• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ORIENTASI TEORITIK

A. Deskripsi Teoritik

1. Konstruksi Realitas Media

Realitas media adalah realitas yang dikonstruksi media, dalam dua model: Pertama, model peta analog dan kedua, model refleksi realitas.33 Model Peta Analog mengkonstruksi realitas sosial berdasarkan model analogi, sebagaimana realitas yang terjadi secara rasional.

Sebagai contoh, kejadian jatuhnya pesawat terbang Sukhoi Super Jet 100 di Gunung Salak yang terbang dalam rangka Joy Flight pada 9 Mei 2012. Menurut berita di televisi, bangkai pesawat yang hancur telah ditemukan warga dan aparat gabungan. Berita ini tersebar luas dan terkonstruksi sebagai realitas.

Sedangkan model Refleksi Realitas adalah yang merefleksikan suatu kehidupan yang terjadi, dengan merefleksikan kehidupan tersebut di dalam masyarakat. Contohnya adalah kisah features di media massa.

Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan Peter Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya “The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge” dan kemudian diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia di bawah judul “Taksir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan” (1990).

33

Bungin, H.M.Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik terhadap Peter L Berger & Thomas Luckmann. Jakarta: Kencana Prenada Media, hal. 201-203.

commit to user

Dalam buku tersebut menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dengan individu intens menciptakan realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Mereka telah berhasil menunjukkan bagaimana posisi teori Weber dan Durkheim dapat digabungkan menjadi satu teori yang komprehensif tentang tindakan sosial tanpa kehilangan logika intinya. 34

Menurut penyusun, isi media hakikatnya hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut.

Dalam pandangan Hall Halliday35, salah satu fungsi bahasa adalah untuk memelihara hubungan antar sesama manusia dengan menyediakan wahana lengkap terhadap status, sikap sosial dan individual, taksiran, penilaian dan sebagainya, yang berarti memasukkan partisipasi ke dalam interaksi bahasa.

Secara makro berdasarkan isi pesan, fungsi-fungsi bahasa dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Fungsi ideasional, untuk membentuk, mempertahankan, dan memperjelas hubungan di antara anggota masyarakat,

b. Fungsi interpersonal, untuk menyampaikan informasi di antara anggota masyarakat, dan

c. Fungsi tekstual, untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus (wacana) yang relevan dengan situasi.

Fungsi tekstual dikatakan berkaitan tugas bahasa untuk membentuk berbagai mata rantai kebahasaan dan mata rantai unsur situasi (features of situation) yang memungkinkan digunakannya bahasa oleh para pemakainya. Fungsi tekstual tampak pada struktur yang terkait tema, yaitu struktur tematik dan struktur informasi.

Fungsi tekstual bahasa, kata Halliday, adalah satuan dasar bahasa dalam penggunaan, bukan kata atau kalimat, melainkan teks. Sedangkan unsur tekstual

34

Sobur, Alex. 2009. Op Cit. hal. 91 35

commit to user

dalam bahasa adalah seperangkat pilihan, yang dengan cara itu memungkinkan pembicara atau penulis (termasuk Redaksi –penyusun) menciptakan teks-teks – untuk menggunakan bahasa dengan jalan yang relevan dengan konteksnya.

Klausa dalam fungsi-fungsi disorganisasi atau ditata sebagai amanat atau pesan, sehingga di samping struktur dalam transivitas dan modalitasnya, klausa itu juga memiliki struktur sebagai amanat yang dikenal sebagai struktur tematik. Dalam kaitan tersebut, akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar, untuk memengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya. Karena menceritakan pelbagai kejadian atau peristiwa itulah, maka tidak berlebihan bila dikatakan seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (construsted reality).36

Laporan-laporan jurnalistik di media, pada dasarnya tidak lebih dari hasil penyusunan realitas-realitas dalam bentuk sebuah cerita. Penyusun sepakat dengan yang dikatakan Tuchman37, berita pada dasarnya adalah realitas yang telah dikonstruksikan.

Menurut Yoce Aliah Darma, untuk melakukan konstruksi realitas, pelaku konstruksi memakai suatu strategi tertentu. Tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal, strategi konstruksi ini mencakup pilihan bahasa (mulai dari kata hingga paragraf), pilihan fakta yang dimasukkan/dikeluarkan dari wacana (yang populer disebut strategi framing) dan pilihan teknik menampilkan wacana di depan publik (disebut strategi priming).38

Selanjutnya, hasil dari proses ini adalah wacana (discourse) atau realitas yang dikonstruksikan berupa tulisan (text), ucapan (talk), tindakan (act), atau peninggalan (artifact). Oleh karena itu, wacana yang terbentuk telah dipengaruhi berbagai faktor. Akhirnya penyusun dapat mengatakan, kepastian di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.

Galtung dan Ruge (dalam McQuail)39 menjelaskan, faktor penting yang

36

Sobur, Alex. 2009. Op. Cit. hal. 17-18

37

Ibid. hal 88-89 38

Darma, Yoce Aliah. 2009. Op. Cit. hal. 8 39

commit to user

memengaruhi pemilihan kemasan informasi di media atau pemberitaan: faktor organisasi, faktor yang berkaitan dengan aliran, dan faktor sosial budaya.

Dalam pengamatan penyusun, faktor organisasi merupakan faktor yang paling universal dan mengandung konsekuensi kepentingan tertentu. Biasanya suatu media lebih menyukai peristiwa besar atau penting yang terjadi dalam skala waktu yang sesuai dengan jadwal produksi normal, serta menyukai pula peristiwa yang paling mudah diliput dan dilaporkan, mudah dikenal, dan dipandang relevan.

Oleh karena itu, informasi ataupun pesan yang ingin disampaikan suatu media massa atas berbagai peristiwa –termasuk yang melalui newsticker— tak bisa disamakan dengan fotokopi dari realitas. Namun penyusun sepakat, harus dipandang sebagai hasil konstruksi dari realitas.

Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda oleh beberapa media massa. Wartawan atau jurnalis bisa jadi mempunyai pandangan dan konsepsi berbeda, ketika melihat suatu peristiwa atau kejadian yang terwujud dalam teks berita.

Sementara itu Piliang mengatakan, televisi dianggap cermin bagi realitas sosial dengan berbagai kepentingan yang mempresentasikan dan mencitrakan kenyataan sosial yang dihadapi masyarakat. Ia berada dalam mekanisme kerja intelektual yang rumit, serius dan komprehensif dalam usahanya memberi pemaknaan atas kenyataan sosial yang ditemui sehari-hari. Saat sekarang, budaya media telah mengaburkan batasan antara kenyataan di lapangan dengan fiksi. Akibatnya hegemoni budaya media terus mempersubur realitas-realitas buatan, yang dibangun, seakan mirip dengan realitas-realitas sebenarnya. 40

Penyusun melihat kepercayaan masyarakat kepada televisi cukup tinggi, sehingga cenderung menjadi media dominan yang menggeser dominasi budaya tulis. Pola berulang dari pesan-pesan dan gambaran televisi yang menghadirkan nyaris seluruh aspek human interest, membuat jarak antara kenyataan dan fiksi

40

commit to user

semakin kabur. Terlebih dengan adanya tayangan yang merekayasa fakta demi tingginya rating, menjadikan masyarakat mempercayai pemaknaan kenyataan atas realitas-realitas buatan tersebut. Ini tentunya kemudian berdampak pada penyimpangan fungsi media massa, disadari atau tidak.

Menurut Bungin41 media massa yang berperan sebagai agent of change (institusi pelopor perubahan) menjadi paradigma utama media massa.

Dalam menjalankan paradigmanya, media massa berperan:

a. Sebagai institusi pencerahan masyarakat, dalam perannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya, dan menjadi masyarakat yang maju.

b. Selain itu media massa menjadi media informasi, yang setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi terbuka, jujur dan benar yang disampaikan media massa kepada masyarakat, masyarakat akan menjadi kaya dengan informasi dan terbuka dengan informasi.

Sebaliknya pula, masyarakat dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada media massa. Selain itu, informasi yang banyak dimiliki masyarakat menjadikannya sebagai masyarakat dunia yang dapat berpartisipasi dengan berbagai kemampuan.

c. Terakhir, media massa sebagai media hiburan. Sebagai agent of change, juga media massa menjadi institusi budaya yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change yang dimaksud, juga mendorong agar perkembangan budaya bermanfaat bagi manusia bermoral dan masyarakat yang sakinah. Dengan demikian, media massa berperan pula untuk mencegah berkembangnya budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya.

Paradigma inilah yang menurut penyusun harus dikembalikan para pengelola media massa, khususnya televisi, agar masyarakat mendapatkan informasi yang benar, faktual, tanpa bercampur dengan fiksi. Perubahan realitas yang dikonstruksikan secara apa adanya, akan membuat masyarakat memaknai informasi dengan benar. Dengan demikian fungsi mendidik maupun menghibur masyarakat, dapat dilakukan secara etis dan bermanfaat dalam membangun

41

commit to user

peradaban dan kebudayaan.

Dokumen terkait