• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITIK TERHADAP NEGARA KESEJAHTERAAN

Dalam dokumen Drs. Agus Triyanta, MA., MH., Ph.D (Halaman 43-48)

c. Golongan Marxis

C. KRITIK TERHADAP NEGARA KESEJAHTERAAN

Meskipun Negara Kesejahteraan merupakan solusi bagi kegagalan pewujudan kemakmuran oleh negara yang telah ada sebelumnya, namun bukan berarti bahwa model negara semacm ini tidak memiliki kelemahan. Setelah diimplementasikan di berbagai negara dalam kurun waktu yang relatif lama, pada masa sekarang Negara Kesejahteraan mendapatkan berbagai kritik dan sorotan. Ada dua hal yang menjadi sorotan bagi Negara Kesejahteraan .

1. Belum terhapusnya ketimpangan dalam berbagai hal, utamanya adalah pada ketimpangan regional, ketimpangan pembangunan SDM, serta ketimpangan dalam penghapusan kemiskinan.54

Ketimpangan regional yang dimaksud adalah bahwa selalu saja No 7 8 9 Jenis Jaminan Pendidikan Perumahan R a k y a t m i s k i n / Amerika(Besar Jaminan) Pendidikan Tinggi menarik beaya. -Negara dan negara bagian m e n y i a p k a n bantuan yang temporer dan tidak tertentu jumlahnya Inggris (Besar Jaminan) Pendidikan Tinggi menarik biaya. -Jerman (Besar Jaminan) P e n d i d i k a n Tinggi di sebagian negara b a g i a n membayar dan di sebagian yang lain bebas biaya.

sulit menyeimbangkan penyediaan fasilitas di antara satu daerah dengan daerah yang lain. Selalu saja ada kelebihan tertentu yang ada pada satu daerah dan tidak didapatkan pada daerah yang lain. Ketimpangan dalam pembangunan SDM adalah misalnya bagaimana fasilitas pendidikan di sebuah tempat bisa maju sedangkan di lain tempat kurang maju. Senantiasa ada alasan bagi seseorang untuk berpindah ke lokasi yang lain untuk mencari fasilitas yang lebih baik dan maju. Sedangkan yang dimaksud dengan ketimpangan penghapusan kemiskinan adalah, bahwa biaya subsidi untuk orang miskin di satu wilayah berbeda dengan wilayah yang lain. Itu adalah suatu hal yang mudah. Namun ketimpangan yang dimaksud adalah bahwa akan menjadi usaha yang selalu gagal untuk menghapus kemiskinan karena orang yang disubsidi saat mudanya sampai tuanya juga akan tetap disubsidi, sehingga orang-orang miskin tetap berada dalam jalur kemiskinannya.

2. Dengan banyaknya fakta kegagalan yang terjadi di berbagai negara yang menerapkan model Negara Kesejahteraan tersebut, akhirnya dapat ditarik kesimpulan tentang sebab-sebab yang menjadi faktor berbagai bentuk kegagalan tersebut:

a. Tidak ada sistem Nilai.

Untuk berkembang setiap sistem ekonomi ataupun kenegaraan memerlukan dan sekaligus melahirkan suatu sistem nilai tertentu. Tanpa sebuah sistem nilai, akan sulit sebuah sistem baik ekonomi maupun negara untuk berkembang. Tidak terkecuali kapitalisme yang tergantung pada dan membantu perkembangan etika swadaya,kebebasan,individualisme, persaingan dan prestasi yang merupakan nilai-nilai liberal klasik. Sistem nilai yang semacam itu yang dibutuhkan bagi keberhasilan cara kerja perekonomian kapitalis jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk memperkokoh suatu sistem kesejahteraan masyarakat. Jika sistem kesejahteraan semacam ini ingin dikembangkan, penekanan pada kebaikan swadaya harus digantikan dengan

suatu penekanan kebutuhan untuk membantu orang lain. Individualisme harus digantikan dengan suatu perhatian terhadap masyarakat pada umumnya, persaingan digantikan dengan kerja sama, prestasi harus lebih ditentukan atas dasar kepentingan sosial dan komunal daripada bersifat individu – nilai-nilai yang lebih bersifat sosialis daripada liberal. Oleh karena itu sistem ekonomi dan sistem kesejahteraan memerlukan dan tergantung pada sistem-sistem nilai yang sangat berbeda. Pertanyaannya adalah, adakah pada saat ini sistem nilai yang menjadi counterpart dari nilai-nilai yang ada pada kapitalisme itu dimiliki oleh Negara Kesejahteraan? Lebih berat jawabannya adalah belum ada nilai tersebut dalam Negara Kesejahteraan. b. Ketergantungan pada Tunjangan Pemerintah.

Dalam artikelnya yang berjudul A Concept of Social Law, Fancis Ewald, mengajukan pertanyaan, “What is the crisis of the Welfaer State?” Pertanyaan itu dijawab sendiri dengan menyatakan, antara lain karena adanya pandangan bahwa kemiskinan itu sesuatu yang positif.55 Hal ini disebabkan karena dengan kondisi yang miskin, seseorang memiliki alasan untuk bisa mendapatkan jaminan sosial dari pemerintah. Ini sebuah pandangan yang berbahaya, karena ini menunjukkan bahwa para warga negara yang berada dalam lapisan miskin, ternyata akan menikmati ketergantungan dengan pemerintah itu sebagai sesuatu hal yang istimewa dan mengenakkan mereka. Barangkali, ini menjadi sesuatu yang dalam teori sosiologi dikenal dengan unintended consequence/function.56 Apabila pandangan ini menjadi moralitas umum para warga negara, maka ini merupakan sebuah tragedi yang pada gilirannya akan menghancurkan negara, proses

55 Ewald, Fancis, ‘A Concept of Social Law’, dalam Tuebner,Gunther, hlm. 40

56 Dalam teori fungsionalist, segala sesuatu itu akan memainkan peran dan fungsinya. Apabila ternyata fungsi atau perannya itu kebalikan dari apa yg telah disepakati (value

consensus), maka itu berarti konsekuensi yang tidak dikehendaki. Haralambos, Michael &

Holborn, Martin, 1999, Sociology, Themes and Perspectives, London: Collins Educational, hlm.7-9, 741

pemiskinan sebuah negara akan terjadi dengan cepat, kompetisi akan hilang dan yang ada hanyalah fatalisme yang dinikmati dan dipelihara yang mendorong pada stagnasi sosial dan ekonomi.

c. Ketimpangan antara Revenue dan Expenditure Keuangan Negara.

Dapat dianalisis dengan mudah bahwa mendongkrak pendapatan negara jauh lebih sulit dari pada menentukan pos dan alokasi penyalurannya. Dalam kasus Negara Kesejahteraan, jaminan sosial yang terdiri dari berbagai macam item ternyata telah menjadi beban serius. Dalam masa krisis ekonomi yang bisa terjadi setiap saat ternyata masih menurut Fancil Ewald, terjadi akselerasi dalam peningkatan pengeluaran untuk biaya jaminan sosial, sedangkan pemasukan negara menurun.57

Dengan kata lain, dalam Negara Kesejahteraan, anggaran pemerintah menyangga beban yang tidak seimbang dengan pemasukannya.

d. Ambivalensi Sikap Pemerintah.

Model Negara Kesejahteraan tetap menawarkan munculnya permasalahan-permasalahan yang rumit.58 Negara Kesejahteraan sangat sering terjebak dalam antagonisme kepentingan dan ambivalensi kebijakan. Permasalahan utama biasanya berasal dari kebebasan warga negara (individu). Atas nama kebebasan, misalnya, seorang pegawai akan berhenti dari bekerja di pemerintah untuk kemudian pindah ke sektor swasta yang memberikan gaji lebih tinggi. Ini berarti, pemerintah telah kehilangan biaya mendidik mereka dan kemudian pemerintah akan kehilangan mereka.

Jelaslah, bahwa Negara Kesejahteraan ternyata juga syarat dengan berbagai permasalahan krusial. Permasalahan yang ingin

57 Ewald, Fancis, ‘A Concept’, hlm. 40

dijawab oleh kehadiran Negara Kesejahteraan memang telah terjawab. Namun, permasalahan baru juga muncul. Pertanyaannya adalah, bagaimana berbagai permasalahan dan krisis dari Negara Kesejahteraan itu bisa terjawab? Untuk menjawab itu semua Negara Kesejahteraan perlu melakukan evolusi yang berkelanjutan. Sehingga, kecenderungan yang akan terjadi adanya kemungkinan makin banyaknya ‘saling menyapa’ antara berbagai model kenegaraan yang ada. Artinya, Negara Kesejahteraan tidak bisa menutup diri untuk hanya berpaku pada patokan yang ada bersama dengan kelahirannya, namun harus melakukan terobosan dan adopsi berbagai perangkat agar Negara Kesejahteraan tidak hancur dalam menghadapi permasalahan-permasalahan krusial tersebut.

Islam sebagai agama yang menyatakan diri telah sempurna dalam membina prinsip-prinsip dasar aturan bagi kehidupan manusia di dunia59, dituntut oleh realitas kehidupan yang selalu berubah; adakah Islam menyediakan jawaban bagi tuntutan kehidupan manusia yang selalu berkembang, juga keadaannya dibandingkan dengan setting situasi dan kondisi dalam mana ia dilahirkan? Adakah Islam yang finalitas kebenarannya telah menjadi raison d’etre bagi setiap aktivitas umatnya60 mampu menunjukkan komprehensivitas aturannya dalam mengatasi dan merespons segala permasalahan yang dihadapi manusia? Dari latar belakang yang demikian itulah menarik untuk disimak bagaimana Islam dihadapkan dengan wacana

PRINSIP ISLAM TENTANG JAMINAN

Dalam dokumen Drs. Agus Triyanta, MA., MH., Ph.D (Halaman 43-48)