• Tidak ada hasil yang ditemukan

SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM

Dalam dokumen Drs. Agus Triyanta, MA., MH., Ph.D (Halaman 130-133)

Fenomena sertifikasi halal adalah salah satu tengara bahwa daya afinitas antara pemeluk agama dan hukum agama dalam agama Islam sangatlah kuat. Artinya, industrialisasi yang semakin maju dengan segala instrumen pendukungnya dalam tingkat tertentu, tidak menjadikan umat Islam lupa atau abai dengan salah satu ketentuan agama yang fundamental, ialah ketentuan tentang hukum makanan.

Industri makanan halal tumbuh dengan pesat, diperkirakan saat ini industri halal global mencapai US$ 2,1 trilyun, mencakup bukan hanya makanan saja, namun juga berbagai produk farmasi dan kosmetik, dan khusus untuk makanan halal memberikan kontribusi sebesar US$ 547 milyar.205 Hal ini didasarkan pada populasi muslim yang yang selalu meingkat, dan untuk saat ini diperkirakan berjumlah 2,1 milyar di dunia.206 Tentu ini merupakan pasar yang besar bagi industry halal.

Memang, hukum terkait makanan tidaklah asing bagi berbagai agama. Agama-agama tertentu memberikan larangan bagi pemeluknya untuk mengkonsumsi suatu jenis makanan tertentu, hal mana dalam agama lain dibolehkan untuk mengkonsumsinya, dan sebaliknya agama yang lain justru membolehkannya. Agama Yahudi mengenal berbagai jenis makanan yang dilarang untuk dimakan, yang dikenal dengan kosher atau khasruth.207 Sebaliknya, jenis makanan

205 ‘Welcome to Halal Expo 212- Dubai’ dalam www.worldhalalexpos.com diakses 27 Mei 2012. Juga dalam ‘Development of the Halal Industry’ dalam situs resmi Halal Research Council. www.halalrc.org diakses 27 Mei 2012, hlm. 593.

206 ‘Religious Population in Million’ dalam situs Religious Population, www.religiouspopulation.com diakses 27 Mei 2012.

207 ‘Kosher Food Certification’ dalam www.koshercertification.org.uk akses 24 Mei 2012. Di sini dijelaskan bahwa berbagai makanan, baik karena jenisnya maupun karena

yang diperbolehkan untuk dimakan dinamakan dengan khosr. Agama Hindu, dengan sangat tegas melarang umatnya untuk mengkonsumsi daging sapi karena sapi diyakini sebagai hewan suci yang tidak pantas untuk dikonsumsi dagingnya. Sementara, sapi adalah hewan yang paling jamak untuk disembelih oleh para pemeluk ajaran Islam pada saat hari raya Idul Adha.

Terkait dengn larangan mengkonsumsi berbagai makanan tertentu, Islam dengan tegas melarang berbagi jenis makanan dengan sangat tegas dan terinci. Artinya, haram dan halal dalam makanan adalah sesuatu yang sangat urgen dan prinsipil dalam Islam.208

Dikarenakan larangan tersebut, maka umat Islam harus menghindari berbagai makanan tersebut, atau makanan yang memiliki kandungan atau unsur dari makanan tersebut. Dalam konteks kepentingan untuk menghindari berbagai hal yang diharamkan tersebut, maka konsep sertifikasi halal mengemuka, dan saat ini ternyata nyaris telah menjadi fenomena global. Isu sertifikasi halal bukan lagi hanya menjadi kepentingan negara-negara Islam atau muslim, tetapi berbagai komunitas muslim di dunia, termasuk di berbagai negara Barat, juga sangat berkepentingan dengan hal ini.

Menguatnya kesadaran ini, ternyata kemudian mendapatkan dukungan dengan menguatnya hak konsumen dan perlindungan mereka dari berbagai hal atau tindakan yang merugikan para konsumen tersebut. Pada gilirannya, hal ini menjadi lebih serius lagi karena kepentingan dunia industri juga. Dengan kata lain, begitu isu makanan halal ini semakin massif, industri tidak mau mengambil resiko kehilangan captive market yang selama ini telah dinikmati, ialah

prosesi nya, atau bahkan cara penyajiannya dinilai tidak memenuhi standar ajaran Yahudi dilarang untuk dikonsumsi. Untuk perlindungan konsumen, maka sertifikasi Kosher juga diterapkan bagi komunitas Yahudi.

208 Misalnya dalam QS Al-Maidah: 3, Al-An’am: 145 dan An-Nahl: 115. Dalam berbagai karya yuris muslim hal tersebut juga menduduki pembahasanpenting, dan biasanya ada salah satu bab dalam fiqh yang berjudul “al-ath’imah” yang artinya hokum tentang makanan. Misalnya dalam Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terjemah Kamaludin A. Marzuki, Bandung” Al-Ma’arif, 1996 Jilid 13, hlm. 92-121. Juga, Ibn Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram min

segmen yang terdiri dari pemeluk agama Islam. Berbagai makanan yang diekspor oleh negara-negara sekuler sekalipun, jika tujuannya adalah komunitas atau negara muslim, maka kepastian kehalalan menjadi sangat penting.

Sertifikasi halal di Indonesia yang selama ini telah berjalan memang sudah cukup banyak berperan dalam upaya perlindungan konsumen. Sebagaimana diketahui, dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 4 ayat (a) disebutkan bahwa konsumen memiliki “hak hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.” Selanjutnya, dalam pasal yang sama ayat (c) dinyatakan bahwa, konsumen juga mempunyai “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.”209

Dari pernyataan itu dapat diambil kesimpulan bahwa konsumen diberikan hak untuk mendapatkan keperluan hidup dari uang yang dibelanjakannya, yang sesuai atau tidak bertentangan dengan keyakinan yang dianutnya. Memang, tidak dikatakan tentang perlunya menjelaskan kehalalan makanan secara spesifik, namun informasi halal adalah bagian dari informasi yang harus dijelaskan.

1. Sejarah dan Praktik di Indonesia

Sertifikasi halal di Indonesia bermula pada tahun 1994.210

Memang Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) itu sendiri, sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam sertifikasi halal ini sudah berdiri semenjak 6 Januari 1989. Dapat diperkirakan, bahwa di antara kasus yang cukup berpengaruh dalam mendorong lahirnya lembaga ini adalah adanya kasus penelitian yang mengungkap terdapatnya kandungan lemak babi pada banyak makanan yang dilakukan oleh Dr. Tri Susanto dari Universitas Brawijaya Malang tahun 1988.211

209 Pasal 4 ayat (a) dan (c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

210 ‘Sejarah’ dalam www.halalmui.org diakses 20 Mei 2012

Jika dilihat dari aspek yuridis, landasan hukum bagi penyelenggaraan sertifikasi halal di Indonesia masih sangat lemah. Bahkan, mulai beroperasinya sertifikasi halal adalah inisiatif dari MUI, yang notabene adalah lembaga non pemerintah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa sama juga dengan berbagai bentuk kemajuan dalam aspek ekonomi Islam, pemerintah bersifat pasif untuk tahap awal. Baru kemudian jika perkembangan bagus dan memberikan pengaruh yang signifikan, pemerintah biasanya baru menunjukkan perhatian. Untuk mendapatkan sertifikasi halal, serangkaian prosedur harus ditempuh. Prosedur yang dimaksud dapat dikelompokkan menjadi tiga tahapan, yakni sebagai berikut: 212

Dalam dokumen Drs. Agus Triyanta, MA., MH., Ph.D (Halaman 130-133)