• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASIONALISME DALAM FILM-FILM NAWI ISMAIL

A. Lahirnya Realitas Simbolik

Menjadi subjek adalah proses dimana individu yang semula berada dalam fase imajiner bergerak ke fase simbolik. Pada tatanan ini subjek menjadi subjek yang berbahasa. Ia harus menggunakan hukum yang telah diterapkan oleh Liyan. Name-of- the-Father atau Nama-sang-Ayah, sebuah penanda yang merepresentasikan otoritas dan tatatan, membuat realitas subjek terinstitusikan.134 Begitu memasuki ranah bahasa, subjek dikastrasi dengan berbagai larangan yang membuatnya tidak bisa kembali lagi menikmati relasinya dengan Sang-Ibu dan membuat jouissance dikorbankan.

Lalu apa yang membuat sebuah institusi, atau dalam penelitian ini yakni negara, menjadi pemegang otoritas simbolik? Mengapa subjek mau mengkuti proses identifikasi dengan Liyan sebagai objek identifikasinya? Apa yang membuat subjek tunduk? Menurut Stavrakakis, momen saat subjek mengorbankan jouissance atau saat kastrasi simbolik terjadi menjadi point of no returnes,135 subjek tidak bisa kembali pada titik dia menjumpai kenikmatan tersebut. Tanpa seseorang yang memegang

134

Ibid., hlm. 174.

135

161

kendali maka realitas itu akan runtuh. Dibutuhkan penjamin yang bisa menegaskan identitas subjek. Dalam wacana nasionalisme, penjamin itu adalah negara. Lalu bagaimana negara bisa muncul sebagai penjamin?

Dalam si Pitung, penonton bisa melihat perpindahan dari tatanan imajiner ke tatanan simbolik, yang nantinya bisa menjadi dasar pembentukan identitas kolektif berbangsa. Film ini secara tidak langsung ingin menyampaikan bahwa kehidupan rakyat lebih sejahtera dibanding setelah kedatangan Belanda. Mitos semacam ini ditegaskan oleh Pitung saat mengobrol dengan Djiih dalam adegan Patok Sawah, “rakyat makin ciut sawahnya. Tuan tanah makin lebar sawahnya”. Melalui percakapan ini bisa disimpulkan bahwa Pitung hendak membangun kesadaran adanya masa-masa dimana bangsa bumiputera pernah sejahtera, tetapi kesejahteraan itu diambil oleh Belanda. Inilah momen saat Pitung mengingatkan adanya tatanan imajiner, saat dimana rakyat bisa memiliki penghidupan layak hanya berbekal tanahnya sendiri. Namun ketika mereka memasuki tatanan simbolik yang dibuat oleh Belanda, kenikmatan itu hilang. Begitu memasuki tatanan sosial buatan Belanda ini, rakyat harus berjumpa dengan hierarki kelas, dimana Belanda memiliki posisi tertinggi, lalu disusul Tuan Tanah dan Babah, kemudian ada orang-orang terpandang dari bumiputera, kemudia rakyat berada di posisi paling bawah.

Penekanan pada ujaran Pitung yang mencoba mengartikulasikan keadaan sejahtera sebelum kedatangan Belanda bisa diibaratkan seperti propaganda nasionalis yang mempercayai bahwa masa sebelum penjajahan merupakan saat-saat yang membahagiakan. Menurut Stavrakakis, asumsi propaganda nasionalis itu berdasar pada adanya periode imajiner yang disebut sebagai ‘bangsa asli’, saat dimana bangsa

162

sejahtera dan bahagia. Tetapi, keluguan bangsa asli ini dihancurkan oleh kehadiran Liyan yang jahat, yang telah mengambil kenikmatan rakyat.136 Kehadiran Pitung dan komplotannya seperti ingin menunjukkan sebuah upaya untuk bisa mengobati (secara metaforis) proses dari perjumpaan rakyat dan Belanda, sekaligus mengupayakan untuk bisa mendapatkan kenikmatan (yang hilang) itu kembali. Hal ini kemudian disokong oleh adegan-adegan yang Nawi hadirkan untuk memunculkan Pitung sebagai pahlawan bagi rakyat, seperti perampasan harta Babah Bong dan Saadin, serta penyelamatan anak perawan dari Babah Long Seng. Pitung mampu memberikan janji bagi rakyat untuk mendapatkan kembali periode kesejahteraan itu melalui adegan saat Pitung menyerahkan uang hasil rampasan untuk rakyat dan adegan saat ia menyuruh petani menggarap kembali tanah mereka.

gambar 27 . adegan saat Pitung memberikan jaminan keamanan pada rakyat (si Pitung)

Meskipun kepahlawanan si Pitung disokong oleh adegan-adegan pengembalian harta dan tanah rampasan, tetapi itu belum cukup untuk menjelaskan

136

163

mengapa setelah cerita bergulir rakyat mau tunduk pada Pitung. Pitung sendiri dianggap sebagai pembangkang oleh Belanda. Bagi rakyat, Pitung memiliki posisi lebih tinggi dari mereka. Pitung dianggap sebagai perwakilan dari salah satu otoritas

yang dibentuk oleh Belanda. 137 Ia merupakan murid dari Haji Naipin, salah satu

orang terpandang yang dihormati oleh Belanda. Oleh sebab itu, tanpa memperhitungkan konten dari seruan Pitung apakah nantinya akan berdampak baik atau buruk, rakyat patuh karena Pitung dianggap mampu menjadi penjamin identitas mereka.

Lalu bagaimana identitas kebangsaan dalam film ini dibentuk? Kehadiran Pitung yang mampu memikat rakyat untuk patuh kepadanya sebenarnya bisa dilihat sebagai upaya untuk membuat pembedaan antara rakyat dan Belanda. Justru dengan kehadiran Pitung, rakyat mau menjadi dan meyakini untuk mengambil posisi sebagai ‘bukan-Belanda’. Inilah model inkrinpsi dari proses pembentukan identitas yang mulanya mengambil posisi atas batas-batas politik yang menegaskan adanya ‘dari

dalam’ dan ‘dari luar’, ‘diri’ dan ‘yang lain’, ‘domestik’ dan ‘orang luar’.138

Penanaman kesadaran bahwa Belanda sebagai ‘orang luar’ terus didengungkan sepanjang film. Ditambah dengan penggambaran sosok Belanda yang tidak memihak

137

Ibid,. 179-184. Stavrakakis memberikan contoh saat melalui cerita the Yes Men, dua aktivis anti korporasi yang membuat fake website dan mengaku sebagai perwakilan World Trade Organization. Orang-orang yang percaya Mike dan Andy sebagai perwakilan WTO, mulai mengundang The Yes Men dalam seminar penting dan pertemuan bisnis. Meskipun mereka pada akhirnya mengakui bahwa mereka berbohong, tetapi tidak ada satu pun yang mempercayai kebohongan ini. Dari contoh ini, Stavrakakis berkata bahwa, sejauh sebuah ujaran berasal dari otoritas atau wakil otoritas, maka orang-orang akan mempercayai dan tunduk terhadapnya. Tanpa adanya seseorang yang menjamin identitas subjek maka identitas tersebut akan menggantung dan tidak aka nada interaksi sosial.

138

164

rakyat sama sekali, akhirnya menjadikan rakyat dengan mantab mengambil posisi untuk memihak Pitung.

Selanjutnya, dalam Mereka Kembali, posisi Belanda sebagai Liyan yang

hendak mengambil kenikmatan Indonesia ditegaskan. Dalam film ini, rakyat telah memiliki negara sebagai institusi dan penjamin identitas kebangsaan mereka. Film ini fokus pada perjalanan tentara Siliwangi semasa revolusi. Indonesia dalam film ini dihadirkan sebagai negara yang kalah dalam perundingan Renville sehingga kemampuannya untuk melindungi rakyat bisa digugat. Namun, alih-alih mempersoalkan ketidakmampuan Soekarno-Hatta dalam menghadapi Belanda, Siliwangi justru bertekad untuk memperjuangkan kemerdekaan dengan jalan perang fisik. Film ini seolah menegaskan bahwa untuk menjaga kestabilan negara, jalan diplomasi (seperti yang dilakukan oleh Soekarno-Hatta), kurang memiliki taji. Dengan adanya diplomasi dengan pihak musuh, justru kekuatan negara semakin melemah. Hal ini ditunjukkan lewat adegan ketika Siliwangi menjumpai poster yang berisikan gambar bahwa Soekarno-Hatta melemah, salah seorang prajurit Siliwangi malah mencemooh dan menyalahkan pemimpin negara tersebut atas kekalahan Indonesia dalam Perjanjian Renville. Film ini juga memberitahukan bahwa ketidakmampuan Indonesia dalam menstabilkan negara, juga memunculkan pemberontak ‘dari dalam’ seperti Darul Islam yang ingin merusak kemerdekaan.

Karena ketidakmampuan negara, Mereka Kembali kemudian menampilkan

bagaimana kekuatan militerisme di Indonesia menjadi satu-satunya penyokong kedaulatan. Kehadiran Divisi Siliwangi bisa dilihat sebagai upaya dari reproduksi propaganda nasional dalam menegaskan batas-batas politik antara ‘kami’ dan

165

‘mereka’, menjadikan Belanda sebagai ‘orang luar’ yang akan selalu mengambil kemerdekaan. Perang fisik yang dipilih oleh Divisi Siliwangi merupakan upaya untuk tetap menjaga supaya kenikmatan karena sudah menjadi negara merdeka tidak diambil lagi oleh Belanda ataupun dikacaukan oleh Darul Islam.

Konstruksi identitas nasional dalam Mereka Kembali dan si Pitung memang

selaras dengan apa yang selalu diujarkan ketika membahas sejarah pembentukan Indonesia. Belanda selalu diposisikan sebagai penjajah yang hendak merebut kembali kemerdekaan. Namun pembacaan semacam ini memiliki batasnya sendiri. Ia tidak mampu menjelaskan bagaimana subjek mengidentifikasikan dirinya setelah kemerdekaan? Lima film selanjutnya dari Nawi bisa mengungkapkan apa yang terjadi setelah kemerdekaan, ketika subjek tidak lagi mengidentifikasikan diri mereka dengan negara, tetapi justru pada kota Jakarta. Dalam film-film Nawi selanjutnya,

Jakarta ditegaskan sebagai objek yang membuat subjek lack. Ketika Jakarta

dibahasakan dalam film ini, Jakarta tidak lagi menjadi tinanda tetapi ia menjadi hal yang menandakan (metonimi): “Jakarta” yang berfungsi sebagai “negara”.

Gambar 28 Pergi ke kota adalah perjalanan untuk mengalami menjadi

166

Kelima film Nawi yang mengambil latar kota, justru memperlihatkan bagaimana agen dari negara bekerja untuki membentuk realitas simbolik bagi rakyat. Nawi memberikan gambaran bahwa negara membiarkan korupsi lewat adegan dalam Ratu Amplop, saat juri menghitung dan mengedarkan amplop dari peserta kontes kecantikan. Selain itu, Nawi juga menghadirkan aparatus yang memiliki fungsi untuk

menstabilkan negara. Dalam film Benyamin Tukang Ngibul, 3 Janggo, dan Memble

tapi Kece, pendukung visi dan misi negara adalah aparat keamanan (satpol PP,

marshall dalam 3 Janggo, dan petugas kepolisian). Berbeda dengan Mereka Kembali

yang menghadirkan militer sebagai agen negara yang sempurna, satu-satunya kelompok yang mendukung perjuangan, justru dalam ketiga film ini, aparatus keamanan digambarkan memiliki cela. Dalam adegan saat Beni tiba di Jakarta pertama kali, ia melihat kehadiran satpol PP mengusir tukang judi. Tetapi ketika Satpol PP itu sudah pergi, pedagang dan tukang judi kembali ke tempat semula, seolah ingin menyiratkan bahwa petugas keamanan bisa ditipu dan membiarkan

pengganggu ketertiban ini untuk kembali ke tempat semula. Sedangkan dalam 3

Janggo, tokoh Marshall digambarkan abai dalam mendengarkan keluhan warga. Ia tidak mampu menindak Don Lego yang telah mengusik ketentraman warga. Terakhir,

dalam Memble tapi Kece, secara sekilas dihadirkan aparatus keamanan saat

menangkap Mirja yang sedang mencuri celana dalam. Dalam film ini, petugas keamanan digambarkan memiliki sisi represif yang sanggup menindak warga.

Selain agen “resmi” yang ditunjukkan Nawi sebagai pendukung negara, ada keluarga yang ditekankan menjadi pembentuk realitas simbolik dalam film. Dalam Ratu Amplop, penonton bisa melihat bagaimana Bapak Ratmi memaksa anaknya

167

untuk bisa menikah. Pak Maruf menganggap anaknya telah dewasa, dengan demikian ia diharuskan membentuk keluarga. Pada Memble tapi Kece, keluarga Mirja justru selalu menekankan anaknya untuk bisa mengambil posisi dalam masyarakat, mengajaknya menjadi supir taksi seperti bapaknya. Benyamin Tukang Ngibul juga tak luput membicarakan kelurga sebagai agen paling bawah pendukung realitas simbolik. Kehadiran tokoh Salim dan istrinya yang selalu menasehati Beni menjadi cara lain untuk memberitahukan aturan main bila Beni mau tinggal di kota: bekerja dengan jujur, tidak menjadi sampah masyarakat. Pada 3 Janggo sendiri, Beni yang digambarkan sebagai individu yang bebas justru diajak berkeluarga oleh anak Marshall. Terakhir, Samson Betawi, celetukan Duile pada Samson justru menjadi penegas realitas simbolik dalam film yang menghadirkan adanya kelas bawah dan kelas gedongan.

Realitas simbolik yang digambarkan memiliki celah ini justru membuat kelima film Nawi bergerak ke arah berbeda dari dua film sebelumnya. Saat patriotisme menjadi pendukung nasionalisme (rakyat mengambil posisi Bukan-Belanda karena dijanjikan tanah kelahiran mereka di si Pitung; Siliwangi mengambil posisi sebagai Indonesia karena dijanjikan kemerdekaan untuk kembali ke tanah kelahiran mereka pada Mereka Kembali), maka dalam lima film ini patriotisme menjadi statement yang menggugat kemerdekaan. Justru setelah negara terbentuk, subjek tidak merasa utuh karena mereka tidak bisa menikmati tanah yang menjanjikan kemerdekaan bagi mereka. Dalam identitas nasional yang menjanjikan penyatuan keberagaman ternyata ia tidak bisa menanggung letupan real, saat subjek digerakkan oleh jouissance yang hilang dalam proses pemaknaan. Subjek,

orang-168

orang Betawi, dalam film berusaha mengambil kembali tanah yang sebelumnya

memberikan penikmatan dan mereka menggugat negara.139 Lalu bagaimana cara

Nawi menggambarkan fantasi nasionalisme untuk mereduksi antagonisme sosial yang dihasilkan dari situasi paska kemerdekaan yang justru memunculkan kelas-kelas sosial yang bersitegang? Hal ini bisa dilihat dari bagaimana narasi film menunjukkan cara-cara negara supaya subjek mau memasuki tatanan sosial yang telah dibangun.