• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Kerangka Teoritis

3. Kritik Ideologi

Nasionalisme merupakan ideologi yang digunakan untuk menjadi pisau bedah untuk menganalisa film-film Nawi Ismail dalam penelitian ini. Menurut Stavrakakis, nasioanalisme memang menjadi hal yang dikonstruksi, namun setelahnya akan ada negosiasi untuk terus merumuskan ulang wacana ini. Apa yang membuat nasionalisme masih menjadi hal yang kuat, yang masih menjadi rumusan pembentukan identitas hingga sekarang ini? Uraian mengenai kritik ideologi dari Yannis Stavrakakis yang menitikberatkan pada konsep jouissance berikut akan membantu dalam memahami pentingnya nasionalisme dalam lini kehidupan.

Stavrakakis melacak darimana muasal kritik ideologi tradisi Lacanian Kiri dengan mengambil poin-poin pemikiran: pertama, menyandingkan teori Lacan dengan Castoriadis mengenai konstruksi sosial dan politik; kedua, mengambil konsep jouissance Laclau atas Lacan untuk menegosiasikan keterbatasan afeksi wacana; ketiga merujuk pada konsep ‘act’ dan pereversi Slavoj Zizek; yang kemudian dielaborasi dengan konsep ‘event’ dari Badiou. Berangkat dari tradisi Lacanian pada konsep pembentukan subjek (Real, Imajiner, dan Simbolik), Stavrakakis kemudian menekankan sisi pengabaian ‘disavowal’ dari para pemikir yang telah disebut di atas, kemudian ia menawarkan beberapa konsep yang bisa dipakai oleh Lacanian Left.

Arah pertama yang diajukan Stavrakakis adalah melacak berpisahnya konsep Lacan dan Castoriadis untuk melihat kontruksi sosial dan politik. Bagi Stavrakakis,

26

Castoriadis bisa disebut sebagai pewaris Lacan dan yang pertama menggunakan konsep Lacan dalam tradisi kiri. 33 Realitas masyarakat bagi Lacan adalah tidak lebih dari montase yang simbolik dan yang imajiner (seminar 16 November 1966), artikulasi dari penanda-penanda yang dibuat secara imajiner-fantasmatis. 34 Baik Lacan dan Castoriadis sepakat bahwa semua yang ada dalam masyarakat ini adalah konstruksi sosial. Yannis menambahkan kesamaan mereka dalam melihat konstruksi sosial ini bahwa individu sosial, subjek sosial, pada dasarnya ada karena konstruksi sosial.35 Penggarisbawahan pada konstruksi sosial ini pula yang dipakai oleh Laclau dan Mouffe untuk melihat bagaimana wacana bekerja di masyarakat.

Meskipun Lacan dan Castoriadis sepakat adanya konstruksi sosial, namun mereka memilih untuk berbeda jalan. Yannis mencatat bahwa sikap Castoriadis yang mengingkari adanya real dalam proses identifikasi politik membuatnya memperkenalkan konsep kontinuitas makna, yang menjadi dasar dari sumber kreatifitas.36 Keduanya memang sepakat adanya proses dari luar (outside) dan dari dalam (inside) dalam proses identifikasi. Sisi luar itulah konstruksi sosial, yang baik Lacan dan Castoriadis beranggapan sama-sama memiliki batas. Namun ketika membicarakan sisi dari dalam, Stavrakakis menyatakan bahwa Castoriadis mereduksinya sebagai sesuatu yang esensialis. Padahal bagi Lacan, sisi dari dalam ini menunjukkan sebuah ketidakmungkinan penjembatanan antara real dan simbolik.

33

Stavrakakis, Yannis. 2007. Lacanian Left: Psychoanalysis, Theory, Politics. New York: State University of New York Press, Hlm. 37. Tambahan dari Yannis, Castoriadis pertama kali menggunakan konsep Lacan untuk teori sosial dan politik pada tahun 1960-an. Ia mendirikan grup Socialisme ou barbarie yang dekat dengan Lacanisme.

34 Ibid,. Hlm. 42. 35 Ibid,. Hlm. 43. 36 Ibid. Hlm. 43.

27

Bagi Lacan, sisi real ini yang membuat subjek menjadi subjek yang lack. Kreatifitas bagi Lacan sendiri adalah cara untuk membekukan ketidakmungkinan real (lost/ impossible real) – sebuah jouissance yang dikorbankan ketika subjek memasuki dunia bahasa, melalui pengartikulasian need ke demand.37 Lacan menambahkan bahwa tidak ada kreasi tanpa alienasi, dengan kata lain, tidak ada sebuah kontruksi tanpa membuat (subjek) teralienasi. Sehingga, Stavrakakis kemudian menggarisbawahi bahwa tema lack menjadi penting dalam Lacanian Left. Upaya Stavrakakis dalam menjabarkan kreativitas Castoriadis, sebaiknya tidak dianggap sebagai sebuah upaya untuk menjadikannya sebagai antithesis dari teori Lacan atau Lacanian Left. Bagi Stavrakakis, pentingnya konsep Castoriadis adalah dimensi kritik radikal dan aksi politis transformatif yang tidak bisa diabaikan.38

Adalah Ernesto Laclau dan Chantall Mouffe, dua pemikir yang menggunakan konsep Lacanian dalam tradisi kiri untuk melihat bagaimana wacana dan hegemoni bekerja di masyarakat. Namun Stavrakakis mencoba mengelaborasi lebih jauh pemikiran Laclau pribadi karena ia lebih mendedikasikan diri menggunakan konsep Lacan bila dibandingkan dengan Mouffe. Stavrakakis membuat beberapa poin penting mengapa pemikiran Laclau dan Mouffe bisa diterapkan dalam melihat wacana di masyarakat. Pertama, gagasan pada adanya kontruksi sosial dalam masyarakat, hal yang sama dikemukakan Lacan (dan Castoriadis). Konsep Lacan yang dikelola oleh Laclau dan Mouffe membantu untuk konstruksi sosial dan institusi politik, aparatus yang dielaborasi lebih jauh untuk melihat persinggungan antara teori

37

Ibid,. Hlm. 48. 38

28

wacana dan psikoanalisa.39 Beberapa apropriasi konsep Lacan yang digunakan Laclau dan Mouffe adalah ‘nodal points’ (Lacan menyebutnya sebagai ‘point de capiton’) serta logika persamaan (‘equivalence’) dan pembedaan (‘difference’) dari ‘metafor’ dan ‘metonimi’. Kedua, Laclau dan Mouffe tidak menyangkal adanya real. Menurut Stavrakakis, mengiyakan real membawa pemikiran Laclau dan Mouffe pada karakteristik negatif dan positif yang dimiliki oleh tatanan real. Stavrakakis menggarisbawahi, real yang tidak bisa direpresentasikan memindahkan sisi subjektif dan identitas objektif, dan di sisi lain kita memiliki realitas sosial-politik, ranah konstruksi yang mencoba untuk menundukkan sisi real ini.40

Dimensi negatif real adalah potensinya untuk menunjukkan batas wacana dan indeks dari dislokasi. Stavrakakis menambahkan, ‘batas-batas wacana’ (limits of discourse), sering diasosikan dengan ketidaklengkapan identitas ala post-structuralism, ‘kemustahilan masyarakat’ dari Laclau, dan ‘lack pada Liyan’ dari Lacan.41 Kemudian kata Stavrakakis, sisi positif pertama dari real adalah kehadiran penanda kosong (empty signifiers) dan objet petit a. Dalam pemikiran Laclau mengenai dislokasi, kata Yannis, pertemuan dengan real tidak hanya menyisakan pengalaman traumatis, tetapi juga kemungkinan untuk kreasi dan pengartikulasian kembali kondisi sosial dan politik.42 Inilah sisi produktif dari real.

Stavrakakis juga menambahkan adanya perjalanan fantasi ke symptom, sebagai bentuk dari dimensi positif real yang kedua. Sisi positif ini berangkat dari 39 Ibid,. Hlm. 68 40 Ibid,. Hlm. 69. 41 Ibid,. Hlm. 73. 42 Ibid,. Hlm. 75.

29

konsep jouissance dimana Lacan mengatakan bahwa “jouissance adalah kenikmatan didalam kesengsaran, kepuasan dalam ketidakpuasan”.43 Mengenai penggunaan analisa Lacanian untuk ideologi, Stavrakakis menekankan pada:

Kesuksesan dari nodal point tidak semata terletak pada kemampuan efek wacana yang terletak pada janji akan jouissance yang diimaginasikan (fantasi); tetapi tergantung pada kemampuannya untuk memanipulasi kenikmatan simptomatis tertentu yang memiliki kemampuan sebagai social sinthome. 44

Struktur dari fantasi dan symptom, bila dibaca lebih detil, akan membawa kita pada mode-mode jouissance yang terkadang sulit untuk “dibahasakan” karena sifatnya yang terlahir dari real, tatanan yang sulit digapai oleh wacana. Menurut Stavrakakis, Laclau belum memperhitungkan jouissance dalam proses identifikasi politik hingga akhirnya ia menanyakan dalam sebuah jurnal mengenai posisi jouissance sebagai political factor.45 Dan perdebatan bergulir, sehingga nantinya ajuan Stavrakakis dan partner-nya, Glynos, untuk menekankan pentingnya jouissance, sekaligus afeksi dalam analisia dan kritik ideologi.

Ketiga adalah Slavoj Zizek yang Stavrakakis sebut sebagai endorser teori Lacan dalam kritik ideologi. Kata Stavrakakis, konsep dari Laclau dan Lacan itu penting untuk reorientasi kritik dan teori politik, namun ia akan menjadi kabur ketika berhadapan dengan pertanyaan, “what is to be done?” dan “how?”. Formulasi dari Badiou mengenai ‘event’ dan nantinya dari Zizek dengan ‘act’, akan

43 Ibid,. Hlm. 78. 44 Ibid,. Hlm. 81. 45 Ibid,. Hlm. 82.

30

memperkenalkan kembali dimensi radikal, bahkan ex-nihilo, perubahan sosial-politik dalam ranah demokrasi sekarang ini yang kurang memuaskan.46

Kritik Stavrakakis atas Zizek tertuju pada pilihan ‘aksi’ (‘act’) Antigone sebagai contoh dari subjek politik radikal. Menurut Stavrakakis, pilihan Zizek pada aksi Antigone justru memiliki karakteristik merusak atau melumpuhkan.47 Bagi Stavrakakis, justru Sophocles –lah yang memiliki karakteristik radikal. Penulis naskah, baik tragedi maupun komedi, yang memiliki asumsi dan menuliskan kembali kritik sosial-politik radikal, membuat kembali masyarakat demokratis melalui seri penindakan kembali sisi politis-estetis sebagai bagian dari premis politik-etis.48 Pilihan Zizek untuk menggarisbawahi subjek yang didorong hasrat, tindakan Antigone untuk bunuh diri, tanpa memberitahukan apa yang terjadi setelahnya, dianggap sebuah tindakan abai. Zizek justru menjauh dari penekanan Lacan akan pentingnya tatanan simbolik, bahkan setelah subjek menjumpai hasratnya. Kritik Stavrakakis tidak hanya berhenti di sana. Ia juga mengkritik konsep pereversi dari Zizek, “I am aware …, but nevertheless…” yang digunakan dalam kritik ideologi Zizekian. Kata Stavrakakis, Zizek justru mengingkari karakteristik real yang memiliki dimensi negatif dan positif. 49

Yang harus dipertimbangkan kemudian adalah tempat enjoyment dan tubuh dalam demokrasi. 50 Tawaran Stavrakakis untuk mempertimbangkan space dan spatiality, mengutip dari Margaret Kohn, bahwa space tidak hanya berfungsi sebagai 46 Ibid,. Hlm. 109. 47 Ibid,. Hlm. 124. 48 Ibid,. Hlm. 129. 49 Ibid,. Hlm. 134 50 Ibid,. Hlm. 143

31

kontrol sosial, tetapi juga bisa dilihat setiap grup politik, baik kanan dan kiri, fasis dan demokratis – selalu menggunakan space untuk memasukkan bahasa, simbol, gagasan, dan rangsangan politik. 51 Selain mengutarakan untuk menggunakan spatialisasi dalam melihat ideologi bekerja, Stavrakakis juga menyarankan untuk mempertimbangkan kembali jouissance, terlebih pada feminine jouissance, penikmatan yang tidak dapat direngkuh oleh yang simbolik tetapi dapat ditangguhkan dengan cara menerima lack itu sendiri. Jouissance inilah yang tidak dibahas oleh Zizek ketika membahas tindakan radikal dalam ranah politik. 52

Terakhir adalah kunjungan Stavrakakis pada teori Alain Badiou. Bila Zizek lebih menekankan pada kualitas negatif dari real, maka Badiou justru berusaha untuk menegosiasikan dua dimensi negatif dan positif tersebut. Pertama-tama, Stavrakakis mengajukan konsep ‘peristiwa’ (‘event’), konsep aparatus yang harus diketahui terlebih dahulu. ‘The event’, kata Stavrakakis, merujuk pada jeda yang me-destabilisasi artikulasi diskursif tertentu, urutan yang sudah ada sebelumnya, atau dalam istilah Badiou disebut ‘situasi’. 53 Posisi subjek dalam skema yang diajukan Badiou adalah pembawa ‘yang loyal’ terhadap proses kebenaran (truth), seseorang menjadi subjek setelah ia bisa menjalani proses truth tersebut. 54 Dimensi negatif itu bisa hadir sebelum dan sesudah ‘the event’ sebagai bagian dari keterbatasan truth.

Menurut Stavrakakis, perbedaan antara ‘tindakan’ dari Zizek dan ‘peristiwa’ dari Badiou terletak pada: pertama dalam pemikiran Badiou terdapat momen setelah 51 Ibid,. Hlm. 144 52 Ibid,. Hlm. 144. 53 Ibid,. Hlm. 152. 54 Ibid,. Hlm. 152 -153.

32

peristiwa, inilah yang tidak dikemukakan Zizek; Kedua, sisi paling penting untuk orientasi Lacanian Left adalah karakter lokal yang dimiliki peristiwa yakni hadirnya momen setelah peristiwa, sebagai hal yang tidak murni dan membutuhkan n egosiasiuntuk menghindari bencana.55 Kata Stavrakakis, penekanan pada proses negosiasi tersebut terjembatani oleh konsep ‘situationness’ yang dikemukakan oleh Laclau. Stavrakakis menggarisbawahi bahwa ‘situationness’ menyiratkan perlunya positifisasi melampuai situasi dislocation, sedangkan ‘eventness’ akan menyatu dengan prinsip pembaruan positifisasi ini melampaui bujukan dari tindakan/ peristiwa menakjubkan (miraculous).56

Jabaran Stavrakakis mengenai skema ala Badiou, penekanan pada keloyalan terhadap ‘eventness’ justru mengimplikasikan revolusi demokratis secara permanen dalam etos politik kita, hasrat skeptis yang harus di re-inscribed dalam tiap aksi politis.57 Kedua hal tersebut, event-ness dan situationness harus dipahami dalam interelasi konstitutifnya atas kondisi kemungkinan/ kemustahilan pada tiap aksi transformasi politis. Hal ini, kata Stavrakakis sejalan dengan yang dikemukakan Miller dalam Zizek 20041: 103: ‘Psikoanalisa itu subversif karena ia mendukung sikap tidak percaya pada gagasan dan institusi resmi – tapi bukan revolutionary, karena ia juga tidak percaya pada gagasan idealistis akan masa depan cemerlang paska tindakan revolusioner.’58

55 Ibid,. Hlm. 156. 56 Ibid,. Hlm. 156 – 157. 57 Ibid,. Hlm. 157. 58 Ibid,. Hlm.158.

33

Kerangka berpikir yang ditawarkan oleh Stavrakakis semacam inilah yang akan membantu saya dalam berhati-hati untuk tidak jatuh pada sisi judgmental ketika menilai film-film Nawi. Sehingga bila hal ini diterapkan untuk membaca film-film Nawi Ismail, terutama film-film komedinya yang sarat dengan gugatan terhadap hegemoni bangsa, maka bukan jenis perlawanan itu yang akan ditonjolkan, tetapi lebih pada bagaimana dinamika wacana nasionalisme dihadirkan. Tujuannya bukan untuk mengubah, tetapi untuk mencari tahu hal-hal apa yang dituliskan dan dituliskan ulang mengenai identitas kebangsaan itu sendiri.