• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMBINASI DIPLOMASI KEBUDAYAAN TRADISIONAL DAN POP JEPANG DI INDONESIA TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMBINASI DIPLOMASI KEBUDAYAAN TRADISIONAL DAN POP JEPANG DI INDONESIA TESIS"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMBINASI DIPLOMASI KEBUDAYAAN TRADISIONAL DAN POP JEPANG DI

INDONESIA

TESIS

KAORI MOROHIRA 0906620404

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL JAKARTA

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMBINASI DIPLOMASI KEBUDAYAAN TRADISIONAL DAN POP JEPANG DI

INDONESIA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

KAORI MOROHIRA 0906620404

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL JAKARTA

(3)

  i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri

dan semua sumber baik, yang dikutip maupun yang dirujuk, telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Kaori Morohira

NPM : 0906620404

Tanda Tangan :

(4)
(5)
(6)

  HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Kaori Morohira

NPM : 0906620404

Program Studi : Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Departemen : Hubungan Internasional

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kombinasi Diplomasi Kebudayaan Tradisional dan Pop Jepang di Indonesia

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-ekslusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/forma, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok Pada tanggal : Juni 2011

Yang menyatakan: (Kaori Morohira)

(7)

  v

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL PROGRAM PASCASARJANA

Kaori Morohira 0906620404

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kombinasi Diplomasi Kebudayaan Tradisional dan Pop Jepang di Indonesia

__________________________________________________________________ (xv, 114 halaman, 19 buku, 13 paper, 4 Jurnal, 11 situs internet, 6 artikel media masa online, 7 gambar, 10 Grafik, 14 Tabel dan 2 Figure)

ABSTRAK

Tesis ini membahas faktor-faktor yang berpengaruh bagi pemerintah Jepang, khususnya Kementerian Luar Negeri Jepang untuk menggelar diplomasi kebudayaan dengan menggunakan soft-power di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemerintah Jepang dalam menggunakan kombinasi diplomasi antara kebudayaan tradisional dengan pop, yang sebelum 1990-an tidak diperhatikan, sebagai alat diplomasi untuk mendapatkan kepentingan nasional di Indonesia. Penelitian ini menjelaskan faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop Jepang di Indonesia.

Kata kunci:

(8)

  THE UNIVERSITY OF INDONESIA

THE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCES THE DEPARTMENT OF INTERNATIONAL RELATIONS POSTGRADUATE PROGRAM

Kaori Morohira 0906620404

Factors which Influence the Combination of Traditional and Pop Cultural Dipomacy of Japan in Indonesia

__________________________________________________________________ (xv, 114 pages,19 books, 13 papers, 4 Journals, 11 internet sites, 6 online mass media articles, 7 pictures, 10 Graphs, 14 Tables and 2 Figure)

ABSTRACT

The focus of this study is to explore cultural diplomacy and soft-power of Japanese government, especially the one of the Ministry of Foreign Affairs of Japan in Indonesia. The purpose of this study is to understand what factors influenced Japanese government to use not only traditional culture but also pop culture which was not focused before 1990’s as diplomacy to reach national interests in Indonesia. In this study, two kinds of factors will be explained, which are external factors and internal factors as factor which influences Japanese government to begin combination of traditional and pop cultural diplomacy in Indonesia.

Key words:

(9)

  vii

KATA PENGANTAR

Pada tahun 2008, Jepang dan Indonesia merayakan tahun emas antara kedua negara. Berbagai acara dilaksanakan di Jepang maupun Indonesia. Selama 50 tahun sejak kemerdekaan Indonesia, kedua negara mengalami banyak hal. Namun, keduanya memiliki arti penting bagi masing-masing negara. Bagi Jepang, Indonesia dianggap sebagai negara yang penting karena kaya dengan sumber alam dan sumber daya manusianya. Sementara, bagi Indonesia, Jepang dianggap sebagai negara pemberi bantuan ekonomi yang dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia untuk perkembangan negaranya. Kedua negara saling membutuhkan dan bergantung karena adanya kepentingan nasional.

Namun, seiring dengan globalisasi yang semakin berkembang, hubungan kedua negara tersebut memasuki langkah baru. Belakangan ini, Jepang mulai mencoba mendekati negara-negara Asia, termasuk Indonesia, dengan cara lain, yaitu melalui kombinasi diplomasi tradisional dan pop. Dalam penelitian ini, penulis ingin mencari tahu faktor-faktor yang mengubah cara diplomasi Jepang dengan menganalisis kasus studi di Indonesia. Perubahan diplomasi Jepang ini cukup menarik bagi penulis yang merupakan warganegara Jepang yang tinggal di Indonesia. Penulis berharap hubungan kedua negara dapat terus berkembang dan negara Jepang memiliki kesan yang positif di masyarakat internasional, terutama Indonesia.

Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak berikut.

1. Ibu Asra Virgianita, MA. selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk penulisan tesis ini. 2. Dinda Julhantri yang telah menyediakan banyak waktu dan tenaga untuk

memperbaiki bahasa Indonesia dalam tesis ini.

3. Orangtua, keluarga, teman, dan teman S2 HI yang telah memberikan dukungan dan bantuan.

(10)

  DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS ii

LEMBAR PENGESAHAN TESIS iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH iv

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR GAMBAR, GRAFIK, TABEL, DAN FIGURE x

DAFTAR LAMPIRAN xii

BAB 1: PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 3 1.3 Tujuan Penelitian 8 1.4 Tinjauan Pustaka 8 1.5 Kerangka Pemikiran 13 1.6 Hubungan Antarvariabel 21 1.7 Model Analisis 24 1.8 Asumsi 25 1.9 Hipotesis 25 1.10 Metode Penelitian 25 1.11 Sistematika Penulisan 26

BAB 2: PERKEMBANGAN DIPLOMASI KEBUDAYAAN JEPANG 27

2.1 Diplomasi Jepang 27

2.2 Official Development Assistance (ODA) sebagai Alat Diplomasi

Ekonomi Jepang 29

(11)

  ix

2.4 Diplomasi Kebudayaan 42

2.5 Kebijakan Cool Japan dalam proyek ALL JAPAN 46 BAB 3: FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK YANG MEMPENGARUHI

KOMBINASI DIPLOMASI KEBUDAYAAN TRADISIONAL DAN

POP JEPANG 54

3.1 Kritik-kritik terhadap ODA Dalam Negeri 54

3.1.1 Pinjaman Yen

3.1.2 Kritik terhadap Efektivitas dan ketidakjelasan penggunaan

ODA 58

3.1.3 Kritik terhadap persyaratan penerima ODA 61

3.2 Keadaan Ekonomi Dalam Negeri di Jepang 62

3.3 Perkembangan Content Industry 68

3.4 Pengaruh Kegiatan Lobi dari Content Industry 77 BAB 4: FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI

KOMBINASI DIPLOMASI KEBUDAYAAN TRADISIONAL DAN

POP JEPANG 82

4.1 Kritik terhadap ODA dari Pihak Indonesia 82

4.2 Demam Jepang di Indonesia 88

BAB 5: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 105

(12)

  DAFTAR GAMBAR, GRAFIK, DAN TABEL

Gambar

Gambar 2.1 Duta Kebudayaan Animasi Doraemon 52

Gambar 2.2 Duta Kebudayaan Pop Jepang 53

Gambar 4.1 Film, animasi, dan komik Dragon Ball 89

Gambar 4.2 Grup band Indonesia J-ROCK yang Berbusana seperti

band Jepang L’Arc-en-Ciel 98

Gambar 4.3 Iklan J-ROCK yang memperlihatkan gaya Jepang 98

Gambar 4.4 Costume Play (Cosplay) di Indonesia 101

Gambar 4.5 Cosplay dari Tokoh Animasi di Indonesia 101 Grafik

Grafik 2.1 Transisi ODA Jepang 33

Grafik 3.1 Pembagian ODA oleh anggota DAC 55

Grafik 3.2 Pinjaman Yen kepada Indonesia (2003-2005) 57

Grafik 3.3 Bantuan Hibah (2003—2005) 58

Grafik 3.4 Kerja Sama Teknik (2003—2005) 58

Grafik 3.5 Transisi GDP Per Kapita di Jepang, AS, dan Inggris 63 Grafik 3.6 Transisi Kinerja ODA oleh Pemberi Utama 65 Grafik 3.7 Jumlah ODA Jepang ke Indonesia (1999—2006) 66 Grafik 3.8 Skala Pasar Animasi di Jepang 70 Grafik 4.1 Ranking Negara yang Memiliki Kesan Positif 93 Tabel

Tabel 1.1 Tiga Jenis Kekuatan 15

Tabel 1.2 Diplomasi Tradisional dan Diplomasi Publik 22

Tabel 2.1 Tingkat Kepentingan Nasional 29

Tabel 2.2 Transisi Kinerja Distribusi ODA Jepang kepada

Negara-negara Berkembang 34

(13)

  xi

Negara-negara Berkembang 35

Tabel 2.4 Jumlah ODA Jepang kepada Indonesia (1960—2006) 39 Tabel 2.5 Kontribusi ODA Jepang terhadap Indonesia 41 Tabel 3.1 Rasio Pertumbuhan Ekonomi Nyata di Negara-negara G-7 62 Tabel 4.1 Proyek-proyek yang Dicurigai Adanya Korupsi 84 Tabel 4.2 Jumlah Pengunjung Japan Expo 91 Tabel 4.3 Usia Pengunjung Japan Expo 91 Tabel 4.4 Hasil Jajak Pendapat mengenai Kesan Jepang di Indonesia 94 Tabel 4.5 Hasik Jajak Pendapat mengenai Kebudayaan Jepang

di Indonesia 95

Figur

Figur 3.1 Model Kebijakan Content Industry di Setiap Negara 75

(14)

  DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Jadwal “Jakarta-Japan Matsuri” tahun 2009 Lampiran 2

Jadwal “Jakarta-Japan Matsuri” tahun 2010 Lampiran 3

Hasil wawancara mengenai diplomasi kebudayaan dengan Kawai Takayuki, Third Secretary Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia (17 Mei 2011)

Lampiran 4

Proyek-proyek pinjaman Yen di Indonesia Lampiran 5

(15)

 

1 Universitas Indonesia BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Jepang memiliki kedudukan sebagai salah satu negara donor yang memberi bantuan ekonomi pemerintah, disebut juga dengan Official Development Assistance (ODA), terbesar di dunia dalam kurun waktu 50 tahun. Pada Perang Dunia II, Jepang dikenal sebagai negara dengan tentara yang berperilaku kejam sehingga meninggalkan luka batin bagi rakyat di negara-negara Asia yang pernah diduduki Jepang. Hal ini menjadi salah satu alasan bagi Jepang untuk berfokus kepada negara-negara Asia sebagai penerima bantuan ODA-nya. Jepang, yang sudah sukses secara ekonomi pasca perang, terutama sejak tahun 1970, memberikan ODA sebagai kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesan positif dalam masyarakat negara-negara Asia.

Indonesia pun bukan pengecualian. Hubungan bilateral di antara Jepang dan Indonesia telah berkembang pesat melalui bantuan ekonomi pemerintah, yaitu ODA. Selama ini, Indonesia adalah penerima ODA Jepang yang terbesar. Pada tahun 1989, Jepang pertama kali menjadi donor terbesar di dunia. Bantuan ekonomi Jepang mencapai 18 persen dari seluruh bantuan ekonomi dunia.1 Pada tahun yang sama, 67 persen bantuan ekonomi yang diterima Indonesia adalah bantuan dari Jepang.2 Berkaitan dengan hubungan bilateral yang cukup baik, kerja sama di bidang swasta juga terlihat berkembang pesat sehingga masuklah investasi dari perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia. Dampaknya adalah pendidikan bahasa Jepang mulai dianggap penting. Banyak orang Indonesia mempelajari bahasa Jepang di sekolah, universitas, dan tempat-tempat lain. Oleh karena itu, dapat dipaparkan bahwa pada masa ini, tidak hanya pemerintah Jepang, tetapi sektor swasta juga turut berperan dalam mengupayakan kesan positif terhadap Jepang melalui kegiatan-kegiatan ekonominya. Pada masa tersebut, Jepang menganggap dirinya sebagai negara yang cukup berpengaruh di dunia.

1

Rainhard Drifte, Japan’s Foreign Policy in the 1990’s, St Antony’s, 2006, hal. 110.

2 Alan Rix, Japan’s Foreign Aid Challenge Policy Reform and Aid Leadership, Routledge, 1993, hal.143.

(16)

 

Universitas Indonesia

Pada era 1980-an sampai awal 1990-an, istilah ’internatinalization’ dan ’big power’ sering dipaparkan oleh Perdana Menteri (PM), para politisi, dan masyarakat Jepang untuk memberdayakan peran Jepang di tingkat internasional.3

Kebijakan bantuan ekonomi ODA Jepang terhadap Indonesia dapat dikatakan cukup sukses memelihara kepentingan nasional Jepang khususnya ekonomi. Akan tetapi, bermunculan pula kritik dari kalangan penerima maupun dari pihak pemberi bantuan, yaitu Jepang. Kritik utama yang muncul dari pihak Jepang adalah kurang efektif dan tidak jelasnya penggunaan dana. Karena adanya korupsi di antara kedua pemerintah, terutama dengan pemerintahan Soeharto, dana yang disiapkan untuk suatu proyek di Indonesia tidak berjalan lancar seperti yang direncanakan.4 Pihak Jepang pun demikian. Kritik-kritik yang muncul dari pihak Indonesia adalah sistem pinjaman Yen dengan persyaratan yang disebut tied-loan, menyebabkan beban terhadap masyarakat Indonesia semakin besar.5 Selain itu, ada yang mempermasalahkan dari segi perspektif lingkungan, seperti kerusakan hutan yang disebabkan proyek-proyek ODA Jepang.6

Namun, Jepang yang bergantung pada kekuatan ekonomi mulai mengalami kesulitan pada tahun 1990-an. Perang Gurun yang terjadi pada 1990 membuktikan kelemahan Jepang. Sebagai mantan negara penjajah, Jepang memilih untuk tidak bergabung dalam perang tersebut karena, baik pemerintah maupun masyarakat, Jepang mementingkan perdamaian untuk membuktikan introspeksi diri terkait perbuatan para pendahulu pada masa perang. Akan tetapi, walaupun menawarkan bantuan ekonomi senilai 13 miliar dollar AS, Jepang dikritik oleh negara-negara lain.7 Di tingkat internasional, Jepang yang telah

menjadi negara maju serta memiliki kekuatan ekonomi sebagai anggota G7 sejak 1975 diharapkan memberi kontribusi yang lebih besar, termasuk bidang militer, dalam pembentukan tatanan internasional oleh negara-negara lain.8 Reaksi dari negara-negara lain tersebut mengejutkan masyarakat Jepang. Bagi warga negara

3 Drifte, Op. Cit., hal. 7. 4

Seminer paper p3, Berpikir tentang ODA Jepang , contoh dari bendungan BiliBili, Pusat Kajian Asia Universitas Jochi, 2005.

5

Ibid., hal. 4. 6 Ibid., hal. 64-65

7 Iokibe, Makoto, Sejarah Diplomasi Jepang Pasca Perang, Yuhikaku, 1999, hal. 228. (Dalam Bahasa Jepang:五百旗真、1999 年、「戦後日本外交史」有斐閣)

(17)

 

Universitas Indonesia 3

Jepang yang berpendidikan dan mengutamakan perdamaian, bantuan pangan dan obat-obatan bagi korban perang pun tidak dapat diterima.9

Makoto Iokibe, presiden dari National Defense Academy of Japan, menggambarkan keadaan pasca-Perang Dingin dan Perang Gurun tersebut sebagai kekalahan diplomasi Jepang secara internasional maupun domestik.10 Pada waktu

yang sama, Jepang juga mengalami krisis ekonomi dalam negeri. Oleh karena itu, sangat sulit mengeluarkan anggaran ODA sebesar tahun-tahun sebelumnya kepada negara-negara lain. Sejak tahun 1997, anggaran negara ODA Jepang semakin menurun.11 Dalam situasi ini, ODA terhadap Indonesia, sebagai penerima ODA Jepang terbesar, juga ikut dikurangi.12

Meskipun dengan anggaran negara yang terbatas, pemerintah Jepang tetap perlu memelihara kedudukan Jepang secara internasional dan bilateral dengan negara lain. Tambahan lagi, negara ini juga perlu menangani keadaan ekonomi dalam negeri yang semakin memburuk. Pemerintah Jepang perlu menjelaskan efektivitas ODA dan keterkaitannya dengan kepentingan nasional mereka. Oleh karena itu, pada tahun 2003, dikeluarkanlah ODA Charter oleh Kementerian Luar Negeri Jepang yang menjelaskan, antara lain tentang filsafat, tujuan, dan implementasi ODA.

1.2 Perumusan Masalah

Untuk mengatasi keadaan di dalam negeri dan luar negeri yang telah dijelaskan di atas, pemerintah Jepang menyadari bahwa negaranya tidak akan mampu memelihara kedudukan yang diciptakannya selama ini jika hanya mengandalkan kekuatan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah Jepang perlu mulai menggelar diplomasi baru. Diplomasi yang menjadi perhatian adalah diplomasi

9

Ibid., hal. 229. 10 Ibid., hal. 225.

11 Anggaran ODA adalah 11.678 miliar yen pada tahun 1997, 9.116 miliar yen pada tahun 2002, 6.187 miliar yen pada tahun 2010. Lihat: http:www.mofa.go.jp/mofaj/gaiko/oda/shiryo/yosan.html 12 Jumlah ODA Jepang terhadap Indonesia adalah 10.8 miliar yen (1966), 69 miliar yen (1976), 87.7 miliar yen (1986), 236.8 miliar yen (1997). Selama 10 tahun, jumlah ODA Jepang terhadap Indonesia menurun secara signifikan, yaitu 118.7 miliar yen (2007). Lihat:

(18)

 

Universitas Indonesia

yang menggunakan soft-power, yaitu kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop.

Sebetulnya, diplomasi kebudayaan bukanlah hal yang baru. Dengan kekuatan ekonomi dan politik, pemerintah Jepang dan perusahaan-perusahaan Jepang telah bekerja sama menyebarkan kebudayaan Jepang agar Jepang mudah diterima di negara-negara Asia. Bantuan resmi oleh pemerintah Jepang berfokus pada bidang pendidikan bahasa Jepang sehingga banyak orang asing, termasuk orang Indonesia, dapat bekerja di perusahaan Jepang dengan kemampuan bahasa Jepang yang baik. Menurut , 54 persen bantuan resmi adalah untuk mempromosikan pendidikan bahasa Jepang dan program studi di Jepang untuk Asia Tenggara pada tahun 1990.13 Indonesia juga demikian. Menurut Japan Foundation, jumlah pelajar bahasa Jepang di seluruh Indonesia pada tahun 1975 adalah 1.052. Jumlah pelajar bahasa Jepang di Indonesia terus berkembang seperti 1.076 (1981), 73.228 (1993), dan 272.719 (2006).14 Penelitian Japan Foundation

yang terkini mencatat bahwa jumlah pelajar bahasa Jepang di Indonesia telah mencapai 716.353 pada tahun 2010 dan menempati urutan ke-4 dalam banyaknya pelajar bahasa Jepang di dunia.15

Pada awalnya, pemerintah Jepang memfokuskan diri hanya pada promosi kebudayaan tradisional Jepang di Indonesia, baik melalui Kedutaan Besar Jepang maupun Sekolah Jepang atau Japan Foundation. Promosi kebudayaan tradisional ini dilakukan melalui acara resmi seperti pameran ikebana (rangkaian bunga) dan sado (upacara minum teh), pertunjukan drama kabuki, mengajarkan seni bela diri Jepang seperti kendo atau judo yang telah menjadi olahraga internasional, bahkan mengirim guru bahasa Jepang.

Hal yang baru adalah promosi kebudayaan pop. Pada tahun 1990-an, seiring dengan maraknya globalisasi, Jepang perlu mendefinisikan identitas kebudayaan (cultural identity) sekali lagi. Jepang yang terkesan sebagai ‘negara yang baru saja berkembang dan menjadi negara maju yang menganut demokrasi’ telah berubah. Jepang dibutuhkan sebagai negara yang bertanggung jawab penuh

13Drifte, Op. Cit., hal.159.

14

http://www.jpf.go.jp/j/japanese/survey/result/surveyold.html. (Diakses pada 21 feburari 2011) 15http://www.jpf.go.jp/j/japanese/survey/result/index.html, (Diakses pada 18 Februari 2011)

(19)

 

Universitas Indonesia 5

dan menjadi bagian dari anggota negara-negara maju.16 Oleh karena itu, Ogoura, seorang Director General di Japan Foundation, mengatakan bahwa penekanan ‘exotic Japan’ tidak berlaku lagi untuk menarik negara-negara lain. Jepang yang pernah diakui dengan kekuatannya perlu menjadi perintis kebudayaan modern, yaitu animasi, komik, busana, musik pop, makanan, dan sastra yang telah menjadi populer di antara pemuda-pemudi di luar negeri.17

Pada masa modern sekarang ini, cara promosi kebudayaan tersebut telah semakin bervariasi. Sebetulnya, kebudayaan pop tersebut tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan perdagangan mengenai hak cipta (intellectual property right), partisipasi festival film internasional, pameran buku internasional, dan sebagainya. Dengan alasan tersebut, kerja sama antara pemerintah dan industri kebudayaan pop yang disebut ‘content industry’ sangatlah dibutuhkan.18 Kontribusi ahli dari content industry sangat signifikan. Merekalah yang memperkenalkan teknik pembuatan animasi dan komik ketika pagelaran kebudayaan pop Jepang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Jepang dalam rangka menyebarluaskan teknologi Jepang dan melindungi hak cipta karya-karyanya. 19 Teknologi elektronik canggih juga menarik perhatian banyak orang. Bayangan tentang Jepang yang berkesan kejam pada masa Perang Dunia II mulai berubah menjadi negara dengan ‘kebudayaan pop yang unik’ dan ‘teknologi canggih’.

Sejak awal tahun 2000-an, muncul gejala ‘demam Jepang’ di Eropa. Kebudayaan pop yang dijelaskan di atas menarik perhatian banyak pemuda-pemudi di luar Jepang. Menariknya, gejala ini bukanlah bagian dari kebijakan promosi budaya Jepang. Bagi pemerintah Jepang, kebudayaan pop hanyalah subkultur yang baru muncul dan belum cukup diakui untuk disebut sebagai kebudayaan karena kurang tersebar sebagaimana yang diharapkan. Akan tetapi, gejala ‘demam Jepang’ tersebut adalah sesuatu yang luar biasa. Salah satu contoh adalah animasi berjudul ‘Pocket Monster (pokemon)’ yang telah diputar di 65

16 Ogoura, Japan’s Cultural Diplomacy, The Japan Foundation, 2009, hal. 15. 17 Ibid.

18 Ibid.

19 Sakurai tidak hanya memberitahu proses pembuatan animasi dan teknologi canggih tetapi juga menjelaskan kerugian industri anime/komik Jepang jika hak ciptanya dilanggar dalam acara di luar negeri sebagai wakil contents industry. Lihat: Sakurai, Takamasa, Diplomasi Kebudayaan Anime (Chikuma-shinsho, 2009) hal.173-178.

(20)

 

Universitas Indonesia

negara.20 Jumlah ini membuktikan bahwa animasi Jepang mudah dipahami oleh orang asing. Para penonton tidak hanya memberikan perhatian terhadap teknik animasinya saja, tetapi juga meluaskan minatnya terhadap hal lain tentang Jepang. Melalui animasi, banyak orang mulai mempelajari berbagai hal seperti bahasa Jepang, permainan tradisional (kendama dan shogi), olahraga tradisional (kendo, karate, dan judo), makanan Jepang (sushi), bahkan memakai busana Jepang seperti seragam sekolah dan gothic-lolita. Animasi juga sangat membantu memperkenalkan kebudayaan tradisional Jepang. Gejala inilah yang menarik bagi pemerintah Jepang sehingga meluaskan kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop. Tidak hanya animasi, kebudayaan lain seperti seni lukis, seni pertunjukan, seni membuat keramik, dan seni kuliner tradisional Jepang seperti sushi dan lain-lain, pun turut mendunia.21

Gejala demam Jepang juga terjadi di Indonesia. Japan Foundation di Jakarta menyediakan website untuk mempelajari bahasa Jepang dengan menggunakan animasi dan komik dari Jepang. Begitu juga dengan restoran-restoran Jepang yang tersebar di seluruh penjuru kota Jakarta. Toko-toko buku di Indonesia memiliki ruang/rak khusus untuk menjual komik-komik Jepang. Animasi Jepang pun disiarkan pula di stasiun TV Indonesia. Bahkan, sejak tahun 2009, komunitas orang Jepang dan pencinta Jepang menyelenggarakan ‘Jakarta-Japan Matsuri’ (matsuri berarti pesta dalam bahasa Indonesia) disponsori oleh Kedutaan Besar Jepang di Indonesia.

Selama ini, walaupun terjadinya demam Jepang dan kebudayaan tersebut mampu mengembangkan minat terhadap bidang-bidang terkait, seperti busana, makanan, dan kebudayaan khas Jepang lainnya, pemerintah Jepang sendiri tidak menganggap itu sebagai gejala penting sehingga kehilangan banyak kesempatan untuk mempromosikan kebudayaannya. Pada akhirnya, Jepang tidak memanfaatkan kebudayaannya untuk menunjang bidang pariwisata dan bisnis. Penulis melihat adanya ketidakcocokan antara kebutuhan di luar negeri dan diplomasi Jepang. Namun, sejak mantan Perdana Menteri Junichiro Koizumi

20 Joseph S Nye, SOFT-POWER, The Means to Success in World Politics (Japan economic newspaper publish, 2005), (Dalam bahasa Jepang: ジョセフ S ナイ、「ソフト・パワー 2

1世紀国際政治を制する見えざる力」、日本経済新聞社、2005 年), hal.140.

(21)

 

Universitas Indonesia 7

(2001—2006) dan Taro Aso (2007-2009)22 memegang pimpinan, pemerintah mulai memperhatikan kebudayaan pop. Terutama, semasa jabatan mantan PM Aso, istilah ‘animasi’, ‘komik’, dan ‘kebudayaan pop’ sering digunakan dalam pidato beliau dantampak adanya perubahan.

Pada tahun 2005, untuk pertama kalinya pemerintah Jepang menyadari bahwa tidak hanya kebudayaan tradisional, tetapi kebudayaan pop juga merupakan bagian dari kebudayaan Jepang. Kemudian, atas prakarsa mantan PM Koizumi dan Aso, pemerintah Jepang menggelar acara penghargaan komik internasional (International MANGA Award)23, ‘hadiah Menteri Luar Negeri Jepang’ pada tahun 2007 ketika Cosplay Summit Internasional ke-424 diadakan, dan melantik Doraemon sebagai Duta Animasi dan Duta Kawaii (lucu atau imut dalam bahasa Indonesia) sebagai Duta kebudayaan pop pada tahun 2009.25 Tambahan lagi, pada tahun 2008, terbentuklah pertemuan ahli animasi untuk mempromosikan animasi Jepang sebagai salah satu kebijakan diplomasi kebudayaan pop. Kehadiran para Duta adalah untuk menarik perhatian peserta acara, terutama pemuda-pemudi di negara yang bersangkutan. Perhatian yang besar terhadap kebudayaan Jepang, menurut mantan PM Aso, dapat melancarkan kebijakan politik dan ekonomi Jepang juga. Langkah pertamanya adalah dengan menanamkan keberadaan Jepang dan perasaan ‘suka’ terhadap Jepang itu penting.26

Melihat keadaan bahwa tidak hanya kebudayaan tradisional, tetapi kebudayaan pop Jepang juga diakui sebagai salah satu soft-power yang dapat digunakan dalam diplomasi, penulis ingin meneliti mengapa pemerintah Jepang menggunakan kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop sebagai salah satu cara untuk memelihara kepentingan nasionalnya? Penelitian ini

22 Taro Asodilantik sebagai Menteri Luar Negeri Jepang untuk masa jabatan tahun 2005 sampai 2007. Setelah itu masa jabatan tahun 2007 sampai 2009, beliau diangkat menjadi Perdana Menteri. 23 Manga artinya komik. Biasanya, istilah ini dipakai untuk mengacu pada komik asli Jepang. 24 Cosplay (Costume Play) adalah kegiatan untuk mengekspresikan diri dengan berpakaian gaya tokoh animasi tertentu. Cosplay Summit Internasional dimulai pada tahun 2003 oleh

penyelenggara swasta. Sejak tahun 2007 sampai tahun 2009, Deplu Jepang mencantumkan namanya sebagai sponsor dan mulai tahun 2009, Deplu Jepang adalah panitia utama dalam penyelenggaraan acara tersebut.

25 Duta Animasi dan Duta Kawaii berpartisipasi dalam acara-acara Jepang di luar negeri serta memperkenalkan kehidupan serta kepribadian orang Jepang.

(http://www.mofa.go.jp/mofaj/gaiko/culture/koryu/pop/)

(22)

 

Universitas Indonesia

berfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi kombinasi kebudayaan tradisional dan pop Jepang, terutama animasi dan komik di Indonesia. Walaupun penulis memilih Indonesia untuk diteliti sebagai studi kasus, penelitian ini dapat berlaku secara umum.

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop Jepang tersebut dan menganalisis keterkaitan faktor-faktor domestik dan eksternal terhadapdiplomasi kombinasi ini, khususnya di Indonesia.

1.4 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka ini akan merangkum berbagai tulisan yang membahas ODA Jepang, diplomasi kebudayaan Jepang, diplomasi publik, dan soft-power. Penulis membahas alasan-alasan pemerintah Jepang berfokus terhadap kebudayaan pop Jepang dan memperlihatkan beberapa anggapan mengenai kombinasi diplomasi baru tersebut.

Menurut Rix, seorang penulis buku berjudul Japan’s Foreign Aid Challenge Policy Reform and Aid Leadership, filsafat bantuan ekonomi pemerintah Jepang berbeda dengan negara-negara maju yang lain, terutama yang melihat bantuan tersebut sebagai pekerjaan amal. Bantuan ekonomi pemerintah Jepang dimulai sebagai kompensasi kepada negara-negara yang pernah didudukinya. Oleh karena itu, distribusi bantuan ekonomi tersebut diutamakan bagi negara-negara Asia. Hal ini karena alasan domestik, yaitu pemerintah Jepang ingin meningkatkan kesan yang lebih positif melalui bantuan ekonomi untuk menstabilkan keamanan kawasan dan melancarkan kepentingan ekonominya di kawasan tersebut.27 Dari dalam negeri, masyarakat Jepang dan terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun luar negeri memberikan kritik atas kebijakan bantuan ekonomi pemerintah Jepang sejak tahun 1990. Ada yang mempersoalkan dari segi perspektif lingkungan, seperti kerusakan hutan yang

27 Rix, Op.Cit., hal.18.

(23)

 

Universitas Indonesia 9

disebabkan proyek ODA dan ketidakadilan dalam proyek seperti korupsi.28 Ada yang mempermasalahkan kebijakan pinjaman dan self-help karena masyarakat di negeri penerima ODA belum cukup mandiri untuk mengembalikan pinjaman atau hanya akan menjadi beban untuk mereka.29 Dalam penulisan tersebut, Rix tidak melihat bahwa Jepang sukses dalam menggalang bantuan ekonomi. Rix sangsi bahwa Jepang dapat menjadi pemimpin internasional di arena internasional.30

Pada kenyataanya, kegiatan ekonomi cukup efektif dan mampu melahirkan suasana yang mudah diterima oleh negara lain. Drifte mengatakan bahwa kebudayaan adalah salah satu faktor yang dapat menciptakan kegiatan ekonomi. Dia menganggap soft-power Jepang, seperti ekonomi, finansial, teknologi, dan kebudayaan adalah hal yang unik. Menurut Drifte, Jepang belum mempunyai pengaruh dan kekuatan secara budaya, tetapi ada kenyataan bahwa pendidikan Jepang cukup sukses di negara-negara Asia. Dia mengatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin mengubah kebijakan Jepang dari isu-isu keamanan ke soft-power.31 Akan tetapi, Drifte menyatakan bahwa yang menarik adalah

walaupun banyak orang, terutama di Asia, meniru busana Jepang, makan masakan Jepang, dan belajar bahasa Jepang, gejala ini tidak melahirkan kesan positif Jepang secara otomatis. Sebagaimana negara saingannya yang juga menggunakan soft-power, seperti Korea dan Cina, soft-power Jepang tersebut bersifat terbatas dan tidak signifikan.32

Takamasa Sakurai, anggota panitia tentang diplomasi animasi oleh Kementerian Luar Negeri Jepang, dan Sasaki, profesor di Universitas Musashino Gakuin, merekomendasikan kebijakan yang menggunakan soft- power Jepang yang berpotensi. Menurut Sasaki, gejala demam Jepang dibagi 3, yaitu tahun 1700—1900, 1950—1990 dan 1990—saat ini. Persamaannya adalah demam

28 Ibid., hal.64-65. 29 Ibid., hal.112-133.

Pada tahun 1992, Kementerian Luar Negeri mengumumkan ODA Chapter. Dalam chapter ini, ada 4 filsafat, yaitu bantuan secara manusiawi, ketergantungan dengan masyarakat internasional, perlindungan lingkungan, dan bantuan supaya masyarakat lokal menjadi mandiri, yaitu self-help. Untuk memberdayakan masyarakat di negeri penerima, pemerintah Jepang membagi bantuan dalam 3 kategori, yaitu bantuan, pinjaman, dan kerja sama secara teknologi.

(http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/charter.html) 30Rix, Op.cit., hal.191-194

31 Drifte, op.cit., hal.86-87 32 Ibid., hal.158-161

(24)

 

Universitas Indonesia

Jepang tersebut terjadi di luar kebijakan pemerintah Jepang, terutama demam Jepang ketiga yang ditandai dengan populernya animasi dan komik. Pemerintah Jepang baru mulai memperhatikan demam tersebut setelah menyadari bahwa animasi dan komik berkaitan dengan industri digital-contents dan industri pariwisata.33 Pada tahun 2002, Douglas McGray memperkenalkan konsep cool

Japan dalam Foreign Policy‘. 34 Menurut McGray, Jepang berpotensi mempromosikan budaya pemuda-pemudi Jepang yang unik dan menarik perhatian itu kepada masyarakat di luar Jepang. Mengenai soft-power, Nye, salah satu professor di universitas Harvard memperkenalkan konsep soft-power seperti yang penulis jelaskan di bawah ini.

Nye menyatakan bahwa Jepang mempunyai banyak soft-power sebagai berikut.

1. Urutan pertama di dunia dalam bidang kepemilikan hak paten terbanyak. 2. Urutan ketiga dalam hal pengeluaran terkait penelitian dan pembangunan

negaranya.

3. Urutan ketiga dalam bisnis perjalanan transportasi udara internasional. 4. Urutan kedua dalam bidang penjualan buku-buku dan musik setelah

Amerika.

5. Urutan kedua dalam bidang internet host atau urutan kedua dalam ekspor teknologi tinggi.

6. Urutan pertama dalam hal assistance development lewat ODA.

7. Urutan pertama dalam hal tingginya tingkat harapan hidup masyarakat. Kebudayaan Jepang yang terus tumbuh nampaknya merupakan pengganti situasi ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan akhir-akhir ini. Jepang memiliki pengaruh yang besar dan luas dalam hal kebudayaan ke seluruh dunia pada saat ini, dibandingkan dengan era 1980-an, mulai dari musik pop, barang-barang elektronik, arsitektur, busana, makanan, hingga kesenian.

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Jepang mempunyai soft-power yang berpotensi tinggi sebagai alat promosi dengan konsep Cool Japan. Konsep Cool

33 http://www.econfn.com/ssk/bunka/bunkagaikou.html (14 April 2011)

Sasaki, Demam Jepang Ketiga (Dalam bahasa Jepang ‘第4回 (4)第3次日本文化ブーム’) 34 MacGray, Japan’s Gross National Cool ( Foreign Policy, 2000), hal.45-55

(25)

 

Universitas Indonesia 11

Japan dan soft-power yang dibuat oleh masyarakat di luar Jepang tersebut menarik perhatian pemerintah Jepang dan menjadi motivasi untuk menggelar diplomasi kombinasi kebudayaan tradisional dan pop sebagai alat mendukung kebijakan luar negeri.

Mengenai soft-power Jepang, Sakurai mengakui keunggulan kebudayaan pop Jepang. Busana gaya Jepang, seperti Lolita, Furugi (pakaian bekas), atau Seifuku (seragam sekolah), juga merupakan salah satu contoh dari kebudayaan pop Jepang. Sakurai memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pelantikan 3 Duta Kawaii oleh Kementerian Luar Negeri Jepang pada tahun 2009 karena pemerintah mulai memperhatikan gejala demam Jepang yang terjadi di luar negeri. Kebanyakan orang yang berpakaian gaya Jepang mulai tertarik pada Jepang karena animasi. Menariknya, animasi menarik minat mereka untuk berkunjung ke Jepang. Tidak hanya wilayah yang terkenal dengan busananya, tetapi juga tertarik mengunjungi tempat-tempat tradisional, seperti wihara dan kuil, karena mereka menganggap keunggulan Jepang berasal dari keanekaragaman budayanya.

Namun, Sakurai mempersoalkan cara promosi kebudayaan pop oleh pemerintah maupun swasta. Menurutnya, Jepang memang berhasil membuat produk dengan menggunakan teknologi canggih dan menciptakan kesan Jepang yang cukup unik, tetapi Jepang tidak dapat memanfaatkan kesempatan untuk mempromosikan budaya dan diplomasi tentang kebudayaannya karena masih terdapat banyak kekurangan.35 Salah satu contoh, kurangnya komunikasi antara kreator industri animasi dengan komik atau antara kedua bidang tersebut dengan pemerintah.

Mempromosikan suatu budaya dengan menggunakan soft-power adalah melalui diplomasi publik. Diplomasi publik adalah kegiatan diplomasi kepada masyarakat di luar negeri untuk meningkatkan keberadaan negaranya dan meningkatkan kesan positif. Dalam penelitiannya yang diterbitkan pada tahun 2007, Mitsuru Kitano, seorang diplomat di Kedutaan Besar Jepang di AS dan penulis buku berjudul ‘apa diplomasi publik?’, mengatakan bahwa animasi dan komik yang sudah terkenal di seruluh dunia bisa disebut soft-power karena

35 Sakurai, Jepang Dapat Kembali Lagi dengan Anime, (Askey shinsho, 2010), hal.184(Dalam bahasa Jepang:: 桜井孝昌「日本はアニメで再興する」、2010 年、アスキー新書)

(26)

 

Universitas Indonesia

keduanya berguna untuk mempromosikan salah satu kebudayaan Jepang, tetapi tidak termasuk diplomasi publik. Animasi dan komik terkenal di luar negeri secara komersial tanpa kebijakan negara.36

Penulis melihat bahwa diplomasi publik dengan menggunakan animasi dan komik Jepang belum dibentuk pada saat hasil penelitian Kitano tersebut diterbitkan. Diplomasi publik melalui animasi dan komik Jepang baru dimulai setelah tahun 2007. Menariknya, Koichi Iwabuchi, seorang penulis buku berjudul ‘Daya interaksi Kebudayaan’, mempermasalahkan diplomasi publik Jepang dengan menggunakan animasi dan komik sebagai soft-power. Dia mengatakan bahwa selama ini animasi Jepang menjadi populer tanpa campur tangan negara karena berkualitas tinggi dan cerita serta tokohnya bersifat transnasional. Sejak animasi menjadi populer di dunia, pemerintah Jepang secara tiba-tiba mulai mengerumuninya sebagai kebudayaan Jepang dengan mengatakan bahwa animasi ini sangat berbau Jepang. Di sini, dapat dilihat adanya pertentangan. Namun, walaupun kebudayaan Jepang menjadi terkenal melalui animasi dan komik, memberi kesan positif’, serta memelihara kedudukan di suatu negara, ketiganya merupakan hal yang berbeda.37 Beberapa penelitian, terutama penelitian yang dilakukan oleh Sakurai,memperlihatkan bahwa animasi merupakan potensi besar untuk melakukan diplomasi publik. Akan tetapi, menurut angket tentang kesan terhadap Jepang, urutan pop culture seperti animasi dan komik masih berada di bawah teknologi canggih, mobil, atau sushi. Diplomasi kombinasi kebudayaan baru yang dinamakan cool Japan dan dimulai sejak tahun 2002 belum mempengaruhi pembentukan citra Jepang seperti yang diharapkan. Selain itu, Sakurai pun menyorot kebijakan pemerintah yang cenderung tanggung. Mantan PM Aso berfokus pada animasi untuk memperbaiki kesan Jepang di mata Korea dan Cina, tetapi pengaruh animasi untuk mengatasi masalah sejarah masih dalam tanda tanya. Anggaran pemerintah untuk mempromosikan budaya Jepang juga

36 Kitano, Mitsuru Apa Diplomasi Publik?, (PHP, 2007), hal.25 (Dalam bahasa Jepang: 北野充、

「パブリックディプロマシーとは何か」、PHP、2007 年)

37 Iwabuchi, Koichi, Daya Interaksi Kebudayaan, (Nihon Keizaishimbun publishing, 2007), hal. 80 (Dalam bahasa Jepang: 岩渕功一、「文化の対話力」、2 日本経済新聞出版、20007 年)

(27)

 

Universitas Indonesia 13

kurang cukup. Oleh karena itu, pembentukan national brand oleh pemerintah Jepang saat ini kurang strategis dan terlalu optimis.38

1.5 Kerangka pemikiran

Untuk menjelaskan kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop yang baru saja dimulai oleh pemerintah Jepang, terdapat tiga konsep besar yang perlu dipahami sebagai awal penelitian ini. Konsep-konsep tersebut adalah konsep soft-power, diplomasi publik (public diplomacy), dan diplomasi kebudayaan (cultural diplomacy).

1.5.1 Kekuatan (Power)

Menurut Nye, kekuatan adalah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar orang/negara lain melakukan hal-hal yang diharapkannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa cara untuk mengubah perilaku orang/negara lain, misalnya menggunakan daya paksa, menggunakan kekuatan uang, atau mengajak orang lain bekerja sama dengan menggunakan daya tarik. Selama ini, banyak yang menganggap ‘kekuatan’ bersifat mikro. Menurut mereka, kekuataan akan bermakna bila digunakan dengan cara perintah dan paksa.39 Akan tetapi, dalam tulisannya yang berjudul Soft-power, Nye mengatakan bahwa sumber kekuataan perintah dan paksa tidak berlaku di mana-mana. Untuk mencapai hasil yang diharapkan, dapat digunakan kekuatan, strategi yang cukup direncanakan, dan bimbingan yang diperlukan.40

Nye memaparkan tiga jenis kekuatan (power) dalam hubungan internasional pada masa globalisasi ini.

1. Kekuatan yang mengancam kekuatan sasaran secara langsung, seperti aksi militer.

2. Kekuatan yang memihak sasaran melalui kekuatan ekonomi, seperti bantuan ekonomi dan sumber alam.

3. Kekuatan yang merupakan kemampuan untuk mencapai tujuan dengan tindakan atraktif, lewat ketertarikan terhadap prestasi dan keunggulan

38 Ibid., hal.87-94 39 Nye, Soft-power, hal.21 40Ibid., hal.23

(28)

 

Universitas Indonesia

suatu negara, serta menjauhi tindakan koersif. Suatu negara dapat mencapai tujuan yang diharapkan tanpa perlu melakukan tindakan pemaksaan terhadap negara lain.41

Nye mengkategorikan kekuatan militer dan ekonomi sebagai hard power. Hard power tersebut berdasarkan induksi dan ancaman. Akan tetapi, sering kali terdapat kasus bahwa hasil yang diharapkan tercapai tanpa adanya induksi dan ancaman. Misalnya, negara A mengikuti negara B karena negara A mengagumi nilai negara B tersebut dan berharap bahwa negara A dapat mencapai taraf kemakmuran dan keterbukaan seperti negara B.42 Perilaku negara A terjadi tanpa adanya induksi dan ancaman dari negara B sehingga kekuatan negara B tersebut tidak dapat dikatakan hard power, tetapi termasuk kekuatan. Kategori kekuatan yang terakhir, yaitu soft-power. Tabel 1.1 menunjukkan jenis kekuatan yang telah dijelaskan di atas.

Tabel 1.1 Tiga Jenis Kekuatan

Aksi Cara Utama Kebijakan Pemerintah

Kekuatan Militer • Paksa • Pencegahan • Perlindungan • Ancaman • Kekuatan militer • Diplomasi Ancaman • Perang • Koalisi Kekuatan Ekonomi • Induksi

• Paksa • Pembayaran • kompensasi Sangsi • Bantuan ekonomi • Suap • Sangsi Soft-power • Atraksi • Menentukan tema • Nilai • Kebudayaan • Kebijakan • Sistem Diplomasi kebudayaan/publik secara bilateral dan multilateral

(Nye, Soft-power, hal.62)

Dalam penelitian ini, penulis berfokus pada kekuatan ekonomi dan soft-power sebagai kekuatan negara Jepang.

41 Ibid., hal.32

(29)

 

Universitas Indonesia 15

1.5.2 Soft-power

Konsep soft-power pertama kali diperkenalkan oleh Nye pada tahun 1990. Dengan menggunakan soft-power, suatu negara bisa mendapatkan hal-hal yang diinginkan. Soft-power bukan merupakan kekuatan yang memaksa negara lain untuk melakukan sesuatu, tetapi memihak negara tersebut untuk menarik minat dan simpatinya. Sebagai contoh, kebudayaan yang mempunyai sifat universal seperti film, olahraga, nilai terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), atau kebijakan yang dipertimbangkan tidak hanya demi kepentingan nasionalnya sendiri, tetapi juga kepentingan nasional sasaran bisa pula disebut sebagai soft-power. Kedua negara melakukan kebijakan tanpa paksaan karena saling tertarik dan setuju dengan sifat atau ideologinya.43

Soft-power terdiri dari tiga jenis. Pertama adalah kekuatan kebudayaan. Ketertarikan negara-negara lain pada kebudayaan suatu negara adalah syarat utama. Kedua adalah kekuatan nilai politik, misalnya demokrasi. Suatu negara yang berharap negara lain tertarik padanya perlu membuat tindakan yang benar dan merefleksikan nilainya tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Kekuatan yang ketiga adalah kekuatan kebijakan luar negeri yang harus dapat dihormati oleh negara-negara lain dan menjadi panutan.44

Dalam penelitian ini, penulis menganggap animasi dan komik Jepang sebagai soft-power dan termasuk kategori kekuatan pertama karena keduanya mampu meningkatkan kesan positif terhadap Jepang, tanpa perlu memaksakan kekuatannya kepada negara lain.

Berkaitan dengan konsep soft-power tersebut, diplomasi publik (public diplomacy) dan diplomasi kebudayaan (cultural diplomacy) dilaksanakan oleh negara sebagai kebijakan negara. Di banyak negara, terutama di Jepang, istilah-istilah diplomasi tersebut dan kebijakan pertukaran kebudayaan (cultural exchange policies) sering dipakai dalam satu penulisan sehingga sering membingungkan. Oleh karena itu, penjelasan mengenai perbedaan kata-kata tersebut diperlukan.

43 Ibid, hal.34

(30)

 

Universitas Indonesia 1.5.3 Diplomasi

Harold Nicholson, salah satu pengkaji dan praktisi dalam hal diplomasi di abad ke-20, mengatakan bahwa kata ‘diplomasi’ diambil untuk menunjukkan lima hal yang berbeda. Pertama, politik luar negeri yang mengedepankan kepentingan nasional. Kedua, negosiasi yang juga mengutamakan kepentingan nasional. Ketiga, mekanisme pelaksanaan negosiasi tersebut dan keempat adalah suatu cabang dinas luar negeri. Kelima, suatu kualitas abstrak pemberian yang mencakup keahlian dalam pelaksanaan negosiasi internasional dan dalam arti yang buruk mencakup taktik yang lebih licik.45 Berdasarkan hal-hal tesebut, Nicholson menggunakan definisi bahwa diplomasi merupakan cara yang dilakukan asosiasi antarnegara untuk menyelesaikan permasalahan internasional melalui negosiasi untuk mengendalikan hubungan internasional, termasuk tugas dan teknik yang harus dilakukan oleh para diplomat untuk mengatasi permasalahan tersebut.46

Dengan menggunakan interpretasi tersebut, S.L. Roy, seorang penulis buku berjudul Diplomacy, menjelaskan beberapa unsur pokok diplomasi. Pertama, negosiasi. Kedua, negosiasi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan nasional. Ketiga, tindakan-tindakan diplomatik diambil untuk menjaga dan memajukan kepentingan nasional dan sedapat mungkin dilaksanakan dengan cara-cara damai. Oleh karena itu, memelihara perdamaian tanpa merusak kepentingan nasional adalah tujuan utama diplomasi. Selain itu, Wartito dan Kartikasari, dosen di Universitas Gajah Mada, memberi pengertian bahwa diplomasi adalah usaha suatu negara-bangsa untuk memperjuangkan kepentingan nasional di kalangan masyarakat internasional. 47 Berdasarkan definisi-definisi di atas, penulis

menyimpulkan bahwa diplomasi adalah cara bernegosiasi untuk menyelesaikan permasalahan internasional untuk mencapai kepentingan nasional.

45 Nicholson, Diplomacy (Tokyo Daigaku Shuppankai, 2009), hal.7 (dalam bahasa Jepang: ニコル ソン「外交」、東京大学出版、2009 年)

46 Ibid, hal.7

47 Wartito dan Kartikasari, DIPLOMASI KEBUDAYAAN: Konsep dan Relevansi bagi negara

(31)

 

Universitas Indonesia 17

Untuk menerangkan tujuan diplomasi dengan lebih jelas, perlu didefinisikan terlebih dahulu tentang kepentingan nasional. Meskipun tidak ada definisi tertentu, Sasaki merujuk kepada definisi D Nuechterlein.48

Nuechterlein membagi kepentingan nasional menjadi tiga jenis, yaitu pertahanan negara, kepentingan ekonomi, dan kekuasaan untuk mempengaruhi dan membangun tatanan dunia. 49 Kepentingan pertahanan negara berarti mencegah hal-hal yang mengancam negara serta melindungi penduduk, wilayah, dan keamanan negara. Kepentingan ekonomi berarti memelihara dan memperluas keuntungan ekonomi melalui perdagangan secara bilateral maupun internasional. Membangun dan mempengaruhi orde internasional berarti memelihara lingkungan yang aman dan meningkatkan pemeliharaan perdamaian untuk melancarkan komunikasi. Dalam laporan tentang survei untuk mempertimbangkan kemitraan antara sektor swasta dengan pemerintah untuk mengefektifkan kerja sama ekonomi internasional, sekretaris kabinet Jepang menggunakan ide Morgenthau, peneliti hubungan internasional dan penulis buku Politics Among Nations,50 yang

memaparkan bahwa kepentingan nasional adalah konsep dasar dalam studi politik internasional. Kepentingan merupakan ukuran abadi dalam proses memutuskan kelakuan politik dan dapat berubah sesuai pada masa dan keadaan internal maupun eksternal pada saat itu. Menurut konsep tersebut, kepentingan nasional tentu menjadi ukuran untuk memutuskan kegiatan diplomatik untuk mencapai kepentingan nasional.51 Berdasarkan definisi tersebut, penelitian ini menguraikan diplomasi baru dengan menggunakan soft-power sebagai berikut.

1.5.4 Diplomasi Publik (Public Diplomacy)

Istilah diplomasi publik pertama kali dipakai di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1965. Walaupun konsep diplomasi publik masih baru, Kitano mendefinisikan diplomasi publik sebagai kegiatan diplomasi yang dilakukan oleh

48 D. Nuechterlein adalah penulis National Interests and Presidential Leadership, (Westview Press, Boulder,1978)

49 http://www.econfn.com/ssk/bunka/bunkagaikou.html (diakses pada 14 April 2011) Sasaki, Dari Demam Kebudayaan Jepang sampai Diplomasi Kebudayaan Jepang 50

Politics Among Nations pertama kali diterbitkan pada tahun 1948.

51Cabinet Office Pusat Kajian Jepang umum, “Laporan: Survei untuk Mempertimbangkan Kemitraan antara Sektor Swasta dan Pemerintah untuk Mengefektifkan Kerja Sama Ekonomi Internasional’(2000), hal.2

(32)

 

Universitas Indonesia

pemerintah atau institusi-institusi bersangkuta.52 Kemudian, Ogoura juga memberi definisi bahwa diplomasi publik adalah usaha pemerintah untuk mempengaruhi pendapat masyarakat internasional terhadap kebijakan suatu negara domestik maupun luar negeri.53 Walaupun kegiatan diplomasi publik ini tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya kerja sama dengan sektor swasta, lembaga-lembaga nonpemerintah maupun individu, dalam penelitian ini, aktor utama diplomasi publik tetap pemerintah dan institusi-institusi milik negara. Terdapat keterkaitan antara definisi oleh Kitano dan Ogoura tersebut dengan Kementerian Luar Negeri Jepang yang mengumumkan lima cara untuk melakukan diplomasi publik, yaitu sebagai berikut.54

1. Pengiriman informasi, terutama dalam bentuk lembaran negara. 2. Menyebarluaskan siaran atau acara TV ke seluruh dunia.

3. Meningkatkan kesempatan berkomunikasi agar saling mengenal, misalnya dengan membuka kesempatan belajar bahasa, mengenal kebudayaan pop, dan lain-lain sebagaimana yang disebut soft-power.

4. Mendukung studi tentang Jepang di luar negeri dan penelitian tentang Jepang.

5. Mempromosikan pariwisata.

Sifat istimewa dari diplomasi publik yang perlu ditekankan adalah bahwa sasaran diplomasi oleh pemerintah suatu negara adalah masyarakat, lembaga-lembaga, dan individu-individu di dalam maupun luar negeri.55 Adapun tujuannya adalah sebagai berikut.

1. Meningkatkan kesan positif dan mempertinggi martabat suatu negara. 2. Membuat masyarakat di luar negeri mengerti kebijakan suatu negara

dengan tepat.

3. Menciptakan lingkungan yang ramah dan mudah sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan suatu negara di luar negeri.

52 Kitano , op.cit., hal.25

53 Ogoura, op.cit., hal.6

54 http://www.mofa.go.jp/mofaJ/annai/listen/interview2/intv_01.html (diakses pada 4 April, 2011) 55

(33)

 

Universitas Indonesia 19

Diplomasi publik adalah konsep yang relatif baru terutama sejak selesainya Perang Dingin56. Diplomasi publik adalah salah satu jenis diplomasi kebudayaan dan memiliki sasaran yang jelas dan khusus, yakni masyarakat dengan menggunakan soft-power, jaringan modern seperti TV dan internet. Kegiatan ini dilakukan secara langsung dengan masyarakat agar dapat meningkatkan kesan positif dalam jangka panjang.57 Berkaitan dengan diplomasi publik, ada pula diplomasi kebudayaan, yaitu usaha untuk meningkatkan kesan positif suatu negara melalui kebudayaan.

1.5.5 Diplomasi Kebudayaan (Cultural Diplomacy)

Untuk menjelaskan diplomasi kebudayaan tersebut, pertama-tama perlu dijelaskan definisi tentang kebudayaan. Menurut Warsito dan Kartikasari, kebudayaan secara makro atau dalam pengertian umum berarti segala hasil dan upaya budi daya manusia terhadap lingkungan.58 Jika menggunakan definisi

tersebut, semua diplomasi ekonomi maupun militer menjadi hasil kebudayaan. Akan tetapi, dalam penulisan ini, untuk menerangkan diplomasi kebudayaan, khususnya Jepang, penulis menggunakan definisi kebudayaan secara mikro, yaitu hasil atau upaya budi daya manusia yang biasanya termanifestasikan dalam pendidikan, kesenian, ilmu pengetahuan, olahraga dan lain-lain.59

Kebudayaan-kebudayaan semacam ini memiliki kekuatan yang disebut soft-power. Seperti dijelaskan di atas, soft-power adalah kemampuan untuk mencapai tujuan dengan tindakan atraktif, ketertarikan terhadap prestasi dan keunggulan suatu negara, serta menjauhi tindakan koersif. Suatu negara dapat mencapai tujuan yang diharapkan tanpa perlu melakukan tindakan pemaksaan terhadap negara lain.60 Seiring globalisasi, homogenisasi dan standardisasi kebudayaan mulai terjadi secara cepat. Misalnya, suatu komunitas yang bertempat tinggal di daerah asing dapat mengadakan pesta tradisional mereka di sana.61

56

Ibid, hal. 20 57 Ibid, hal. 4 58

Warsito dan Kartikasari, op.cit., hal3 59 Ibid.,

60 Nye, SOFT-POWER the Means to Success in World Politics, hal.32 61 Ibid., hal.30

(34)

 

Universitas Indonesia

Hal yang sama juga dapat dikatakan mengenai komik, animasi, atau lirik lagu-lagu pop Jepang. Belakangan ini, komik dan animasi Jepang tersebar ke seluruh dunia karena teknologi yang merupakan dampak dari globalisasi. Keberadaan pembaca komik, penonton animasi, dan pelajar bahasa Jepang yang berada di luar Jepang merupakan salah satu contoh dari standardisasi. Kebudayaan tersebut berasal dari Jepang dan dibuat oleh orang etnis Jepang dengan menggunakan bahasa Jepang, tetapi telah mulai terlepas dari tradisi atau etnis aslinya.62 Oleh karena itu, diplomasi kebudayaan dapat didefinisikan sebagai usaha suatu negara untuk memperjuangkan kepentingan nasional melalui dimensi kebudayaan.63

Diplomasi kebudayaan merupakan hal yang utama dari diplomasi publik karena diplomasi kebudayaan itu mewakili negara secara maksimal. Diplomasi kebudayaan pun mampu meningkatkan keamanan nasional.64 Dalam bukunya berjudul Japan’s Cultural Diplomacy, Ogoura menjelaskan bahwa diplomasi kebudayaan adalah salah satu cara untuk meningkatkan pengaruh politik suatu negara dengan menggunakan kekuatan kebudayaan.65

Pelaku diplomasi kebudayaan adalah pemerintah, lembaga nonpemerintah, individu, lembaga khusus, atau setiap warga negara yang menetapkan pendapat umum, negara, dan organisasi internasional sebagai sasaran. Untuk menggelar diplomasi kebudayaan, segala macam alat komunikasi seperti media elektronik maupun cetak akan digunakan.66 Berdasarkan hal tersebut dan agar penelitian ini tidak terlalu luas, penulis membatasi pelaku diplomasi kebudayaan, yaitu pemerintah dan sektor swasta.

Dengan definisi tersebut, terlihat hubungan antara diplomasi kebudayaan tradisional dengan kebudayaan yang modern belakangan ini. Ogoura mengatakan bahwa walaupun sebagian diplomasi kebudayaan dan pertukaran kebudayaan adalah sama, dua konsep ini adalah hal yang berbeda. Diplomasi kebudayaan memiliki tujuan politik, sedangkan pertukaran kebudayaan internasional tidak

62 Ibid., hal.32 63 Ibid., hal.4

64 Advisory Committee on Cultural Diplomacy U.S State’s Department, Cultural Diplomacy The

Linchpin of Public Diplomacy, 2005, hal.1

65

Ogoura, op.cit., hal.6 66

(35)

 

Universitas Indonesia 21

selalu berkaitan dengan politik dan strategi dalam jangka pendek. 67 Perbedaan diplomasi tradisional dan diplomasi publik (diplomasi modern), Kitano menggunakan tabel sebagai berikut.

Tabel 2.2 Diplomasi Tradisional dan Diplomasi Publik

Diplomasi Tradisional Diplomasi Publik

Aktor Utama Negara Individu/Masyarakat

Sumber Kekuatan Paksaan Daya Tarik

Strategi diplomatik • Perjuangan untuk kekuasaan

• Politik

• Kontribusi internasional • Saling menguntungkan

Tujuan Mewujudkan kepentingan

nasional secara langsung.

Membuat lingkungan yang memudahkan untuk mencapai kepentingan nasional terhadap akomodasi.

Cara • Propaganda

• Memberi informasi dari satu pihak

• Kemitraan • Membuat jaringan

Sifat informasi Melindungi kerahasiaan

negara

• Membuka informasi, saling bertukar informasi

• Hubungan saling percaya

• Memelihara kestabilan hubungan antarnegara

Kerangka internasional Bilateral Multilateral

Konsep dasar Pemenang/ Pecundang Saling menguntungkan

Perang Untuk mengejar kepentingan

penguasaan teritori dan ekonomi

Untuk mewujudkan norma dan

stabilitas masyarakat internasional

(Kitano, Op. Cit.,., hal.39)

1.6 Hubungan Antarvariabel

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan adanya interaksi antara dua jenis variabel yang berbeda, yaitu variabel independen dan variabel dependen.

67 Ogoura, op.cit.,hal. 1

(36)

 

Universitas Indonesia

Variabel-variabel independen dari penelitian ini adalah faktor-faktor penyebab timbulnya perhatian terhadap kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop. Hal ini bermula sejak tahun 1970—1990-an, bersamaan dengan makin majunya keadaan ekonomi Jepang, negara ini mengalami masa keemasan. Namun, ketika keadaan ekonomi Jepang mulai memburuk, berkuranglah jumlah ODA Jepang kepada negara-negara Asia. Jepang, yang selama ini hanya bergantung pada kekuatan ekonomi dan teknologi, mulai khawatir akan kehilangan eksistensi dan martabatnya di Asia. Oleh karena itu, Deplu perlu mencari kebijakan baru untuk menstabilkan keberadaannya di dunia atau, dengan kata lain, untuk kepentingan nasionalnya sendiri.

Sejak awal tahun 2000-an, muncullah ‘Demam Jepang’ di Eropa. Melalui kebudayaan pop, seperti komik dan animasi, banyak pemuda-pemudi di luar Jepang yang tertarik kepada negara Jepang. Sebetulnya, gejala ini bukanlah bagian dari kebijakan promosi budaya Jepang yang lebih berfokus pada promosi kebudayaan tradisional seperti yang dilakukan selama ini. Bagi pemerintah Jepang, kebudayaan pop hanyalah ‘sub-culture’ yang baru muncul dan belum cukup diakui untuk disebut sebagai kebudayaan karena kurang menyebar sebagaimana yang diharapkan. Akan tetapi, gejala ‘demam Jepang’ tersebut adalah sesuatu yang luar biasa. Salah satu contoh adalah animasi berjudul ‘Pocket-monster’. Animasi tersebut telah diputar di 65 negara.68 Jumlah ini membuktikan bahwa animasi Jepang mudah dikenal oleh orang asing. Melalui animasi, kebudayaan khususnya kebudayaan tradisional seperti seni lukis, seni pertunjukan, seni membuat keramik dan makanan tradisional Jepang seperti sushi dan lain-lain pun turut mendunia.69 Penonton animasi tidak hanya memberikan perhatian terhadap

teknik penganimasian saja tetapi juga meluaskan minatnya terhadap hal lain tentang Jepang. Melalui animasi, banyak orang mulai mempelajari berbagai hal seperti bahasa Jepang, permainan tradisional seperti kendama dan shogi, olahraga tradisional seperti kendo, karate dan judo, serta menikmati makanan Jepang seperti sushi, bahkan memakai busana Jepang seperti seragam sekolah. Animasi juga sangat membantu memperkenalkan kebudayaan tradisional Jepang. Gejala

68 Nye, Soft-POWER the Means to Success in World Politics, hal.140 69Ibid ., hal.140

(37)

 

Universitas Indonesia 23

inilah yang menarik pemerintah Jepang untuk menggelar diplomasi baru yaitu diplomasi kombinasi kebudayaan tradisional dan pop.

Indonesia pun demikian. Japan Foundation di Jakarta menyediakan website untuk belajar bahasa Jepang dengan menggunakan animasi dan komik dari Jepang. Begitu juga dengan restoran-restoran Jepang yang menyebar di seluruh penjuru kota Jakarta. Dan hampir di semua toko buku, ada ruang/rak khusus yang menjual komik-komik Jepang. Dan animasi Jepang disiarkan di TV Indonesia. Sejak tahun 2009, komunitas orang Jepang dan pencinta Jepang menyelenggarakan ‘Jakarta-Japan Matsuri (Matsuri berarti pesta dalam bahasa Indonesia)’ disponsori oleh Kedutaan Besar Jepang di Indonesia.

Globalisasi tidak hanya berpengaruh positif, tetapi juga memiliki dampak negatif. Menurut Sakurai, content industry yang berada di Jepang adalah usaha kecil dan menengah. Pada masa globalisasi saat ini, mereka sering terancam bangkrut karena mengunduh penerbit dan penjual DVD secara ilegal. Walaupun orang yang bekerja di industri tersebut cukup menyadari demam Jepang di luar negeri dan menemukan kesempatan bisnis, mereka menghadapi hambatan karena terbentur masalah hak paten dan kekurangan dana. Pada akhirnya, saat pameran tentang Jepang dilaksanakan di Eropa, penjual animasi dan komik Jepang adalah pebisnis asal Korea dan Cina. Sakurai mengatakan bahwa pihak Jepang, baik pemerintah maupun swasta, kehilangan kesempatan bisnis yang baik ini.70 Untuk mengatasi masalah tersebut, kreator seperti Sakurai mulai bekerja sama dengan pemerintah. Ia pun berpartisipasi dalam acara animasi/komik Jepang yang diselenggarakan oleh Kedutaaan Besar Jepang di luar negeri sejak tahun 2008 untuk mempromosikan Jepang dan untuk melindungi hak cipta industrinya.

Bagi pemerintah Jepang pun, kerja sama dengan para pelaku industri memang bermanfaat. Walaupun terlihat adanya demam Jepang, pemerintah Jepang, khususnya Departemen Pariwisata yang mempromosikan Visit Japan Campaign, tidak memperkenalkan kebudayaan pop tersebut dengan sebaik-baiknya.71 Menurut Sakurai, jika pemerintah dan pelaku industri bekerja sama

70

Sakurai, ‘Diplomasi kebudayaan Animasi’ (Chikuma-shinsho, 2009) hal.210-218 ( Dalam bahasa Jepang: 桜井孝昌「アニメ文化外交」、2009 年、ちくま新書)

(38)

 

Universitas Indonesia

secara erat, perbedaannya bisa diperkecil dan kebijakan tersebut akan menjadi lebih efektif.72

Selain itu, prakarsa Perdana Menteri Taro Aso juga cukup berperan penting di sini. Selama masa jabatannya, Mantan Perdana Menteri Jepang ini berulang kali menekankan bahwa Jepang selama ini tidak memanfaatkan demam Jepang di luar negeri sehingga kehilangan banyak kesempatan untuk mempromosikan negaranya. Mantan PM Aso mengusulkan agar pemerintah bekerja sama dengan sektor swasta dalam meningkatkan pengaruh Jepang terhadap dunia dan kesan positifnya di luar negeri.73 Kegiatan tersebut dikenal dengan sebutan ‘All Japan’. Mantan PM Aso merupakan salah satu orang yang mendorong kegiatan diplomasi kebudayaan pop. Keadaan ekonomi dalam negeri Jepang yang semakin buruk dan adanya perhatian terhadap demam Jepang di luar negeri oleh Mantan Perdana Menteri Aso akan menjadi faktor internal untuk menjelaskan perubahan diplomasi kebudayaan Jepang.

1.7 Model analisis

Variabel Independen Variabel Dependen

72 Ibid., hal.160

73 http://www.mofa.go.jp/mofaj/press/enzetsu/18/easo_0428.html (diakses pada 18 Februari 2011) • Domestik

1. Kritik terhadap bantuan ekonomi pemeritah di Jepang.

2. Keadaan ekonomi semakin buruk. Munculnya kebutuhan metode baru untuk memelihara kesan positif Jepang selain bantuan ekonomi pemerintah.

3. Industri animasi dan komik berkembang di Jepang.

4. Kemunculan kelompok lobi dari industri anime dan komik Jepang.

Mengapa pemerintah Jepang menggunakan kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop sebagai salah satu cara untuk memelihara

kepentingan negaranya?

• Eksternal

1. Kritik terhadap bantuan ekonomi Jepang di Indonesia.

(39)

 

Universitas Indonesia 25

1.8 Asumsi

1. Kepentingan nasional akan menjadi dasar kebijakan diplomasi suatu negara.

2. Diplomasi kebudayaan yang tepat dapat memulihkan kekuatan Jepang. 1.9 Hipotesis

1. Kritik terhadap ODA di Jepang dan Indonesia mempengaruhi keputusan pemerintah Jepang, yaitu menggelar kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop.

2. Keadaan ekonomi Jepang yang semakin memburuk pada tahun 1990an membuat pemerintah Jepang menemukan cara diplomasi baru, yaitu kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop untuk memelihara kekuatan negaranya.

3. Perkembangan content industry dan demam Jepang di Indonesia mempengaruhi keputusan pemerintah Jepang untuk melakukan kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop.

1.10 Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah indusif, yaitu kegiatan penelitian yang akan menganalisis alasan pemerintah Jepang menggunakan diplomasi kebudayaan sebagai salah satu cara untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Proses pemerintah Jepang mulai menaruh perhatian terhadap soft-power akan penulis jelaskan. Data yang digunakan adalah data primer berupa dokumen-dokumen publikasi resmi dan wawancara dengan narasumber yang mempunyai kaitan dengan topik penelitian ini; data sekunder yang bersumber dari buku-buku, jurnal, koran, majalah, jaringan internet, dan makalah seminar yang berkaitan dengan topik dari penelitian ini; kualitatif; dan kuantitatif.

Data tersebut diperoleh dari lembaga-lembaga pemerintah seperti Departmen Luar Negeri Jepang, lembaga-lembaga penelitian, perpustakaan FISIP UI, serta perpustakaan Kedutaan Besar Jepang di Indonesia.

(40)

 

Universitas Indonesia

1.11 Sistematika penulisan

• Bab 1 berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan, permasalahan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hubungan antara variabel, metode analisis, asumsi, hipotesis, dan sistematika penulisan.

• Bab 2 berisi penjelasan umum mengenai perkembangan diplomasi kebudayaan Jepang. Penjelasan tersebut memaparkan pentingnya guna memahami proses kebijakan luar negeri Jepang di Indonesia berdasarkan diplomasi kebudayaan.

• Bab 3 berisi faktor-faktor domestik yang mempengaruhi kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop Jepang. Penjelasan tersebut dianalisis berdasarkan keadaan di dalam negeri.

• Bab 4 berisi faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop Jepang. Faktor-faktor tersebut dianalisis berdasarkan keadaan di luar Jepang.

• Bab 5 berisi kesimpulan penelitian.

(41)

 

27 Universitas Indonesia BAB 2

PERKEMBANGAN DIPLOMASI KEBUDAYAAN JEPANG

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kombinasi diplomasi Jepang baru, yaitu kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop Jepang. Bagian kedua dalam penelitian ini akan membahas sejarah perkembangan diplomasi kebudayaan Jepang pada saat ini. Pemaparan ini penting untuk memahami proses kebijakan luar negeri Jepang.

2.1 Diplomasi Jepang

Sejak selesainya Perang Dunia II, Jepang yang telah kehilangan kedaulatan negara perlu membangkitkan negaranya lagi sebagai negara yang mencintai perdamaian dan demokrasi. Oleh karena itu, berbagai usaha oleh pemerintah Jepang dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman.

Menurut Sekretaris Kabinet (Cabinet Office) Jepang, kepentingan nasional Jepang pada saat ini adalah kemakmuran negara secara ekonomi, pertahanan dan keamanan negara, dan norma-norma yang dimiliki Jepang. Dalam globalisasi, Jepang perlu memperhatikan kedudukan negaranya dalam arena internasional untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya.1

Pertahanan wilayah negara merupakan kepentingan nasional yang paling minimal. Melindungi jiwa penduduk dan properti; mempertahankan kedaulatan nasional; serta mempertahankan susunan politik, sosial, dan ekonomi adalah hal-hal penting bagi suatu negara. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, kestabilan dan kemakmuran wilayah Asia tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan national Jepang secara geografis.

Negara-negara Asia dianggap penting terutama dari sudut perekonomian Jepang. Kepentingan ekonomi menjadi utama bagi Jepang sejak Perang Dunia II. Jepang yang kurang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM) telah cukup bergantung pada negara-negara lain, terutama negara-negara Asia. Ketergantungan Jepang kepada negara-negara Asia

(42)

 

Universitas Indonesia

disebabkan skala besarnya pasar, adanya sumber alam dan tenaga kerja yang cukup besar, serta jalur laut yang dapat dimanfaatkan untuk impor-ekspor. Jepang yang tidak memiliki daya militer perlu menggunakan diplomasi yang cukup kuat untuk memelihara perdamaian dunia, mewakili perdamaian Asia, dan memiliki hubungan baik dengan negara-negara Asia demi kepentingan nasional Jepang.

Untuk memperlihatkan sikap ramah terhadap dunia internasional, terutama negara-negara Asia yang telah diduduki Jepang, Jepang perlu berkontribusi kepada perdamaian lewat kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada dasarnya, diplomasi Jepang berdasarkan pada diplomasi omnidireksional. Menstabilisasi keadaan dunia, terutama perdamaian di negara-negara Asia, secara tidak langsung berkaitan dengan kepentingan nasional Jepang.2

Menurut konsep Nectarine, prioritas kepentingan nasional berubah tergantung pada keadaan dan waktu, tetapi pada dasarnya terdapat empat tingkat tentang kepentingan nasional sebagai berikut.

Tabel 2.1 Tingkat Kepentingan Nasional

Survival: Terdapat ancaman jelas yang langsung berkaitan dengan keberadaan wilayah suatu negara.

Vital: Terdapat kemungkinan ancaman terhadap keamanan negara jika tidak ada pencegahan oleh negara.

Major: Terdapat kemungkinan terjadi kerugian yang besar terhadap suatu negara jika tidak melaksanakan suatu tindakan untuk mengatasi keadaan yang merugikannya.

Minor: Tidak ada ancaman tanpa tindakan khusus pada saat ini atau pengaruhnya tidak terlalu besar walaupun tidak ada tindakan.

Sumber: Nuechterlein, dalam “Laporan: Survei untuk Mempertimbangkan Kemitraan antara Sektor Swasta dan Pemerintah untuk Mengefektifkan Kerja Sama Ekonomi Internasional” (Pusat Kajian Umum, Cabinet Office, 2000), hal.4

Kepentingan nasional Jepang dalam hubungan diplomatik dengan negara-negara Asia dapat dikategorikan tingkat 3. Mayor pada tabel 2.1 di atas menunjukkan bahwa jika pemerintah Jepang tidak melaksanakan suatu tindakan untuk membangun hubungan baik dengan negara-negara Asia, ada kemungkinan

Gambar

Tabel 2.4  Jumlah ODA Jepang kepada Indonesia (1960—2006)  39  Tabel 2.5  Kontribusi ODA Jepang terhadap Indonesia                41  Tabel 3.1  Rasio Pertumbuhan Ekonomi Nyata di Negara-negara G-7  62  Tabel 4.1  Proyek-proyek yang Dicurigai Adanya Korups
Tabel 1.1 Tiga Jenis Kekuatan
Tabel 2.2 Diplomasi Tradisional dan Diplomasi Publik  Diplomasi Tradisional  Diplomasi Publik
Tabel 2.1 Tingkat Kepentingan Nasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perdagangan Tuna Indonesia di Jepang ( Dibawah Bimbingan R NUNUNG NURYARTONO ).. Ikan tuna merupakan salah satu komoditi

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat bagaimana diplomasi kebudayaan yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui program

(Nye, 2011: 46 dan Rahman, 2014). Diplomasi merupakan salah satu sarana dari soft power. Diplomasi menjadi bagian tidak terpisahkan dari ragam isu, teramasuk isu

Salah satu upaya diplomasi kebudayaan yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah melalui Wisata Selancar Internasional Ombak Bono di Riau.. Olahraga merupakan event

22 Strategi Cool Japan sejatinya merupakan upaya yang bertujuan untuk membuat masyarakat dunia lebih tertarik akan kebudayaan Jepang, terutama budaya pop, sekaligus

The Japan Foundation memiliki tujuan untuk menjadi penghubung antara Pihak Jepang dan Indonesia dalam hal kebudayaan dan informasi, menjalin kerjasama antar kedua

Keberhasilan dari kegiatan Anime Festival Asia ini memberikan bukti bahwa soft power Jepang memberikan kemudahan pada soft diplomacy yang dilakukan Jepang terutama

The Japan Foundation memiliki tujuan untuk menjadi penghubung antara Pihak Jepang dan Indonesia dalam hal kebudayaan dan informasi, menjalin kerjasama antar kedua