• Tidak ada hasil yang ditemukan

NAWI ISMAIL DALAM PETA SEJARAH FILM INDONESIA

A. Mencicipi Produksi Film di Hindia Belanda

Pasar “gambar bergerak” atau yang lumrah kita sebut sebagai film sekarang ini hadir sejak tahun 1896. Menurut Dafna Ruppin, pembawa gambar bergerak dan teknologi produksinya ke tanah koloni bernama Talbot, pemilik studio foto di Batavia. Gambar bergerak pertama kali diperlihatkan di Hindia Belanda pada 11 Oktober 1896 di Gedung Teater Batavia (kini Gedung Kesenian Jakarta), terpaut 10

37

bulan saja dari distribusi gambar bergerak pertama kali di Eropa oleh Lumiere Bersaudara di Café Salon, Perancis. Peristiwa ini juga menjadi penanda penting karena Talbot juga memperkenalkan teknologi scenimatograph yang dipatenkan oleh Lumiere bersaudara sekaligus menunjukkan rekaman gambar pertama mengenai situasi jalanan Batavia yang ia rekam sendiri.

Talbot kembali menunjukkan gambar hidup pada publik pada pertengahan Maret 1897 di Surabaya. Ia tak hanya menyajikan pemandangan lokal Batavia seperti: trem di Rijskwijk (sekarang jalan Veteran), orang-orang pribumi yang sedang mandi, rekaman di kebun binatang Batavia, tetapi juga membawa film impor yang Ruppin duga sebagai film dari Melies. 59 Talbot membawa film-film dan rekaman yang ia miliki berkeliling pulau Jawa. Kemudian ia singgah di Medan dan Binjai pada bulan November dan Desember 1897. 60 Setelah Talbot, beberapa pengusaha lain juga melakukan penayangan secara berkeliling. Bedanya, perusahaan ini selalu menempatkan penayangan gambar bergerak bersamaan dengan bentuk seni yang lain. Beberapa nama perusahaan tersebut diantaranya: The Ripograph or Giant Cinematograph at Harmston’s Circus, Miss Meranda’s Kinematograph and Gramophone, Victoria Parsi Theatrical Company dan the Cinematograph, Magician Carl Hertz’s Cinematographe.

Meskipun di penghujung abad 19 pasar gambar bergerak telah tercipta, namun khalayaknya hanya kalangan elit saja. Baru pada peristiwa pemutaran rekaman

59

Ruppin, Dafna. The Komedi Bioscoop: The Emergence of Movie-going in Colonial Indonesia, 1896 – 1914, Hlm. 227. Disertasi Ruppin ini merupakan bagian dari Creative Commons Atrribution 3.0. yang dipublikasikan pada tahun 2015.

60

38

inaugurasi Ratu Wilhemina pada 1889 di Batavia, yang disebut oleh Misbach Yusa Biran, sebagai kedatangan film pertama kali di Hindia Belanda, bumi putera bisa merasakan perjumpaan dengan gambar bergerak. Salah satu artikel menyebutkan “Orang-orang Jawa hanya mengetahui Ratu dari potretnya dan sekarang terima kasih kepada temuan ini (gambar bergerak), beliau bisa hadir di hadapan mereka secara utuh”. 61 Rekaman inaugurasi Ratu Wihelmina ini juga dibawa ke kota-kota koloni. Kehadiran bumi putera dalam penayangan ini menegaskan intrik sosial antarras. Saat penayangan di Surabaya, pelajar-pelajar HBS yang kebanyakan merupakan orang-orang elit, memprotes bumi putera yang membuat suara gaduh saat rekaman tersebut diputar. Mereka berkata, “hanya orang kurang ajar membuat suara seperti itu”. Blow up media massa setelah penayangan inaugurasi Ratu Wilhelmina, ditambah dengan kehadiran penonton lokal yang turut disorot oleh media, menjadikan penayangan ini sebagai sebuah momentum penting.

Kerajaan Belanda mengambil sikap dan mulai memanfaatkan kehadiran teknologi gambar bergerak ini dimulai pada tahun 1899. Pertama Belanda memiliki anak perusahaan yakni American Mutoscope dan Biograph Company yang mulai memasarkan produknya di tanah koloni. Kedua adalah pengambilan kebijakan bahwa hanya gambar dan tema yang relevan dengan orang Belanda sebagai subjek dalam film. Ketiga, Belanda mulai mengontrol pertunjukan gambar bergerak seperti harga tiket, keamanan publik, dan moral konten filmnya. Terakhir adalah pembagian tempat

61

Ibid.,81. Terjemahan dari: “The Javanese knew Her Majesty only from her still portrait and now, thanks to this invention, she appeared in front of them as if in flesh and blood”. Sebagaimana dikutip Ruppin dari “De Biograaf en het garnizoen van Batavia”, Akbrecht’s Zondagsblad (14 May 1899).

39

duduk penonton yang dibagi menjadi, “pribumi”, “Eropa”, dan “Foreign Orientals”.62

Persebaran gambar bergerak tak lepas dari sejarah pertumbuhan kota-kota di daerah koloni. Kota-kota urban seperti Batavia, Surabaya, Semarang, dan Medan menjadi saksi pembuatan gedung tonton tetap atau bioskop. Kehadiran kaum terpelajar bumi putera yang turut menyaksikan permulaan budaya gambar bergerak di Indonesia kolonial juga menjadi salah satu faktor pendukung pertumbuhan bibit sinema ini. Penduduk koloni sendiri tidak hanya menonton film-film dokumenter, seperti rekaman dari Talbot, tetapi juga film cerita. Para pengusaha megimpor film-film cerita dari luar, hingga pemerintahan Belanda sempat turun tangan membuat kebijakan edaran menekankan, menekankan pada kepatutan konten film untuk bumi putera yang dianggap masih “di bawah” orang Eropa.

Teknologi pembuatan gambar telah dipasarkan. Kerajaan Belanda turut serta dalam proses perekaman, yakni dengan mengambil objek-objek di tanah koloni sebagai arsip. Meskipun teknologi pembuatan film telah tersebar di kota-kota besar, namun Biran sendiri mencatat bahwa momen penting di tanah koloni yang berkaitan dengan produksi film baru berlangsung pada tahun 1926. Menurut Biran, film Loetoeng Kasaroeng karya Heuveldorp, seorang Belanda, merupakan film cerita pertama yang diproduksi di Indonesia kolonial berlatar belakang legenda Sunda yang ditampilkan dalam bentuk pertunjukan wayang orang atau sandiwara. Film ini turut

62

Ruppin, Dafna. The Komedi Bioscoop: The Emergence of Movie-going in Colonial Indonesia, 1896 – 1914, Hlm. 75. Disertasi Ruppin ini merupakan bagian dari Creative Commons Atrribution 3.0. yang dipublikasikan pada tahun 2015.

40

dibiayai oleh Bupati Bandung kala itu, Wiranatakusumah.63 Garin menambahkan bahwa film ini juga menunjukkan upaya pertemuan antara wayang, sandiwara, dan film, serta persoalan seni tradisi dalam pertumbuhan kota-kota yang sangat dinamis.64

Bila mempertimbangkan ulang temuan dari Ruppin, dengan meyakini bahwa film pada mulanya bukanlah seperti yang kita kenal sekarang, namun merupakan jalinan gambar, maka tentu saja peran dari Talbot sebagai pembuat film pertama patut digarisbawahi. Dalam temuan Ruppin pula, perlu dipertimbangkan bahwa persinggungan antara seni film dan seni pertunjukan sudah dimulai pada awal abad 1900. Pemrakarsanya adalah Abdually Esoofally, pengusaha Inggris-India, pemilik Royal Bioscope. Esoofally disebut sebagai pembuat film versi awal. Ia merekam pertunjukan Nyai Dasima, sebuah kisah tragis mengenai perempuan Indonesia yang menjadi nyai (gundik atau istri tidak sah) seorang Inggris. Sejak pertama kali diterbitkan, Nyai Dasima telah ditulis ulang beberapa kali oleh pengarang dan penyair Indonesia, Belanda, dan Cina, ditampilkan sebagai pertunjukan teratur oleh setiap rombongan komedi stambul. 65

63

Abdullah, T., Biran, M. Y., & Ardan, S. 1993. Film Indonesia Bagian I (1900 - 1950). Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, Hlm. 45.

64

Nugroho, Garin, dan S. Herlina, Dyna. 2015. Krisis dan Paradoks Film Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hlm. 32.

65

Ruppin, Dafna. The Komedi Bioscoop: The Emergence of Movie-going in Colonial Indonesia, 1896 – 1914, Hlm. 228 – 229. Kisah mengenai Nyai Dasima sendiri telah beredar di Indonesia setidaknya selama 250 tahun, pertama kali ditulis di koran pada 1896 oleh wartawan dan penggambar Erasia, Gijsbert Francis dan diterbitkan oleh Kho Tjeng Bie and Co. Ruppin sendiri masih berasumsi bahwa perekaman Nyai Dasima dipertontokan pula ke publik. Namun rekaman ini turut dibawa dalam tur Royal Bioscope ke Batavia. Program penayangan Royal Bioscope sendiri turut menyertakan adegan fiksi dan non-fiksi seperti panorama dari Jawa, adegan jalanan di Pasar Besar, Surabaaya, cerita Seribu Satu Malam, gempa bumi San Fransisco, pernikahan Raja Spanyol Alfonso, Esmeralda.

41

Yang perlu digarisbawahi dari paparan Biran dan Ruppin dalam memahami pertumbuhan produksi film di Hindia Belanda adalah usaha untuk menghidupkan kembali cerita-cerita yang sudah awam di telinga. Kemudian, meskipun Biran bersikukuh bahwa film cerita pertama melibatkan banyak bumi putera, tetapi tetap pengarah pembuatannya adalah orang asing, sama seperti proses perekaman Nyai Dasima. Unsur lokal selalu diambil karena menurut catatan Biran dan Ruppin sendiri, pada masa Hindia Belanda, pasar gambar bergerak telah terbentuk dan para pembuat film mengambil cerita yang populer di masyarakat supaya laris terjual.

Pasar film di Hindia Belanda menarik perhatian Wong Bersaudara, Tan Koen Yauw, dan The Teng Chun. Wong Bersaudara yang datang dari Shanghai karena tertarik dengan pasar film di Hindia Belanda hingga ia membuat dua film pada tahun 1929 yakni, si Tjonat dan Perampok di Preanger.66 Tan Koen Yauw membuat film Njai Dasima pada tahun 1929 dan Melati Van Agam (1930). Sedangkan The Teng Chun membuat Boenga Roos Dari Tjikembang (1931). Menurut Hanan, The Teng Chun menemukan formula suksesnya yang dapat menarik penonton Hindia Belanda. Formula yang ia gunakan adalah membuat cerita mistis dari tanah Cina Daratan dipadu dengan martial arts.67

Pada pertengahan 1930-an, pemerintahan Belanda membentuk Algemeen Nederlandsch-Indisch Film (ANIF). Bagi Sen, ANIF memiliki peranan penting untuk melihat perkembangan film di Indonesia. Mengutip Sen, ANIF membuat film musikal romantis yang menjadi hits dengan pemain dan penulis skrip dari bumi

66

Hanan, David. 2017. Cultural Specificity in Indonesian Film: Diversity in Unity. London: Palgrave Macmillan, Hlm. 55.

67

42

putera; kedua ANIF membuat film propaganda; ketiga, pada tahun 1950 ia berubah menjadi Perusahaan Film Negara (PFN). 68 Film propaganda pertama adalah Tanah Sabrang (1936) yang dibuat oleh Mannus Franken, mengenai kebijakan pemerintah Belanda mengenai transmigrasi dari Jawa ke Sumatera. Film selanjutnya adalah Terang Boelan (1937), dibuat oleh Albert Balink bekerja sama dengan Wong Bersaudara sebagai operator, skenario ditulis oleh Saeroen, dan dibintangi oleh Rd. Mochtar. Bersama Mannus Franken, Balink juga membuat film fiksi-semi-dokumenter Pareh (1936). Kemudian ada Philip Gerard Carli, atau Flip Carli, pemain bola Hindia Belanda yang tertarik membuat film. Ia mulanya mendirikan perusahaan pembuatan film pada tahun 1919 dan lebih banyak membuat film dokumenter, salah satunya adalah peristiwa meletusnya Gunung Kelud pada tahun 1919. Selain itu ia juga membuat beberapa film fiksi yakni, salah satunya berjudul Sarinah (1931).

Pada era ini, tercatat Nawi Ismail bekerja di JIF (Java Industrial Film), perusahaan yang dibuat oleh The Teng Chun. Ia memulai karirnya sebagai pemain figuran dalam film Matjan Berbisik (1941), sebuah film aksi dengan bumbu percintaan di Hindia Belanda yang mempertemukan nilai-nilai modern dan tradisional. Menurut Biran, berdasarkan wawancara dengan Nawi Ismail, pada era ini, persahabatan menjadi modal utama untuk menarik orang supaya mau bekerja di studio. Selanjutnya Nawi Ismail menjadi pemain pembantu di Melati Van Agam garapan Tan’f Film Company. Baru pada tahun 1941, Nawi bekerja di Standard Film Company sebagai asisten di bidang kamera, pembantu editor, dan pembantu laboran

68

43

sambil sesekali ikut bermain sebagai figuran.69 Standar Film hanya memproduksi tiga buah film sepanjang tahun 1941, yaitu Ikan Doejoeng, Siti Noerbaja, dan Selendang Delima.