• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS TEKS NEWSTICKER

A. Level Produsen

newsticker yang menjadi salah satu kebijakan redaksional tvOne?

3. Dalam dimensi praktik wacana, khususnya pada level konsumen, bagaimana newsticker tvOne tersebut dapat diminati dan menjadi panduan masyarakat daerah sekitar bencana?

4. Dalam level dimensi praktik sosiokultural, bagaimana pula pandangan Pengamat Televisi maupun Pemerhati Televisi & Budaya Massa dan Sosiolog atas konstruksi realitas media pada newsticker yang terjadi pada konteks dan di luar teks dalam kondisi sosial budaya tersebut?

D. Rumusan Masalah

Newsticker sebagai pengkonstruksi realitas sosial, telah dijadikan tvOne sebagai ujung tombak pemberitaan. Karena sifat newsticker yang aktual dan ter-update, sehingga sangat tepat dikedepankan dalam strateginya untuk menjadi televisi berita. Terlebih lagi dalam keadaan yang berstatus emergency ketika terjadi bencana alam, yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam mengantisipasi pesatnya perubahan realitas tersebut. Dengan demikian newsticker mempunyai peran yang strategis, karena berpengaruh pada masyarakat (terutama pada warga korban bencana dan pihak-pihak lain yang terkait –seperti pemerintah dan tim-tim penanggulangan bencana, maupun keluarga dan para simpatisan atau donator yang hendak membantu) dengan seluruh aspek yang memengaruhinya.

commit to user

Oleh karena itulah menarik untuk diteliti, “Bagaimana newsticker di

tvOne menggambarkan konstruksi berita bencana alam, khususnya bencana

Merapi Yogyakarta? Terutama dalam level teks, produsen maupun konsumen dan faktor-faktor sosial budaya yang memengaruhinya?”

E. Tujuan Penelitian

Sesuai penjelasan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini dapat ditulis sebagai berikut:

1. Untuk memahami isi newsticker tvOne dalam mewacanakan realitas bencana alam, khususnya bencana Merapi Yogyakarta.

2. Untuk memahami Redaksi tvOne melakukan konstruksi realitas media yang diwacanakan newsticker yang menjadi salah satu kebijakan redaksional tvOne di level produsen pada dimensi praktik wacana (discourse practice).

3. Untuk memahami pengonstruksian realitas media di level konsumen pada dimensi praktik wacana (discourse practice) dalam newsticker tvOne tersebut dapat diminati dan menjadi panduan masyarakat daerah bencana.

4. Untuk memahami pengonstruksian realitas media di level dimensi praktik sosial budaya (sociocultural practice) dalam memengaruhi keberadaan pada kondisi sosial budaya yang berhubungan dengan konteks di luar teks dan konteks wacana newsticker tersebut.

F. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, manfaat penelitian “konstruksi berita bencana alam dalam newsticker” ini yang diharapkan adalah:

commit to user

1. Dimensi Akademis

a. Memberikan pemahaman tentang newsticker sebagai salah satu bentuk pemberitaan yang merupakan hasil proses pembuatan wacana.

b. Memberikan pemahaman tentang proses pengelolaan newsticker sebagai pengonstruksian realitas media dalam efektifitasnya untuk memperkuat teori konstruksi realitas media.

2. Dimensi Praktis

a. Memberikan pemahaman tentang newsticker tentang pemberitaan bencana alam dapat menggambarkan realitas sosial yang terjadi.

b. Memahami cara pandang Redaksi tvOne dalam menggunakan newsticker sebagai salah satu bentuk media informasi yang dipengaruhi aspek kualitas berita dan perubahan realitas yang terjadi.

3. Dimensi Sosial

a. Memahami cara pandang pemirsa tvOne dalam proses penerimaan pesan (message reception) yang mampu menafsirkan realitas peristiwa dan kebenaran sebagaimana adanya, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai dengan perspektifnya.

b. Mengetahui pemberitaan bencana Merapi Yogyakarta di newsticker tvOne juga mempertimbangkan masukan pemirsa dan respon Redaksi atas masukan tersebut. ©

commit to user

14

BAB II

ORIENTASI TEORITIK

A. Deskripsi Teoritik

Dengan mengembangkan pemahaman mengenai keragaman teori-teori komunikasi, kita akan lebih dapat membuat perbedaan dalam interpretasi ilmu komunikasi, mendapat alat bantu untuk meningkatkan komunikasi dan memahami ilmu komunikasi dengan lebih baik.

Theodore Clevenger Jr.19 mencatat masalah yang selalu ada dalam mendefinisikan komunikasi untuk tujuan penelitian atau ilmiah berasal dari fakta, kata kerja ‘berkomunikasi’ memiliki posisi yang kuat dalam kosa kata umum dan karenanya tidak mudah didefinisikan untuk tujuan ilmiah.

Sebenarnya kata kerja ini merupakan salah satu istilah dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia yang terlalu sering digunakan. Para akademisi telah mencoba segala usaha untuk mendefinisikan komunikasi, tetapi menentukan sebuah definisi tunggal telah terbukti tak mungkin dilakukan dan tak akan berhasil.

Di lain sisi, masalah komunikasi sering digunakan dalam penelitian berbagai disiplin ilmu. Hal ini menunjukkan betapa fleksibelnya ilmu komunikasi, sehingga penyusun beranggapan ilmu komunikasi merupakan salah satu penghubung antar ilmu yang dapat dipergunakan secara ilmiah dalam berbagai penelitian.

Frank Dance20 mengambil langkah besar dalam mengklarifikasikan

19

Littlejohn, Stephen W dan Foss, Karen A. 2009. Op. Cit. hal.4 20

commit to user

konsep ini dengan menggarisbawahi sejumlah elemen yang digunakan untuk membedakan komunikasi, melalui tiga poin “perbedaan konseptual penting” yang membentuk dimensi-dimensi dasar komunikasi.

Dimensi pertama, tingkat pengamatan atau keringkasan, semisal: “Komunikasi sebagai sebuah sistem.” Kedua, tujuan, seperti: “Situasi pengiriman dan penerimaan pesan merupakan sebuah sumber yang mengirimkan pesan kepada penerima dengan tujuan tertentu untuk memengaruhi perilaku penerima.” Ketiga, penjelasan normatif, contohnya: “Komunikasi adalah penyampaian informasi” yang tak mempermasalahkan informasi tersebut diterima dan dipahami atau tidak.”

Hal ini makin menunjukkan bahwasanya ilmu komunikasi dalam dimensi-dimensi dasarnya dapat masuk dalam berbagai aspek penelitian dalam banyak disiplin ilmu maupun pada penelitian komunikasi itu sendiri. Alasan penyusun karena skema komunikator-pesan-komunikan sebagai dasar ilmu komunikasi yang menjelaskan tentang suatu hubungan, terdapat dalam tujuan sistem normatif pada banyak disiplin ilmu.

W. Barnett Pearce21 menggambarkan kemajuan penelitian komunikasi secara sistematis ini sebagai “penemuan revolusioner” yang sebagian disebabkan meningkatnya teknologi komunikasi (seperti radio, televisi, telepon, satelit dan jaringan komputer) sejalan dengan meningkatnya industrialisasi bisnis besar dan politik global, sehingga sangat jelas komunikasi telah mengambil posisi penting dalam kehidupan kita.

Postulat di atas menggambarkan penelitian komunikasi kini semakin penting dilakukan, guna mengantisipasi kecanggihan teknologi komunikasi yang menyangkut pada berbagai disiplin ilmu. Bahkan disadari atau tidak, penyusun sepakat perkembangan kemajuan teknologi telah ikut mengubah metode penyusunan beberapa ilmu ‘tradisional.’

Robyn Penman22 menggarisbawahi lima prinsip pendekatan tindakan praktis, yang menyatakan betapa berbedanya penyusunan teori tersebut dari ilmu

21Littlejohn, Stephen W dan Foss, Karen A. 2009. Op. Cit,. hal. 5-6 22

commit to user

pengetahuan tradisional.

1. Tindakan bersifat sukarela. Manusia sebagian besar memotivasi dirinya sendiri dan memperkirakan perilaku berdasarkan pada faktor-faktor eksternal adalah sesuatu yang tidak mungkin.

2. Pengetahuan dihasilkan secara sosial, yang berarti teori-teori komunikasi diciptakan oleh proses komunikasi atau interaksi –proses yang mereka susun sendiri untuk dijelaskan. Tidak ada hubungan satu persatu antara gagasan dalam sebuah teori dan kenyataan obyektif. Jadi hipotesis hakikat-penghargaan merupakan hasil ciptaan ahli teori, yang merupakan salah satu dari banyak cara untuk memahami perilaku, bukan cermin dari alasan “nyata” atau “benar” alasan orang melakukan sesuatu.

3. Semua teori berhubungan dengan sejarah. Mereka mencerminkan keadaan serta waktu ketika mereka diciptakan dan ketika waktu berubah, demikian juga dengan teori-teori.

4. Didefinisikan sebagai bagian paradigma teoritis tindakan-praktis adalah teori memengaruhi kenyataan yang mereka tutupi.

5. Teori-teori selalu dibebani nilai, tidak pernah netral dari teoritis yang menguntungkan ini.

Dalam penelitian yang penyusun lakukan ini, fokus utamanya adalah menganalisis konstruksi realitas media atas muatan tiap teks pemberitaan bencana alam di newsticker tvOne. Untuk itu, penyusun menggambarkan terlebih dahulu teori-teori seputar pesan dalam kajian ilmu komunikasi.

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan, ide atau gagasan dari satu pihak ke pihak lain, agar terjadi saling memengaruhi di antara keduanya. Model penyusunan pesan mengungkapkan, manusia berpikir dengan cara berbeda tentang komunikasi dan pesan, serta mereka menggunakan logika yang berbeda pula saat memutuskan yang akan dikatakan ke orang lain dalam sebuah situasi.

Barbara O’Keefe23 menggarisbawahi tiga logika penyusunan pesan (message-design logic) untuk menjelaskan proses pemikiran di balik pesan yang kita ciptakan, yakni:

a) logika ekspresif adalah komunikasi untuk mengungkapkan perasan dan pemikiran sendiri, sehingga pesan bersifat terbuka dan reaktif,

b) logika konvensional yang memandang komunikasi sebagai pengungkapan diri sesuai aturan dan norma yang diterima –termasuk hak dan kewajiban— setiap orang yang terlibat,

23

commit to user

c) logika retoris yang memandang komunikasi sebagai sebuah cara perubahan aturan melalui negosiasi, membuat pesan cenderung luwes, berwawasan dan terpusat pada seseorang.

O’Keffe memerhatikan, dalam situasi tertentu pesan-pesan terlihat cenderung sama, tetapi pada situasi lain mereka berbeda. Jika tujuan komunikasi cukup sederhana dan menghadapinya bukanlah sebuah masalah, setiap logika penyusunan akan menghasilkan bentuk pesan yang sama. Sebaliknya, jika banyak tujuan dan kompleks serta menghadapinya menjadi masalah, logika penyusunan yang berbeda akan menghasilkan bentuk pesan berbeda pula. Teori ini membahas tentang bagaimana pesan terbentuk, bukan bagaimana pesan diterima dan dipahami.24

Padahal, penelitian tentang bagaimana pesan diterima dan dampaknya kini semakin meningkat. Karena bagi sebagian peneliti, hal ini menjadi salah satu daya tarik penelitian. Begitu juga yang penyusun lakukan, selain ingin mengetahui bagaimana pesan dalam newsticker terbentuk dan dikelola, dampak penerimaan masyarakat juga sangat menarik diteliti mengingat posisi newsticker sebagai ujung tombak pemberitaan aktual yang ter-update dan perannya sebagai pedoman tindakan bagi masyarakat dan pihak terkait, terutama atas wacana bencana.

Peningkatan jumlah yang menyatakan dampak dari media berita di masyarakat, karena orang merasa media memiliki pengaruh. Riset ini diabdikan bagi pertanyaan tentang individu dan termasuk variabel yang meningkatkan, membatasi dan menghapuskan dampak penyusunan berita.

Namun atas pertanyaan, “apakah dampak penyusunan bergantung pada isu yang tidak bertujuan?” menjadi taruhan25. Studi-studi menunjukkan, suatu isu mempunyai arti penting dapat saja tak menimbulkan dampak dan sebaliknya, isu yang tidak penting dapat pula mempunyai dampak besar.

24

Littlejohn, Stephen W dan Foss, Karen A. 2009. Op. Cit. hal. 188-189 25

Lecheler, Sophie and Claes Vreese. June 2009. Issue Importance as a Moderator of Framming Effects. Communication Research Vol.36 No.3. Sage Publications, http://online.sagepub.com at University of Newscastle, pp. 400-425

commit to user

Dalam kondisi sekarang di era globalisasi, saat informasi melimpah ruah tanpa batas wilayah, menyebabkan adanya seleksi ketat pada proses internalisasi dalam diri komunikan. Sehingga dampak tak dapat diduga, meski menurut penyusun untuk isu yang berkaitan dengan human interest mempunyai dampak yang rata-rata dapat digolongkan besar.

Pendekatan penggabungan informasi (information integration) bagi pelaku komunikasi (komunikator), berpusat pada cara mengakumulasi dan mengatur informasi tentang semua orang, obyek, situasi, gagasan yang membentuk sikap atau kecenderungan bertindak, dengan cara positif atau negatif terhadap beberapa obyek. Informasi sebagai suatu kekuatan interaksi dan berpotensi untuk memengaruhi sistem kepercayaan dan sikap individu.26

Penggabungan informasi seperti ini, menurut penyusun juga terdapat dalam newsticker bencana. Karena informasi tersebut ditujukan terutama untuk warga terdampak, tim penangulangan bencana maupun pihak-pihak terkait lainnya, pemerintah dan masyarakat umum, termasuk keluarga dan kerabat korban bencana yang berada di lokasi berjauhan. Bahkan menurut hasil wawancara dengan responden, banyak warga terdampak yang kemudian menjadikannya sebagai panduan tindakan dalam mengantisipasi perubahan realitas yang terjadi.

Tedapat dua variabel yang berperan penting dalam memengaruhi perubahan sikap: a) arahan (valence), yang mengacu pada informasi yang mendukung atau tidak, dan b) bobot yang diberikan terhadap informasi sebagai kegunaan kredibilitas, jika benar bobotnya tinggi atau sebaliknya.

Informasi tersebut haruslah mempunyai dampak yang besar, sehingga dapat mengubah sikap pemirsa. Arahan untuk pemirsa yang mengacu pada informasi itu, haruslah dapat dimengerti agar terjadi perubahan sikap. Karenanya sangat penting pemahaman makna pada pesan yang terkandung dalam informasi

26

commit to user

tersebut. Dan yang tak kalah pentingnya, bobot kepercayan pemirsa atas informasi newsticker juga harus tinggi sehingga dapat bermanfaat.

Graeme Burton27 berpendapat, makna akan dimasukkan melalui sejumlah cara dalam beberapa tingkatan ke dalam sistem nilai dan realitas pemirsanya. Program-program tertentu –termasuk berita— dapat mengandung makna yang sama sekaligus berbeda.

Makna yang kita dapat dari sebuah naskah merupakan hasil dari pembicaraan antara makna kita saat ini dan semua yang ditanamkan dalam bahasa naskah tersebut Hans Georg Gadamer28 menyatakan, individu tidak

berdiri terpisah dari segala sesuatu dalam menganalisis dan menafsirkan, malah secara alami sebagai bagian dari kehidupan kita keseharian. Pengamatan, pemikiran dan pemahaman tidak selalu benar-benar obyektif, semuanya diwarnai pengalaman kita.

Sedangkan bagi Stanley Fish29, makna terletak dalam pembaca dengan merujuk teorinya: reader-response theory. Karena itu, pertanyaan yang tepat bukanlah “apa yang dimaksud dari sebuah naskah?” tetapi “apa yang dilakukan oleh sebuah naskah?” Fish jelas menekankan, pemaknaan bukanlah masalah individu.

Melalui pendekatan konstruksionis sosial ia mengajarkan, pembaca merupakan anggota komunitas interpretif –kelompok yang berinteraksi membentuk realitas dan pemaknaan umum serta menggunakannya dalam pembacaan. Jadi, pemaknaan terletak dalam komunitas interpretif pembaca.

27

Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi, sebuah Pengantar kepada Studi Televisi. Bandung: Jalasutra, hal. 365.

28

Littlejohn, Stephen W dan Foss, Karen A. 2009. Op. Cit. hal. 192-196 29

commit to user

Realitas yang dibentuk dalam komunitas interpretis hanya sebatas pada makna pembacaan, bukanlah realitas yang terjadi dalam proses komunikasi. Ibnu Hamad30 berpendapat, komunikasi sebagai proses konstruksi realitas adalah komunikasi yang di dalamnya berlangsung proses pengembangan wacana. Proses itu dimulai dengan adanya realitas pertama.

Komunikator, sebagai pelaku konstruksi realitas, berupaya menyusun realitas pertama ke dalam struktur cerita yang bermakna atau populer disebut wacana. Mengingat adanya berbagai faktor yang memengaruhi proses konstruksi realitas, baik yang disadarinya maupun tidak, akan memungkinkan struktur dan makna yang berbeda dari realitas pertama.

Justru karena sifat dasarnya ini, teori komunikasi sebagai wacana (communication as discourse) memiliki asumsi realitas dikonstruksikan bukan hanya menjadi realitas yang simbolik (symbolic reality) atau sekadar menjadi realitas kedua (second reality), tetapi membentuk realitas lain (the other reality) yang bisa berbeda sama sekali dengan realitas pertama.

Dalam sistem komunikasi libertarian, wacana yang terbentuk akan berbeda dalam sistem komunikasi yang otoritarian. Secara lebih khusus, dinamika internal dan eksternal mengenai diri pelaku konstruksi, tentu saja sangat memengaruhi proses konstruksi.31

Ini juga menunjukkan, pembentukan wacana tidak berada dalam ruang vakum. Pengaruh itu bisa datang dari pribadi penulis dalam bentuk kepentingan idealis, ideologis dan sebagainya, maupun dari kepentingan eksternal dari khalayak sasaran sebagai pasar, sponsor dan sebagainya.

Konsep-konsep dalam sebagian besar pendekatan praktis terhadap teori, cenderung disajikan sebagai sesuatu yang universal.32 Malahan terori-teori tersebut mengakui, orang-orang merespon dengan berbeda dalam situasi yang berbeda pula dan kata-kata serta tindakan yang digunakan untuk mengungkapkannya akan berubah seiring jalannya waktu.

Jadi konsep tidak bisa diukur secara operasional, tapi digunakan sebagai

30

Hamad, Ibnu. 2010. Komunikasi sebagai Wacana. Jakarta: La Tofi Enterprise, hal. 31 31

Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya, hal. 8 32

commit to user

kerangka pengatur untuk mengelompokkan penafsiran dan tindakan dinamis manusia dalam situasi yang sebenarnya.

Untuk itu, di bawah ini adalah penjelasan konsep-konsep yang dimuat dalam judul penelitian ini:

1. Konstruksi Realitas Media

Realitas media adalah realitas yang dikonstruksi media, dalam dua model: Pertama, model peta analog dan kedua, model refleksi realitas.33 Model Peta Analog mengkonstruksi realitas sosial berdasarkan model analogi, sebagaimana realitas yang terjadi secara rasional.

Sebagai contoh, kejadian jatuhnya pesawat terbang Sukhoi Super Jet 100 di Gunung Salak yang terbang dalam rangka Joy Flight pada 9 Mei 2012. Menurut berita di televisi, bangkai pesawat yang hancur telah ditemukan warga dan aparat gabungan. Berita ini tersebar luas dan terkonstruksi sebagai realitas.

Sedangkan model Refleksi Realitas adalah yang merefleksikan suatu kehidupan yang terjadi, dengan merefleksikan kehidupan tersebut di dalam masyarakat. Contohnya adalah kisah features di media massa.

Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan Peter Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya “The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge” dan kemudian diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia di bawah judul “Taksir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan” (1990).

33

Bungin, H.M.Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik terhadap Peter L Berger & Thomas Luckmann. Jakarta: Kencana Prenada Media, hal. 201-203.

commit to user

Dalam buku tersebut menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dengan individu intens menciptakan realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Mereka telah berhasil menunjukkan bagaimana posisi teori Weber dan Durkheim dapat digabungkan menjadi satu teori yang komprehensif tentang tindakan sosial tanpa kehilangan logika intinya. 34

Menurut penyusun, isi media hakikatnya hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut.

Dalam pandangan Hall Halliday35, salah satu fungsi bahasa adalah untuk memelihara hubungan antar sesama manusia dengan menyediakan wahana lengkap terhadap status, sikap sosial dan individual, taksiran, penilaian dan sebagainya, yang berarti memasukkan partisipasi ke dalam interaksi bahasa.

Secara makro berdasarkan isi pesan, fungsi-fungsi bahasa dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Fungsi ideasional, untuk membentuk, mempertahankan, dan memperjelas hubungan di antara anggota masyarakat,

b. Fungsi interpersonal, untuk menyampaikan informasi di antara anggota masyarakat, dan

c. Fungsi tekstual, untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus (wacana) yang relevan dengan situasi.

Fungsi tekstual dikatakan berkaitan tugas bahasa untuk membentuk berbagai mata rantai kebahasaan dan mata rantai unsur situasi (features of situation) yang memungkinkan digunakannya bahasa oleh para pemakainya. Fungsi tekstual tampak pada struktur yang terkait tema, yaitu struktur tematik dan struktur informasi.

Fungsi tekstual bahasa, kata Halliday, adalah satuan dasar bahasa dalam penggunaan, bukan kata atau kalimat, melainkan teks. Sedangkan unsur tekstual

34

Sobur, Alex. 2009. Op Cit. hal. 91 35

commit to user

dalam bahasa adalah seperangkat pilihan, yang dengan cara itu memungkinkan pembicara atau penulis (termasuk Redaksi –penyusun) menciptakan teks-teks – untuk menggunakan bahasa dengan jalan yang relevan dengan konteksnya.

Klausa dalam fungsi-fungsi disorganisasi atau ditata sebagai amanat atau pesan, sehingga di samping struktur dalam transivitas dan modalitasnya, klausa itu juga memiliki struktur sebagai amanat yang dikenal sebagai struktur tematik. Dalam kaitan tersebut, akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar, untuk memengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya. Karena menceritakan pelbagai kejadian atau peristiwa itulah, maka tidak berlebihan bila dikatakan seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (construsted reality).36

Laporan-laporan jurnalistik di media, pada dasarnya tidak lebih dari hasil penyusunan realitas-realitas dalam bentuk sebuah cerita. Penyusun sepakat dengan yang dikatakan Tuchman37, berita pada dasarnya adalah realitas yang telah dikonstruksikan.

Menurut Yoce Aliah Darma, untuk melakukan konstruksi realitas, pelaku konstruksi memakai suatu strategi tertentu. Tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal, strategi konstruksi ini mencakup pilihan bahasa (mulai dari kata hingga paragraf), pilihan fakta yang dimasukkan/dikeluarkan dari wacana (yang populer disebut strategi framing) dan pilihan teknik menampilkan wacana di depan publik (disebut strategi priming).38

Selanjutnya, hasil dari proses ini adalah wacana (discourse) atau realitas yang dikonstruksikan berupa tulisan (text), ucapan (talk), tindakan (act), atau peninggalan (artifact). Oleh karena itu, wacana yang terbentuk telah dipengaruhi berbagai faktor. Akhirnya penyusun dapat mengatakan, kepastian di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.

Galtung dan Ruge (dalam McQuail)39 menjelaskan, faktor penting yang

36

Sobur, Alex. 2009. Op. Cit. hal. 17-18

37

Ibid. hal 88-89 38

Darma, Yoce Aliah. 2009. Op. Cit. hal. 8 39

commit to user

memengaruhi pemilihan kemasan informasi di media atau pemberitaan: faktor organisasi, faktor yang berkaitan dengan aliran, dan faktor sosial budaya.

Dalam pengamatan penyusun, faktor organisasi merupakan faktor yang paling universal dan mengandung konsekuensi kepentingan tertentu. Biasanya suatu media lebih menyukai peristiwa besar atau penting yang terjadi dalam skala waktu yang sesuai dengan jadwal produksi normal, serta menyukai pula peristiwa yang paling mudah diliput dan dilaporkan, mudah dikenal, dan dipandang relevan.

Oleh karena itu, informasi ataupun pesan yang ingin disampaikan suatu media massa atas berbagai peristiwa –termasuk yang melalui newsticker— tak bisa disamakan dengan fotokopi dari realitas. Namun penyusun sepakat, harus dipandang sebagai hasil konstruksi dari realitas.

Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda oleh beberapa media massa. Wartawan atau jurnalis bisa jadi mempunyai pandangan dan konsepsi berbeda, ketika melihat suatu peristiwa atau kejadian yang terwujud dalam teks berita.

Sementara itu Piliang mengatakan, televisi dianggap cermin bagi realitas

Dokumen terkait