• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di dalam puisi Jawa yang berbentuk tembang macapat memiliki aturan-aturan tertentu sesuai dengan jenis tembangnya. Aturan tersebut meliputi:

commit to user

(1) Guru Lagu: adalah bunyi vokal pada setiap akhir baris (larik) yang selanjutnya disebut juga dengan istilah dong ding.

(2) Guru wilangan: adalah jumlah suku kata (wanda) dalam setiap baris.

(3) Guru Gatra: adalah jumlah baris dalam setiap bait tembang tertentu.

Istilah lain yang dipakai dalam tembang macapat adalah pupuh dan pada.

Pada sama dengan istilah bait dalam puisi. Satu pada dalam tembang macapat sama dengan satu bait dalam puisi (dalam satu jenis tembang macapat tertentu biasa terdiri dari beberapa pada). Pupuh adalah sekumpulan bait-bait dalam satu jenis tembang tertentu.

Sekar/tembang Macapat menurut Sutjipto Adi (1991: 89) dibedakan menjadi 11 jenis yang kesemuanya terikat dengan guru gatra, guru wilangan dan guru lagu atau dhong-dhing. Berikut disajikan tabel nama dan tembang Macapat beserta aturan-aturannya.

commit to user

SRPW terdiri dari sembilan judul serat, masing-masing memiliki jumlah pupuh yang berbeda. Jumlah pupuh dan pada dalam SRPW dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 2

Jumlah pupuh dan pada pada serat-serat dalam SRPW

No Nama Judul Serat Pupuh

2. 1.2.1.3. Sekilas Mengenai Serat Rerepen Sarta Pralambang Warni-Warni Serat Rerepen Sarta Pralambang Warni-Warni atau SRPW merupakan kumpulan puisi tradisional Jawa yang berbentuk tembang macapat dan berkategori percintaan. SRPW dikarang oleh Mangkunegara IV yang merupakan pujangga sekaligus raja di Legiun Mangkunegaran Surakarta Hadiningrat.

Periode penulisan karya sastra Mangkunegara IV dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan, dapat dibagi sebagai berikut :

commit to user

(1) Pada tahun 1842-1856, karya-karyanya lebih bersifat deskripsi, yaitu penuh dengan gambaran dan kesan-kesan yang diperolehnya dari daerah-daerah selama ia menjadi patih dan pada saat ia masih menjadi K.P.A.P Prangwadana IV. Adapun karya-karya tersebut antara lain: Serat Tegalganda, Serat Ngadani Pabrik Tasik Madu, Serat Ngadani Bendungan Tirto Swara. SRPW termasuk serat yang ditulis dalam periode ini. SRPW ditulis pada tahun Je, angka 1782 (1853 M), (kolofon terdapat di dalam serat Rerepen, pupuh Pangkur, pada/bait ke 21).

Penulisan SRPW ini tepatnya setelah K.P.A.P Prangwadana IV memperoleh gelar/diangkat sebagai Mangkunegara IV.

(2) Pada periode 1871-1881, banyak diperkenalkan karya ciptanya yang berupa tembang-tembang untuk dinyanyikan pada waktu ada tamu agung, selain itu juga memuat catatan-catatan peristiwa bersejarah yang terjadi di masa pemerintahannya, yang dianggap perlu diinformasikan kepada generasi kemudian.

(3) Pada periode 1857 – 1871. karya sastranya terlihat berbeda dari karya-karya sebelumnya. Pada periode ini karya-karya sastranya banyak yang mengandung piwulang atau ajaran. Di dalam karya sastra itu banyak terdapat nasehat tentang akhlak, sopan santun, etika, tata hubungan antara raja dengan rakyatnya, prajurit, kaum muda dan sebagainya (Soetomo, 2006: 110).

Mangkunegara IV di samping banyak mengarang karya sastra yang berisi piwulang, juga menulis tentang puisi-puisi tradisional Jawa yang beraliran

commit to user

romantisme seperti halnya dalam SRPW tersebut. Kumpulan puisi ini terdapat dalam satu naskah buku yang berjudul Serat-Serat Anggitan Dalem KGPAA Mangkunegara IV. Satu bendel naskah Serat-Serat Anggitan Dalem KGPAA Mangkunegara IV ini disusun oleh Dr. Th. Pigeud dan diterbitkan oleh Java Instituut Surakarta pada tahun 1934. Kemudian dicetak kembali oleh Noordhoff-Kolff di Jakarta pada tahun 1953. Pengelompokan seluruh naskah karya Mangkunegara IV tersebut atas perintah dari K.G.P.A.A. Mangkunegara VII, dan dalam rangka untuk memperingati 15 windu (perhitungan 120 tahun Jawa) semenjak mangkatnya Mangkunegara IV (Karkono. 1992 : ix). Dalam SRPW ini terdapat sembilan judul serat, yaitu: Serat Manuhara, Serat Pralambang Rara Kenya, Serat Pralambang Kenya Candhala, Serat Jaka Lala, Serat Prayangkara, Serat Prayasmara, Serat Rerepen, Serat Dhalang Kinanthi Gendhing, dan Serat Namaning Ringgit Semarang.

Serat Rerepen Sarta Pralambang Warni-Warni ini merupakan puisi berbentuk tembang macapat yang sampai saat ini masih banyak dinyanyikan atau diketahui oleh orang Jawa atau Seniman sebagai sarana hiburan. Selain berisi tentang ungkapan-ungkapan percintaan juga mengandung wangasalan (teka-teki) yang menarik untuk ditebak atau dipecahkan. Serat-serat dalam SRPW sering dinyanyikan juga dalam pagelaran wayang kulit pada masa pemerintahan Mangkunegara IV sebagai hiburan selingan.

Secara umum SRPW berisi tentang ungkapan-ungkapan yang mengarah pada harmonisasi hubungan antara manusia, khususnya hubungan antara pria dan wanita, yang mengarah pada persatuan rasa cinta. Hubungan antara manusia,

sifat-commit to user

sifat manusia, pengalaman batin atau kehidupan disekelilingnya banyak yang digambarkan oleh pengarang dengan sebuah perlambangan atau pencitraan, misalnya dilambangkan dengan benda-benda alam. Penggambaran sifat, tingkah laku dan bagian tubuh manusia yang diidentikkan dengan sifat-sifat alam merupakan gambaran bahwa manusia akan selalu berhubungan dengan alam.

Penggambaran sifat tersebut ada kaitannya dengan manusia sebagai homo creator (sebagai makhluk yang beride dan berkreasi).

Pencitraan dan perlambangan di dalam pemakaian bahasa memang merupakan suatu hal yang intens digunakan oleh Mangkunegara IV di dalam karyanya, di samping merupakan ciri tersendiri dari pribadi orang Jawa yang suka mengutarakan sesuatu dengan tidak secara langsung/implisit yaitu dengan suatu perumpamaan atau pengkiasan. Bahasa Jawa yang penuh dengan kembang, lambang dan sinamuning samudana atau tersembunyi dalam kiasan memang perlu dikupas dan diartikan dengan perasaan yang dalam serta tanggap ing sasmita atau dapat menangkap maksud atau maknanya, untuk dapat menangkap isi dari karya sastra tersebut.

Sejauh ini peneliti belum menemukan data/informasi secara jelas dan tepat perihal ditujukan kepada siapakah secara khusus serat ini dibuat, karena sosok wanita yang sering dipuji, disebut, dan diharapkan cintanya oleh sang pujangga tidak disebutkan namanya secara jelas dan eksplisit. Ada sebagian yang beranggapan bahwa serat ini jelas ditujukan kepada wanita, yang pada akhirnya dipersunting beliau sebagai istri pertama, karena SRPW ini ditulis pada tahun Je, 1782 atau 1853 tahun Masehi, yaitu bertepatan dengan pernikahan beliau dengan

commit to user

salah seorang putri dari Mangkunegara III. Pada tahun tersebut beliau juga dilantik dan dikukuhkan sebagai Mangkunegara IV. Akan tetapi, terlepas dengan permasalahan di atas, secara umum karya ini dimaksudkan sebagai sarana hiburan dan pengetahuan bagi rakyatnya, khususnya kaum muda mengenai liku-liku percintaan dan harmonisasi hubungan cinta kasih antar sesama. Di dalam serat tersebut juga disuguhkan teka-teki sebagai selingan diantara ungkapan-ungkapan percintaan, dengan pengetahuan kawruh basa Jawa yang luas dan beragam. Sang pujangga memandang bahwa bersyair dengan kata-kata yang indah serta diselingi dengan teka-teki atau di dalam budaya Jawa disebut dengan wangsalan, merupakan salah satu sarana hiburan yang positif bagi rakyat, khusunya kaum muda pada masa itu, selain juga menjadi sarana dalam memperkenalkan kawruh basa/kasusastran Jawa yang begitu luas dan beragam. Pujangga juga tidak jarang menyelipkan pesan-pesan moral kehidupan, sekaligus pesan bagi kaum muda untuk senantiasa mau melestarikan budaya Jawa yang berupa seni, bahasa dan kesusastraan, sehingga SRPW diharapkan dapat menjadi sarana strategis pujangga dalam mengemban tujuan tersebut. Demikian kiranya gambaran yang menjadi isi atau maksud utama penyair dalam SRPW.

2. 1.2.2. Bahasa di dalam Puisi

Bahasa puisi memiliki perbedaan yang jelas dengan bahasa sehari-hari.

Bahasa dalam puisi adalah bahasa yang mempunyai sifat, struktur, dan konvensi-konvensi sendiri. Oleh karena itu, untuk memahami sebuah puisi perlu mempertimbangkan dan mempelajari konvensi-konvensi dari puisi tersebut.

commit to user

Dalam komunikasi lisan penutur lazimnya mengutamakan kejelasan isi tuturan, sedangkan dalam komunikasi sastra isi tuturan justru disampaikan secara terselubung (Pradopo, 1993: vi). Masalah perbedaan bahasa dalam karya sastra dan nonsastra sebenarnya terletak pada ciri-ciri bahasa sastra atau bahasa puisi yang tidak selamanya ajeg (consistent). Artinya, ada bahasa dalam teks nonsastra yang bercirikan bahasa puisi dan sebaliknya ada bahasa puisi yang bercirikan bahasa nonsastra. Bahkan ciri-ciri bahasa puisi dengan karya sastra lainnya, seperti prosa dan drama, saling tumpang tindih (overlapping) (Soediro Satoto, 1995: 92-93).

Perbandingan antara bahasa puisi dan bahasa nonsastra dapat dijelaskan yaitu bahasa non sastra/keilmuan, biasanya lebih mudah dibedakan dengan bahasa sastra secara umum, tetapi bahasa sastra, terutama puisi lebih sukar dibedakan dengan bahasa sehari-hari. Bahasa keilmuan adalah bahasa murni denotatif (bahasa sehari-hari tidak selalu demikian). Bahasa denotatif bertujuan untuk korespondensi antara signifient (penanda) dan signifie (petanda). Penanda adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, sedangkan petanda adalah aspek makna atau konseptual. Idealnya bahasa keilmuan adalah bahasa universal semacam characteristic universal. Ini berbeda dengan bahasa puisi yang merupakan bahasa bersejarah (historical language); penuh homonim, penuh bahasa figuratif atau bersifat konotatif Lebih lanjut Soediro Satoto (1995: 95) menjelaskan bahwa puisi tidak hanya berfungsi menerangkan tetapi juga berfungsi sebagai pernyataan perasaan, menyampaikan nada dan sikap si pembicara atau penulis dan bersifat membujuk (Soediro Satoto, 1995: 95).

commit to user

Usaha yang dilakukan untuk mendapatkan efek puitis dengan ekspresi maupun impresi bahasa dalam puisi, sering terdapat penyimpangan dari sistem norma bahasa yang umum. Dalam puisi menggunakan bahasa yang artifisial.

Penggunaan bahasa dalam puisi memang tidak sepenuhnya harus mengikuti kaidah tatabahasa. Hal ini ada suatu kewenangan seorang pengarang yang disebut licentia poetica, yaitu kebebasan pengarang untuk mengekspresikan bahasa. Dasar pemahamannya adalah memberikan hak/kebebasan bagi penyair untuk tidak mentaati aturan-aturan tertentu dalam memanfaatkan bahasa. Dengan kalimat lain untuk menyampaikan pesan, apabila dipandang perlu pengarang diperkenankan untuk mengabaikan norma-norma kebahasaan (Kutha Ratna, 2009: 211).

Adanya penyimpangan/licentia poetika dalam karya sastra memungkinkan adanya berbagai variasi kebahasaan dalam karya sastra tersebut. Oleh karena itu seorang pengarang akan berusaha untuk menungkan kreatifitas, ide-idenya dalam sebuah bahasa yang tidak monoton/bahasa yang bervariasi. Variasi tersebut juga tampak dalam aspek makna yang dimunculkan dari pemakaian bahasa yang digunakan, atau yang dikenal dengan gaya bahasa.

Seiring perkembangan karya sastra, bahasa di dalam puisi juga banyak mengalami perkembangan. Banyak puisi kontemporer yang terdapat kecenderungan adanya pemakaian bahasa sehari-hari/bahasa percakapan (seperti halnya puisi liris). Akan tetapi pemakaian bahasa dalam ragam fiksi tersebut tetap memiliki kecenderungan yang berbeda dengan bahasa percakapan sehari-hari.

Seperti yang pernah diungkap oleh Elena Semino „A number of studies in stylistics shown that fictional conversations differ in significant ways from real-life

commit to user

conversations‟ (Semino, 2002: 28). Namun penggunaan bahasa yang demikian tetap sah dan tidak menyimpang/melanggar norma dari kaidah puisi itu sendiri, atau mengurangi kepuitisan, justru dianggap sebagai sebuah trend kontemporer penyair.

2. 1.3. Pemanfaatan Bahasa Puitis sebagai Sarana Estetika Puisi

Pengarang dalam mengerahkan segala potensi bahasa selain untuk membangkitkan imaji pembaca agar mengetahui makna yang terkandung, juga bermaksud untuk memberikan efek estetis di dalam karyanya. Bahasa puisi merupakan bahasa konotatif, bahasa yang dipadatkan dan prismatis, artinya bahasa puisi dapat mewakili berbagai penafsiran. Bagi pengarang salah satu sarana dalam mewujudkannya adalah melalui penggunaan bahasa puitis.

Selanjutnya pemanfaatan bahasa puitis yang dimanfaatkan oleh pengarang dapat diwujudkan dalam: permainan/pemanfaatan unsur-unsur bunyi, diksi, pemanfaatan bentuk-bentuk kata, struktur kalimat yang khas, sampai pada pencitraan dan pemilihan bahasa figuratif. Berikut ini diuraikan sekilas tentang aspek–aspek pemanfaatan bahasa yang dipotensikan pengarang sebagai sarana pembangun estetika di dalam karya sastranya (dalam hal ini puisi).

2. 1.3.1. Pemanfaatan Unsur-Unsur Bunyi

Unsur bunyi/unsur musikalis dapat dikatakan merupakan aspek fonologis yang ada di dalam puisi. Dalam kaitannya dengan bahasa, yang dimaksud bunyi di sini adalah bunyi-bunyi yang diproduksi secara fonemis. Jadi, fonem inilah yang merupakan unsur terkecil dalam puisi. Unsur-unsur fonik ini terpancar dalam

commit to user

bentuk asonansi, aliterasi, rima, onomatopea, rentak dan sebagainya (John Spencer dalam Farid M. Onn, ed , 1982: 68).

Di dalam bahasa Jawa ada satuan-satuan lingual, khusunya kata yang bentuk foniknya dimanfaatkan secara khas oleh para pemakaianya untuk mencerminkan aspek-aspek kenyataan tertentu (Sudaryanto, 1989: 113). Dalam kaitannya dengan pemanfaatan unsur bunyi yang ada di dalam puisi, pengarang sering memanfaatkan ciri-ciri/bentuk-bentuk ikonik tersebut untuk menggambarkan suasana tertentu di dalam bait-bait puisinya. Oleh karena itu pemanfaatan potensi bahasa semacam ini perlu untuk diketahui/diteliti agar dapat terungkap visi batin pengarang.

Pencitraan memang akan lebih intensif jika didukung oleh permainan bunyi. Adapun pemakaian/permainan unsur bunyi yang secara dominan dipergunakan oleh pengarang antara lain berupa rima yang dapat berupa asonansi, aliterasi dan sebagainya.

Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi menjadi merdu jika dibaca. Marjorie Boulton menyebut rima sebagai phonetic form. Jika bentuk fonetik itu berpadu dengan ritma, maka akan mampu mempertegas makna puisi (Marjorie Boulton dalam Waluyo, 1995: 90).

Di dalam puisi Jawa tradisional (tembang), istilah Rima dapat dipadankan dengan purwakanti. Purwakanthi secara etimologis berasal dari kata purwa (permulaan) dan kanthi (memahami/mempergunakan). Purwakanthi mempunyai pengertian sebagai pengulangan bunyi, baik konsonan, vokal ataupun kata yang

commit to user

telah tersebut pada bagian depan. Purwakanthi ada tiga jenis yaitu sebagai berikut:

2.1.3.1.1. Purwakanthi Guru Swara (Rima Suara/Asonansi)

Purwakanthi berdasarkan persamaan suara/bunyi. Dalam bahasa Indonesia disebut asonansi yaitu sajak yang berdasarkan perulangan bunyi bagian akhir suku kata/perulangan vokal. Asonansi berfungsi untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan bunyi (Keraf, 2006: 130).

Contohnya :

(1) Aliwung mangun kung (Mn/Mij/III/21/6)

„Semakin membuat sedih karena cinta‟

Berdasarkan contoh (1) tersebut ditemukan adanya bentuk perulangan vokal /u/ di suku kata akhir.

2.1.3.1.2. Purwakanthi Guru Sastra (Aliterasi)

Purwakanthi berdasarkan persamaan sastra atau huruf. Dalam bahasa Indonesia purwakanthi guru sastra identik dengan sajak aliterasi yaitu sajak yang berdasarkan pada persamaan suku kata bagian awal atau permulaan konsonan.

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama (Keraf, 2006: 130). Aliterasi adalah ulangan bunyi konsonan, lazimnya pada awal kata yang berurutan untuk mencapai efek kesedapan bunyi, dengan istilah lain purwakanthi atau runtut konsonan.

Misalnya;

(2) Patarendra parabing pawestri (Mn/Mij/III/2/1)

„Sumpah raja kepada istrinya‟

commit to user

Berdasarkan contoh (2) tersebut ditemukan adanya bentuk perulangan konsonan /p/ di suku kata awal, dan seterusnya.

2.1.3.1.3. Purwakanthi lumaksita

Purwakanthi berdasarkan persamaan kata, suku kata akhir dengan suku kata awal yang berurutan atau persamaan huruf akhir dengan huruf awal yang berturut-turut dalam suatu bait/baris tembang. Dengan kata lain purwakanthi lumaksita merupakan pengulangan bunyi, suku kata, kata atau frasa yang berurutan dalam suatu bait tembang untuk memberikan kesan estetis.

Contohnya;

(3) Gung rimang brangta mangarang/ rangu-rangu angranuhi/

(Mn/Kin/8/5-6)

„Begitu sedihnya karena tergila-gila oleh cinta, keragu-raguan yang memenuhi (hati ini)‟

Berdasarkan contoh tersebut ditemukan adanya bentuk perulangan suku kata /ra / pada akhir dan awal kata.

2.1.3.2. Pemanfaatan Bentuk Kata

Kreativitas dalam pemakaian bentuk kata juga dapat menjadi sarana pemanfaataan bahasa puitis dalam membangun tuturan yang estetis. Selanjutnya pemanfaatan bentuk kata tersebut adalah dengan penyiasatan struktur kata.

Penyiasatan struktur kata merujuk pada bangunan struktural yang menonjol, artinya struktur yang mungkin adalah suatu bentuk penyimpangan, namun disengaja oleh pengarangnya untuk memperoleh efek tertentu, khususnya efek estetis dan efek terhadap pembaca. Ada banyak gaya yang lahir dari penyiasatan struktur kata. Gaya yang sering digunakan orang dapat berangkat dari bentuk

commit to user

pengulangan, pemakaian afiksasi yang khas, pemajemukan, penggunaan struktur inversi dan sebagainya.

Kreativitas dalam pembentukan kata juga dapat menandai ciri khas kebahasaan seorang pengarang. Puisi jawa tradisional misalnya, seperti dalam SRPW karya Mangkunegara IV ini banyak memanfaatkan bentuk-bentuk kata.

Salah satunya yaitu dengan proses afiksasi yang memiliki aspek arti arkhais untuk memperoleh makna yang puitis. Melalui afiksasi yang khas tersebut maka dapat membedakan antara tuturan biasa (bahasa yang digunakan sehari-hari) dengan bahasa rinegga „bahasa yang diperindah‟, seperti yang ada di dalam puisi. Hal ini sejalan seperti apa yang disinggung Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Sutejo 2010: 15) yang menegaskan bahwa tanpa pengetahuan untuk menentukan mana bahasa sehari-hari, dan mana bahasa yang bukan sastra, dan pengetahuan mengenai langgam sosial zamannya, stilistika tidak lebih dari impresionis belaka.

Melalui pemanfaatan bentuk kata dapat diketahui bagaimana seorang pengarang memanfaatkan potensi bahasa dalam menjalin tuturan yang indah.

Menurut Soepomo Poedjosoedarmo (1979: 6) kata-kata di dalam bahasa Jawa dapat berbentuk morfem bebas dan dapat dibentuk dengan mengalami pengimbuhan (afiksasi), di samping itu terdapat juga proses morfologi, seperti:

pengulangan (reduplikasi), pengubahan bunyi; baik dengan perubahan bunyi vokal maupun perubahan bunyi konsonan, pemajemukan, dan persandian.

Proses afiksasi puisi dalam SRPW karya Mangkunegara IV ini, unsur pembentukan kata (morfologi) lebih di tekankan pada pembentukan kata yang mengalami proses morfologis atau mengalami pembubuhan afiks-afiks yang

commit to user

mengandung aspek arti arkhais. Hal ini untuk dapat mengetahui bagaimana gaya/kekhasan maupun tujuan dari pemakaian bentuk-bentuk tersebut.

Reduplikasi juga merupakan proses morfologi/pembentukan kata dalam bahasa Jawa. Proses ini merupakan pengulangan satuan gramatik baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak (Ramlan, 1985: 57).

Dalam reduplikasi, kata berubah dengan beberapa macam proses pengulangan.

Berdasarkan cara mengulang bentuk dasarnya, proses pengulangan dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

a. Perulangan seluruh/utuh meliputi:

(1) Perulangan seluruh bentuk dasarnya tanpa variasi fonem.

(2) Perulangan seluruh bentuk dasarnya dengan variasi fonem (Dwilingga salin swara).

b. Perulangan sebagian suku pertama (Dwipurwa) dan perulangan sebagian suku kedua (Dwiwasana).

c. Perulangan berkombinasi dengan pembubuhan afiks.

Pemajemukan merupakan gabungan dua kata atau lebih yang mempunyai arti baru bila dibandingkan dengan arti komponen-komponennya. Kata majemuk dalam istilah Jawa sering disebut dengan tembung saroja. Pemajemukan juga merupakan sarana yang digunakan pengarang dalam membentuk tuturan yang estetis.

Adanya aturan pembuatan tembang macapat menyebabkan suatu kata dapat berubah bentuk maupun hanya terjadi perubahan fonem saja. Perubahan

commit to user

bentuk kata dapat disebabkan karena tuntutan guru wilangan, informalisasi ragam, dan puitisasi ragam. Untuk memenuhi jumlah guru wilangan atau jumlah suku kata yang sesuai dengan konvensi tembang, maka sering terjadi kontraksi, yaitu pengurangan jumlah suku kata dengan cara menggabungkan dua kata menjadi satu kata. Penggabungan ini selalu mengikuti hukum sandi. Penggabungan dua kata menjadi satu kata, dalam istilah Jawa disebut dengan nama tembung. Kata sandi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sandi luar dan sandi dalam (Harjodipuro, 2000: 13). Sandi luar atau disebut tembung garba, maksudnya pertemuan kata dengan kata yang lain, dan sandi dalam atau morfofonemik maksudnya pertemuan suatu kata dengan afiksasi yang menimbulkan bunyi baru yang semula tidak ada. Misalnya kata tekèng „datang di‟ berasal dari kata {teka + ing}; pertemuan bunyi // dengan /i/ berubah menjadi /è/. Untuk sandi dalam misalnya kata pasaban „tempat berkunjung‟, berasal dari {(pa + sb + an)};

pertemuan bunyi // dengan /a/ tetap menjadi /a/. Perubahan fonem suatu kata tersebut dapat terjadi karena adanya tuntutan krama, guru lagu, dan perubahan fonem yang menyatakan arti sangat.

2.1.3.3. Pemanfaatan Pilihan Kata (Diksi)

Pemilihan kata oleh penyair sangat erat kaitannya dengan hakekat puisi yang penuh dengan kata-kata yang dipadatkan. Penyair dituntut kecermatan dalam memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata tersebut di tengah kata lain, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi. Dalam proses pemilihan

kata-commit to user

kata itulah sering terjadi pergumulan penyair dengan karyanya, bagaimana penyair memilih kata-kata yang benar-benar mengadung arti yang sesuai dengan yang diinginkan, baik dalam arti konotatif maupun denotatif.

Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan perbendaharaan kata atau kosakata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa (Keraf, 2006: 24).

Pengarang dalam menyajikan/mengemas tuturannya memiliki gaya tersendiri untuk dapat memberi kesan tertentu pada karyanya. Pemilihan kosakata yang dipergunakan dalam SRPW beragam jenisnya. Kekhasan penggunaan diksi atau pemilihan kosakata yang sering digunakan oleh pujangga untuk membungkus tuturannya agar bernilai estetis antara lain dapat berupa: (a). tembung saroja (b).

tembung dasanama, (c). tembung garba, (d). tembung baliswara, (e).

Penggunaan wangsalan, (g). Penggunaan kata ganti yang khas maupun pemilihan jenis kalimat tetentu, Adapun penjelasannya sebagai berikut:

2.1.3.3.1. Tembung Saroja

commit to user

Tembung saroja adalah kata rangkap, maksudnya dua kata yang sama atau hampir sama artinya digunakan bersama (Padmosoekotjo, 1960). Misalnya anteng jatmika „tenang‟. Kata anteng dan jatmika sama-sama memiliki arti „sikap yang tenang / tidak banyak ulah‟.

2.1.3.3.2. Baliswara

Baliswara adalah dua buah kata atau lebih yang dirangkap menjadi satu tetapi kata yang memberi keterangan berada di depan kata yang diterangkan.

Baliswara adalah dua buah kata atau lebih yang dirangkap menjadi satu tetapi kata yang memberi keterangan berada di depan kata yang diterangkan.