• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEPTUALISASI GAGASAN PEMEKARAN WILAYAH KEDEPAN

PEMEKARAN WILAYAH

OUTPUT GABUNGAN AHP SECARA VERTIKAL

7 KONSEPTUALISASI GAGASAN PEMEKARAN WILAYAH KEDEPAN

Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (1), ditegaskan bahwa wilayah Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan beberapa daerah. Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Sementara dalam prakteknya sampai dengan tahun 2008, Indonesia belum pernah mempunyai pengalaman penggabungan daerah.

Sejak berlakunya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pemekaran daerah menjadi kecenderungan baru dalam system pemerintahan di Indonesia. Hal terlihat pertambahan jumlah propinsi, kabupaten dan kota dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2013. Dimana sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 terdapat 319 propinsi, kabupaten dan kota dengan perincian propinsi sebanyak 26, kabupaten sebanyak 234 dan kota sebanyak 9. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 terjadi penambahan sebanyak 217 propinsi/kabupaten/kota terdiri dari 8 propinsi , 175 kabupaten dan 34 kota. Sampai dengan tahun 2013 terdapat 34 propinsi, 409 kabupaten dan 93 kota sehingga total terdapat 536 propinsi/kabupaten/kota.

Maraknya pemekaran daerah yang terjadi tidak terlepas dari kondisi sistem pemerintahan yang dinilai oleh masyarakat gagal melaksanakan misinya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, satu sisi terjadi ketimpangan pembangunan dan ketidakmerataan pembangunan antar wilayah, regional maupun antar pulau, disisi lain terjadinya penumpukan sumber-sumber manufaktur dan modal yang besar pada suatu suatu wilayah. Dengan semangat otonomi daerah itu pulalah muncul paradigma pemekaran wilayah yang dapat mempercepat pelaksanaan pembangunan, memudahkan pelayanan publik kepada masyarakat,serta percepatan kesejahteraan masyarakat. Di masa era reformasi sekarang,ruang bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan Daerah Otonomi Baru dibuka lebar oleh kebijakan pemekaran daerah berdasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan berbagai peraturan pemerintah yang mengaturnya.

Di era otonomi daerah pemekaran wilayah menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah-daerah, sehingga tidak heran itu menjadi isu nasional yang menjadi perbincangan dan perdebatan oleh berbagai elit, kalangan, kelompok dan lapisan masyarakat bahkan pembuat kebijakan itu sendiri dari tingkat lokal hingga pusat. Berbagai tanggapan yang beragam melalui media, seminar, lokakarya yang meramaikan kontroversi seputar pemekaran wilayah. Banyak mempertanyakan

urgensi gagasan manuver dari pemekaran tersebut dengan berbagai alasan yang mendasar seperti alasan ekonomi, politik, sosiologi, religius dan historis.

Kuatnya wacana Orde Baru, menjadi domain Pemerintah, lebih bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, perencanaan lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat (top down) daripada partisipasi dari bawah (bottom up). Proses pemekaran wilayah seringkali menjadi proses yang sangat tertutup dan menjadi arena kalangan pemerintah pusat.

Menyimak perkembangan politik nasional dan lokal saat ini, isu mengenai pemekaran wilayah nampaknya akan terus menjadi wacana politik yang tidak akan pudar. Hal itu karena berkaitan dengan konsen utama masyarakat lokal yang menyangkut berbagai tekanan politik seperti perasaan dan keinginan untuk mandiri. Alasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah konsen utama untuk mensejahterakan rakyat karena biasanya daerah yang ingin dimekarkan tertinggal jauh dari daerah lainnya. Akibatnya isu pemekaran wilayah selama ini menjadi lebih banyak merupakan jawaban atas persoalan perasaan ketidakadilan, perasaan tidak diperhatikan, ataupun perasaan-perasaan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Indonesia. Silang pendapat yang terus berkembang selama beberapa waktu sekitar isu pemekaran wilayah merupakan salah satu bentuk penegasan dari kesemrawutan kebijakan desentralisasi pasca-Soeharto.

Sejarah perjalanan panjang yang mewarnai terbentuknya kedua kota tersebut menjadi daerah otonom baru. Diawali dengan terbentuknya Kabupaten Buton menjadi kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swantara Tk. II di Sulawesi, Kabupaten Buton menjadikan Bau-Bau sebagai ibukota. Selanjutnya pada tahun 1981 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 diresmikan sebagai Kota Administratif (kotif) Bau-Bau. Dalam kurun waktu 34 tahun perjalanan sebagai kota administratif, berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi momentum bagi Kota Administratif (kotif) Bau-Bau menjadi daerah otonom baru terlepas dari Kabupaten Buton sebagai kabupaten induknya melalui Undang-undang Nomor 13 tahun 2001, tanggal 21 Juni 2001, resmi menjadi daerah otonom Kota Bau-Bau mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri.

Sejarah perkembangan Kota Tasikmalaya dilatarbelakangi dengan terbentuknya Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1913. Pada tahun 1976 diresmikan Kota Administratif (kotif) Tasikmalaya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1976. Kota Administratif (kotif) Tasikmalaya yang secara administratif berada dibawah pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya. Melalui proses panjang sebagai Kota Administratif (kotif) yakni selama 39 tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi momentum bagi Kota Administratif (kotif) Tasikmalaya resmi menjadi daerah otonom Kota Tasikmalaya yang mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001, tanggal 17 Oktober 2001.

Proses menjadi kota administratif kedua kota tersebut dalam kurun waktu 34 tahun bagi Kota Baubau dan 39 tahun bagi Kota Tasikmalaya, merupakan waktu yang sangat panjang. Hal ini karena pada era pemerintahan Orde Baru dengan dasar pelaksanaan pemerintahan yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, kebijakan pemekaran wilayah pada

masa pemerintahan Orde Baru, menjadi domain Pemerintah, lebih bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, perencanaan untuk pemekaran lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat (top down) daripada partisipasi dari bawah (bottom up). Proses pemekaran wilayah seringkali menjadi proses yang sangat tertutup dan menjadi arena kalangan pemerintah pusat.

Pemekaran wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dari induk kabupatennya masing-masing dilihat dari sisi rentang kendali (span of control) memberikan 2 pandangan yang berbeda, jika dilihat dari kondisi fisik kewilayahan Kota Baubau sangat layak untuk dimekarkan dari Kabupaten Buton, mengingat hanya terdapat 2 kabupaten daerah otonom yang memerintah di kawasan Sultra Kepulauan yaitu Kabupaten Buton dimana wilayahnya mencakup sebagian Pulau Muna dan sebagian Pulau Buton, Pulau Kabaena dan Kepulauan Wakatobi dan Kabupaten Muna wilayahnya mencakup sebagian Pulau Muna dan sebagian Pulau Buton. Sehingga pada pada periode sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 22 tahun 1999 rentang kendali Kabupaten Buton terhadap pulau- pulau lainnya sangat luas dan jauh. Sehingga proses pemekaran Kota Baubau dan beberapa kabupaten lainnya sangat layak dalam rangka untuk memperpendek dan lebih efektifnya pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan sosial kemasyarakatan. Sedang Kota Tasikmalaya dilihat dari sisi rentang kendali (span of control) dan dari kondisi fisik kewilayahan, tidaklah menjadi penting untuk dimekarkan dari kabupaten induknya, mengingat kawasan Priangan Timur khususnya Kabupaten Tasikmalaya adalah daerah dengan wilayah dataran yang rata, dimana akses terhadap daerah/wilayah lainnya cenderung mudah dijangkau dan terbuka.

Dari sisi ekonomi politik, apakah pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya semata-mata persoalan ekonomi dalam hal ini karena tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakat masih dibawah garis kemiskinan ketika masih menjadi kota administratif, atau karena persoalan politik karena dorongan untuk bagi-bagi kekuasaan, jabatan. Jika melihat kondisi fisik wilayah dan kondisi sosial ekonomi kedua kota tersebut, biasanya kondisi perekonomian masyarakat yang berada dipusat kota lebih baik dibandingkan daerah/wilayah lain diluar pusat kota. Demikian juga dengan keberagaman ekonomi dipusat kota lebih cenderung lebih beragam aktivitas ekonomi sehingga peluang untuk mendapatkan pekerjaan lebih mudan dan baik. Sehingga menurut saya pemekaran wilayah kedua kota tersebut lebih cenderung didorong persoalan politik, dalam hal ini dari aspek pemerintahan yang merasa selama menjadi kota administratif segala kewenangan pembiayaan pembangunan dan pengelolaan anggaran masih ditentukan oleh daerah induk. Disisi lain keinginan untuk berkuasa (bagi-bagi kekuasaan) oleh elit-elit di daerah menjadikan jargon peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat menjadi arena politik dalam proses pengusulan pemekaran wilayah kedua kota tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian pada 2 kota sehubungan dengan pemekaran

wilayah di Indonesia timbul pertanyaan “siapa yang di untungkan dan

menginginkan pemekaran, apakah masyarakat atau elit politik didaerah”. Pemekaran wilayah yang dilakukan dapat dikatakan sebagai bentuk aktualisasi dari pelaksanaan demokratisasi untuk merespon keberagaman di Indonesia, hal tersebut tentunya sangatlah tepat untuk dilaksanakan sepanjang tetap bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun realitas sosial yang terjadi

pemekaran wilayah lebih banyak menguntungkan sebagian elit daerah yang kemudian menjadi penguasa sebagai akibat dari adanya pemekaran wilayah tersebut. Sementara masyarakat lebih banyak yang dirugikan. Hal ini tidak hanya sekedar karena pemekaran wilayah tidak dapat meningkatkan kesejahteraan mereka namun, tidak jarang bahwa pemekaran wilayah justru menimbulkan konflik diantara masyarakat.

Untuk menghentikan pemekaran wilayah yang terjadi sekarang ini tentunya adalah suatu persoalan yang sulit apalagi menggabungkan daerah yang telah menjadi daerah otonom. Namun upaya itu hanya bisa dilakukan bila kerangka regulasi yang mengaturnya di ubah atau revisi. Hal ini membutuhkan sikap kerjasama yang baik antar berbagai elemen dan stakeholder yang terlibat didalamnya. Usulan pemekaran wilayah saat ini berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 2009 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dilaksanakan melalui 3 (tiga) pintu yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Pemerintah (Kemendagri). Dengan adanya 3 pintu pemekaran wilayah elite-elite didaerah mencari berbagai peluang untuk mencapai dan menggolkan tujuan politiknya. Pengamatan dilapangan, normatif usulan pemekaran selalu melalui pintu Kemendagri, yang diusulkan oleh kabupaten induk, lewat gubernur. Namun situasi tersebut akan berubah ketika proses usulan mengalami deadlock ketika melalui pintu Kemendagri. Elite-elite kemudian beralih pada jalur politik melalui wakil-wakil rakyat yang berada di pusat, pada kondisi inilah manajemen pemekaran tidak berjalan dengan baik. Karena disatu sisi ditegakkannya efektivitas manajemen pemekaran wilayah justru oleh sebagian elite memandang itu merupakan proses menghambat aspirasi yang berkembang didaerah. Sehingga ditempuh proses pemekaran melalui pintu/jalur politik yaitu DPR dan DPD, yang lebih banyak didominasi oleh kepentingan politik dan partai ketimbang pencapaian hakekat pemekaran wilayah.

Harapan terjadinya perubahan 3 pintu usulan pemekaran sebenarnya sudah dirancang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, dimana dalam rancangan tersebut bahwa pengusulan pembentukan daerah otonom baru melalui mekanisme DPR dan DPD, salah satu syaratnya mendapatkan rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri sebagai menteri yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri. Namun naskah rancangan undang-undang yang “berani” tersebut mengalami perubahan yang drastis ketika disahkan menjadi undang-undang. DPR dan DPD tetap diberi kewenangan dalam pembentukan daerah otonom baru sebagaimana diatur dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.

Proses pemekaran wilayah pada saat sekarang ini dalam kondisi “dilematis”

artinya untuk menghentikan pemekaran wilayah adalah sesuatu hal yang tidak mungkin karena masih ada kerangka regulasi yang mengatur dan memberikan peluang kepada setiap daerah untuk mengusulkan pemekaran. Pilihan

“moratorium” oleh Pemerintah bukanlah solusi yang tepat karena masih adanya

pintu-pintu lain pengusulan pemekaran, dan isu ini biasanya akan semakin menguat ketika proses pemilihan legislatif dan pemilihan presiden akan dilaksanakan, karena issu pemekaran kemudian menjadi komoditas politik yang dijual dimasyarakat dan didaerah-daerah.

Untuk itu kedepan dalam upaya menyelamatkan agar kebijakan pemekaran wilayah tetap dapat berjalan sehingga mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, diperlukan berbagai solusi perbaikan di dalam mekanisme pemekaran

wilayah diantaranya adalah: 1) Perlunya dilakukan penataan daerah dan persyaratan yang ketat dalam pembentukan daerah otonom baru sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 33 sampai pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. 2) Revisi terhadap undang-undang khususnya bagi lembaga yang berkompetensi dalam pembentukan daerah otonom baru terutama kewenangan ketiga lembaga tersebut yaitu DPR, DPD dan Kemendagri, dengan memberikan sepenuhnya kewenangan kepada Kemendagri karena pertimbangan pemerintah mempunyai sumberdaya keahlian personil yang memadai. DPR dan DPD menjadi lembaga yang mengawasi Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan implementasi pemekaran wilayah.

Hasil penelitian yang dilakukan pada 2 kota yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, dalam proses untuk menjadi daerah otonom telah melewati tahapan yang lama menjadi kota administratif. Proses menjadi kota administratif yang begitu panjang, disatu sisi disebabkan pada masa pemerintahan Orde Baru proses pemekaran wilayah sangat sulit, namun disisi lain proses yang begitu panjang tersebut merupakan kesempatan untuk berbenah dan mempersiapkan diri menjadi daerah otonom. Sehingga hasil penelitian dipandang dari sisi pemerintahan, proses Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menjadi daerah otonom baru dapat di jadikan model pemekaran wilayah di era reformasi. Artinya bahwa suatu kabupaten/kota yang akan menjadi daerah otonom baru sebaiknya melewati tahapan menjadi kota administratif untuk kota dan kabupaten persiapan/daerah persiapan untuk kabupaten.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 pasal 32 ayat (2) tentang pembentukan daerah disebutkan syarat bagi daerah yang diusulkan menjadi daerah otonom baru yang memenuhi persyaratan administrasi ditetapkan menjadi Daerah Persiapan yang secara administratif dipimpin oleh seorang kepala daerah persiapan yang diisi oleh pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri. Untuk itu konsep pemekaran wilayah kedepan perlu diterapkan kembali pembentukan kota administratif untuk kota dan kabupaten administratif untuk kabupaten yang akan menjadi daerah otonom baru, hal ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang memakai istilah Daerah Persiapan propinsi untuk tingkat propinsi dan Daerah Persiapan Kabupaten/Kota untuk tingkat kabupaten/kota sebagaimana pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.

Pemekaran wilayah yang dilaksanakan selama ini yaitu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 berserta seluruh peraturan dibawahnya yang menjadi pedoman pelaksanaan pemekaran wilayah tidak bisa dikatakan gagal karena pada kenyataan dilapangan justru dapat meningkatkan infrastruktur daerah dan membuka daerah-daerah terisolir, namun harus diakui bahwa terjadi kelemahan dan kekurangan didalam pelaksanaannya, untuk itu pemerintah seharus lebih intensif melakukan pengawasan ketika suatu daerah yang baru menjadi mekar, namun pada kenyataannya fungsi pengawasan tidak berjalan, sehingga daerah otonom yang baru dibentuk berjalan sendiri sesuai dengan kemauan dari pimpinan daerahnya. Gubernur sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat juga tidak efektif dalam melakukan pengawasan terhadap daerah otonom baru hal ini karena adanya berbagai kepentingan terutama kepentingan politik dan partai apalagi ketika yang berkuasa dari partai, maka ada kecenderungan untuk mengamankan

jabatan atau suara untuk pemilihan dan kepentingan partai ketimbangan untuk melaksanakan tugas pengawasan kepada daerah-daerah yang berada dalam wilayah kekuasaannya.

Oleh karena itu agar pelaksanaan pemekaran wilayah kedepan berjalan sesuai dengan hakekat pemekaran maka berikut ini disajikan bagan/skema proses pengusulan Daerah Otonom Baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan beberapa modifikasi sebagai berikut:

Gambar 39 Bagan/Skema Proses Pengusulan Pemekaran Wilayah di Indonesia

Implikasi Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil analisis tipologi klasen 12 kabupaten/kota dalam wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan Kota Baubau berada pada kalsifikasi wilayah berkembang cepat, artinya bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi dan

Tim Kajian Independen Jika memenuhi persyaratan dilanjutkan pengusulan dan sebaliknya

Hasil kajian Tim Kajian Independen Dikonsulta sikan Pemerintah Pusat (Kemendagri) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rekomendasi terhadap Usulan DOB Kelayakan Pembentukan Daerah Persiapan Feedback sebagai dasar kebijakan

Pemerintah Pusat dalam penetapan

Pemerintah Pusat menetapkan Daerah Persiapan

Pemerintah Pusat Membentuk

Memperhatikan syarat-syarat teknis yang menjadi persyaratan pengusulan Musyawarah desa/kecamatan/kab upaten cakupan wilayah yang akan

diusulkan Pembentukan panitia Daerah Persiapan Hasil musyawarah dibawah/diusulkan kepada : DPRD dan Bupati kabupaten Induk mendapatkan persetujuan Gubernur dengan mendapatkan persetujuan DPRD propinsi Gubernur melakukan penilaian kelayakan kab/kota untuk dimekarkan dengan berdasarkan syarat- syarat teknis dan

administrasi Jika memenuhi persyaratan dilanjutkan pengusulan dan sebaliknya Pengusulan lewat 1 pintu Pemerintah Pusat (Kemendagri) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pemerintah Pusat (Kemendagri) melakukan penilaian kelayakan usulan DOB Mengawasi Mengawasi

PDRB perkapita Kota Baubau cukup besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Muna dan Kabupaten Bombana, namun lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Wakatobi. Sedangkan hasil analisis tipologi klasen 27 kabupaten/kota dalam wilayah Propinsi Jawa barat menunjukkan Kota Tasikmalaya berada pada kalsifikasi wilayah berkembang cepat, artinya bahwa Kota Tasikmalaya rata-rata pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapitanya lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran.

Hasil analisis indeks diversitas entropi, menunjukkan bahwa kabupaten/kota Sultra Kepulauan dimana Kota Baubau nilai IDEnya lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana, artinya struktur perekonomian Kota Baubau lebih maju dan berkembang dibandingkan lima kabupaten hinterlandnya. Demikian halnya dengan kabupaten/kota Priangan Timur menunjukkan nilai IDE Kota Tasikmalaya lebih besar dibandingkan dengan dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Artinya bahwa struktur perekonomian Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang dibandingkan kabupaten hinterlandnya. Hasil analisis IDE Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menunjukkan bahwa lebih tinggi keragaman aktivitas/kegiatan ekonomi pada wilayah perkotaan.

Hasil analisis location quotient (LQ), menunjukkan LQ Kota Baubau lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana, artinya sektor-sektor perekonomian Kota Baubau khususnya sektor basis memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDRB dibandingkan kabupaten sekitarnya (hinterland). Sedangkan kabupaten/ kota Priangan Timur menunjukkan Kota Tasikmalaya nilai LQ lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Artinya sektor-sektor perekonomian Kota Tasikmalaya khususnya sektor basis memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDRB dibandingkan kabupaten/kota hinterlandnya.

Hasil analisis shift share, menunjukkan sektor-sektor perekonomian Kota Baubau mengalami pergeseran yang lambat, hal ini terjadi juga terhadap daerah sekitarnya yang mengalami pergeseran yang lambat. Demikian halnya Kota Tasikmalaya menunjukkan sektor-sektor perekonomian mengalami pergeseran yang lambat, hal ini terjadi juga terhadap daerah sekitarnya yang mengalami pergeseran yang lambat.

Hasil analisis skalogram menunjukkan Kota Baubau berada pada wilayah hirarki II, wilayah dengan hirarki I/tinggi untuk kawasan Sultra Kepulauan yaitu Kabupaten Buton Utara, hal ini karena faktor jumlah penduduk Kabupaten Buton Utara yang relatif sedikit dibandingkan Kota Baubau. Karena faktor jumlah penduduk sebagai pembagi dari ketersediaan fasilitas dan sarana prasarana memberikan dampak pada kedua wilayah tersebut, sekalipun kondisi dilapangan ketersediaan fasilitas sarana prasarana lebih lengkap di Kota Baubau dibandingkan kabupaten sekitarnya (hinterland). Sedang Kota Tasikmalaya untuk kawasan Priangan Timur berada pada wilayah hirarki I hal ini berarti ketersediaan fasilitas sarana prasarana lebih lengkap dibandingkan kabupaten/kota sekitarnya (hinterland).

Hasil analisis gravitasi menunjukkan bahwa Kota Baubau maupun Kota Tasikmalaya mempunyai interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang kuat

terhadap daerah sekitarnya, khususnya Kabupaten Buton artinya bahwa ada mobilitas penduduk dari daerah sekitarnya untuk masuk ke Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya.

Pekkala (2003) membuktikan bahwa terjadinya migrasi dari desa-kota disebabkan upah yang lebih tinggi dan prospek pekerjaan yang lebih baik di daerah perkotaan. Pendapatan dan pekerjaan memikat orang ke pusat pertumbuhan, hal ini karena utilitas yang dirasakan lebih besar di pusat-pusat pertumbuhan. Dari hasil analisis tipologi klasen, indeks diversitas entropi, location quotient (LQ), menunjukkan bahwa sektor-sektor PDRB Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya mempunyai keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif dibandingkan dengan daerah sekitarnya, sekalipun pada analisis shift share menunjukkan sektor-sektor PDRB mengalami pergeseran yang lambat namun hal tersebut juga terjadi dengan daerah sekitarnya. Dari hasil analisis skalogram dan analisis gravitasi menunjukkan bahwa Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan karena ketersediaan fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan daerah sekitarnya, sehingga menjadi daya tarik wilayah yang cukup besar. Dari hasil analisis persepsi masyarakat dengan distribusi frekuensi dan analisis hierarchy process menunjukkan bahwa masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya merasakan manfaat dari pemekaran wilayah dibandingkan ketika menjadi kota administratif.

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan alat analisis tipologi klasen, indeks diversitas entropi, location quotient (LQ), shift share, skalogram dan analisis gravitasi, temuan dari analisis tersebut mendukung dan memperkuat hipotesis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat pertumbuhan ekonomi bagi daerah sekitarnya. Sedangkan hasil analisis hierarchy process terhadap persepsi masyarakat pada dua kota tersebut mendukung dan memperkuat manfaat dari pemekaran wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dari kabupaten induknya masing-masing, artinya bahwa kedua kota itu mengalami perkembangan yang sangat pesat pasca pemekaran pada tahun