• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMEKARAN WILAYAH

KOTA SUKABUM

Kab. Pangandaran Kab. Ciamis

Kab. Garut Kota Banjar

Kab/Kota Priangan Timur Pusat Pertumbuhan (Kota Tasikmalaya) Kota Kabupaten Ibukota Kabupaten Interaksi wilayah Kab. Tasikmalaya Kota Tasikmalaya

Tabel 36 memperlihatkan dari hasil analisis gravitasi tahun 2009-2013 menunjukkan untuk wilayah Sultra Kepulauan rata-rata interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang kuat antara Kota Baubau dengan Kabupaten Buton sebesar 291,60 satuan gravitasi, dan Kota Baubau dengan Kabupaten Muna sebesar 113,48 satuan gravitasi. Besarnya indeks gravitasi tersebut karena Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna berbatasan serta mempunyai jarak yang dekat dengan Kota Baubau. Sedang dengan kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Bombana rata-rata interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau sangat lemah.

Sedang pada wilayah Priangan Timur rata-rata interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya yang kuat yaitu dengan Kabupaten Tasikmalaya sebesar 174,60 satuan gravitasi dan dengan walaupun interaksi ekonomi yang masih terjadi antara Kota Tasikmalaya dengan Kabupaten Ciamis sebesar 101,52 satuan gravitasi. Sebaliknya dengan daerah lainnya yaitu Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran rata-rata interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya sangat lemah. Demikian halnya dengan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah antar kabupaten/kota baik wilayah Sultra Kepulauan maupun wilayah Priangan Timur tidak memperlihat ada kabupaten atau kota sebagai alternatif lain yang memiliki interaksi ekonomi dan daya tarik yang besar/kuat.

Berdasarkan model gravitasi Gambar 29 dan Gambar 30 berikut ini disajikan perbandingan model gravitasi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan daerah sekitarnya (hinterland) terlihat pada Gambar 31.

Sumber : data diolah 2015,Peta Propinsi Sulawesi Tenggara dan Jawa Barat dari

www.google.com dan Bappeda Propinsi Jawa Barat 2013.

Gambar 31 Perbandingan Model Gravitasi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2009-2013.

Perkembangan ekonomi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah-daerah sekitarnya. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya karena didukung tersedianya berbagai fasilitas-fasilitas, sarana prasarana dan jasa layanan. Tersedianya fasilitas pendidikan yang lebih banyak di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya mulai dari tingkat menengah sampai perguruan tinggi. Adanya kecenderungan masyarakat untuk mencari kualitas pendidikan yang lebih baik dengan sarana dan prasarana yang lengkap disertai dengan teknologi yang lebih baik dari daerah-daerah sekitarnya menjadi daya tarik tersendiri. Tersedianya fasilitas kesehatan dengan teknologi yang lebih baik, tersedinya fasilitas hiburan dan rekreasi, fasilitas dan

Kota Baubau Kota Tasikmalay a Kab. Wakatobi Kab. Buton Utara Kab. Muna Kab. Bombana Kab. Buton Kab. Garut Kab. Ciamis Kab. Tasikmalaya Kab. Pangandaran Kota Banjar Kota Kendari Kota Bandung Kota Cirebon Pusat Pertumbuhan Hinterland Interaksi Ekonomi/ Daya Wilayah Pusat Pertumbuhan Hinterland Interaksi Ekonomi/ Daya Wilayah

layanan perdagangan seperti sentra-sentra atau pusat perbelanjaan, perkembangan industri manufaktur, tersedianya lapangan udara, berkembangnya lembaga- lembaga keuangan makro dan mikro, fasilitas tranportasi, kesempatan berusaha dan memperoleh pekerjaan, upah minum regional yang lebih besar dibandingkan daerah-daerah sekitarnya mendorong mobilitas dan pergerakan penduduk dan sumber-sumber ekonomi lainnya daerah-daerah sekitarnya (hinterland) ke Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya.

Analisis Pemekaran Wilayah: Persepsi Masyarakat Tentang Peraturan

Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah

Proses desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah tidak lain bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuka daerah terisolir dan mengurangi ketimpangan pembangunan antara wilayah serta memberikan dampak positif bagi pengembangan wilayah yaitu mempercepat perkembangan ekonomi kabupaten/ kota yang baru dibentuk. Pemekaran wilayah dapat dipandang sebagai salah satu bentuk pengembangan wilayah, diharapkan dapat memperkecil kesenjangan antar wilayah (regional disparity), serta dapat menyeimbangkan pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah (Muta’ali 2011).

Dalam perekonomian makro indikator pertumbuhan dan pembangunan maupun kesejahteraan suatu negara dan daerah selalu dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Bruto/Produk Domestik Regional Bruto (PDB/PDRB), PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia dan berbagai indikator lainnya. Semakin baik/tinggi pertumbuhan ekonomi, PDB/PDRB, PDRB perkapita dan Indeks Pembangunan Manusia berarti kinerja ekonomi dan kesejahteraan masyarakat semakin baik. Namun ternyata indikator dan angka- angka tersebut hanya merupakan representase dari pembangunan yang telah dilaksanakan, karena pada kenyataannya jika kita melihat kondisi dilapangan, ternyata bahwa angka-angka tersebut tidak sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakat.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan titik berat pada desentralisasi dan otonomi daerah merupakan jembatan untuk memperbaiki perekonomian suatu daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan desentralisasi dan otonomi daerah akan mengurangi ketimpangan pembangunan dan meningkatkan pemerataan pembangunan yang selama ini dirasakan sebagai salah satu penyebab kurang berkembangnya daerah- daerah yang berada di luar Pulau Jawa. Kondisi tersebut menjadi pemicu dan mendorong bertambahnya jumlah kabupaten/kota di Indonesia (lihat Tabel 1).

Penerapan undang-undang otonomi daerah tersebut disikapi oleh daerah dengan berbagai usulan pemekaran wilayah/daerah. Agar berbagai usulan pemekaran sesuai yang diharapkan maka Pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah sebagai dasar landasan hukum dan petunjuk operasional pemekaran wilayah. Peraturan pertama sebagai petunjuk operasional pemekaran wilayah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Peraturan ini diberlakukan sejak tahun 2001-2007. Daerah yang dimekarkan

berdasarkan peraturan ini sebanyak 125 kabupaten/kota. Namun sejak Nopember 2008 sampai sekarang pemekaran wilayah sudah berdasarkan pada Peraturan PemerintahNomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Jumlah kabupaten/kota yang dimekarkan berdasarkan peraturan ini sebanyak 44 daerah sampai dengan tahun 2013. Untuk mengevaluasi/mengkritisi faktor-faktor pembentukan daerah otonom baru (DOB)/pemekaran wilayah dan mengetahui persepsi masyarakat manfaat kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, berikut ini disajikan hasil analisis factor pembentuk DOB sebagai berikut:

1. Analisis Deskriptif dengan Distribusi Frekwensi

Hasil penelitian pada 2 (dua) kota hasil pemekaran yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan menggunakan responden yang berasal dari DPRD (legislatif), birokrasi (eksekutif terdiri dari walikota, wakil walikota, sekretaris daerah, dinas/badan/kantor), kecamatan (tokoh masyarakat), pengusaha lokal dan perguruan tinggi/akademisi) berjumlah 105 responden masing-masing terdiri dari Kota Baubau 51 responden dan Kota Tasikmalaya 54 responden. Namun dari 105 responden dan daftar pertanyaan/kuisioner yang diberikan terdapat beberapa responden yang tidak mengembalikan/tidak mengisi daftar pertanyaan/kuesioner tersebut, sehingga hasil tabulasi data responden yang tercatat adalah Kota Baubau sebanyak 40 responden dan Kota Tasikmalaya 46 responden. Dalam penelitian ini data diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuesioner yang terstruktur sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, hasil penelitian mencakup beberapa pertanyaan kunci dan pertanyaan- pertanyaan pendukung untuk menguatkan/menolak setiap jawaban atau pernyataan responden.

Hasil persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap

pertanyaan “Apakah ada perbedaan sebelum dan sesudah pemekaran dari aspek

pendapatan masyarakat” dengan 3 (tiga) pilihan. Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Baubau terhadap aspek pendapatan masyarakat menunjukkan

tidak ada responden yang memberikan jawaban “semakin miskin” (0,0%), 3 (tiga)

responden (3,5%) menjawab “tetap saja” dan 37 responden (43,0%) menjawab semakin meningkat/baik.

Tabel 37 Persepsi Responden terhadap Aspek Pendapatan Masyarakat

Kota

Semakin

Miskin Tetap Saja

Semakin

Meningkat Total

Frek (%) Frek (%) Frek (%) Frek (%)

Bau-Bau 0 0.0 3 3.5 37 43.0 40 46.5

Tasikmalaya 0 0.0 3 3.5 43 50.0 46 53.5

Total 0 0.0 6 7.0 80 93.0 86 100.0

Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Tasikmalaya terhadap aspek pendapatan masyarakat menunjukkan tidak ada responden yang memberikan

jawaban “semakin miskin” (0,0%), 3 (tiga) responden (3,5%) menjawab “tetap saja” dan 41 responden (47,7%) menjawab semakin meningkat/baik (Tabel 37).

Hasil persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap

pelayanan (kesehatan, pendidikan, pemerintahan)” dengan 3 (tiga) pilihan. Hasil penelitian persepsi masyarakat terhadap aspek pelayanan di Kota Baubau

menunjukkan tidak ada responden yang memberikan jawaban “semakin buruk” (0,0%), 5 (lima) responden (5,8%) menjawab “tetap saja” dan 35 responden (40,7%) menjawab “semakin baik”.

Tabel 38 Persepsi Responden terhadap Aspek Pelayanan

Kota

Semakin

Buruk Tetap Saja Semakin Baik Total Frek (%) Frek (%) Frek (%) Frek (%)

Bau-Bau 0 0.0 5 5.8 35 40.7 40 46.5

Tasikmalay

a 0 0.0 5 5.8 41 47.7 46 53.5

Total 0 0.0 10 11.6 76 88.4 86 100.0

Demikian halnya hasil penelitian terhadap persepsi masyarakat di Kota Tasikmalaya terhadap aspek pelayanan menunjukkan tidak ada responden yang

memberikan jawaban “semakin buruk” (0,0%), 5 (lima) responden (5,8%) menjawab “tetap saja” dan 41 responden (47,7%) menjawab “semakin baik”

(Tabel 38).

Hasil persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap

pertanyaan “Apakah ada perbedaan sebelum dan sesudah pemekaran, dari aspek infrastruktur (pendidikan, kesehatan, pemerintah, jalan dan jembatan)” dengan 3 (tiga) pilihan. Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Baubau terhadap aspek infrastruktur menunjukkan tidak ada responden yang memberikan jawaban

“semakin buruk” (0,0%), 2 (dua) responden (2,3%) menjawab “tetap saja” dan 38 responden (44,2%) menjawab “semakin baik”.

Tabel 39 Persepsi Responden terhadap Aspek Infrastruktur

Kota

Semakin

Buruk Tetap Saja Semakin Baik Total Frek (%) Frek (%) Frek (%) Frek (%)

Bau-Bau 0 0.0 2 2.3 38 44.2 40 46.5

Tasikmalay

a 0 0.0 2 2.3 44 51.2 46 53.5

Total 0 0.0 4 4.7 82 95.3 86 100.0

Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Tasikmalaya aspek infrastruktur menunjukkan tidak ada responden yang memberikan jawaban

“semakin buruk” (0,0%), 2 (dua) responden (2,3%) menjawab “tetap saja” dan 44 responden (51,2%) menjawab “semakin baik” (Tabel 39).

Hasil persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap

pertanyaan “Menurut Bapak/Ibu apakah dengan pemekaran wilayah, perkembangan kota lebih maju?” dengan 3 (tiga) pilihan. Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Baubau terhadap aspek perkembangan kota menunjukkan 39

responden (45,3%) menjawab “ya atau semakin maju” tidak ada responden yang

memberikan jawaban “tidak maju/berkembang” atau (0,0%), 1 (satu) responden (1,2%) menjawab “sama saja”.

Tabel 40 Persepsi Responden terhadap Aspek Perkembangan Kota

Kota

Ya Tidak Sama Saja Total

Fre

k (%) Frek (%) Frek (%) Frek (%)

Bau-Bau 39 45.3 0 0.0 1 1.2 40 46.5

Tasikmalay

a 45 52.3 0 0.0 1 1.2 46 53.5

Total 84 97.7 0 0.0 2 2.3 86 100.0

Sedang hasil penelitian persepsi pada masyarakat Kota Tasikmalaya terhadap aspek perkembangan kota menunjukkan 45 responden (52,3%)

menjawab “ya atau semakin maju” tidak ada responden yang memberikan jawaban “tidak maju/berkembang” atau (0,0%), 1 (satu) responden (1,2%) menjawab “sama saja” (Tabel 40).

2. Analisis Hierarchy Process (AHP)

Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya masing-masing dimekarkan dari Kabupaten Buton dan Kabupaten Tasikmalaya tahun 2001. Pemekaran kedua kota tersebut merupakan produk Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 sebagai penjabaran dan pelaksanaan dari pasal 8 yang berbunyi Tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan diktum tersebut selanjutnya terbitlah Peraturan PemerintahNomor 78 Tahun 2007. Untuk mengetahui sampai sejauhmana efektifitas pelaksanaan peraturan tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat (stakeholder) akan manfaat pemekaran dan mengevaluasi 11 (sebelas) faktor-faktor pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP).

a. Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Antar Elemen Faktor

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah menyebutkan bahwa dalam proses pembentukan daerah otonom baru terdapat 11 (sebelas) faktor dan 35 (tiga puluh lima) indikator sebagai penilaian syarat teknis dalam pembentukan daerah otonom baru. Ke 11 (sebelas) faktor tersebut di urutkan berdasarkan tingkat prioritas dalam pembentukan daerah otonom baru sebagai berikut: 1) Kependudukan, 2) Kemampuan ekonomi, 3) Potensi Daerah, 4) Kemampuan Keuangan, 5) Sosial Budaya, 6) Sosial Politik, 7) Luas Daerah, 8) Pertahanan, 9) Keamanan, 10) Tingkat Kesejahteraan Masyarakat, 11) Rentang Kendali. Berdasarkan urutan rangking tersebut dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy Process dilakukan analisis berdasarkan hasil persepsi masyarakat.

Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap perbandingan antar 11 (sebelas) elemen faktor dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dengan metode analysis hierarchy process dapat dilihat pada Gambar 32. Hasil analisis persepsi masyarakat Kota Baubau tentang perbandingan antar sebelas elemen faktor dalam pembentukan daerah otonom baru, menunjukkan prioritas pertama dari sebelas elemen faktor adalah

keamanan (KM) dengan score 0,18 diikuti faktor tingkat kesejahteraan (TK) score 0,126, rentang kendali (RK) score 0,117, pertahanan (PH) score 0,097, kemampuan keuangan (KK) score 0,077, kemampuan ekonomi score 0,076, potensi daerah (PD) score 0,074, luas daerah (LD) score 0,072, kependudukan (KP) score 0,062, sosial politik (SP) score 0,061, dan sosial budaya (SB) score 0,058 (Gambar 32).

Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2015

Gambar 32 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Perbandingan Prioritas antar Elemen Faktor dalam Penerapan Peraturan PemerintahNomor 78 tahun 2007

Keterangan:

KP : Kependudukan LD : Luas daerah KE : Kemampuan ekonomi PH : Pertahanan PD : Potensi daerah KM : Keamanan

KK : Kemampuan keuangan TK : Tingkat kesejahteraan SB : Sosial budaya RK : Rentang kendali SP : Sosial politik

Gambar 32 menunjukkan hasil analisis persepsi masyarakat Kota Tasikmalaya terhadap perbandingan antar 11 (sebelas) elemen faktor dalam pembentukan daerah otonom baru. Prioritas pertama dari 11 (sebelas) elemen faktor adalah tingkat kesejahteraan (TK) score 0,138, diikuti prioritas kedua faktor keamanan (KM) dengan score 0,120, kemampuan keuangan (KK) score 0,104, kemampuan ekonomi score 0,102, pertahanan (PH) score 0,092, rentang kendali (RK) score 0,088, potensi daerah (PD) score 0,088, sosial politik (SP) score 0,072, sosial budaya (SB) score 0,066, luas daerah (LD) score 0,065, dan kependudukan (KP) score 0,063.

Hasil persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan metode Analisis Hierarchy Process menunjukkan, terdapat perbedaan dalam menentukan prioritas dari 11 (sebelas) elemen faktor dalam pembentukan DOB. Pada Prioritas Pertama, masyarakat Kota Baubau menganggap bahwa faktor

“keamanan” (KM) menjadi prioritas dan sangat penting dalam proses pemekaran

wilayah. Hal ini karena masyarakat melihat proses pemekaran wilayah yang terjadi selama ini dimulai dari tahap proses pembentukan, pengusulan, penetapan ibukota sampai dengan proses pilkada sangat sering diwarnai dengan berbagai macam tindak kekerasan yang terjadi, sehingga sangat beralasan jika masyarakat

sangat menginginkan proses pemekaran maupun pasca pemekaran suatu daerah otonom baru dalam suasana dan situasi yang kondusif. Jika situasi dan kondisi yang aman, maka tujuan dan harapan dari pemekaran wilayah dapat berjalan dengan baik. Masyarakat Kota Tasikmalaya menganggap bahwa faktor

“keamanan” (KM) sebagai prioritas kedua. Hal ini tentunya beralasan bahwa

proses pemekaran yang terjadi selama ini di Jawa secara umum mengindikasikan situasi yang kondusif dibandingkan di luar Pulau Jawa.

Sebaliknya pada masyarakat Kota Tasikmalaya menganggap faktor “tingkat

kesejahteraan” sebagai prioritas pertama dari sebelas elemen faktor dalam

pembentukan daerah otonom baru. Argumen ini tentunya didasarkan pada kondisi pemekaran yang terjadi di Kota Tasikmalaya dan umumnya di pulau Jawa, proses pemekaran berjalan dalam suasana yang kondusif, sehingga oleh masyarakat berasumsi bahwa tingkat kesejahteraan menjadi tujuan yang utama dalam proses

pemekaran. Sebaliknya persepsi masyarakat Kota Baubau memandang “tingkat

kesejahteraan (TK) sebagai prioritas kedua. Persepsi ini didasarkan pada kondisi bahwa tingkat kesejahteraan akan terwujud sebagaimana dengan tujuan pemekaran wilayah yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pemekaran, jika situasi dalam keadaan kondusif.

Masyarakat Kota Baubau melihat bahwa “rentang kendali” (RK) sebagai

prioritas ketiga. Sedang masyarakat Kota Tasikmalaya berasumsi prioritas ketiga

adalah “kemampuan keuangan” (KK). Perbedaan persepsi masyarakat Kota

Baubau dan Kota Tasikmalaya didasari latar belakang kondisi wilayah. Persepsi

masyarakat Kota Baubau memandang “rentang kendali” sebagai prioritas ketiga dan tolok ukur pemekaran wilayah, karena dengan “rentang kendali” dapat

memperpendek jarak pelayanan kepada masyarakat dan akan mampu menjangkau masyarakat sampai pada daerah-daerah yang terpencil. Sedang persepsi

masyarakat Kota Tasikmalaya berasumsi bahwa “kemampuan keuangan” menjadi

tolok ukur untuk menjadi daerah otonom baru. Hal ini tentu beralasan karena dari sisi wilayah dan infrastruktur daerah-daerah di Pulau Jawa cenderung lebih bagus sehingga oleh masyarakat melihat bahwa untuk menjadi suatu daerah otonom baru perlu didukung oleh kemampuan keuangan suatu daerah untuk mendukung keberlanjutan daerah otonom dimaksud serta pencapaian tujuan dari pembentukan daerah otonom baru.

Dari 11 (sebelas) faktor-faktor pembentukan daerah otonom baru menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya jika dilihat dari urutan prioritas. Berdasarkan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menunjukkan ada perbedaan prioritas 11 (sebelas) faktor-faktor pembentukan daerah otonom baru dengan prioritas berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Perbandingan perbedaan prioritas 11 (sebelas) faktor-faktor pembentukan daerah otonom baru dapat dilihat pada Tabel 41.

Tabel 41 Perbandingan Prioritas 11 (sebelas) Faktor-Faktor Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya

Priori tas Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Priori tas Persepsi masyarakat Kota Baubau dengan AHP Priori tas Persepsi masyarakat Kota Tasikmalaya dengan AHP 1 Kependudukan (KP) 1 Keamanan (KM) 1 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat (TK) 2 Kemampuan ekonomi (KE) 2 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat (TK) 2 Keamanan (KM) 3 Potensi Daerah (PD) 3 Rentang Kendali (RK) 3 Kemampuan Keuangan (KK) 4 Kemampuan Keuangan (KK) 4 Pertahanan (PH) 4 Kemampuan ekonomi (KE)

5 Sosial Budaya (SB) 5 Kemampuan

Keuangan (KK)

5 Pertahanan (PH)

6 Sosial Politik (SP) 6 Kemampuan

ekonomi (KE)

6 Rentang Kendali

(RK)

7 Luas Daerah (LD) 7 Potensi Daerah (PD) 7 Potensi Daerah (PD)

8 Pertahanan (PH) 8 Luas Daerah (LD) 8 Sosial Politik (SP)

9 Keamanan (KM) 9 Kependudukan (KP) 9 Sosial Budaya (SB)

10 Tingkat

Kesejahteraan Masyarakat (TK)

10 Sosial Politik (SP) 10 Luas Daerah (LD)

11 Rentang Kendali

(RK)

11 Sosial Budaya (SB) 11 Kependudukan (KP)

Sumber: PP. No. 78 Tahun 2007 dan data primer diolah, 2015

Tabel 41 memperlihatkan perbedaan prioritas 11 (sebelas) faktor dalam pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dengan hasil analisis hirarki proses (AHP) Persepsi masyarakat Kota Baubau dan masyarakat Kota Tasikmalaya.

b. Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Aktor terhadap Faktor

Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang perbandingan aktor terhadap faktor dalam penerapan pelaksanaan Peraturan PemerintahNomor 78 Tahun 2007 dengan metode Analysis Hierarchy Process dapat dilihat pada (Gambar 33). Berdasarkan hasil penelitian persepsi masyarakat Kota Baubau tentang pengaruh aktor terhadap sebelas elemen faktor, menunjukkan dari lima aktor dalam proses pembentukan daerah otonom prioritas pertama aktor yang sangat berpengaruh terhadap elemen faktor adalah eksekutif (EK) dengan score 0,307 diikuti aktor legislatif (LG) score 0,221, tokoh masyarakat (TM) score 0,177, investor (INV) score 0,151 dan prioritas kelima perguruan tinggi (PT) score 0,145 (Gambar 33).

Gambar 33 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang Perbandingan Pengaruh Aktor terhadap Faktor.

Keterangan:

LG : Legislatif INV : Investor/pengusaha

EK : Eksekutif PT : Perguruan Tinggi/akademisi TM : Tokoh masyarakat

Gambar 33 memperlihatkan hasil analisis persepsi masyarakat Kota Tasikmalaya tentang pengaruh aktor terhadap sebelas elemen faktor, menunjukkan dari lima aktor sebagai stakeholder dalam proses pembentukan daerah otonom baru (DOB)/pemekaran wilayah, aktor yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor dan menjadi prioritas pertama adalah eksekutif (EK) dengan score 0,282 diikuti prioritas kedua legislatif (LG) score 0,229, prioritas ketiga investor (INV) score 0,167, prioritas keempat perguruan tinggi (PT) score 0,156 dan prioritas kelima tokoh masyarakat (TM) score 0,165.

Hasil penelitian dengan Analysis Hierarchy Process menunjukkan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dari kelima aktor sebagai stakeholder dalam pembentukan daerah otonom baru, aktor yang berpengaruh

terhadap sebelas faktor dan merupakan prioritas pertama adalah “eksekutif” (EK).

Persepsi ini didasarkan pada asumsi bahwa eksekutif (pemerintah) yang menjalankan roda pemerintahan, maka pemerintah yang bertanggung jawab terhadap maju mundurnya suatu daerah. Kelayakan suatu daerah untuk menjadi daerah otonom baru atau dimekarkan menjadi suatu daerah dengan sebelas elemen faktor-faktor pembentuk semuanya ditentukan dan dipengaruhi oleh eksekutif. Aktor kedua menurut persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai prioritas kedua yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor adalah legislatif (LG). Persepsi ini didasarkan pada asumsi bahwa legislatif sebagai mitra dan penyeimbang pemerintah berpengaruh dalam proses pembentukan daerah otonom baru, karena merekalah yang akan merekomendasikan usulan tersebut kepada pemerintah propinsi dan pusat, disatu sisi proses pemekaran juga merupakan proses politik sehingga keterlibatan dan peran legislatif sangat besar. Sedang pada prioritas ketiga terdapat perbedaan persepsi, dimana persepsi masyarakat Kota Baubau memandang prioritas ketiga adalah tokoh masyarakat (TM) yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor, sebaliknya masyarakat Kota Tasikmalaya memandang investor (INV) sebagai prioritas ketiga berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor. Perbedaan ini dilatarbelakangi kondisi masing-masing daerah, pada masyarakat Kota Baubau memandang peran

tokoh masyarakat sangat berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor sebaliknya pada masyarakat Kota Tasikmalaya memandang peran investor lebih besar atau berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor penilai pembentukan daerah otonom baru.

Demikian halnya dengan prioritas keempat, terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Persepsi masyarakat Kota Baubau memandang investor (INV) sebagai prioritas keempat yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor, sedang persepsi pada masyarakat Kota Tasikmalaya memandang tokoh masyarakat (TM). Sedangkan pada prioritas kelima, persepsi masyarakat Kota Baubau maupun Kota Tasikmalaya, memandang Perguruan Tinggi (PT) sebagai prioritas kelima yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor. Asumsi ini didasarkan bahwa perguruan tinggi sebagai lembaga yang fokus pada pengkajian ilmu pengetahuan dan menciptakan ilmuwan-ilmuwan muda lebih fokus pada upaya meningkatkan kualitas pendidikan mempunyai pengaruh yang lebih kecil terhadap sebelas elemen faktor pembentukan daerah otonom baru dibandingkan empat faktor lainnya.

Tabel 42 Perbandingan Perbedaan Prioritas Pengaruh Aktor terhadap Faktor Berdasarkan Analysis Hierarchy Process pada Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya

Priori tas

Persepsi Masyarakat Kota Baubau

Prior itas

Persepsi Masyarakat Kota Tasikmalaya

1 Eksekutif (EK) 1 Eksekutif (EK)

2 Legislatif (LG) 2 Legislatif (LG)

3 Tokoh Masyarakat (TM) 3 Investor/Pengusaha Lokal (INV)

4 Investor/Pengusaha Lokal (INV)

4 Perguruan Tinggi (PT) 5 Perguruan Tinggi (PT) 5 Tokoh Masyarakat (TM)

Sumber: data primer diolah, 2015

Tabel 42 memperlihatkan perbedaan prioritas pengaruh aktor terhadap faktor-faktor dalam pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan berdasarkan hasil analisis hirarki proses (AHP) Persepsi masyarakat Kota Baubau masyarakat Kota Tasikmalaya.

c. Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Tujuan terhadap Aktor

Hasil penelitian persepsi masyarakat (stakeholder) Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang perbandingan tujuan terhadap aktor dalam penerapan pelaksanaan Peraturan PemerintahNomor 78 Tahun 2007 dengan metode analysis hierarchy process dapat dilihat pada (Gambar 34). Hasil penelitian Persepsi masyarakat Kota Baubau tentang pengaruh tujuan terhadap aktor, menunjukkan dari empat tujuan yang ingin dicapai dalam pemekaran wilayah, tujuan yang berpengaruh terhadap aktor dan merupakan prioritas pertama adalah tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (KM) dengan score 0,4038 diikuti