• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Indonesia

berfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi kombinasi kebudayaan tradisional dan pop Jepang, terutama animasi dan komik di Indonesia. Walaupun penulis memilih Indonesia untuk diteliti sebagai studi kasus, penelitian ini dapat berlaku secara umum.

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop Jepang tersebut dan menganalisis keterkaitan faktor-faktor domestik dan eksternal terhadapdiplomasi kombinasi ini, khususnya di Indonesia.

1.4 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka ini akan merangkum berbagai tulisan yang membahas ODA Jepang, diplomasi kebudayaan Jepang, diplomasi publik, dan soft-power. Penulis membahas alasan-alasan pemerintah Jepang berfokus terhadap kebudayaan pop Jepang dan memperlihatkan beberapa anggapan mengenai kombinasi diplomasi baru tersebut.

Menurut Rix, seorang penulis buku berjudul Japan’s Foreign Aid Challenge Policy Reform and Aid Leadership, filsafat bantuan ekonomi pemerintah Jepang berbeda dengan negara-negara maju yang lain, terutama yang melihat bantuan tersebut sebagai pekerjaan amal. Bantuan ekonomi pemerintah Jepang dimulai sebagai kompensasi kepada negara-negara yang pernah didudukinya. Oleh karena itu, distribusi bantuan ekonomi tersebut diutamakan bagi negara-negara Asia. Hal ini karena alasan domestik, yaitu pemerintah Jepang ingin meningkatkan kesan yang lebih positif melalui bantuan ekonomi untuk menstabilkan keamanan kawasan dan melancarkan kepentingan ekonominya di kawasan tersebut.27 Dari dalam negeri, masyarakat Jepang dan terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun luar negeri memberikan kritik atas kebijakan bantuan ekonomi pemerintah Jepang sejak tahun 1990. Ada yang mempersoalkan dari segi perspektif lingkungan, seperti kerusakan hutan yang

27 Rix, Op.Cit., hal.18.

 

Universitas Indonesia 9

disebabkan proyek ODA dan ketidakadilan dalam proyek seperti korupsi.28 Ada yang mempermasalahkan kebijakan pinjaman dan self-help karena masyarakat di negeri penerima ODA belum cukup mandiri untuk mengembalikan pinjaman atau hanya akan menjadi beban untuk mereka.29 Dalam penulisan tersebut, Rix tidak melihat bahwa Jepang sukses dalam menggalang bantuan ekonomi. Rix sangsi bahwa Jepang dapat menjadi pemimpin internasional di arena internasional.30

Pada kenyataanya, kegiatan ekonomi cukup efektif dan mampu melahirkan suasana yang mudah diterima oleh negara lain. Drifte mengatakan bahwa kebudayaan adalah salah satu faktor yang dapat menciptakan kegiatan ekonomi. Dia menganggap soft-power Jepang, seperti ekonomi, finansial, teknologi, dan kebudayaan adalah hal yang unik. Menurut Drifte, Jepang belum mempunyai pengaruh dan kekuatan secara budaya, tetapi ada kenyataan bahwa pendidikan Jepang cukup sukses di negara-negara Asia. Dia mengatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin mengubah kebijakan Jepang dari isu-isu keamanan ke soft-power.31 Akan tetapi, Drifte menyatakan bahwa yang menarik adalah walaupun banyak orang, terutama di Asia, meniru busana Jepang, makan masakan Jepang, dan belajar bahasa Jepang, gejala ini tidak melahirkan kesan positif Jepang secara otomatis. Sebagaimana negara saingannya yang juga menggunakan soft-power, seperti Korea dan Cina, soft-power Jepang tersebut bersifat terbatas dan tidak signifikan.32

Takamasa Sakurai, anggota panitia tentang diplomasi animasi oleh Kementerian Luar Negeri Jepang, dan Sasaki, profesor di Universitas Musashino Gakuin, merekomendasikan kebijakan yang menggunakan soft- power Jepang yang berpotensi. Menurut Sasaki, gejala demam Jepang dibagi 3, yaitu tahun 1700—1900, 1950—1990 dan 1990—saat ini. Persamaannya adalah demam

28 Ibid., hal.64-65. 29 Ibid., hal.112-133.

Pada tahun 1992, Kementerian Luar Negeri mengumumkan ODA Chapter. Dalam chapter ini, ada 4 filsafat, yaitu bantuan secara manusiawi, ketergantungan dengan masyarakat internasional, perlindungan lingkungan, dan bantuan supaya masyarakat lokal menjadi mandiri, yaitu self-help. Untuk memberdayakan masyarakat di negeri penerima, pemerintah Jepang membagi bantuan dalam 3 kategori, yaitu bantuan, pinjaman, dan kerja sama secara teknologi.

(http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/charter.html) 30Rix, Op.cit., hal.191-194

31 Drifte, op.cit., hal.86-87 32 Ibid., hal.158-161

 

Universitas Indonesia

Jepang tersebut terjadi di luar kebijakan pemerintah Jepang, terutama demam Jepang ketiga yang ditandai dengan populernya animasi dan komik. Pemerintah Jepang baru mulai memperhatikan demam tersebut setelah menyadari bahwa animasi dan komik berkaitan dengan industri digital-contents dan industri pariwisata.33 Pada tahun 2002, Douglas McGray memperkenalkan konsep cool Japan dalam Foreign Policy‘. 34 Menurut McGray, Jepang berpotensi mempromosikan budaya pemuda-pemudi Jepang yang unik dan menarik perhatian itu kepada masyarakat di luar Jepang. Mengenai soft-power, Nye, salah satu professor di universitas Harvard memperkenalkan konsep soft-power seperti yang penulis jelaskan di bawah ini.

Nye menyatakan bahwa Jepang mempunyai banyak soft-power sebagai berikut.

1. Urutan pertama di dunia dalam bidang kepemilikan hak paten terbanyak. 2. Urutan ketiga dalam hal pengeluaran terkait penelitian dan pembangunan

negaranya.

3. Urutan ketiga dalam bisnis perjalanan transportasi udara internasional. 4. Urutan kedua dalam bidang penjualan buku-buku dan musik setelah

Amerika.

5. Urutan kedua dalam bidang internet host atau urutan kedua dalam ekspor teknologi tinggi.

6. Urutan pertama dalam hal assistance development lewat ODA.

7. Urutan pertama dalam hal tingginya tingkat harapan hidup masyarakat. Kebudayaan Jepang yang terus tumbuh nampaknya merupakan pengganti situasi ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan akhir-akhir ini. Jepang memiliki pengaruh yang besar dan luas dalam hal kebudayaan ke seluruh dunia pada saat ini, dibandingkan dengan era 1980-an, mulai dari musik pop, barang-barang elektronik, arsitektur, busana, makanan, hingga kesenian.

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Jepang mempunyai soft-power yang berpotensi tinggi sebagai alat promosi dengan konsep Cool Japan. Konsep Cool

33 http://www.econfn.com/ssk/bunka/bunkagaikou.html (14 April 2011)

Sasaki, Demam Jepang Ketiga (Dalam bahasa Jepang ‘第4回 (4)第3次日本文化ブーム’) 34 MacGray, Japan’s Gross National Cool ( Foreign Policy, 2000), hal.45-55

 

Universitas Indonesia 11

Japan dan soft-power yang dibuat oleh masyarakat di luar Jepang tersebut menarik perhatian pemerintah Jepang dan menjadi motivasi untuk menggelar diplomasi kombinasi kebudayaan tradisional dan pop sebagai alat mendukung kebijakan luar negeri.

Mengenai soft-power Jepang, Sakurai mengakui keunggulan kebudayaan pop Jepang. Busana gaya Jepang, seperti Lolita, Furugi (pakaian bekas), atau Seifuku (seragam sekolah), juga merupakan salah satu contoh dari kebudayaan pop Jepang. Sakurai memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pelantikan 3 Duta Kawaii oleh Kementerian Luar Negeri Jepang pada tahun 2009 karena pemerintah mulai memperhatikan gejala demam Jepang yang terjadi di luar negeri. Kebanyakan orang yang berpakaian gaya Jepang mulai tertarik pada Jepang karena animasi. Menariknya, animasi menarik minat mereka untuk berkunjung ke Jepang. Tidak hanya wilayah yang terkenal dengan busananya, tetapi juga tertarik mengunjungi tempat-tempat tradisional, seperti wihara dan kuil, karena mereka menganggap keunggulan Jepang berasal dari keanekaragaman budayanya.

Namun, Sakurai mempersoalkan cara promosi kebudayaan pop oleh pemerintah maupun swasta. Menurutnya, Jepang memang berhasil membuat produk dengan menggunakan teknologi canggih dan menciptakan kesan Jepang yang cukup unik, tetapi Jepang tidak dapat memanfaatkan kesempatan untuk mempromosikan budaya dan diplomasi tentang kebudayaannya karena masih terdapat banyak kekurangan.35 Salah satu contoh, kurangnya komunikasi antara kreator industri animasi dengan komik atau antara kedua bidang tersebut dengan pemerintah.

Mempromosikan suatu budaya dengan menggunakan soft-power adalah melalui diplomasi publik. Diplomasi publik adalah kegiatan diplomasi kepada masyarakat di luar negeri untuk meningkatkan keberadaan negaranya dan meningkatkan kesan positif. Dalam penelitiannya yang diterbitkan pada tahun 2007, Mitsuru Kitano, seorang diplomat di Kedutaan Besar Jepang di AS dan penulis buku berjudul ‘apa diplomasi publik?’, mengatakan bahwa animasi dan komik yang sudah terkenal di seruluh dunia bisa disebut soft-power karena

35 Sakurai, Jepang Dapat Kembali Lagi dengan Anime, (Askey shinsho, 2010), hal.184(Dalam bahasa Jepang:: 桜井孝昌「日本はアニメで再興する」、2010 年、アスキー新書)

 

Universitas Indonesia

keduanya berguna untuk mempromosikan salah satu kebudayaan Jepang, tetapi tidak termasuk diplomasi publik. Animasi dan komik terkenal di luar negeri secara komersial tanpa kebijakan negara.36

Penulis melihat bahwa diplomasi publik dengan menggunakan animasi dan komik Jepang belum dibentuk pada saat hasil penelitian Kitano tersebut diterbitkan. Diplomasi publik melalui animasi dan komik Jepang baru dimulai setelah tahun 2007. Menariknya, Koichi Iwabuchi, seorang penulis buku berjudul ‘Daya interaksi Kebudayaan’, mempermasalahkan diplomasi publik Jepang dengan menggunakan animasi dan komik sebagai soft-power. Dia mengatakan bahwa selama ini animasi Jepang menjadi populer tanpa campur tangan negara karena berkualitas tinggi dan cerita serta tokohnya bersifat transnasional. Sejak animasi menjadi populer di dunia, pemerintah Jepang secara tiba-tiba mulai mengerumuninya sebagai kebudayaan Jepang dengan mengatakan bahwa animasi ini sangat berbau Jepang. Di sini, dapat dilihat adanya pertentangan. Namun, walaupun kebudayaan Jepang menjadi terkenal melalui animasi dan komik, memberi kesan positif’, serta memelihara kedudukan di suatu negara, ketiganya merupakan hal yang berbeda.37 Beberapa penelitian, terutama penelitian yang dilakukan oleh Sakurai,memperlihatkan bahwa animasi merupakan potensi besar untuk melakukan diplomasi publik. Akan tetapi, menurut angket tentang kesan terhadap Jepang, urutan pop culture seperti animasi dan komik masih berada di bawah teknologi canggih, mobil, atau sushi. Diplomasi kombinasi kebudayaan baru yang dinamakan cool Japan dan dimulai sejak tahun 2002 belum mempengaruhi pembentukan citra Jepang seperti yang diharapkan. Selain itu, Sakurai pun menyorot kebijakan pemerintah yang cenderung tanggung. Mantan PM Aso berfokus pada animasi untuk memperbaiki kesan Jepang di mata Korea dan Cina, tetapi pengaruh animasi untuk mengatasi masalah sejarah masih dalam tanda tanya. Anggaran pemerintah untuk mempromosikan budaya Jepang juga

36 Kitano, Mitsuru Apa Diplomasi Publik?, (PHP, 2007), hal.25 (Dalam bahasa Jepang: 北野充、

「パブリックディプロマシーとは何か」、PHP、2007 年)

37 Iwabuchi, Koichi, Daya Interaksi Kebudayaan, (Nihon Keizaishimbun publishing, 2007), hal. 80 (Dalam bahasa Jepang: 岩渕功一、「文化の対話力」、2 日本経済新聞出版、20007 年)

 

Universitas Indonesia 13

kurang cukup. Oleh karena itu, pembentukan national brand oleh pemerintah Jepang saat ini kurang strategis dan terlalu optimis.38

1.5 Kerangka pemikiran

Untuk menjelaskan kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop yang baru saja dimulai oleh pemerintah Jepang, terdapat tiga konsep besar yang perlu dipahami sebagai awal penelitian ini. Konsep-konsep tersebut adalah konsep soft-power, diplomasi publik (public diplomacy), dan diplomasi kebudayaan (cultural diplomacy).

1.5.1 Kekuatan (Power)

Menurut Nye, kekuatan adalah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar orang/negara lain melakukan hal-hal yang diharapkannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa cara untuk mengubah perilaku orang/negara lain, misalnya menggunakan daya paksa, menggunakan kekuatan uang, atau mengajak orang lain bekerja sama dengan menggunakan daya tarik. Selama ini, banyak yang menganggap ‘kekuatan’ bersifat mikro. Menurut mereka, kekuataan akan bermakna bila digunakan dengan cara perintah dan paksa.39 Akan tetapi, dalam tulisannya yang berjudul Soft-power, Nye mengatakan bahwa sumber kekuataan perintah dan paksa tidak berlaku di mana-mana. Untuk mencapai hasil yang diharapkan, dapat digunakan kekuatan, strategi yang cukup direncanakan, dan bimbingan yang diperlukan.40

Nye memaparkan tiga jenis kekuatan (power) dalam hubungan internasional pada masa globalisasi ini.

1. Kekuatan yang mengancam kekuatan sasaran secara langsung, seperti aksi militer.

2. Kekuatan yang memihak sasaran melalui kekuatan ekonomi, seperti bantuan ekonomi dan sumber alam.

3. Kekuatan yang merupakan kemampuan untuk mencapai tujuan dengan tindakan atraktif, lewat ketertarikan terhadap prestasi dan keunggulan

38 Ibid., hal.87-94 39 Nye, Soft-power, hal.21 40Ibid., hal.23

 

Universitas Indonesia

suatu negara, serta menjauhi tindakan koersif. Suatu negara dapat mencapai tujuan yang diharapkan tanpa perlu melakukan tindakan pemaksaan terhadap negara lain.41

Nye mengkategorikan kekuatan militer dan ekonomi sebagai hard power. Hard power tersebut berdasarkan induksi dan ancaman. Akan tetapi, sering kali terdapat kasus bahwa hasil yang diharapkan tercapai tanpa adanya induksi dan ancaman. Misalnya, negara A mengikuti negara B karena negara A mengagumi nilai negara B tersebut dan berharap bahwa negara A dapat mencapai taraf kemakmuran dan keterbukaan seperti negara B.42 Perilaku negara A terjadi tanpa adanya induksi dan ancaman dari negara B sehingga kekuatan negara B tersebut tidak dapat dikatakan hard power, tetapi termasuk kekuatan. Kategori kekuatan yang terakhir, yaitu soft-power. Tabel 1.1 menunjukkan jenis kekuatan yang telah dijelaskan di atas.

Tabel 1.1 Tiga Jenis Kekuatan

Aksi Cara Utama Kebijakan Pemerintah

Kekuatan Militer • Paksa • Pencegahan • Perlindungan • Ancaman • Kekuatan militer • Diplomasi Ancaman • Perang • Koalisi Kekuatan Ekonomi • Induksi

• Paksa • Pembayaran • kompensasi Sangsi • Bantuan ekonomi • Suap • Sangsi Soft-power • Atraksi • Menentukan tema • Nilai • Kebudayaan • Kebijakan • Sistem Diplomasi kebudayaan/publik secara bilateral dan multilateral

(Nye, Soft-power, hal.62)

Dalam penelitian ini, penulis berfokus pada kekuatan ekonomi dan soft-power sebagai kekuatan negara Jepang.

41 Ibid., hal.32

 

Universitas Indonesia 15

1.5.2 Soft-power

Konsep soft-power pertama kali diperkenalkan oleh Nye pada tahun 1990. Dengan menggunakan soft-power, suatu negara bisa mendapatkan hal-hal yang diinginkan. Soft-power bukan merupakan kekuatan yang memaksa negara lain untuk melakukan sesuatu, tetapi memihak negara tersebut untuk menarik minat dan simpatinya. Sebagai contoh, kebudayaan yang mempunyai sifat universal seperti film, olahraga, nilai terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), atau kebijakan yang dipertimbangkan tidak hanya demi kepentingan nasionalnya sendiri, tetapi juga kepentingan nasional sasaran bisa pula disebut sebagai soft-power. Kedua negara melakukan kebijakan tanpa paksaan karena saling tertarik dan setuju dengan sifat atau ideologinya.43

Soft-power terdiri dari tiga jenis. Pertama adalah kekuatan kebudayaan. Ketertarikan negara-negara lain pada kebudayaan suatu negara adalah syarat utama. Kedua adalah kekuatan nilai politik, misalnya demokrasi. Suatu negara yang berharap negara lain tertarik padanya perlu membuat tindakan yang benar dan merefleksikan nilainya tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Kekuatan yang ketiga adalah kekuatan kebijakan luar negeri yang harus dapat dihormati oleh negara-negara lain dan menjadi panutan.44

Dalam penelitian ini, penulis menganggap animasi dan komik Jepang sebagai soft-power dan termasuk kategori kekuatan pertama karena keduanya mampu meningkatkan kesan positif terhadap Jepang, tanpa perlu memaksakan kekuatannya kepada negara lain.

Berkaitan dengan konsep soft-power tersebut, diplomasi publik (public diplomacy) dan diplomasi kebudayaan (cultural diplomacy) dilaksanakan oleh negara sebagai kebijakan negara. Di banyak negara, terutama di Jepang, istilah-istilah diplomasi tersebut dan kebijakan pertukaran kebudayaan (cultural exchange policies) sering dipakai dalam satu penulisan sehingga sering membingungkan. Oleh karena itu, penjelasan mengenai perbedaan kata-kata tersebut diperlukan.

43 Ibid, hal.34

 

Universitas Indonesia 1.5.3 Diplomasi

Harold Nicholson, salah satu pengkaji dan praktisi dalam hal diplomasi di abad ke-20, mengatakan bahwa kata ‘diplomasi’ diambil untuk menunjukkan lima hal yang berbeda. Pertama, politik luar negeri yang mengedepankan kepentingan nasional. Kedua, negosiasi yang juga mengutamakan kepentingan nasional. Ketiga, mekanisme pelaksanaan negosiasi tersebut dan keempat adalah suatu cabang dinas luar negeri. Kelima, suatu kualitas abstrak pemberian yang mencakup keahlian dalam pelaksanaan negosiasi internasional dan dalam arti yang buruk mencakup taktik yang lebih licik.45 Berdasarkan hal-hal tesebut, Nicholson menggunakan definisi bahwa diplomasi merupakan cara yang dilakukan asosiasi antarnegara untuk menyelesaikan permasalahan internasional melalui negosiasi untuk mengendalikan hubungan internasional, termasuk tugas dan teknik yang harus dilakukan oleh para diplomat untuk mengatasi permasalahan tersebut.46

Dengan menggunakan interpretasi tersebut, S.L. Roy, seorang penulis buku berjudul Diplomacy, menjelaskan beberapa unsur pokok diplomasi. Pertama, negosiasi. Kedua, negosiasi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan nasional. Ketiga, tindakan-tindakan diplomatik diambil untuk menjaga dan memajukan kepentingan nasional dan sedapat mungkin dilaksanakan dengan cara-cara damai. Oleh karena itu, memelihara perdamaian tanpa merusak kepentingan nasional adalah tujuan utama diplomasi. Selain itu, Wartito dan Kartikasari, dosen di Universitas Gajah Mada, memberi pengertian bahwa diplomasi adalah usaha suatu negara-bangsa untuk memperjuangkan kepentingan nasional di kalangan masyarakat internasional. 47 Berdasarkan definisi-definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa diplomasi adalah cara bernegosiasi untuk menyelesaikan permasalahan internasional untuk mencapai kepentingan nasional.

45 Nicholson, Diplomacy (Tokyo Daigaku Shuppankai, 2009), hal.7 (dalam bahasa Jepang: ニコル ソン「外交」、東京大学出版、2009 年)

46 Ibid, hal.7

47 Wartito dan Kartikasari, DIPLOMASI KEBUDAYAAN: Konsep dan Relevansi bagi negara

 

Universitas Indonesia 17

Untuk menerangkan tujuan diplomasi dengan lebih jelas, perlu didefinisikan terlebih dahulu tentang kepentingan nasional. Meskipun tidak ada definisi tertentu, Sasaki merujuk kepada definisi D Nuechterlein.48

Nuechterlein membagi kepentingan nasional menjadi tiga jenis, yaitu pertahanan negara, kepentingan ekonomi, dan kekuasaan untuk mempengaruhi dan membangun tatanan dunia. 49 Kepentingan pertahanan negara berarti mencegah hal-hal yang mengancam negara serta melindungi penduduk, wilayah, dan keamanan negara. Kepentingan ekonomi berarti memelihara dan memperluas keuntungan ekonomi melalui perdagangan secara bilateral maupun internasional. Membangun dan mempengaruhi orde internasional berarti memelihara lingkungan yang aman dan meningkatkan pemeliharaan perdamaian untuk melancarkan komunikasi. Dalam laporan tentang survei untuk mempertimbangkan kemitraan antara sektor swasta dengan pemerintah untuk mengefektifkan kerja sama ekonomi internasional, sekretaris kabinet Jepang menggunakan ide Morgenthau, peneliti hubungan internasional dan penulis buku Politics Among Nations,50 yang memaparkan bahwa kepentingan nasional adalah konsep dasar dalam studi politik internasional. Kepentingan merupakan ukuran abadi dalam proses memutuskan kelakuan politik dan dapat berubah sesuai pada masa dan keadaan internal maupun eksternal pada saat itu. Menurut konsep tersebut, kepentingan nasional tentu menjadi ukuran untuk memutuskan kegiatan diplomatik untuk mencapai kepentingan nasional.51 Berdasarkan definisi tersebut, penelitian ini menguraikan diplomasi baru dengan menggunakan soft-power sebagai berikut.

1.5.4 Diplomasi Publik (Public Diplomacy)

Istilah diplomasi publik pertama kali dipakai di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1965. Walaupun konsep diplomasi publik masih baru, Kitano mendefinisikan diplomasi publik sebagai kegiatan diplomasi yang dilakukan oleh

48 D. Nuechterlein adalah penulis National Interests and Presidential Leadership, (Westview Press, Boulder,1978)

49 http://www.econfn.com/ssk/bunka/bunkagaikou.html (diakses pada 14 April 2011) Sasaki, Dari Demam Kebudayaan Jepang sampai Diplomasi Kebudayaan Jepang 50

Politics Among Nations pertama kali diterbitkan pada tahun 1948.

51Cabinet Office Pusat Kajian Jepang umum, “Laporan: Survei untuk Mempertimbangkan Kemitraan antara Sektor Swasta dan Pemerintah untuk Mengefektifkan Kerja Sama Ekonomi Internasional’(2000), hal.2

 

Universitas Indonesia

pemerintah atau institusi-institusi bersangkuta.52 Kemudian, Ogoura juga memberi definisi bahwa diplomasi publik adalah usaha pemerintah untuk mempengaruhi pendapat masyarakat internasional terhadap kebijakan suatu negara domestik maupun luar negeri.53 Walaupun kegiatan diplomasi publik ini tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya kerja sama dengan sektor swasta, lembaga-lembaga nonpemerintah maupun individu, dalam penelitian ini, aktor utama diplomasi publik tetap pemerintah dan institusi-institusi milik negara. Terdapat keterkaitan antara definisi oleh Kitano dan Ogoura tersebut dengan Kementerian Luar Negeri Jepang yang mengumumkan lima cara untuk melakukan diplomasi publik, yaitu sebagai berikut.54

1. Pengiriman informasi, terutama dalam bentuk lembaran negara. 2. Menyebarluaskan siaran atau acara TV ke seluruh dunia.

3. Meningkatkan kesempatan berkomunikasi agar saling mengenal, misalnya dengan membuka kesempatan belajar bahasa, mengenal kebudayaan pop, dan lain-lain sebagaimana yang disebut soft-power.

4. Mendukung studi tentang Jepang di luar negeri dan penelitian tentang Jepang.

5. Mempromosikan pariwisata.

Sifat istimewa dari diplomasi publik yang perlu ditekankan adalah bahwa sasaran diplomasi oleh pemerintah suatu negara adalah masyarakat, lembaga-lembaga, dan individu-individu di dalam maupun luar negeri.55 Adapun tujuannya adalah sebagai berikut.

1. Meningkatkan kesan positif dan mempertinggi martabat suatu negara. 2. Membuat masyarakat di luar negeri mengerti kebijakan suatu negara

dengan tepat.

3. Menciptakan lingkungan yang ramah dan mudah sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan suatu negara di luar negeri.

52 Kitano , op.cit., hal.25

53 Ogoura, op.cit., hal.6

54 http://www.mofa.go.jp/mofaJ/annai/listen/interview2/intv_01.html (diakses pada 4 April, 2011) 55

 

Universitas Indonesia 19

Diplomasi publik adalah konsep yang relatif baru terutama sejak selesainya Perang Dingin56. Diplomasi publik adalah salah satu jenis diplomasi kebudayaan dan memiliki sasaran yang jelas dan khusus, yakni masyarakat dengan menggunakan soft-power, jaringan modern seperti TV dan internet. Kegiatan ini dilakukan secara langsung dengan masyarakat agar dapat meningkatkan kesan positif dalam jangka panjang.57 Berkaitan dengan diplomasi publik, ada pula diplomasi kebudayaan, yaitu usaha untuk meningkatkan kesan positif suatu negara melalui kebudayaan.

1.5.5 Diplomasi Kebudayaan (Cultural Diplomacy)

Untuk menjelaskan diplomasi kebudayaan tersebut, pertama-tama perlu dijelaskan definisi tentang kebudayaan. Menurut Warsito dan Kartikasari, kebudayaan secara makro atau dalam pengertian umum berarti segala hasil dan upaya budi daya manusia terhadap lingkungan.58 Jika menggunakan definisi tersebut, semua diplomasi ekonomi maupun militer menjadi hasil kebudayaan. Akan tetapi, dalam penulisan ini, untuk menerangkan diplomasi kebudayaan, khususnya Jepang, penulis menggunakan definisi kebudayaan secara mikro, yaitu