PADA MASA REVOLUSI
E. ORDE BARU: INSTITUSI DAN ALIRAN MODAL
Pergantian Orde membawa efek besar. Penanaman nilai cinta negara pada awal Orde Baru memiliki pola berbeda dari era sebelumnya. Penanaman nilai nasionalisme oleh Orde Baru berlangsung secara perlahan. Setelah pembentukan Sinematek Indonesia, rumusan film nasional sebagai proyek negara dengan aspirasi material dan kultural. Adapun konsep nasionalisme semasa Orde Baru meliputi poin berikut: (1) Film Nasional harus merupakan produk kebudayaan Bangsa Indonesia, (2) Film Nasional harus dapat mengganti dominasi film asing, seperti halnya Bangsa Indonesia merobohkan dominasi kolonialisme, (3) Film Nasional harus mampu mengabdi kepada Bangsa dan Negara Indonesia dalam pembangunan watak dan
kebangsaan Indonesia. 85 Legitimasi budaya tidak hanya berhenti pada pembentukan
konsep semata. Penyensoran juga diperketat sehingga film-film harus menyampaikan kritik dengan beragam negosiasi, seperti memasukkan unsur humor atau unsur seksual. Selain itu, pembuatan wacana film nasional terus-menerus dilaksanakan dengan cara produksi pengetahuan, penelitian film yang dilakukan oleh Sinematek Indonesia.
84
Disarikan dari http://filmindonesia.or.id/ (diakses pada tanggal 14 Maret 2018 pukul 9.32 PM)
85
Dikutip dari Barker, Thomas. 2010. “Historical Inheritance and Film Nasional in Post-Reformasi Indonesian Cinema,” Hlm. 12.
55
Keadaan ekonomi yang membaik pada masa Orde Baru menyisakan beberapa
hal yang patut dicatat. Pertama tentu peran negara dan militer dalam
menggelontorkan dana untuk membuat film-film yang telah disebut di atas. Kedua
adalah booming minyak yang berimbas menguatnya pemodal dan terciptanya kelas
baru, mengontraskan yang kaya dan yang miskin. Ketiga adalah kemunculan budaya populer yang turut mempengaruhi isian film.
Menurut Sen, sejarah bangsa dinarasikan dalam film kembali pada era 1970an. Sen membagi beberapa jenis narasi sejarah dalam pembentukan bangsa menjadi beberapa jenis. Pertama adalah film-film historis dari Orde Baru. Sen menuliskan bahwa Orde Baru cenderung untuk mengambaikan sejarah sebelum kedatangan Belanda di Nusantara. Diskusi mengenai kelampauan dan periode Parlemen dan Demokrasi Terpimpin juga diabsenkan dari sinema Orde Baru. Narasi mengenai peristiwa 1965, Sen temui ada pada dua film, yakni Operasi X (1968) karya
Misbach Yusa Biran dan Pengkhianatan G30S (1984) karya Arifin C. Noer. 86
Kemudian ada “Bangsa dalam Sejarah” (The Nation in History) dengan karya seperti Nopember 1828 (Teguh Karya, 1978) mengenai Perang Jawa semasa Pangeran Diponegoro, yang menekankan pada “sesuai dengan historiografi Orde Baru, pembentukan negara menjadi sebuah ‘perang kemerdekaan’ bukan sebagai
‘revolusi’”.87
Selain itu Sen juga melihat adanya “All the President’s films”. Meskipun
tidak semua film yang dibiayai oleh militer menceritakan tentang Presiden Soeharto,
86
Sen, Khrisa. Ibid,. hlm. 81. 87
56
tetapi campur tangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia juga patut digarisbawahi. Mula-mula ada Divisi Siliwangi yang mendukung pembuatan Mereka
Kembali (Nawi Ismail, 1972) dan Bandung Lautan Api (Alam Surawidjaja, 1974) –
menurut Sen merupakan film yang menekankan ‘perang’ di atas usaha lain menuju kemerdekaan, seolah menihilkan argumen kepemimpinan sipil pada gerakan
nasionalis, bahkan kepentingan simbolis Soekarno dan Hatta.88 Kemudian film-film
yang menekankan kontribusi Soeharto seperti Janur Kuning (Alam Surawidjaja,
1979) karya dan Serangan Fajar (Arifin C. Noer, 1982). Menurut Sen, kedua fim ini menunjukkan “Soeharto dibentuk menjadi penguasa ideal dengan tentara yang berani dan setia, aristokrasi yang dermawan dan suportif, dan populasi yang seragam. Dia
sekaligus menjadi pewaris bangsa dan juga turut membangunnya.”89
Menurut Sen, beberapa film yang mengeksplorasi kemiskinan diantaranya:
Yatim (Arto Hady 1973), Sebatang Kara (1973) disutradari Indra Wijaya, Jangan
Biarkan Mereka Lapar (Arifin C. Noer, 1974), Ratapan si Miskin (1974) sutradara
Sandy Suwardi Hasan, dan Nasib si Miskin (1977) disutradarai Tommy Burnama. 90
Eksplorasi ketimpangan kelas dalam masyarakat juga bisa dilihat dari film Nawi
Ismail seperti Istri Dulu Istri Sekarang (1978), tentang kisah wanita dari desa
menyesuaikan diri dengan kehidupan suaminya yang berasal dari keluarga ningrat. Adapula Inem Pelayan Sexy (1976) karya Nja Abbas Akup, menampilkan bagaimana di satu sisi kelas atas tidak bisa menerima seorang pelayan menjadi istri petinggi
88 Ibid., hlm. 90. 89 Ibid., Hlm. 101. 90 Ibid., Hlm. 106
57
perusahaan, namun di sisi lain kelas ini bergantung pada kehadiran pelayan untuk urusan domestiknya.
Permasalahan akibat arus urbanisasi dan transmigrasi turut dibekukan dalam
film-film Orde Baru. Ada film dari Benyamin Sueb berjudul Hippies Lokal (1976),
mengenai gelandangan di kota besar. Film ini sendiri didukung oleh Dinas Kebersihan DKI. Contoh dari Sen mengenai film mengenai transmigrasi adalah Dr.
Siti Pertiwi Kembali ke Desa (1980) yang disutradarai Ami Priyono. Menurut Sen,
“Film ini merupakan propaganda ekstensif dari projek pembangunan milik pemerintah. Film ini diproduksi oleh Safari Sinar Sakti yang berjejaring dengan Partai Golongan Karya dan organisasi muda-mudi Golongan Karya, KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) dan AMPI (Angkatan Muda Pembangunan
Indonesia).”91
Selama periode Orde Baru, berkembang suatu genre yang menjadi ciri khas sinema Indonesia. Menurut Hanan, beberapa genre khusus yang populer di mata penonton terkadang memiliki bintangnya sendiri. Hanan mencatat ada Benyamin Sueb, penyanyi dan komedian, yang membintangi 40 film dalam kurun waktu 10 tahun. Hanan menambahkan, “Dalam film-film kelas B yang dibintanginya,
Benyamin mengembangkan kritik atas moderninasi Jakarta”.92 Genre selanjutnya
91
Ibid., Hlm. 121-122. “… with extensive propaganda for specific government
developmental projects.It was produced by the Golkar-connected Safari Sinar Sakti, and Golkar Youth Organization, KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) and AMPI (Angkatan Muda Pembangunan Indonesia).
92
Hanan, David. 2017. Cultural Specificity in Indonesian Film: Diversity in Unity. London:
Palgrave Macmillan,. Hlm. 79. Kekhasan film-film Benyamin terletak pada lagu-lagu yang ia nyanyikan dalam filmnya. Menurut Hanan, lagu-lagu Betawi berasal dari bentuk awal
58
adalah dangdut, musik yang menjadi fenomena massal di Indonesia pada tahun 1970-an, terutama di kalangan kelas pekerja muda. Aktornya adalah Rhoma Irama yang menurut Hanan, “telah membintangi setidaknya 26 film dangdut dari tahun 1976 hingga 2011, menjadikannya sebagai bintang paling populer di layar kaca Indonesia”. 93
Genre ketiga adalah ‘Ratu Pantai Selatan’, berdasarkan legenda mengenai Nyi Roro Kidul dan puterinya Nyi Blorong. Hanan juga menambahkan ada beberapa genre populer lainnya di Indonesia seperti silat, film remaja, dan cerita-cerita dari masa kolonial.
Menambahkan Hanan, terdapat film genre prostitusi seperti yang digarisbawahi oleh Sen. Sebagaimana dikutip Yngvesson mengikuti argumen Sen, “… bagi genre prostitusi, trend populer yang telah lama ada, film-film melodramatis
fokus pada pengalaman pekerja seks wanita, yang mana Bumi Makin Panas
merupakan contoh paling terkenal. ” 94 Yngvesson sendiri melakukan close-reading
pada film Bumi Makin Panas (Ali Shahab, 1973). Hasil temuan Yngvesson adalah
kejeniusan Ali Shahab yang membuat Maria (diperankan Suzanna) dalam film tersebut menjadi senjata simbolis seperti halnya pekerja seks semasa Penjajahan Belanda dan Pendudukan Jepang. Kemampuannya sebagai senjata simbolis yang secara tidak langsung tertanam dalam struktur otoritas patriarki semasa Suharto,
musikal masyarakat Betawi, gambang keromong, dan liriknya penuh humor, menggunakan idiom-idiom Betawi, mengemas kehidupa miskin masyarakat Betawi.
93 Ibid 94
Yngvesson, Dag. 2014. “The Earth is Getting Hotter: Urban Apocalypse and Outsider Women’s Collectives in Bumi Makin Panas,” Plaridel. Vol. 11 No. 2. August 2014. Hlm: 56.
59
memungkinkannya menyampaikan dorongan amoral yang “tersembunyi” serta
strategi dalam menghadapi wacana ideologi positivis/kapitalis yang semu.95
Situasi perfilman semasa Orde Baru memang dipenuhi oleh sensor. Kritik terhadap pemerintahan disampaikan secara simbolis, salah satunya dengan adanya film bertema seks seperti pendapat Yngvesson. Sedangkan jalan lainnya adalah dengan komedi, seperti yang dikemukakan Hanan dalam argumennya mengenai film-film Benyamin. Pada sisi yang berseberangan, film-film-film-film dari sutradara kenamaan seperti Sjuman Djaja dan Nja Abbas Akup malah melanggengkan ideologi Orde
Baru. Contohnya film Sjuman Djaja, Si Doel Anak Betawi (1972) yang
menyelesaikan konflik terbatasnya akses Doel (Ratno Karno) untuk sekolah dengan
pernikahan ibunya dan pamannya; dan Si Doel Anak Modern (1976), menyelesaikan
persoalan antar kelas antara Doel dewasa (diperankan Benyamin S.) yang tradisional dengan Kristin (Christine Hakim) dalam institusi pernikahan. Kemudian adapula film
Nja Abbas Akup, Ambisi (1973). Meskipun film ini dianggap sebagai penyegaran
dalam sinema Indonesia, tetapi akhir film ini sendiri menegaskan domestifikasi perempuan sebagai bagian dari ideologi Orde Baru.
Nawi Ismail termasuk sutradara yang aktif membuat film pada masa Orde Baru. Setidaknya ada lebih dari 20 judul film yang beberapa di antaranya menjadi box
office pada tahun 1970-an dan 1980-an. Nawi memang dikenal sebagai sutradara di
belakang film si Pitung yang melambungkan nama Dicky Zulkarnaen. Tidak
tanggung-tanggung, keberhasilan si Pitung dibuat menjadi trilogi: Banteng Betawi
(1971) yang menekankan pada tragedi kisah cinta Pitung dan Aisyah kemudian
95
60
Pembalasan si Pitung (1971) yang menekankan pada Djiih sebagai penerus Pitung dalam melawan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1970-an, Nawi bergabung
dengan PT Adhi Yasa Film, bersama dengan Lilik Sudjio (sutradara Zorro
Kemayoran dan Misteri Gunung Merapi). Bersama dengan PT Adhi Yasa Film, Nawi memproduksi film komedi yang melambungkan nama-nama penyanyi Ibu Kota seperti Ida Royani, Grace Simon, dan Yatni Ardi. Film komedi yang menurut Hanan
dikategorikan ke dalam low-budget film tersebut dibintangi oleh Benyamin Sueb.
Judul-judul filmnya antara lain: Benyamin Biang Kerok (1972), Biang Kerok
Beruntung (1973), Benyamin Brengsek (1973), Ratu Amplop (1974), Samson Betawi
(1975), Benyamin Tukang Ngibul (1975), Benyamin Koboi Ngungsi (1975) dan Tiga Janggo (1976).
Film-film Nawi Ismail, terutama yang diproduksi bersama dengan PT Adhi Yasa Film, memang bukan film favorit kritikus. Salah satu wartawan yang mewawancarai Nawi berkata, “Sebanyak itu pula (tujuh film Nawi yang disebutkan
di atas), saya tidak menemukan satupun karyanya yang terpuji.”96 Secara kasat mata,
film-film Nawi yang dibintangi oleh Benyamin memang memiliki kualitas berbeda dengan film yang diproduksi oleh Usmar Ismail, misalnya, atau dibuat oleh Sjuman Djaya. Hal ini diperkuat dengan ambilan kamera yang memberikan kesan tidak nyaman serta dialog pemain yang vulgar dan sarkas (bahkan lekat dengan kehidupan sehari-hari). Meskipun demikian, kekuatan film Nawi sendiri terletak pada kepiawaiannya membangun alur dan mengolah cerita yang ditemui dalam keseharian
96
Suara Karya Minggu. 4 September 1977. “Pembalasan Si Pitung, Tantangan Bagi Nawi Ismail”.
61
sekaligus membuat penonton Indonesia merasakan memiliki pahlawan yang sama
dengan orang luar (semisal dalam film Samson, koboi dalam Benyamin Koboi
Ngungsi atau 3 Janggo). Menanggapi komentar wartawan tersebut, Nawi pun
menegaskan dirinya memang bukan sutradara yang mampu membuat film halus. “Bila produser datang sama saya untuk minta dibikinin film kayak Wim Umboh dan Asrul Sani, yah… saya persilahkan saja untuk datang sama Wim atau Sani. Jangan
sama saya,” tegas Nawi Ismail.97
Selain berkolaborasi dengan Benyamin, Nawi tercatat juga bermain dengan Djalal (pelawak laris 1970-an) dan Warkop DKI. Film yang diproduksi bersama
Djalal antara lain: Zaman Edan (1978), menceritakan tukar peran antar suami istri
dimana Djalal berperan sebagai bapak rumah tangga; lalu ada Istri Dulu dan Istri
Sekarang (1978) yang berkisah mengenai romansa pemuda gedongan saat jatuh cinta dengan gadis dari desa dimana ia berusaha mengangkat derajat istrinya di hadapan
sosialita Jakarta. Setelahnya Nawi Ismail membuat film Mana Tahan (1979), film
perdana Warkop DKI, dilanjutkan dengan Ge.. Er (1980) dan Gengsi Dong (1980).
Judul-judul film lainnya yang diproduksi Nawi Ismail selama tahun 1980-an
diantaranya: Orang-orang Sinting, Enak Benar Jadi Jutawan, Warok Singo Kobra,
Sama Gilanya, Asal Tahu Saja, Demam Tari. Terakhir, sebelum berpulang, Nawi Ismail memproduksi Memble tapi Kece yang dibintangi oleh Jaja Miharja.
97
62
F. 1990-AN – SEKARANG: JEJAK NAWI ISMAIL DALAM BUDAYA