• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK YANG MEMPENGARUHI KOMBINASI DIPLOMASI KEBUDAYAAN TRADISIONAL DAN POP

3.1 Kritik-kritik terhadap ODA dalam negeri

3.1.3 Kritik terhadap Persyaratan Penerima ODA

Universitas Indonesia 61

3.1.3 Kritik terhadap Persyaratan Penerima ODA

Dalam ODA Charter, tertulis bahwa garis pedoman ODA Jepang adalah bantuan mandiri atau self-help, keamanan manusia atau human security, menjaga keadilan, penggunaan pengalaman dan pengetahuan secara optimal, serta harmonisasi dan kerja sama dengan masyarakat internasional. Sebagai prinsip, tertulis pula bahwa pemerintah Jepang mempertimbangkan hal-hal berikut, yaitu lingkungan dan pengembangan, menghindari penggunaan dana untuk tujuan militer, memperhatikan pengeluaran dana untuk militer dan senjata pemusnah massal di negara penerima, serta memperhatikan keadaan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).16

Terkait dengan ODA Charter tersebut, pemerintah Jepang selama ini memberi bantuan terhadap negara-negara yang memiliki kekuatan militer, pernah melakukan eksperimen senjata nuklir, atau pemerintahan junta, seperti China, India, Pakistan, Burma/Myanmar, dan lain-lain. Hal ini tentu saja menimbulkan kritikan.17 PM Miyazawa (1991—1993) pernah mempersoalkan hal-hal tersebut dengan mengatakan bahwa keadaan politik dan perlindungan HAM perlu menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan sasaran ODA. Myanmar adalah contoh baik sebagai negara yang perlu dipertimbangkan oleh Jepang apakah sesuai dengan persyaratan penerima ODA tersebut. Myanmar sendiri memiliki persoalan politik, junta militer, dan negara yang berkedaulatan yang lemah.

Indonesia juga demikian. Pada masa pemerintahan Soeharto, terjadi banyak pelanggaran HAM di Indonesia. 18 Misalnya, ketika Timor Leste mendeklarasikan kemerdekaannya, pemerintahan Soeharto mengirim Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Timor Leste untuk mencegah kemerdekaan mereka. Indonesia menginvasi Timor Leste sebagai Timor-Timur dan menganeksasinya sebagai salah satu provinsi Indonesia. Sampai kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1999, banyak konflik telah terjadi dan banyak penduduk setempat telah

16 http://www.mofa.go.jp/mofaj/gaiko/oda/seisaku/taikou.html (diakses pada 10 Juni 2011) 17

Rix, op.cit., hal.35 18

 

Universitas Indonesia tewas. Dalam kasus peristiwa Santa Cruz, misalnya, TNI menembak penduduk setempat secara membabi-buta.19

Walaupun HAM dipermasalakan dalam masyarakat internasional, Kementerian Luar Negeri Jepang menggunakan kebijakan nonintervensi terhadap masalah-masalah politik di negara lain. Sikap pemerintah tersebut mengundang kritik dari masyarakat, terutama NGO yang bertujuan untuk melindungi HAM. 3.2 Keadaan Ekonomi Dalam Negeri Jepang

Meskipun Jepang dengan negara-negara penerima ODA menikmati hubungan baik, Jepang mulai menghadapi kesulitan untuk memelihara jumlah ODA pada tahun 1990-an. Keadaan ekonomi dalam negeri Jepang pada tahun 1990-an sering disebut ‘The Lost Decade’.

Sejak tahun 1991, rasio pertumbuhan ekonomi Jepang (berdasarkan GDP nyata) terus menurun. Pada tahun 1980-an, rasio pertumbuhan ekonomi adalah 3.8 persen, tetapi pada tahun 1990-an, menurun sampai 1,6 persen, terutama dari tahun 1992 sampai tahun 1999. Pada tahun-tahun tersebut, Jepang mengalami keadaan ekonomi yang cukup sulit diatasi dengan rasio pertumbuhan ekonomi sekitar 1 persen. Rasio pertumbuhan ekonomi tersebut sangat kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi AS pada waktu yang sama. Pada tahun 1990-an, rasio pertumbuhan ekonomi nyata Jepang adalah kedua terkecil di antara seluruh negara G-7 dan penurunan ekonomi Jepang dalam 10 tahun adalah yang paling signifikan20 Tabel 3.1 berikut menunjukkan perbandingan rasio pertumbuhan ekonomi Jepang dan negara G7 yang lain.

19 JICA, Bantuan Pengembangan Negara Timor Leste oleh JICA (2002), hal. 1—2 (dalam bahasa Jepang: 国際協力事業団「JICA の対東ティモール復興・開発支援」)

20 Shiratsuka, Taguchi Mori, Laporan Tengah mengenai Penanganan Kebijakan Pengaturan

setelah Runtuhnya Gelembung di Jepang, (Financial Research Center of Bank of Japan, 2002), hal.

87 (dalam bahasa Jepang: 白塚、田口、森、「日本におけるバブル崩壊後の調整に対する 政策対応―中間報告―」、2002 年、日本銀行金融研究所)

 

Universitas Indonesia 63

Tabel 3.1

Rasio Pertumbuhan Ekonomi Nyata di Negara-negara G-7 (%/ Tahun)

1970-an 1980-an 1990-an

Jepang 5.2 3.8 1.6 AS 3.2 2.7 2.6 Jerman 3.2 1.8 1.6 Prancis 3.7 2.3 2.7 Inggris 2.4 2.4 2.8 Italia 3.7 2.4 2.3 Kanada 4.4 2.9 2

Sumber: Shiratsuka, Taguchi, Mori, 2002:2

Dari tabel 3.1 tersebut, dapat dilihat bahwa walaupun negara-negara G-7 lain juga mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, penurunan rasio pertumbuhan ekonomi Jepang adalah paling besar.

Penurunan rasio pertumbuhan ekonomi Jepang tentu saja mempengaruhi GDP per kapita. Grafik 3.5 yang ditunjukkan di bawah adalah transisi GDP per kapita di Jepang, AS, dan Inggris. Pada tahun 1980-an, GDP per kapita Jepang adalah sekitar 70 persen dari GDP per kapita AS. Akan tetapi, Jepang mengalami perkembangan ekonomi yang luar biasa. Pada tahun 1990-an, selama 10 tahun, GDP per kapita Jepang melebihi AS. Menariknya, Nishimura mengatakan bahwa perkembangan ekonomi Jepang pada tahun 1990-an adalah hal yang istimewa dan penurunan pertumbuhan ekonomi pada saat ini bukan persoalan yang perlu ditanggapi serius.21 Walaupun keadaan ekonomi Jepang memburuk, GDP per kapita Jepang pada tahun 2000 lebih tinggi daripada Inggris 22

21 Nishimura, Masa Lalu dan Masa Depan Jepang: Apa Lost Decade yang Sebenarnya?(Shinsho, 2002, http://www.waseda.jp/student/shinsho/html/65/6515.html (diakses 15 April 2011) (dalam bahasa Jepang: 西村「「失われた10年」とは何なのか、(新鐘2002年))

 

Universitas Indonesia Grafik 3.5

Transisi GDP per kapita di Jepang, AS, dan Inggris

Sumber: http://www.waseda.jp/student/shinsho/html/65/6515.html (diakses pada 6 Mei 2011)

Sebaliknya, banyak penelitian yang memaparkan bahwa penurunan ekonomi Jepang signifikan dan perlu ditanggapi dengan serius, seperti Shiratsuka, Taguchi, dan Mori dari penelitian keuangan di Bank Jepang.23 Laporan tengah mengenai penanganan kebijakan pengaturan setelah runtuhnya gelembung di Jepang memiliki tujuan utama memperlihatkan kebijakan finansial dan keuangan yang berskala besar adalah untuk menghindari deflasi. Sebagai salah satu kebijakan finansial, bunga dalam jangka pendek telah mencapai hampir nol (Bank of Japan telah 6 kali melaksanakan deregulasi) (1991—1993).24 Selain itu, pemerintah Jepang melaksanakan banyak kebijakan keuangan, seperti menambah proyek-proyek publik. Akan tetapi, keadaan ekonomi tetap buruk sehingga anggaran defisit Jepang menjadi yang paling besar dalam negara-negara maju. Permasalahannya adalah walaupun ada kebijakan pemerintah, keadaan ekonomi Jepang tetap menghadapi kesulitan selama lebih dari 10 tahun.25

Perkiraan salah satu alasan penyebab hal tersebut terjadi adalah pemerintah dan masyarakat Jepang tidak dapat beradaptasi dengan perubahan global, seperti renovasi informasi dan komunikasi, lingkungan kompetitif, dan sebagainya. Manajemen institusi keuangan dalam negeri juga bermasalah. Bak-bank Jepang memelihara sistem tradisional dalam aliran liberalisasi keuangan.

23 Shiratsuka, Tagushi dan Mori, op.cit., 24

Ibid., 25 Ibid.,hal.88

 

Universitas Indonesia 65

Oleh karena itu, sewaktu gelembung runtuh di Jepang pada tahun 1990, institusi keuangan tidak menanggani masalah tersebut dengan cepat dan tepat.26

Akibat menurunnya peekonomian Jepang berdampak terhadap jumlah ODA yang diberikan oleh pemerintah Jepang selama ini. Seperti yang telah dijelaskan di bab 2, Jepang pertama kali menjadi donor terbesar pada tahun 1989. Kecuali tahun 1990, Jepang memelihara posisi sebagai donor terbesar di dunia sampai tahun 1999. Pada tahun 2001, pengeluaran ODA AS melebihi Jepang.27

Akan tetapi, seiring memburuknya keadaan ekonomi dalam negeri Jepang, pengeluaran ODA juga ikut menurun. Grafik 3.6 berikut menunjukkan transisi kinerja ODA oleh negara-negara maju. Sejak tahun 2001, jumlah ODA Jepang tidak memperlihatkan perkembangan.

Grafik 3.6

Transisi kinerja ODA oleh pemberi utama (Unit: AS$ 100 Juta )

Sumber: http://www.mofa.go.jp/mofaj/gaiko/oda/shiryo/jisseki.html (diakses pada 6 Mei 2011) Dari grafik tersebut, bisa dikatakan bahwa Jepang tidak dapat memelihara posisi yang diduduki selama ini sebagai donor terbesar di dunia. Keadaan

26 Ibid., hal.90

 

Universitas Indonesia penurunan jumlah ODA Jepang tersebut juga berkebalikan dengan aliran internasional. Sejak penyepakatan Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2000, dunia internasional memperhatikan perdamaian dan keamanan, pengembangan dan kemiskinan, lingkungan, HAM dan good governance, serta bantuan khusus kepada negara-negara Afrika. Negara-negara maju lain cenderung menambah bantuan ekonomi kepada negara-negara miskin. Kenyataan ekonomi yang semakin memburuk dalam negeri Jepang pada saat ini tidak dapat menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat internasional.

Penurunan ODA kepada Indonesia juga demikian. Tabel 2.2 di bab 2 menunjukkan bahwa sejak tahun 2000, jumlah ODA Jepang tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.

Grafik 3.7

Jumlah ODA Jepang ke Indonesia sejak tahun 1999 sampai 2006 (Unit: AS$ 100 juta)

Sumber: http://www.jd.emb-japan.go.jp/oda/jp/datastat_01.htm (diakses pada 18 Mei 2011)

Dari grafik 3.7 di atas, dapat dikatakan bahwa jumlah ODA Jepang kepada Indonesia terus menurun sejak tahun 1999, kecuali tahun 2003 dan tahun 2005. Dari tabel 2.2 (lihat bab 2), dapat dikatakan dua hal sebagai berikut.

Antara tahun 2002 dan 2003, pinjaman Yen meningkat secara signifikan. Pada tahun 2002, PM Koizumi dalam pidatonya mengenai kebijakan di Singapura,

 

Universitas Indonesia 67

mengumumkan bahwa ASEAN adalah mitra baik Jepang sehingga kerja sama antara Jepang dan ASEAN akan terus didorong. Dengan pidato tersebut, dia mengusulkan penyelenggaraan Initiative for Development in East Asia (IDEA) dan pelayanan tahun persahabatan antara Jepang dan ASEAN. Peningkatan ODA pada tahun 2003 pun diperkirakan sebagai kebijakan pemerintah Koizumi untuk memperlihatkan persahabatan.

Antara tahun 2004 dan tahun 2005, tidak hanya pinjaman Yen, tetapi bantuan hibah juga meningkat. Peningkatan jumlah ODA pada tahun 2005 diperkirakan bertujuan untuk membantu korban-korban gempa dan tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004.

Beberapa perubahan yang menarik terjadi mengenai ODA Jepang kepada Indonesia pada awal tahun 2000-an. Perubahan baru pertama kali terjadi pada tahun 2004. Menurut Kunihiro, mantan Duta Besar Jepang untuk Indonesia, utang yang dikembalikan dari Indonesia ke Jepang menjadi lebih banyak daripada bantuan ekonomi yang diberikan dari Jepang ke Indonesia. Hal ini terjadi karena Indonesia tidak membutuhkan atau menjadi lebih berhati-hati untuk berutang. Indonesia pada saat ini dapat mengeluarkan utang negara sehingga Indonesia dapat mengatur aliran dana sendiri.28 Selain itu, ODA Jepang yang bertujuan untuk mendapat SDA Indonesia menjadi sulit dibandingkan dengan masa lalu. Bertambahnya kebutuhan gas di dalam negeri membuat jumlah gas yang diekspor ke Jepang berkurang.29 Perubahan ketiga adalah kemunculan China yang mulai mempengaruhi kekuatan ekonomi Jepang di Indonesia. Pada tahun 2010, ASEAN China Free Trade Agreement (ACFA) mulai berlaku. Selain itu, jika pejabat China berkunjung ke Indonesia, mereka sering kali mengusulkan proyek Pembangkit Tenaga Listrik (PTL), rel kereta, atau pelabuhan dalam bentuk bantuan ekonomi. Dari dua contoh tersebut, dapat diprediksi bahwa China telah mulai terkesan dan berpengaruh besar di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. 30

28

Kunihiro, Melewati Hubungan sebagai Pemberi Bantuan dan Penerima Bantuan dalam gaiko-forum. (Toshi-shuppan, 2008), hal. 50 (dalam bahasa Jepang: 国広、「援助・被援助の関係を

超えて」(外交フォーラム9 月号、都市出版、2008 年)

29 Ibid., 30

 

Universitas Indonesia Walaupun Kementerian Luar Negeri Jepang memperbaharui ODA Charter dan berupaya untuk memelihara jumlah ODA, keadaan ekonomi dalam negeri tidak mampu mempertahankan kekuatan ekonomi Jepang. Jepang tetap menghadapi kesulitan untuk memelihara kedudukan negara dalam masyarakat internasional dengan anggaran yang terbatas. Sebaliknya, Indonesia sebagai penerima bantuan mulai berkembang dan mulai mempererat hubungan diplomatiknya dengan China. Dalam keadaan tersebut, Jepang perlu mencari alternatif lain untuk memelihara kedudukan dan kekuatannya.