• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.4. Metode dan Teknik Analisis Data

4.2.2. Pemanfaatan Pilihan Kata (Diksi)

4.2.2.1. Penggunaan Tembung Baliswara

Baliswara adalah dua buah kata atau lebih yang dirangkap menjadi satu tetapi kata yang memberi keterangan berada di depan kata yang diterangkan.

Dalam bahasa Indonesia kata ini menyalahi pola (hukum) DM. Fungsi tembung baliswara adalah untuk menyesuaikan guru lagu pada tembang macapat.

commit to user

Pemakaian tembung baliswara dalam SRPW ini banyak sekali dimanfaatkan pujangga dalam membangun tuturan wangsalan, yaitu sebagai bagian sampiran/bagian teka-tekinya, karena di dalam SRPW memang banyak sekali terdapat penggunaan bentuk wangsalan. Adapun pemakaian tembung baliswara dalam SRPW dapat dilihat dalam data sebagai berikut.

(254) Sastra pangandhênging kidung (padha)/

sudarma Basudewa Ji (Basukethi)/

Sungguh – sungguh percaya pada putri, Walau menjelma seribu kali,’

(255) prajane sang Wisnu-siwi (Trajutrisna)/

dhuh mirah trêsna kawula (Mn, Mas, IV/21/3)

‘Negaranya Sang Anak Wisnu (Trajutrisna), Dhuh, sungguh penuh kasih cintaku ini’

(256) Kadang Wiratha-prabu (Kencakarupa/

têmbung dhalang sasmitaning nêpsu (greget)/

(PKC, Gam, I/7/1)

‘Saudara Wiratha prabu (Kencakarupa),

Kata-kata dalang yang membuat bernafsu/emosi (greget), (257) Sumêndhi putreng Ngalengka (Trikaya/

bale nata sang Endrakila resi (Mintaraga/

kaya paran raganingsun/

(Rp, Pang, I/8/2)

‘Kakak bungsu putra dari Alengka (Trikaya), Singgasana raja Sang resi Endrakila (Mintaraga), Seperti apa diri ini,’

(258) jawata gêng salah warna (Bathara Kala)/

sakala datanpa budi (Rp, Pang, I/13/9)

commit to user

‘Dewa besar salah satunya (Bathara Kala), seketika itu tidak bisa berfikir’

(259) bênthik wrêksa (janak) atmajeng Santanu Rêsi (Bisma)/

tan jênak aneng wisma (Rp, Dhan, II/1/9)

‘kayu untuk bermai benthik (janak) anak Resi Santanu (Bisma) menyebabkan tidak betah berada di rumah’

(260) Sotya rêkta (mirah) garwa Kumbakarna prabu (Dewi Aswani)/

dhuh mas mirah (Rp, Puc, IV/2)

‘intan merah (mirah) istri Prabu Kumbakarna (Dewi Aswani) wahai emas permata ‘

Data (254)-(260) yang tercetak tebal dan digarisbawahi, merupakan bentuk tembung baliswara. Dalam data (254) kata Basudewa Ji ‘Basudewa raja’

merupakan sebuah konstruksi yang menyalahi aturan pola hukum DM. Kata Ji

‘raja’ adalah konstituen inti frase yang bersifat diterangkan (D), dalam hal ini berada dibelakang konstituen yang menerangkan (M) Basudewa ‘raja Basudewa’, sehingga frase Basudewa Ji ‘Basudewa raja’ merupakan frase berpola MD dan menyalahi aturan pola hukum DM. Demikian juga konstruksi yang ditemukan pada data (255) sampai dengan data (260). Penggunaan bahasa dalam puisi memang tidak sepenuhnya harus mengikuti kaidah tatabahasa. Hal inilah yang merupakan kewenangan seorang pengarang dalam berkreasi yang disebut licentia poetica, yaitu kebebasan pengarang untuk mengekspresikan bahasa. Pembalikan pola urutan yang menyalahi pola DM di dalam puisi tradisional Jawa ini, salah satunya difungsikan untuk memenuhi aturan tembang. Hal ini dapat dilihat misalnya pada data (256) pada tuturan Wiratha prabu ‘Wiratha prabu’. Tuturan

commit to user

tersebut seharusnya adalah prabu Wiratha ‘prabu Wiratha’. Namun karena harus menyesuaikan guru lagu tembang Gambuh, yang baris pertamanya jatuh pada vokal /u/, maka penggunaan bentuk Wiratha prabu ‘Wiratha prabu’ dirasa lebih tepat. Apabila tuturan dibuat menjadi prabu Wiratha ‘prabu Wiratha', walaupun memiliki arti/ maksud yang sama, namun tidak sesuai dengan guru lagunya.

Tuturan yang menggunakan bentuk tembung baliswara di dalam SRPW, sebagian besar digunakan dalam menyusun teka-teki wangsalan, yaitu sebagai bagian dari sampiran/teka-tekinya. Tuturan yang menggunakan bentuk baliswara hampir semuanya merupakan istilah-istilah yang diambil dari dunia pewayangan (untuk menyebut nama raja, kerajaan, saudara raja, dan sebagainya yang dipotensikan sebagai unsur pembentuk pertanyaan/teka-teki). Penggunaan tembung baliswara dalam SRPW merupakan salah satu ciri khas dari pujangga disamping suatu bentuk licentia puitica, yang dimaksudkan untuk dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat melalui karya sastranya.

4. 2.2.2. Penggunaan Dasanama (Sinonimi)

Dasanama adalah kata-kata yang mempunyai padanan kurang lebih ada sepuluh kata dalam bentuk kata lain. Di dalam bahasa Indonesia dasanam ini biasa disebut dengan sinonimi, satu kata memiliki padanannya dengan kata yang lain. Di dalam SRPW kata-kata yang memiliki beberapa padanan arti dengan kata lain, dimanfaatkan oleh pujangga dalam membangun variasi kalimat. Selain itu juga menghindari pengulangan penggunaan kata, agar terkesan tidak monoton.

Kata-kata yang memiliki dasanama di dalam SRPW, biasanya adalah kata-kata yang berkaitan dengan istilah-istilah: ungkapan yang menyatakan rasa

commit to user

cinta/senang karena kasmaran, sedih karena kasmaran, nama-nama benda alam sebagai kiasan dan sebagainya.

Adapun pemakaian dasanama yang berkaitan dengan rasa asmara/cinta/

kasmaran dapat dilihat pada data sebagai berikut.

(261) Apa sira kang paring usadi/

mring dasih kang nglamong/ Pada abdi/diriku ini yang sedang tergila-gila asmara, Oleh karena cinta sekali pada dirinya,

Tiba-tiba saat itu juga terlihat banyak awan mendung yang menutupi/menindhihi,

Bulan purnama yang utuh, Tunduk karena cinta’.

(262) Ing sarkara tan nêdya sawaleng galih/

têmpuhna asmara/

(m)bengkas puspita neng wêni/

suka palastra ing tilam/ (Mn, Mas, IV/1)

‘Dalam rasa yang manis tidak berkehendak tuk melawan hati, Tuk mempertemukan rasa asmara,

Menghilangkan bunga-bunga asmara, Ikhlas rela mati di atas tilam permadani’.

(263) engêt mring sang weh wiyadi (Mn, Mas, IV/6/4)

‘Teringat dengan sang pemberi rasa asmara’

(264) paparing pituwas brangta (Mn, Mas, IV/13/4)

‘Memberi hiburan bagi yang sedang kasmaran’

(265) Sêkar pucung ing tyas supadi mangunkung/

anandhang wigêna/

kalantur lumuntur ing gring/

sinalimur nganggit têmbung wawangsalan/

(Rp, Puc, IV/1)

‘Tembang pucung agar hati dapat merasakan cinta,

commit to user sedang mengalami jatuh cinta, terlanjur terkena asmara,

teralihkan dengan mengarang kata-kata yang berupa teka-teki atau wangsalan’.

Pada data (261)–(265) kata-kata yang tercetak tebal merupakan kata-kata yang memiliki komponen makna yang sama, yaitu sama-sama menunjukkan/memiliki makna cinta/asmara. Keluasan kawruh basa yang dimiliki oleh pujangga dalam menggunakan kata-kata yang bermakna cinta dapat terlihat pada data (257) dan (261). Pada data (257) pujangga menggunakan tiga kata yang berbeda dalam satu bait tembang Mijil, yaitu pada kata nglamong ‘tergila-gila asmara/perasaan cinta yang teramat sangat’, asih ‘cinta’, agandrung ‘cinta’.

Demikian juga pada data (261), terdapat tiga kata dalam satu bait tembang maskumambang yang memiliki makna cinta/kasmaran, yaitu ditunjukkan oleh kata kung ‘cinta’, wigena ‘jatuh cinta’, gring ‘asmara’. Adanya dasanama ini, diksi menjadi beraneka ragam dan hal ini membuktikan bahwa Mangkunegara IV memang seorang pengarang yang sangat mahir dalam memilih dan merangkai kata-kata.

Dalam menyebutkan sesuatu yang menyatakan istilah sedih karena cinta, maka terdapat beberapa dasanama, yaitu: sirung, turida, wuyung, wiyoga, dan rimang. Adapun contoh dalam data yang mempergunakan dasanama tersebut adalah sebagai berikut.

(266) asih mring kawula wiyoga/ yogane kang ngusadani (Mn, Kin, II/6/5)

‘berbelas kasih pada diriku yang sedih, anak itulah yang bisa mengobati,’

(267) gung rimang brangta mangarang/ rangu-rangu angranuhi/

commit to user (Mn, Kin, II/8/5-6)

‘begitu sedihnya karena tergila-gila oleh cinta/kebimbangan hati memenuhi’

(268) Manawa netyanta sirung/ ilang tejaning mamanis/ (Mn, Kin, II/16/1-2)

‘Jika raut wajahmu terlihat sedih, hilanglah sorot wajah yang manis’

(269) Ngenggar-enggar mrih purna pranaweng kapti/ birating turida/

(Mn, Mas, IV/5/1-2)

‘Menghibur hati agar terwujud apa yang diinginkan, hilanglah kesedihan karena kasmaran’

(270) Sènthè lit sasanèng ngarga (kajar)/

lênging raga (talanjer)/

mina kinarya dêsthi (dhuyung)/

nglêlêjar lajêring wuyung/

(Rp, Pang, I/2/1-4)

‘Sejenis pohon seperti kimpul yang ada di gunung (kajar), Yang dipikirkan diri (talanjer),

Sejenis ikan yang berkelakuan buruk (dhuyung),

Menghibur hati yang sedang bersedih karena kasmaran,’

Pada data (266)–(270) pujangga menggunakan kata yang berbeda-beda dalam menyebutkan perasaan sedih, namun masih memiliki komponen makna yang sama. Kata turida, rimang, wiyoga dan wuyung sama-sama mengacu pada satu arti yaitu suatu perasaan sedih yang disebabkan karena cinta. Perasaan sedih yang digambarkan melalui pemilihan kata-kata di atas dapat menunjukkan/membangun sebuah pencitraan akan nuansa perasaan yang penuh luapan emosi, penuh harapan akan terbalasnya rasa cinta, dan pada akhirnya rasa cinta itulah yang menyebabkan timbulnya perasaan tersebut.

commit to user

Kata ‘hati’ dalam SRPW juga memiliki dasanama/istilah yang berbeda-beda yaitu manah, galih, driya, tyas, nala, dan ati. Adapun contoh dalam data sebagai berikut.

(271) Tambang pisah (pêdhot) nandukkên jêmparing (manah)/

kang manah sumêdhot/

(Mn, Mij, III/13/1-2)

‘Tali yang terpisah (pêdhot) melepaskan panah (manah), Rasa hati ini terasa seperti terhisap’

(272) Ing sarkara tan nêdya sawaleng galih/

têmpuhna asmara/

(Mn, Mas, IV/1/1)

‘Dalam rasa yang manis tidak berkendak tuk melawan hati, Tuk mempertemukan rasa asmara’

(273) Kagyat kanggêg kagugu solahing nguni/

tansah sayut driya/

(Mn, Mas, IV/4/2)

‘Kaget terdiam jika teringat perbuatan lalu, Senantiasa seiya sekata di hati’

(274) Asta kanan tumumpang neng pundhak kering/

midêr-midêr miyat/

Ke penjuru taman yang serba ditumbuhi bunga, (Seolah-olah) tau akan hati yang sedang rindu’.

(275) Karêming nala kalamun/

(276) Dhemes luwes merak ati (Mn, Kin, II/7/5)

commit to user

‘elok luwe menyenangkan hati’

Dasanama yang digunakan juga dapat disebabkan karena adanya tuntutan guru wilangan maupun guru lagu. Misalnya dalam data (270) terdapat tuturan uninga tyas kaonêngan ‘tau akan hati yang sedang rindu’. Banyaknya guru wilangan baris keempat tembang Maskumambang yang harus berjumlah delapan suku kata, maka digunakan kata tyas ‘hati’ sehingga genap berjumlah delapan suku kata. Seandainya guru wilangan menghendaki sembilan suku kata, mungkin kata tyas ‘hati’ dapat diganti dengan kata yang sepadan, misalnya driya atau manah yang sama-sama bermakna ‘hati’.

Dalam menyebut kata ‘perempuan’ juga menggunakan beberapa istilah seperti: juwita, kênya dan wanodya. Dapat dilihat pada data berikut.

(277) juwita winongwong (Mn, Mij, III/23/2)

‘Putri orang terkasih’

(278) kênya kang nêdhêng birai (PRK, Kin, I/1/1)

‘perempuan yang sedang memendam birahi’

(279) candranira wanodya angganggu ati (PKC, I/4/2)

‘Diibaratkan seperti wanita yang mengganggu hati’

(280) kasusilan silaning estri (Mn, Dhan, I/6/5)

‘Kesopanan tingkah laku sebagai wanita’

(281) wineh winulangken wadu (Rp, Pang, I/4/4)

‘Diberi pelajaran oleh wanita’

Kata-kata yang berkaitan dengan benda-benda alam di dalam SRPW juga banyak menggunakan dasanama. Kata-kata tersebut biasanya difungsikan pujangga dalam membuat sebuah perlambangan/pengiasan. Dengan diksi/pemilihan kata yang bervariasi, dapat memberikan nilai keindahan tersendiri pada puisi, sekaligus dapat membuktikan bahwa leksikon bahasa Jawa memang

commit to user

sangat kaya dan beragam. Kekayaan kosakata bahasa Jawa mampu dipotensikan oleh pujangga dalam menyusun sebuah karya puisi /tembang yang penuh dengan variasi kata. Hal ini tentunya dapat menjadikan puisi menjadi bernilai dan penuh dengan unsur estetis. Adapun data dan penjelasannya sebagai berikut.

a. Dasanama Rembulan

(282) Duk samana wayah madya ratri/

Hyang Chandra katonton/

(Mn, Mij, III/17/2)

‘Waktu itu ketika tengah malam, Sang Rembulan terlihat’

(283) dupi kontra kang hima lumindhih/

wantah sitarêsmi/

(Mn, Mij, III/19/4)

‘Tiba-tiba saat itu juga terlihat banyak awan mendung yang menutupi/menindhihi, Bulan purnama yang utuh’

(284) Titi sonya ngrancake ngranuhi/

sasangka wus ngayom/ (Mn, Mij, III/22/2)

‘Ketika tiba pada suasana sepi,

Kata ‘rembulan’ dalam bahasa Jawa memiliki dasanama yang bermacam-macam. Dalam SRPW untuk menyebut kata rembulan, antara lain digunakan istilah: chandra, sitaresmi, sasangka, dan wulan. Pada data (285) kata wulan

‘bulan’ digunakan oleh pujangga untuk menggambarkan keindahan wanita yang dicintainya yaitu seperti halnya bulan purnama yang menggemaskan hati,

commit to user

sehingga membuat pujangga menjadi gemas penuh nafsu ingin merasakan cintanya.

(287) surya lalu diwasa (lingsir)/

datan nêdya gumingsiring tyas sarambut/

(Rp, Pang, I/11/4)

‘matahari yang tenggelam (lingsir),

tidak ingin beralihnya/berpindahnya hati walau serambut’

(288) andakara murup (Mahrib)/

mèmpêr mirib warnanira/

(Rp, Dhan, II/4/7)

‘saat matahari meredup (mahrib), yang sama seperti itu’

Pujangga dalam menyebut ‘matahari’ juga menggunakan beberapa macam istilah, yaitu rawi, surya, dan andakara. Disamping itu di dalam bahasa Jawa terdapat beberapa istilah sebagai dasanama dari matahari, yaitu: arka, aruna, baskara, dewangkara, pradangga, raditya, dan lain-lain.

c. Dasanama Bintang

(289) kartika mancorong neng pracima kumêdap cahyane (Mn, Mij, III/20/2)

Bintang bersinar di sebelah barat berkelip-kelip cahayanya’

(290) Tan antara ingkang lintang ngalih (Mn, Mij. III/20/2)

‘Tidak berapa lama ketika bintang beralih’

d. Dasanama Segara/Laut

(291) mubêng têpining samodra (Mn, Kin, II/1/3)

‘mengelilingi tepian samudra’

commit to user

(292) tuwin jroning jalanidhi (Mn, Kin, II/2/6)

‘dan dalamnya laut’

(293) Matswa gêng munggeng jahnawi (tambra) (Mn, Mas, IV/13/4)

‘Ikan loh besar yang ada di bengawan (tambra)’

(294) Mina lembut jaladri (têri) (Rp, Pang, I/6/3)

‘Ikan laut yang lembut (teri)’

(295) sinduraga (kringêt) pasang ilining tasik (arus) (Rp, Pang, I/11/2)

‘air badan (kringet) naik/pasang aliran dari segara (arus)’

(296) Pathining wè jaladdhiyan (uyah) (Rp, Pang, I/13/1)

‘endapan air laut (uyah)’

(297) pasiran ing bangawan (bulus) (Rp, Sin, III/5/7)

‘telur kura-kura di laut (bulus)’

e. Dasanama Bumi

(298) sari-sari sabuwana (Mn, Dhan, I/3/8)

‘keindah sedunia’

(299) madu-madu pathi sabumi (Mn, Dhan, I/4/5)

‘Sarinya madu-madu seluruh dunia’

(300) jagadraya wus ngumpul sadaya (Mn, Dhan, I/6/2)

‘Jagadraya sudah berkumpul semua’

(301) swara sa-marcapada (Mn, Dhan I/8/6)

‘Suara seluruh dunia’

(302) tribuwana kumarane mara (Mn, Dhan, I/9/2)

‘Tribuwana disebutnya mendekat’

(303) manawa dhasaring bumi (Mn, Kin, II/2/4)

‘seperti halnya dasarnya bumi’

(304) ngendraloka janaloka (Mn, Kin, II/10/5)

‘Kayangan dunia’

(305) lalu aja myat bantala ngantariksa (Rp, Sin, III/12/10)

‘berlalu janganlah pergi/berlalu ke bumi maupun langit’

commit to user

Pujangga dalam menyebut segara/laut menggunakan banyak istilah-istilah yang sama artinya, seperti: samodra, jalanidhi, janahwi, jaladri, jaladdhiyan, tasik, bangawan. Dalam menyebut ‘bumi’ menggunakan istilah-istilah yang sama artinya (dasanama), yaitu: buwana, sabumi, jagadraya, marcapada, tribuwana, bumi, janaloka, bantala, dan lain-lain. Pemilihan kata dengan menyebut istilah benda-benda alam ini digunakan oleh pujangga selain untuk kiasan juga sebagai wujud ekspresi dalam membentuk tuturan yang romantis.

Pemakaian kata yang berbeda-beda namun menunjukkan makna yang sama, merupakan salah satu wujud penghayatan yang mendalam dari sang pujangga. Adanya variasi penggunaan kata yang berbeda ini dimaksudkan, untuk dapat memberikan efek tertentu pada pembaca. Pemilihan kata yang bervariatif dapat menjadi faktor pendukung kepuitisan dan keestetisan puisi SRPW karya Mangkunegara IV, sehingga diharapkan akan menarik untuk disimak dan dinikmati, serta tidak membosankan untuk dibaca berulang kali.

4. 2.2.3. Pemakaian kata ganti/pronominal persona

Gaya kebahasaan dari Mangkunegara IV di dalam SRPW salah satunya juga ditunjukkan melalui penggunaan pronominal yang bersifat khas dan dapat menunjukkan bentuk ekspresi maupun impresi Pujangga. Kata ganti dalam menyebut wanita yang dicintai pujangga, pujangga, dan Tuhan terlihat bervariasi dan unik. Berikut penjelasan lebih lanjut.

commit to user

Ungkapan ini dapat berupa kata atau frasa. Hal ini sangat menarik untuk dikupas karena dapat menunjukkan bagaimana bentuk ekspresi seorang pengarang dalam pengungkapannya, seperti halnya dalam data berikut.

1). Kata Ganti dalam Menyebut Wanita yang Dicintai oleh Pujangga

Puisi ini banyak menyebutkan sosok seorang wanita yang dicintai, dipuja-puja dan diharapkan cintanya oleh sang dipuja-pujangga. Di dalam menyebut wanita yang dicintainya, sang pujangga tidak pernah menyebut nama orang/wanita tersebut secara langsung (eksplisit), akan tetapi dengan menggunakan kata ganti/pronominal persona, seperti sliramu ‘kamu’, koe ‘kamu’ atau sira ‘kamu’.

Disamping itu sering juga pronomina persona/kata ganti itu diwujudkan dalam bentuk kata lain/ungkapan lain yang mengacu pada sang wanita.Kata ganti dalam menyatakan/menyebut wanita yang dicintainya, selain menggunakan pronominal persona koe ‘kamu’, sliramu ‘kamu’, juga diungkapkan dengan sebuah kiasan yang memakai kata sandang sang ‘sang/si’.

(306) Tawing wastra (kêlir) ron kamal kang kuning (sinom/

nadyan sang lir sinom/

kukila gung sabaweng ratrine (paksi kêdhasih)/

datan sida anganggêp kakas/i (Mn, Mij, III/4/2)

‘Kain penyekat (kêlir) daun kamal yang kuning (sinom), Walaupun sang putri,

Burung besar yang berbunyi di waktu malam (paksi kêdhasih), Tidak juga mau menganggap kekasih’

(307) Neng wadananira sang maweh gring/

amèlok sumlorot/

(Mn, Mij, III/18/1)

‘Di wajahmu wahai sang pemberi rasa asmara, Terlihat bersinar’

commit to user

(308) Lagya nêdhêng kongas gandanya mrik minging/

tumujweng nasika/

engêt mring sang weh wiyadi/

anglês anglosod ing kisma//

(Mn, Mas, IV/6/3)

‘Sedang musim bunga semerbak harum baunya menyebarkan keharuman,

Menuju / menusuk hidung,

Teringat dengan sang pemberi rasa asmara, Rasa pilu sampai menggelosod di tanah.’

(309) ….

kabanjur sida kalantur/

dhuh angger wêlasana/

sapa yoga mring wak-mami/

nora liya mung sang rêtnaning buwana// (Mn, Sin, III/1/6)

‘terlanjur jadinya, duhai dinda kasihanilah,

siapa yang pantas / bersedia denganku,

tidak lain hanyalah dirimu sang perhiasan dunia’.

Pada data (306)–(309) terlihat beberapa penggunaan referen yang mengacu pada wanita yang dicintai pujangga dan berbentuk frasa nomina kompleks nonrelatif dengan partikel sang ‘sang’. Pada data (306) pujangga menggunakan frasa sang lir sinom, dimana modifikatornya adalah ‘sang’ dan konstituen inti nomina adalah lir sinom ‘seperti daun muda’. Sang lir sinom jika diterjemahkan secara harafiah adalah ‘Sang seperti daun muda’. Lir sinom mengacu pada wanita yang dicintai pujangga, merupakan sebuah perlambangan untuk seorang wanita muda yang lebih tepatnya diartikan sebagai ‘putri’. Dengan dibungkus gaya bahasa simile/ditandai dengan kata pembanding lir ‘seperti’, pujangga membandingkan wanita yang dicintainya tersebut dengan sinom ‘daun muda’. Hal ini sungguh terasa begitu serasi sebagai kata ganti seorang wanita yang masih muda.

commit to user

Pada data (309) wanita yang dicintai pujangga disebutkan dengan menggunakan kata ganti sang rêtnaning buwana ‘sang perhiasan dunia’. Dengan divariasikan sebuah kiasan pujangga secara langsung membandingkan wanita yang dicintainya dengan rêtnaning buwana ‘perhiasan dunia’. Pemakaian kata ganti tersebut merupakan salah satu bentuk bahasa puitis yang dimaksudkan sebagai rayuan agar pembaca mampu menangkap impresinya.

Mangkunegara IV dalam menyebut wanita yang dicintainya juga sering menggunakan kiasan yang langsung diperbandingkan dengan sesuatu hal.

Pengungkapan tersebut juga dapat berupa sebuah frase. Dapat dilihat pada data berikut.

(310) sotya rêta (mirah) Gulangge prajane (?)/

mirah ingsun sira anèng ngêndi/

(Mn, Mij, III/14/4)

‘Permata merah (mirah) Gulangga kerajannya (?), Permata merahku dimanakah dirimu berada,’

(311) Gayung sumur (timba) wêlut ing wanadri (ula)/

tambanana intên branta kula/

(Pys, Dhan, I/2/2)

‘Gayung sumur (timba) belut di hutan (ular),

Sembuhkanlah wahai intan kekasihku/permata hatiku,’

(312) paparikan rema seta (uwan)/

unthuking nila upami (?)/

sapa wani mêngkoni/

mring rêtno dyah kang pinunjul/

(Rp, Sin, III/1/6)

‘teka teki untuk rambut putih (uwan),

seperti busa dari daun tom yang sudah dimasak (?), siapa berani menunda-nunda,

pada ratna dyah/wanita cantik yang istimewa,’

(313) Dhuh adhuh raga-manira têka sae urip/

commit to user duwe pupujan yu endah/

mêndhang sosotyaning bumi/

(Rp, Sin, III/13/2)

‘Dhuh aduh diriku ini akan datang kebaikan di hidupku, karena memiliki pujaan wanita cantik,

yang menyimpan intan/keindahan dunia,’

(314) Sotya karna (intên) wrêksa lena ronne trubus (sêmi)/

intêne pun kakang/

bêgjane kang nduwe krami/

(Rp, Puc, IV/11/3)

‘intan perhiasan telinga (intên) pohon yang sedang berdaun (sêmi), intannya kakang,

beruntunglah yang punya istri demikian,’

(315) Dhukut têgal pindha pantun (?)/

pamintengwang kusuma di/

(Mn, Kin, II/17/2)

‘Rumput tegal seperti padi (?), Permintaanku bunga indah’

(316) Karoya kang pindha warna (prèh)/

kusumeng dyah Kaelani (Kelaswara)/

yayi welasa maring wang/

gudhe rambat (kara) yayi laraku kêsandhang//

(Rp, Sin, III/10/10)

‘Pohon yang wujudnya seperti Karoya/beringin (prêh) , wanita cantik dari Kaelani (Kêlaswara),

adik kasihanilah diriku,

jangan lah terus menerus berprihatin,

sudah berlalu masanya (kasêp) orang kuning, tebakan untuk penguasa sungai (baya), kurangilah kesedihan itu,

kalau terlanjur/terus menerus maka akan membahayakan/tak baik, pohon Gude yang merambat (kara),

adik sakitku sedang aku rasakan’

commit to user

(317) Yam-yam tilam prajiwataning jinêm rum (?)/

adhine pun kakang/

nila pakaja hèr thathit (kumala)/

baya sira kumalaning pagulingan/

(Rp, Puc, IV/17/2)

‘permadani sebagai sarananya dalam pembaringan (?), adik dan kakak,

seperti bunga teratai biru yang berkilau karena kilat (kumala), dirimu diriku yang menyatu sebagai keindahannya tempat pembaringan’

Pada data (310)–(318) wanita yang dicintai pujangga, diperbandingkan langsung dengan sesuatu hal, yang diungkapkan sebagai intan permata seperti pada data (310) mirah ingsun ‘permata merahku’, intên branta kula ‘intan kekasihku/permata hatiku’ (data 311), dan intêne pun kakang ‘intan-nya kakang’

(data 314) yang berbentuk frasa nominal posesif. Frase nominal posesif adalah frasa yang konstituen inti merupakan yang termilik dan konstituen modifikatornya sebagai pemilik. Pujangga langsung membandingkan wanita yang dicintainya tersebut dengan menyebutnya intan/permata. Pujangga juga menyebutnya dengan

‘wanita cantik’ seperti pada data (312) rêtno dyah ‘ratna dyah/wanita cantik’, yu endah ‘wanita cantik’ (data 313), dan ada pula yang dibandingkan dengan bunga, seperti data (315) pamintengwang kusuma di ‘permintaanku wahai bunga indah’.

commit to user

Selain itu juga disebutkan dengan nama lain, yang diungkapkan dengan penambahan keterangan pada baris selanjutnya, seperti pada data (318), wanita yang dicintai pujangga diungkapkan sebagai lepning sekar ‘bunga mekar’

kemudian dilanjutkan pada baris selanjutnya rêtna sosotyaning ngayu/

kumalaning jagad/ ‘ratna perhiasan yang cantik. Hal itu difungsikan sebagai tambahan keterangan untuk lebih memberikan efek penekanan.

Penyebutan untuk wanita yang dicintai pujangga, selain seperti yang telah disebut pada data (306)–(318) juga ada yang disebut dengan menggunakan kata kang ‘yang’. Terlihat pada data berikut.

(319) ….

jalidri amba godhonge (katang)/

mung ketang kang maweh kung/

katu alit wungu kang warni (pulutan)/

ambalut tur jatmika/

….

(Rp, Dhan, II/ 2/4)

‘pohon sejenis Jaladri yang berdaun lebar (katang),

hanya ingat yang memberi rasa cinta, katu kecil yang berwarna ungu (pulutan),

mengesankan juga sopan’

(320) Sukêt galêng (Srigunting) rinumpaka Gusti/

kang baita kandhêg ing samodra (labuh)/

rontang-ranting têmahane/

abdinya nêdya labuh/

mring kusuma kang asung branti/

….

(Pys, Dhan, I/3/5)

Rumput di pematang (srigunting) memuji pada Tuhan, Perahu yang berhenti di Samudra (labuh),

Compang camping jadinya, diriku ingin mengabdi,

Pada bunga yang membawa rasa cinta’

commit to user

Penyebutan kata ganti yang menunjuk wanita yang dicintai pujangga pada data (319)-(320) tersebut, berbentuk frase nominal kompleks relatif, yaitu kang maweh kung ‘yang memberi rasa cinta’ (pada data 319). Wanita yang dicintai pujangga diungkapkan sebagai kang maweh kung ‘yang memberi rasa cinta’, Kata kang ‘yang’ merupakan penanda kata ganti relatif yang berfungsi sebagai unsur penjelas (deskriptif). Demikian juga pada data (320), wanita yang dicintai pujangga diungkapkan sebagai kusuma kang asung branti ‘bunga yang membawa rasa cinta’. Wanita yang dicintai oleh pujangga langsung diibaratkan sebagai kusuma ‘bunga’ dan dinyatakan sebagai sesuatu yang membawa rasa cinta ‘kang asung branti’. Dalam hal ini, kata kusuma ‘bunga’ merupakan konstituen inti pada fase, sedangkan kang asung branti merupakan modifikator yang menjelaskan apa yang tergambar dari wanita tersebut.

2). Kata Ganti dalam Menyebut Pujangga

Puisi merupakan karya sastra yang bersifat monolog, hanya ada satu pembicara yang membawakan seluruh teks. Di dalam puisi kata ganti orang pertama merupakan kata ganti untuk menyatakan sang penyair itu sendiri (aku lirik). Di dalam SRPW tidak terdapat pemakaian nama diri tokoh tertentu, maka dapat dikatakan kedudukan kata ganti orang pertama merupakan kata ganti yang mengacu pada pujangga itu sendiri (Mangkunegara IV) sebagai pengarang SRPW.

Kata ganti untuk menyebut sang pujangga di dalam SRPW selain diungkapkan dengan kula, dak-, -ku, juga terdapat penggunaan istilah seperti dasih, ingsun/sun, baya, ulun yang merupakan kata ganti persona tunggal bentuk