekat pantai cenderung tidak mendapat sinyal atau seringkali terputus-putus. Provider juga tidak menyediakan akses layanan data. Sebagian warga mengatakan bahwa semenjak menara tersebut dibangun, seakan-akan menara tersebut dibiarkan hidup mandiri. Tidak ada penjadwalan yang kontinyu berkaitan dengan aspek "maintenace" untuk melihat apakah peralatan tersebut masih masih baik apa tidak. Setiap kerusakan yang terjadi, selalu dipecahkan bersama oleh masyarakat Desa Miangas, karena memang sudah menjadi kebutuhan mereka. Demikian juga berkenaan dengan pembiayaan listrik PLN

yang mensuplai peralatan tersebut selalu dibayar bersama-sama oleh masyarakat setiap bulan dengan cara urunan untuk membeli token, khususnya bagi masyarakat yang memiliki HP.

Kehadiran POS Angkatan Laut dengan peralatan komunikasi satelit sedikti banyak membantu masyarakat setempat. Kehadirannya bisa menjadi alternatif dalam berkomunikasi. Apalagi ketika akses komunikasi dari provider terkendala oleh listrik mati. Disamping itu, keberadaan akses di POS Angkatan Laut dapat membantu masyarakat yang memiliki tablet atau HP Android dalam mengakses kebutuhan akan data.

Kondisi sosial yang ada di Desa Miangas sedikit banyak dipengaruhi oleh masalah BBM. BBM disini sangat langka, khususnya ketersediaan minyak tanah, bensin dan solar. Menurut keterangan Pak Kapus, warga Desa Miangas dipaksa oleh keadaan untuk melakukan kegiatan yang dilarang oleh negara yaitu menyelundupkan BBM baik dari Kota Melonguane atau Bitung melalui kapal laut. Menurut aturan, pemuatan BBM di kapal laut adalah hal yang terlarang karena dapat menyebabkan masalah serius. Namun dengan sedikit negoisasi dan merancang ulang kemasan yang digunakan untuk memuat bensin, proses penyelundupan bisa berhasil. Bahkan adakalanya proses penyamaran kemasan digabung dengan barang-barang lain. Prinsipnya dalam penyelundupan ini, kemasan BBM harus tersamar dan jangan mengeluarkan bau yang menyengat yang dapat mengganggu penumpang dan mengundang aparat untuk memeriksa.

Kenekatan warga Desa Miangas sudah lama dilakukan. BBM adalah kebutuhan penting bagi mereka. Bensin di Desa Miangas sudah mencapai Rp. 20.000,- bahkan bisa sampai Rp.35.000,- jika kondisi sangat langka. Harga yang mahal dapat mempengaruhi kegiatan mereka dalam mencari ikan sebagai sumber penghasilan sehari-hari. Disamping persoalan bahan bakar untuk melaut, persoalan bahan bakar untuk memasak pun menjadi masalah. Agen penjual minyak tanah di Desa Miangas seringkali tidak mendapatkan minyak tanah

secara kontinyu, pada saat penelitian berlangsung, minyak tanah yang mereka beli terkendala alat angkut yang menolak melayani pengiriman ke Pulau Miangas karena ketiaadaan surat. Kondisi seperti ini jika berlangsung terus dalam jangka waktu lama akan berpengaruh terhadap kegiatan keseharian. Alternatif mereka adalah menggunakan pepohonan yang jumlahnya terbatas untuk digunakan sebagai bahan bakar dalam kegiatan memasak.

Selain BBM, persoalan yang muncul juga berkaitan dengan semakin menipisnya lahan perkebunan kelapa dan pertanian akibat pertambahan penduduk. Jumlah penduduk yang bertambah membawa konsekuensi kebutuhan akan lahan yang lebih luas untuk pemukiman bagi keluarga-keluarga baru. Belum lagi dengan adanya proyek pembangunan bandara yang saat ini sedang berlangsung. Keberadaan proyek ini ternyata sangat rakus lahan sehingga sangat berpengaruh terhadap merosotnya jumlah populasi pohon kelapa di Pulau Miangas. Turunnya populasi kelapa akan berdampak pada sektor produksi kopra yang menjadi andalan dan sandaran kehidupan masyarakat Desa Miangas. Tenaga kerja pemetik kelapa menjadi berkurang jumlahnya dan jumlah kelapa yang dipetik juga menjadi turun.

Harapan terakhir dari masyarakat Desa Miangas adalah adanya konversi pekerjaan yang lebih mengarah pada spesialisasi bidang kelautan. Spesialisasi ini diharapkan dapat diwariskan kepada anak cucu mereka di masa depan. Oleh sebab itu, segala bentuk program-program pemberdayaan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah lebih tepat jika membidik pada persoalan-persoalan di bidang perikanan. Bidang inilah yang akhirnya menjadi bidang alternatif yang sangat rasional diterapkan dan menjadi harapan satu-satunya bagi penghidupan mereka. Untuk itulah, dana-dana yang mungkin akan masuk dapat diwujudkan dalam bentuk kapal tangkap yang lebih baik dengan kemampuan yang besar, pendingin ikan, rompon, bahan bakar yang mudah dan perlengkapan perikanan

lainnya serta sangat penting mengundang para investor perikanan yang akan membeli produk mereka. Jika diwujudkan, mereka akan menjadi masyarakat pelaut yang mandiri dan setiap hasil perikanan yang mereka peroleh tidak sekedar menjadi produk yang akan konsumsi sendiri namun dapat diolah menjadi produk lain. Sehingga predikat pelaut "gurem" berubah menjadi pelaut produktif. "Ke depan, masyarakat Desa harus lebih mengandalkan sektor perikanan sebagai mata pencaharian", demikian menurut Ketua BPD Miangas Batuel Lupa.

Jika pemerintah gagal mengarahkan masyarakat Desa Miangas dalam bidang perikanan, persoalan sosial akan menjadi lebih parah lagi. Hal ini berkaitan dengan orang-orang yang mungkin tidak memiliki lahan atau memiliki lahan namun dalam jumlah yang sangat sedikit. Saat ini saja, persoalan sosial sudah muncul yaitu berkaitan dengan munculnya kasus pencurian buah kelapa. Buah kelapa yang diambil oleh pemilik lahan biasanya akan dibawa pulang jika