• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemakaian Kata Ganti/Pronominal Persona

BAB III METODE PENELITIAN

3.4. Metode dan Teknik Analisis Data

4.2.2. Pemanfaatan Pilihan Kata (Diksi)

4.2.2.3. Pemakaian Kata Ganti/Pronominal Persona

Gaya kebahasaan dari Mangkunegara IV di dalam SRPW salah satunya juga ditunjukkan melalui penggunaan pronominal yang bersifat khas dan dapat menunjukkan bentuk ekspresi maupun impresi Pujangga. Kata ganti dalam menyebut wanita yang dicintai pujangga, pujangga, dan Tuhan terlihat bervariasi dan unik. Berikut penjelasan lebih lanjut.

commit to user

Ungkapan ini dapat berupa kata atau frasa. Hal ini sangat menarik untuk dikupas karena dapat menunjukkan bagaimana bentuk ekspresi seorang pengarang dalam pengungkapannya, seperti halnya dalam data berikut.

1). Kata Ganti dalam Menyebut Wanita yang Dicintai oleh Pujangga

Puisi ini banyak menyebutkan sosok seorang wanita yang dicintai, dipuja-puja dan diharapkan cintanya oleh sang dipuja-pujangga. Di dalam menyebut wanita yang dicintainya, sang pujangga tidak pernah menyebut nama orang/wanita tersebut secara langsung (eksplisit), akan tetapi dengan menggunakan kata ganti/pronominal persona, seperti sliramu ‘kamu’, koe ‘kamu’ atau sira ‘kamu’.

Disamping itu sering juga pronomina persona/kata ganti itu diwujudkan dalam bentuk kata lain/ungkapan lain yang mengacu pada sang wanita.Kata ganti dalam menyatakan/menyebut wanita yang dicintainya, selain menggunakan pronominal persona koe ‘kamu’, sliramu ‘kamu’, juga diungkapkan dengan sebuah kiasan yang memakai kata sandang sang ‘sang/si’.

(306) Tawing wastra (kêlir) ron kamal kang kuning (sinom/

nadyan sang lir sinom/

kukila gung sabaweng ratrine (paksi kêdhasih)/

datan sida anganggêp kakas/i (Mn, Mij, III/4/2)

‘Kain penyekat (kêlir) daun kamal yang kuning (sinom), Walaupun sang putri,

Burung besar yang berbunyi di waktu malam (paksi kêdhasih), Tidak juga mau menganggap kekasih’

(307) Neng wadananira sang maweh gring/

amèlok sumlorot/

(Mn, Mij, III/18/1)

‘Di wajahmu wahai sang pemberi rasa asmara, Terlihat bersinar’

commit to user

(308) Lagya nêdhêng kongas gandanya mrik minging/

tumujweng nasika/

engêt mring sang weh wiyadi/

anglês anglosod ing kisma//

(Mn, Mas, IV/6/3)

‘Sedang musim bunga semerbak harum baunya menyebarkan keharuman,

Menuju / menusuk hidung,

Teringat dengan sang pemberi rasa asmara, Rasa pilu sampai menggelosod di tanah.’

(309) ….

kabanjur sida kalantur/

dhuh angger wêlasana/

sapa yoga mring wak-mami/

nora liya mung sang rêtnaning buwana// (Mn, Sin, III/1/6)

‘terlanjur jadinya, duhai dinda kasihanilah,

siapa yang pantas / bersedia denganku,

tidak lain hanyalah dirimu sang perhiasan dunia’.

Pada data (306)–(309) terlihat beberapa penggunaan referen yang mengacu pada wanita yang dicintai pujangga dan berbentuk frasa nomina kompleks nonrelatif dengan partikel sang ‘sang’. Pada data (306) pujangga menggunakan frasa sang lir sinom, dimana modifikatornya adalah ‘sang’ dan konstituen inti nomina adalah lir sinom ‘seperti daun muda’. Sang lir sinom jika diterjemahkan secara harafiah adalah ‘Sang seperti daun muda’. Lir sinom mengacu pada wanita yang dicintai pujangga, merupakan sebuah perlambangan untuk seorang wanita muda yang lebih tepatnya diartikan sebagai ‘putri’. Dengan dibungkus gaya bahasa simile/ditandai dengan kata pembanding lir ‘seperti’, pujangga membandingkan wanita yang dicintainya tersebut dengan sinom ‘daun muda’. Hal ini sungguh terasa begitu serasi sebagai kata ganti seorang wanita yang masih muda.

commit to user

Pada data (309) wanita yang dicintai pujangga disebutkan dengan menggunakan kata ganti sang rêtnaning buwana ‘sang perhiasan dunia’. Dengan divariasikan sebuah kiasan pujangga secara langsung membandingkan wanita yang dicintainya dengan rêtnaning buwana ‘perhiasan dunia’. Pemakaian kata ganti tersebut merupakan salah satu bentuk bahasa puitis yang dimaksudkan sebagai rayuan agar pembaca mampu menangkap impresinya.

Mangkunegara IV dalam menyebut wanita yang dicintainya juga sering menggunakan kiasan yang langsung diperbandingkan dengan sesuatu hal.

Pengungkapan tersebut juga dapat berupa sebuah frase. Dapat dilihat pada data berikut.

(310) sotya rêta (mirah) Gulangge prajane (?)/

mirah ingsun sira anèng ngêndi/

(Mn, Mij, III/14/4)

‘Permata merah (mirah) Gulangga kerajannya (?), Permata merahku dimanakah dirimu berada,’

(311) Gayung sumur (timba) wêlut ing wanadri (ula)/

tambanana intên branta kula/

(Pys, Dhan, I/2/2)

‘Gayung sumur (timba) belut di hutan (ular),

Sembuhkanlah wahai intan kekasihku/permata hatiku,’

(312) paparikan rema seta (uwan)/

unthuking nila upami (?)/

sapa wani mêngkoni/

mring rêtno dyah kang pinunjul/

(Rp, Sin, III/1/6)

‘teka teki untuk rambut putih (uwan),

seperti busa dari daun tom yang sudah dimasak (?), siapa berani menunda-nunda,

pada ratna dyah/wanita cantik yang istimewa,’

(313) Dhuh adhuh raga-manira têka sae urip/

commit to user duwe pupujan yu endah/

mêndhang sosotyaning bumi/

(Rp, Sin, III/13/2)

‘Dhuh aduh diriku ini akan datang kebaikan di hidupku, karena memiliki pujaan wanita cantik,

yang menyimpan intan/keindahan dunia,’

(314) Sotya karna (intên) wrêksa lena ronne trubus (sêmi)/

intêne pun kakang/

bêgjane kang nduwe krami/

(Rp, Puc, IV/11/3)

‘intan perhiasan telinga (intên) pohon yang sedang berdaun (sêmi), intannya kakang,

beruntunglah yang punya istri demikian,’

(315) Dhukut têgal pindha pantun (?)/

pamintengwang kusuma di/

(Mn, Kin, II/17/2)

‘Rumput tegal seperti padi (?), Permintaanku bunga indah’

(316) Karoya kang pindha warna (prèh)/

kusumeng dyah Kaelani (Kelaswara)/

yayi welasa maring wang/

gudhe rambat (kara) yayi laraku kêsandhang//

(Rp, Sin, III/10/10)

‘Pohon yang wujudnya seperti Karoya/beringin (prêh) , wanita cantik dari Kaelani (Kêlaswara),

adik kasihanilah diriku,

jangan lah terus menerus berprihatin,

sudah berlalu masanya (kasêp) orang kuning, tebakan untuk penguasa sungai (baya), kurangilah kesedihan itu,

kalau terlanjur/terus menerus maka akan membahayakan/tak baik, pohon Gude yang merambat (kara),

adik sakitku sedang aku rasakan’

commit to user

(317) Yam-yam tilam prajiwataning jinêm rum (?)/

adhine pun kakang/

nila pakaja hèr thathit (kumala)/

baya sira kumalaning pagulingan/

(Rp, Puc, IV/17/2)

‘permadani sebagai sarananya dalam pembaringan (?), adik dan kakak,

seperti bunga teratai biru yang berkilau karena kilat (kumala), dirimu diriku yang menyatu sebagai keindahannya tempat pembaringan’

Pada data (310)–(318) wanita yang dicintai pujangga, diperbandingkan langsung dengan sesuatu hal, yang diungkapkan sebagai intan permata seperti pada data (310) mirah ingsun ‘permata merahku’, intên branta kula ‘intan kekasihku/permata hatiku’ (data 311), dan intêne pun kakang ‘intan-nya kakang’

(data 314) yang berbentuk frasa nominal posesif. Frase nominal posesif adalah frasa yang konstituen inti merupakan yang termilik dan konstituen modifikatornya sebagai pemilik. Pujangga langsung membandingkan wanita yang dicintainya tersebut dengan menyebutnya intan/permata. Pujangga juga menyebutnya dengan

‘wanita cantik’ seperti pada data (312) rêtno dyah ‘ratna dyah/wanita cantik’, yu endah ‘wanita cantik’ (data 313), dan ada pula yang dibandingkan dengan bunga, seperti data (315) pamintengwang kusuma di ‘permintaanku wahai bunga indah’.

commit to user

Selain itu juga disebutkan dengan nama lain, yang diungkapkan dengan penambahan keterangan pada baris selanjutnya, seperti pada data (318), wanita yang dicintai pujangga diungkapkan sebagai lepning sekar ‘bunga mekar’

kemudian dilanjutkan pada baris selanjutnya rêtna sosotyaning ngayu/

kumalaning jagad/ ‘ratna perhiasan yang cantik. Hal itu difungsikan sebagai tambahan keterangan untuk lebih memberikan efek penekanan.

Penyebutan untuk wanita yang dicintai pujangga, selain seperti yang telah disebut pada data (306)–(318) juga ada yang disebut dengan menggunakan kata kang ‘yang’. Terlihat pada data berikut.

(319) ….

jalidri amba godhonge (katang)/

mung ketang kang maweh kung/

katu alit wungu kang warni (pulutan)/

ambalut tur jatmika/

….

(Rp, Dhan, II/ 2/4)

‘pohon sejenis Jaladri yang berdaun lebar (katang),

hanya ingat yang memberi rasa cinta, katu kecil yang berwarna ungu (pulutan),

mengesankan juga sopan’

(320) Sukêt galêng (Srigunting) rinumpaka Gusti/

kang baita kandhêg ing samodra (labuh)/

rontang-ranting têmahane/

abdinya nêdya labuh/

mring kusuma kang asung branti/

….

(Pys, Dhan, I/3/5)

Rumput di pematang (srigunting) memuji pada Tuhan, Perahu yang berhenti di Samudra (labuh),

Compang camping jadinya, diriku ingin mengabdi,

Pada bunga yang membawa rasa cinta’

commit to user

Penyebutan kata ganti yang menunjuk wanita yang dicintai pujangga pada data (319)-(320) tersebut, berbentuk frase nominal kompleks relatif, yaitu kang maweh kung ‘yang memberi rasa cinta’ (pada data 319). Wanita yang dicintai pujangga diungkapkan sebagai kang maweh kung ‘yang memberi rasa cinta’, Kata kang ‘yang’ merupakan penanda kata ganti relatif yang berfungsi sebagai unsur penjelas (deskriptif). Demikian juga pada data (320), wanita yang dicintai pujangga diungkapkan sebagai kusuma kang asung branti ‘bunga yang membawa rasa cinta’. Wanita yang dicintai oleh pujangga langsung diibaratkan sebagai kusuma ‘bunga’ dan dinyatakan sebagai sesuatu yang membawa rasa cinta ‘kang asung branti’. Dalam hal ini, kata kusuma ‘bunga’ merupakan konstituen inti pada fase, sedangkan kang asung branti merupakan modifikator yang menjelaskan apa yang tergambar dari wanita tersebut.

2). Kata Ganti dalam Menyebut Pujangga

Puisi merupakan karya sastra yang bersifat monolog, hanya ada satu pembicara yang membawakan seluruh teks. Di dalam puisi kata ganti orang pertama merupakan kata ganti untuk menyatakan sang penyair itu sendiri (aku lirik). Di dalam SRPW tidak terdapat pemakaian nama diri tokoh tertentu, maka dapat dikatakan kedudukan kata ganti orang pertama merupakan kata ganti yang mengacu pada pujangga itu sendiri (Mangkunegara IV) sebagai pengarang SRPW.

Kata ganti untuk menyebut sang pujangga di dalam SRPW selain diungkapkan dengan kula, dak-, -ku, juga terdapat penggunaan istilah seperti dasih, ingsun/sun, baya, ulun yang merupakan kata ganti persona tunggal bentuk

commit to user

bebas. Selain itu juga terdapat penggunaan kata ganti/pronomina persona tunggal bentuk terikat seperti: –ingong, -wang dan sun. Dapat dilihat pada data berikut.

(321) Patra-wisa (kêmadhuh) yoganing Maharsi (pujan)/

dhuh pupujaningong/

(Mn, Mij, III/11/2)

‘Daun beracun (kêmadhuh) anak pendeta suci (pujan)/

Duh wahai pujaanku/

(322) Pisang lêsah (dalu) patih nagri Maespati/

sadalu wandêng wang/

paksi krêsna (gagak) ranning aji (Narendra)/

ngagak-agak datan nendra/

(Mn, Mas, IV/11/2)

‘Pisang layu (dalu) patih nagri Maespati (Suwanda), Semalam badanku,

Burung hitam (gagak) aji namanya (Narendra), Tidak bisa tidur tak bisa memejamkan mata’

(323) Ron dêling têngêring marga (sawi)/

barat wetan (timur)/

Pada data (321) kata pupujaningong ‘pujaanku’ apabila diurai, berasal dari kata pupujan ‘pujaan’ + -ingong. –ingong merupakan kata ganti/pronomina persona tunggal bentuk terikat lekat kanan sebagai kata ganti dari pujangga.

Demikian juga dengan data (322), yang menggunakan kata ganti –wang. Pada data (232), kata ganti pujangga diwujudkan dengan kata sun, sebagai pronomina persona tunggal bentuk terikat lekat kanan. Sun ‘ku’ sebenarnya merupakan

commit to user

bentuk kata dari ingsun ‘aku’ yang mengalami pemendekan karena adanya tuntutan guru wilangan.

Kata ganti untuk menyebut sang pujangga, ada pula yang berbentuk sebuah frasa, seperti terlihat pada data berikut.

(324) para têmbayanta gusti (abdi)/

suka jurrên dasih-ta atadhah duka/

(Rp, Puc, IV/4/4)

‘mereka yang berjanji/setia pada Tuhan (abdi)

jika bersedia jadikanlah diri ini tempat bersandar/menampung kesedihan

(325) ingsun sidhêp liringira angger/

aduduka mring kang lagya agring/

(Mn, Mij, III/21/4)

‘Saya menganggap dirimu seperti menjadi milikku, Berikan kesenangan pada yang sedang sakit karena cinta,’

(326) Gayung sumur (timba) wêlut ing wanadri (ula)/

tambanana intên branta-kula/

rotan buntal tan ginawe (penjalin tingal)/

tingalana mas ingsun/

….

(Pys, Dhan, I/2/4)

‘Gayung sumur (timba) belut di hutan (ular),

Sembuhkanlah wahai Intan kekasihku/permata hatiku,

(328) Baya sida mati ngarang/

yen gusti tan luntur kang sih/

(Rp, Sin, III/81)

commit to user

‘Aku pasti akan mati,

jika rasa cinta kasih mu berkurang’

Pada data (324)-(328), kata ganti/pronominal yang mengacu pada pujangga, terdapat dalam bentuk pronominal persona bentuk bebas, dengan istilah antara lain ingsun/sun ‘aku’, baya ‘aku’, ulun ‘aku’. Selain itu juga ada yang berbentuk frasa nomina kompleks relatif, yaitu kang lagya agring ‘yang sedang sakit karena cinta ini’ (data 325). Kata ganti untuk menyebut pujangga pada data (325) tersebut, merupakan ungkapan yang berupa penjelasan/pendeskripsian, mengenai keadaan seseorang yang sedang sakit karena cinta/kasmaran, yang sebenarnya merujuk pada pujangga itu sendiri. Pengemasan tuturan yang demikian difungsikan agar dapat memberikan efek romantis pada puisinya.

3). Kata Ganti dalam Menyebut Tuhan

Mangkunegara IV merupakan seorang raja yang religius, maka tidak heran apabila dalam karya-karya beliau banyak terdapat diksi/penggunaan istilah keagamaan yang menyebut nama Tuhan. Di dalam SRPW sang pujangga menyebut nama Tuhan dengan memakai referen antara lain sebagai berikut.

(329) sendhang luber kang warih (agung)/

sun têtêdha ring Hyang Agung/

(Rp, Pang, I/10/4)

‘sendang yang tumpah airnya (agung), aku pohonkan pada Hyang Agung’

(330) Krameng boja (têtédhan) praja sang Sumali (Ngalêngka)/

sun tatêdha sang kalêngkaning rat/

(Rp, Dhan II/7/2)

‘makanan pada perjamuan (têtêdhan) kerajaan sang Sumali (Ngalengka),

saya memohon pada sang penguasa bumi’

commit to user (331) dèrèng sagêd amung nunut/

ing karsa Gusti sang Anom/

(PKC, Gam, I/1/5)

‘Belum bisa dan hanya ikut menumpang/bersandar, Pada kehendak Gusti Yang Maha besar’

(332) marmanta darbe panuwun/

aksamanira sang Anom/

(PKC, Gam, I/2/5)

‘Maka dari itu memohonlah,

Pengampunannya dari Yang Maha Besar’

Pada data (329)–(332) terdapat beberapa pengacuan yang menunjuk referen/menggantikan asma Tuhan, seperti halnya Hyang Agung, sang kalêngkaning rat ‘sang penguasa bumi’, dan Gusti sang Anom ‘Gusti Maha Besar’. Kesemuanya merupakan bentuk kata ganti yang dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Tuhan. Mangkunegara IV walaupun beragama Islam, namun tidak secara langsung menyebut Tuhan dengan kata ‘Allah’ atau ‘Gusti Allah’. Hal ini berkaitan dengan style bahasa religius sebagian besar orang Jawa (kebudayaan Jawa) pada masa itu, yang memang tidak pernah/jarang menyebut kata Tuhan atau Allah secara langsung dan terang. Mereka mengambil istilah sendiri yang personifikatif seperti Hyang Agung, sang kalêngkaning rat ‘sang penguasa bumi’, dan Gusti sang Anom ‘Gusti Maha Besar’. Penyebutan tersebut berkaitan dengan sikap perendahan diri seseorang sebagai makhluk Tuhan.