• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK YANG MEMPENGARUHI KOMBINASI DIPLOMASI KEBUDAYAAN TRADISIONAL DAN POP

3.3 Perkembangan Content Industry di Jepang

Universitas Indonesia Walaupun Kementerian Luar Negeri Jepang memperbaharui ODA Charter dan berupaya untuk memelihara jumlah ODA, keadaan ekonomi dalam negeri tidak mampu mempertahankan kekuatan ekonomi Jepang. Jepang tetap menghadapi kesulitan untuk memelihara kedudukan negara dalam masyarakat internasional dengan anggaran yang terbatas. Sebaliknya, Indonesia sebagai penerima bantuan mulai berkembang dan mulai mempererat hubungan diplomatiknya dengan China. Dalam keadaan tersebut, Jepang perlu mencari alternatif lain untuk memelihara kedudukan dan kekuatannya.

3.3 Perkembangan Content Industry di Jepang

Sejak tahun 1990-an, teknologi-teknologi telah tersebar di seluruh dunia. Oleh karena itu, tidak hanya masyarakat di negara-negara maju saja, tetapi juga masyarakat di negara-negara yang baru bangkit mulai dapat menikmati radio dan televisi. Pada tahun 1970-an, animasi Jepang mulai diputar di luar Jepang. Bagi pemerintah dan perusahaan siaran, animasi Jepang yang bersifat transnasional dan mudah dipahami dengan hanya melihat gambar saja berguna untuk mengisi acara TV yang belum terisi.31

Pada tahun 2000-an, terjadilah ‘demam Jepang’ di seluruh dunia yang dimulai dari Eropa. Kebudayaan Jepang tradisional maupun pop dianggap unik sehingga Jepang mendapat banyak penggemar di luar negeri (lihat bab 4). Hal yang menarik adalah bahwa gejala demam Jepang terjadi di luar kebijakan pemerintah Jepang. Bagi Jepang, demam Jepang yang terjadi secara kebetulan merupakan gejala positif pada masa menurunnya kekuatan ekonomi. Pemerintah Jepang telah mengakui bahwa animasi dan komik Jepang telah berperan besar dan penting untuk mempromosikan kebudayaan Jepang tanpa campur tangan pemerintah.32 Dalam bagian ini, perkembangan content industry dijelaskan sebagai alasan pemerintah Jepang mulai menggunakan kombinasi kebudayaan tradisional Jepang dan pop sebagai alat diplomasi.

Selama ini, content industry Jepang berkembang hanya dengan upaya perusahaan swasta, tanpa pemerintah, dan didukung oleh globalisasi. Menurut

31 Sakurai, Jepang Berkembang Lagi dengan Menggunakan Anime, op.cit., hal. 86 32 http://www.mofa.go.jp/mofaj/press/enzetsu/18/easo_0428.html (diakses pada 7 Mei 2011)

 

Universitas Indonesia 69

Holden, seorang penulis buku berjudul Japan’s Mediated Global Identities, globalisasi yang tersebar mulai terlihat dari dunia politik, kemudian ekonomi, dan akhirnya kebudayaan. Pada masa sekarang ini, dampak globalisasi dapat dilihat terutama dari olahraga dan media. Olahraga seperti kriket atau squash adalah contoh yang baik. Melalui olahraga tersebut, kebudayaan telah diekspor ke luar negeri terutama bekas negara yang dijajah dan diterima di negara tersebut sebagai hasil kolonialisme.33 Gejala semacam ini juga terlihat dalam kasus Jepang. Acara TV tentang makanan Jepang diekspor ke luar negeri sehingga penonton di luar Jepang mengetahui makanan Jepang dan diberi kesempatan untuk mencoba makanan-makanan tersebut. Selain itu, majalah busana pemuda-pemudi khas Jepang yang disebut gyaru diterbitkan dalam bahasa Mandarin dan diekspor ke Taiwan. Penduduk Taiwan pun dapat menikmati busana gaya Jepang walaupun mereka tidak berada di Jepang. Oleh karena globalisasi, orang-orang di luar Jepang mendapat lebih banyak kesempatan untuk menyentuh kebudayaan unik Jepang daripada masa sebelumnya.34

Sebagai akibat upaya sektor swasta, Jepang telah memiliki pasar content domestik yang cukup besar dengan skala pasar kedua terbesar di dunia setelah AS. Pada tahun 2005, dari total 120 triliun yen dari pasar content di seluruh dunia, pasar AS adalah 37,4 triliun yen, Jepang adalah 10.6 triliun yen, Inggris adalah 7 triliun yen, Prancis adalah 3,9 triliun yen, Jerman 5,9 triliun yen, China 2,3 triliun yen, dan Korea Selatan 1,3 triliun yen.35 Content industry telah menjadi salah satu industri utama yang menopang perekonomian Jepang.

Content industry, terutama pasar animasi, memperlihatkan pertumbuhan pesat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Menurut Kementerian Ekonomi,

33 Holden, Japan’s Mediated Global Identities dalam Scrase, Holden, Baum (ed.), Globalization,

Culture and Inequality in Asia’, (Trans Pacific Press, 2003)

34 Ibid., hal.164

35Nippon Keidanren, Mempromosikan Industri Hiburan dan Konten, 2003, hal.70, (dalam bahasa Jepang:日本経済団体連合会、「エンターテインメント・コンテンツ産業の振興に向け て」2003 年) Lihat: http://www.keidanren.or.jp/japanese/policy/2003/110/honbun.html, Diakses pada 25 Maret, 2011

 

Universitas Indonesia Perdagangan, dan Industri Jepang, dari seluruh animasi yang diputar di dunia, 60 persen-nya merupakan karya asli Jepang.36

Grafik 3.5 menunjukkan pertumbuhan pasar animasi di Jepang. Sejak tahun 2000, skala pasar animasi meningkat secara signifikan. Pasar animasi berskala 15 miliar 93 juta yen pada tahun 2000 menjadi 20 miliar 79 juta yen pada tahun 2002.

Grafik 3.8

Skala Pasar Animasi di Jepang (Unit: 100 juta Yen)

Sumber: Divisi industri kebudayaan dan informasi oleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri, 2003: 2

Walaupun content industry Jepang cukup besar di dalam negeri, jika dilihat dari sudut ekspor, belum dapat dikatakan maju. Sebetulnya, jumlah produk content industry yang diekspor ke luar negeri dari Jepang hanya sebesar 1, 9

36 Divisi industri kebudayaan dan informasi oleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri, Keadaan Industri Animasi dan Tantangan (2002) , Hal.7 (Dalam bahasa Jepang: 経済産

業省文化情報関連産業課 「アニメーション産業の現状と課題」, 2002年)

 

Universitas Indonesia 71

persen. 37 Produk yang diekspor pun memiliki jenis yang terbatas karena kebanyakan produk content tersebut adalah animasi, komik, dan game.38

Walaupun jumlah ekspornya kecil dan terbatas, penelitian ini melihat dua faktor, yaitu jumlah produk Jepang bajakan di luar negeri tidak dihitung dan adanya penjualan hak paten dari Jepang. Penjualan hak paten ini membantu masuknya content industry di luar negeri, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, produk content industry asal Jepang dapat diproduksi di dalam negerinya sendiri tanpa diekspor dari Jepang.

Seperti telah dijelaskan di atas, berkat globalisasi, animasi dan komik Jepang telah beredar ke negara-negara lain dan mendapat banyak perhatian dari masyarakat di luar Jepang menyebabkan munculnya gejala demam Jepang di luar negeri, terutama negara-negara Eropa. Akan tetapi, tidak dapat dihindari bahwa seiring dengan meluasnya globalisasi, tanpa dukungan pemerintah, content industry Jepang mulai menghadapi kesulitan sehingga tertinggal dari negara-negara lain. Terdapat dua kesulitan terbesar bagi content industry Jepang, yaitu sulitnya perlindungan industri tersebut dari pelanggaran hak cipta/paten dan semakin beratnya persaingan dengan content industry di luar Jepang.

Salah satu kesulitan yang dihadapi content industry Jepang adalah permasalahan mengenai pelanggaran hak cipta/paten. Dengan globalisasi dan tanpa dukungan pemerintah, karya-karya animasi dan komik Jepang mulai dibajak dan dijual di luar Jepang, terutama negara-negara Asia. Di negara-negara tersebut, banyak DVD dan CD yang telah dijual secara ilegal.

Sebagai contoh, penulis ingin mengangkat kasus animasi dan komik Doraemon. Seperti negara-negara Asia lain, komik Doraemon dibajak juga di Indonesia. Seperti telah dijelaskan di bab 2, kepopuleran animasi dan komik Doraemon di Indonesia luar biasa. Setelah acara televisinya mulai mengudara di Indonesia, komik Doraemon sering kali terlihat di mana-mana. Komik Doraemon yang dibajak dijual dengan harga terjangkau, Rp200—Rp400 per buah. Pada awalnya, penerbit Jepang tidak bertindak apa-apa untuk menghentikan pelanggaran hak cipta tersebut. Penerbit Jepang ini hanya mengatakan bahwa

37

Yamaguchi, Transisi Kebijakan untuk Mendorong Pembangkitan Industri Content dan

Permasalahannya, (National Parliament Library, 2009) hal.71

38 Ibid

 

Universitas Indonesia pasar domestik cukup besar, sedangkan bisnis bajakan di luar Jepang belum cukup besar untuk dipedulikan.39 Ironisnya, akibat tidak ada perlindungan hak cipta oleh pemerintah, Doraemon bajakan di Indonesia cukup berkembang. Pada akhirnya, bajakan Doraemon berkontribusi besar terhadap promosi kebudayaan Jepang (lihat bab 4).

Setelah cukup terkenal, perusahaan penerbit Indonesia mendapat hak paten Doraemon dari penerbit Jepang sehingga berhasil menerbitkan Doraemon dengan kualitas yang lebih tinggi dan lebih mahal, yaitu Rp3.300 per komik sebagai salah satu seri Tentomushi.40

Walaupun bajakan memberi hasil positif bila dilihat dari sudut promosi kebudayaan, persoalan pelanggaran hak cipta karya-karya Jepang perlu dianggap serius. Menurut Content Overseas Distribution Association (CODA), selama 2 tahun 4 bulan sejak Januari 2005 sampai April 2007, sejumlah 3,74 juta DVD, VCD, dan CD ilegal dari China, Hong Kong, dan Taiwan telah disita. Total kerugian terhadap perekonomian Jepang mencapai 48,6 miliar yen. Gejala ini dikarenakan kelemahan proteksi negara. Penyebaran internet dan perkembangan pendidikan information technology (IT) di seluruh dunia diperkirakan pun telah menjadi sarang duplikasi illegal.41

Selain permasalahan mengenai hak cipta/paten, content industry mengalami kesulitan lainnya, yaitu persaingan berat dengan content industry di luar negeri. Perancis telah lama memelihara citra sebagai ‘negara yang memiliki kebudayaan yang unggul’ sejak mendirikan Institute de France pada abad ke-17. Sebagai kebijakan negara, pemerintah mendirikan institusi resmi seperti Centre National du Cinéma et de l'image Animée (CNC) untuk mendorong industri tersebut, melaksanakan kebijakan proteksi dengan membagi-bagi animasi dan film di berbagai saluran TV, serta memberi subsidi untuk pendidikan kreator muda.42

Di AS, kebijakan ekspor film Hollywood didorong secara signifikan oleh pemerintah. AS merupakan pasar content industry terbesar di dunia. Sejak Perang

39 Shiraishi., op.cit., hal 301 40 Ibid., hal.302

41 Lihat: http://internet.watch.impress.co.jp/cda/news/2007/06/13/16035.html, diakses pada 25 Maret, 2011

42 Yagi, Tadashi, Langkah baru content industry (ISFJ,2006) hal.5(Dalam bahasa Jepang:八木 匡「コンテンツ産業の新たなる歩み」、2006 年、ISFJ)

 

Universitas Indonesia 73

Dunia II, Motion Picture Association of America (MPAA) yang didirikan pada tahun 1922 bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar/Konsulat untuk memperluas pasar di luar negeri dan mengurangi hambatan dalam memutarkan film Hollywood di luar negeri sehingga industri hiburan AS dapat mendunia. Kerja sama antara content industry dalam negeri dengan pemerintah AS dapat disebut cukup sukses. 43

Sementara itu, sejak akhir 1990-an, pemerintah Inggris juga telah mendorong content industry. Pemerintahan Blair mendirikan gugus tugas pemerintah bernama Creative Industries Task Force (CITF) yang berugas menangani permasalahan yang dialami content industry dan membimbing kreator baru dengan memberikan subsidi.44 Untuk melaksanakan kebijakan promosi kebudayaan pemerintah, peran United Kingdom Film Council (UKFC) sangat penting. UKFC didirikan pada tahun 2000 sebagai salah satu kebijakan promosi oleh Kementerian Kebudayaan, Media, dan Olahraga. UKFC memberi subsidi, terlibat dalam promosi karya film di dalam negeri maupun luar negeri, memudahkan proses pemotretan, mengadakan pesta film internasional, mengusulkan program untuk membimbing kreator baru, dan mengurangi pajak mengenai pembuatan film.45

Belakangan ini, keterlibatan pemerintah dalam content industry terlihat tidak hanya di negara-negara Barat, tetapi juga di negara-negara Asia, seperti Korea Selatan. Sejak pertengahan tahun 1990-an, pemerintah Korea Selatan menyoroti kebijakan promosi bidang informatika. Pemerintah Korea Selatan membatasi jumlah produk animasi dan komik Jepang, pada waktu yang sama, mendorong pendidikan kreator muda dan investasi terhadap content industry di dalam negeri. Dibandingkan dengan negara lain, Korea Selatan berkonsentrasi melakukan promosi kebudayaan pop.

Pada tahun 1995, rencana promosi informatika disetujui oleh pemerintah dan mereka pun mempersiapkan infrastruktur agar Korea Selatan dapat menjadi negara IT terbesar di dunia. Sambil melengkapi lingkungan internet di dalam negeri, pemerintah mendirikan yayasan kebudayaan dan industri pada tahun 1999.

43 Yamaguchi, op,cit., hal.71 44Ibid, hal.4

 

Universitas Indonesia Di tahun yang sama, pemerintah juga membuat undang-undang promosi industri kebudayaan dan, pada tahun 2002, mensahkan undang-undang promosi industri online digital contents dan mendirikan institusi promosi content (2002).46

Hasil dari kebijakan kebudayaan yang berkonsentrasi pada promosi kebudayaan pop tersebut adalah drama dan musik asal Korea Selatan menjadi terkenal di luar negeri.47Akibat kebijakan pemerintah tersebut, terjadilah demam Korea dan Korea Selatan sukses di bidang pariwisata serta perdagangan produk karakter yang berkaitan dengan drama dan musik yang disebut K-pop. Misalnya, 17,7 juta wisatawan dari Jepang mengikuti tur Winter Sonata ke Korea Selatan sejak tahun 2004 sampai tahun 2006.48 Para wisatawan berkunjung ke tempat-tempat yang dipakai dalam adegan drama Winter Sonata asal Korea Selatan tersebut. Menurut survei yang dilakukan oleh Organisasi pariwisata Korea (Korea Tourism Organization), setiap wisatawan memakai 16 juta yen untuk tur tersebut.49 Demam drama pun cukup mempengaruhi industri pariwisata sehingga meningkatkan perekonomian Korea Selatan.

Terkait dengan hubungan antara kebijakan pemerintah dan content industry, Yagi dalam tulisannya, Langkah Baru Industry Content untuk Menciptakan Susunan Organisasi dan Bimbingan, menunjukkan Figure 3.1. Figure tersebut menunjukkan hubungan antara kebijakan pemerintah dan content industry oleh negara-negara yang dicontohkan di atas. Keadaan Jepang pada saat ini belum cukup jelas untuk dianalisis karena diplomasi kebudayaan tersebut baru digelar. Akan tetapi, Jepang lebih mengarah ke kebijakan yang diprakarsai oleh sektor swasta. Industri content Korea Selatan dipimpin oleh pemerintah, sedangkan industri content AS dipimpin oleh sektor swasta, khususnya Hollywood. Karena adanya dampak besar industri Hollywood yang bersifat komersial, Perancis perlu mementingkan kebijakan kebudayaan daripada kebijakan industri yang dipimpin oleh pemerintah agar dapat memelihara industri domestik yang berkualitas tinggi secara tradisional.50

46 Yagi, op.cit., hal.5

47 Yamaguchi , op.cit., hal.74 48 Yagi, op.cit., hal.9 49 Ibid, hal. 9 50

 

Universitas Indonesia 75

Dibandingkan dengan kebijakan AS, Perancis, dan Korea Selatan, kebijakan Jepang terlihat lebih netral. Mengenai prakarsa dan kebijakan, keadaan Jepang lebih mengarah ke prakarsa sektor pemerintah dan kebijakan kebudayaan dibandingkan dengan kebijakan AS. Akan tetapi, prakarsa pemerintah Jepang belum setingkat Perancis dan Korea Selatan. Mengenai kebijakan, Jepang mulai memperhatikan industri dan mulai lebih mementingkan kebijakan industri daripada kebijakan kebudayaan, tetapi belum setingkat AS atau Korea Selatan. Jepang tidak mementingkan kebijakan kebudayaan seberat Perancis dan juga tidak cukup melaksanakan kebijakan untuk melindungi industri domestik dan membina para kreator, seperti AS dan Korea.

Figure 3.1

Model Kebijakan Content Industry di Setiap Negara

Sumber: Yagi, 2006.7

Oleh karena kurangnya konsentrasi pada kebijakan kebudayaan dan ketidakjelasan prakarsa dalam diplomasi kebudayaan Jepang, terlihat bahwa Jepang belum memanfaatkan demam Jepang di luar negeri secara maksimal sebagai alat diplomasi dan alat untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya. Menurut Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, Jepang telah kehilangan banyak kesempatan bisnis karena kekurangan daya saing. Misalnya, di AS, ada sekitar 9.000 restoran Jepang. Akan tetapi, restoran yang dimiliki oleh orang Jepang atau keturunan Jepang kurang dari 10 persen. Industri Jepang belum

 

Universitas Indonesia mampu untuk bersaing di industri negeri lain walaupun ada kesempatan besar untuk menggelar bisnis.51

Kelemahan content industry Jepang juga terlihat dalam Japan Expo yang diselenggarakan di Paris, Prancis. Ketika Japan Expo pada tahun 2006 diadakan, tidak hanya perusahaan Jepang saja, tetapi juga banyak perusahaan-perusahaan Korea Selatan yang ikut sebagai peserta. Tempat pameran tersebut dibagi menjadi berbagai stand (booth), seperti komik, cosplay, demonstrasi olahraga, kebudayaan tradisional Jepang, dan lain-lain. Stand yang paling ramai didatangi adalah stand khusus komik. Ada stand dari perusahaan penerbit Jepang dan ada juga stand dari toko buku dan komunitas pencinta komik lokal setempat. Untuk menjual komik Jepang, perusahaan lokal perlu mendapat paten. Persaingan berat penjualan komik Jepang menyulitkan proses tersebut. Seorang pengarang komik perlu melakukan kontrak dengan satu perusahaan penerbit Jepang. Kemudian, penerbitan yang mengontrak tersebut akan bekerja sama dengan perusahaan penerbit luar negeri untuk menjual komik tersebut. Perusahaan-perusahaan penerbit tersebut menangani permasalahan hak cipta dan prosedur penjualan komik di luar negeri. Misalnya, di negara-negara Eropa, seperti Prancis, hanya 2 perusahaan yang berkuasa di bidang penjualan komik. Oleh karena itu, bagi perusahaan kecil, sangat sulit untuk mengontrak penerbit Jepang yang menjual komik dengan pengarang yang memiliki prestasi tinggi.

Korea Selatan menyadari kesulitan penerbitan lokal tersebut dan mendekatinya. Di Japan Expo, perusahaan penerbitan Korea Selatan menduduki banyak booth dan memperkenalkan pengarang komik asal Korea untuk mempromosikan karyanya. Komik-komik tersebut merupakan komik ala Jepang dan cukup menarik minat penggemar komik Jepang. Di setiap stand, penerbitan Korea Selatan mengajak pengarang ikut dan mengadakan acara tanda tangan untuk promosi komik Korea ala Jepang tersebut. 52

Dari sini, dapat disebutkan bahwa proses yang rumit mengenai penjualan komik Jepang ke luar negeri mempersulit penjualan promosi kebudayaan

51 Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri, Membangkitkan Negara Industri

Kebudayaan untuk Abadv21, 2010 (dalam bahasa Jepang

経済産業省「文化産業立国に向けて-文化産業を21 世紀の文化産業に」, 2010)

 

Universitas Indonesia 77

sehingga Jepang telah kehilangan banyak kesempatan. Sebaliknya, negara lain yang mengikuti gaya Jepang cenderung sukses.

Sebagai model bisnis content yang ideal, Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri mengusulkan hal yang ditunjukkan sebagai berikut.

Figure 3.2 Model Bisnis Content Ideal

Sumber: Divisi industri kebudayaan dan informasi oleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri, 2003: 6

Seperti grafik tersebut, Jepang mampu memperbesar kesempatan bisnis mulai dari industri animasi jika adanya kerja sama yang erat antara pemerintah dengan sektor swasta.