• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUSNI ANAK DAYAK PUTRAINDONESIA

Dalam dokumen menguak tabir g30s bagian pertama (Halaman 168-189)

Surat Soekarno kepada Dew

KUSNI ANAK DAYAK PUTRAINDONESIA

Bukan sekedar karena ia kukenal baik, bukansekedar, karena ia sahabat dekatku. Bukan pula karena ia tergolong"orang yang terhalang pulang" <menurut istilah Gus Dur>. Bukan --- bukansekadar itu saja, yang membikin aku menulis hari ini. Penyebabnya, ialah, karena bagikunama J.J. Kusni -< nama aslinya Kusni Sulang> - menyandang suatu pengertian dan makna yang lebih fundamentaldan lebih aktual. Pada nama Kusni terlukis nasib dan perjuangan seorang seniman Dayak mantan anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, warganegara Indonesia yang cinta daerah dan asal etnisnya (Dayak), seorang patriot yang mencintai dan membela Republik Indonesiasejak masa mudanya, ketika masih berkarya dan bergiat di Jogyakarta. Sampai dewasa ini hak-hak politiknya, hak-hak kemanusiaannyatelah dirampas oleh rezim Orba, paspor Indonesia dan kewarganegaraanya telah dicabut tanpa alasan sah, tanpa proses pengadilan apapun. Bukan sekadar alasan-alasan itu sajayang menyebabkan aku menulis kalii ini. Hal-hal itu dengan sendirinya adalah penting, bahkan amat penting!

Yang menjadi penyebab langsungaku menyorotipenyair dan penulis Kusni Sulang sekarang i ini,terus terang --- pemicunya, ialah sebuah artikel yang ditulis di.k. berbahasa Inggris, ''Jakarta Post'',Agustus 2005. Tulisan itu adalah tentang sahabatku, Kusni, berjudul EXILED WRITER TRIES TO RECLAIM RIGHT TO BE INDONESIAN, ditulis oleh wartawan s.k. tsb, Evi Mariani. Diterjemahkan dengan

bebas ke dalam bahasa Indonesia, menjadi sbb: SEORANG PENULIS EKSIL BERUSAHA UNTUK MENGKLAIM KEMBALI HAK MENJADI ORANG INDONESIA. Tentu, maksud sang wartawan ialah, bahwa Kusni secara hukum berusaha mem- peroleh kembali hak kewarganegaraannya, yang secara sewenang-wenang telah dirampas oleh rezim Orba, atas tuduhan terlibat ataupun berindikasi terlibat dengan G30S. Atau karena ketika itu Kusni adalah seorang anggota LEKRA, suatu organisasi kebudayaan Indonesia yang beraliran progresif, pendukung politik Presiden Sukarno dan Pancasila.LEKRA dikenal sebagai sebuah organisasi kebuda- yaan Indonesia yang paling masal keanggotaannya dan yang kegiatannya merakyat, yang melakukan kegiatan untuk melaksanakan prinsip KEBUDAYAAN DARI, DAN UNTUK RAKYAT. Yang jelas perampasan hak kewarganegaraan Kusni itu dilakukan oleh rezim Orba di luar hukum, bertentangan dengan hak warganegara Indonesia sesuai dengan UUD- RI. Sebagaimana halnya rezim Orba telah mencabut ratusan paspor dan kewarganegaraan orang-orang Indonesia yang pada tahun 1965 sedang studi atas tugas negara, melakukan kegiatan persahabatan antara Indonesia dengan negeri lain, ataupun sedang berkunjung ke luar negeri untuk urusan negara maupun pribadi.

Tanpa adanya tulisan wartawan Jakarta Post Evi Mariani sekalipun, masyarakat budaya Indonesia cukup kenal siapa J.J. Kusni, atau nama J.J. Budhisaswati <'pen- name-nya' sebagai penulis dan penyair> .Tiga buah bukunya telah terbit di Indonesia, a.l. kumpulan syair berjudul "Sansana Anak Naga dan Tahun-tahun Pembunuhan" . Kusni sering menulis, menulis dan banyak sekali menghasilkan tulisan bermutu tentang masalah-masalah budaya Indonesia, Perancis (memper- kenalkan budaya Perancis kepada pembaca-pembaca Indonesia), tetapi terutama yang menyangkut budaya suku Dayak. Kusni juga menulis mengenai pembelaan HAM, menggugat pelanggaran besar Orba terhadap Hak-Hak Azasi Manusia; mengenai pembantaian lebih sejuta warganegara Indonesia yang tak bersalah pada tahun-tahun 1965-66-67. Dan mengenai puluhan juta warganegara Indonesia lainnya, terutama keluarga eks-tapol dan yang dituduh atau dianggap berada diluar hukum Indonesia,dan oleh rezim Orba ditempatkan di luar masyarakat dengan diberi cap tidak''bersih lingkungan''. Kurang lebih 20 juta warganegara Indonesia, tanpa proses pengadilan apapun, sampai dewasa ini masih terus didiskriminasi. Hak mereka dicabut untuk menjadi guru, pegawai negeri, tentara dan polisi, tidak boleh jadi lurah, bahkan jadi dalangpun dilarang. KTP mereka sebagai penduduk sah Indonesia, itupun sampai sekarang masih didiskriminasi. Seorang warganegara Indonesia bila sudah mencapai 70 tahun, berhak memperleh kartu penduduk seumur hidup. Tapi puluhan juta warganegara yang patuh hukum,banyak diantara mereka dulu aktif ambil bagian dalam perjuangan anti kolonialisme dan dalam kegiatan membela Republik Indonesia,dewasa ini karena menyandang stempel keluarga eks- tapol,maka menderita diskriminasi selama rezim Orba sampai saat tulisan ini dibuat. Memang Kusni pertama-tama adalah anak Dayak. Sekaligus adalah putra Indonesia Diantara 'orang-orang yang terhalang pulang', Kusni termasuk yang langka sehubungan dengan prestasi yang dicapainya di bidang ilmu, di bidang studi. Hasil itu diperolehnya biarpun hidup dalam keadaan sulit, harus melakukan kerja badan seringkali lebih dari 8 jam sehari, apakah itu sebagai sopir truk, sebagai pelayan toko ataupun ikut membangun Restoran Indonesia <yang diprakarsai oleh Umar Said -

Paris>. Sebagai hasil ketekunan studinya ia berhasil memperoleh gelar Ph.D pada suatu universitas di Paris. Desertasinya yang disokong oleh mendiang Profesor Wertheim dari Belanda, adalah mengenai masalah TURBA, t u r u n k e b a w a h, suatu kegiatan riset di Indonesia pada zaman pemerintahan Presiden Sukarno dulu, dimana Kusni turut ambil bagian..

Seperti halnya Kusni, juga sahabatku lainnya bernama TM Siregar tergolong "orang yang terhalang pulang". Sambil'' kelayaban'' di luar negeri, karena paspornya dicabut KBRI rezim Orba, dan sudah mencapai tingkat ''manula" (ketika itu 70th), namun masih menyempatkan diri untuk melanjutkan studinya dan memperoleh gelar Ph.D. (doktor) di Universitas Wageningen beberapa tahun yang lalu. Karya ilmiahnya, desertasinya berkenaan dengan Perubahan di Pedesaan Tiongkok dewasa ini.-- China's Economic Reform -- From Rural Focus to International Market --.T.M. Siregar sudah kembali ke Indonesia, tetapi masih menyandang paspor w.n. Belanda. Ia harus menempuh prosedur lika-liku untuk memperoleh kembali hak kewarga- negaraannya. Suatu bukti lagi, di Indonesia, keadilan itu bukan hadiah penguasa, tetapi hanya bisa diperoleh melalui perjuangan. Padahal, ketika menjabat Presiden RI. Abdurrahman Wahid, telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1, Tahun 2000, untuk merehabilitasi hak-hak kewarganegaraan ''orang-orang yang terhalang'' pulang.Presiden Wahid menugaskan Menhamkam Yusril Ihza Mahendra ketika itu, pergi ke Den Haag bertemu dengan para warganegara "yang terhalang pulang" itu, dan selanjutnya mengurus rehabilitasi mereka itu. Celakanya, Yusril bukan saja tidak melaksanakan tugas negara itu, tetapi bahkan melempar Isntruksi Presiden No 1/2000 itu ke ''laci meja tulis'' kantornya untuk selanjutnya ''memeti-eskannya". Di Eropah dewasa ini masih ada ratusan orang Indonesia yang ''terhalang pulang'' , yang nasibnya sama seperti Kusni, Umar Said, T.M. Siregar. Ada yang sudah meninggal di luarnegeri, seperti almarhum penyair Agam Wispi, almarhum pelukis Basuk Resobowo, dan almarhum dokor pedagogik Waluyo,yang hak-hak kewarga- negaraan dan politiknya sebagai orang Indonesia telah dengan sewenang-wenang dicabut oleh rezim Orba. Sebagaimana halnya duapuluh juta manusia Indonesia yang menderita diskriminasi sosial, politik dan ekonomi, oleh rezim Orba dan ''orang- orang Indonesia yang terhalang pulang", semua mereka itu berhak memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya. Karena, --- itu adalah hak mereka yang dijamin oleh UUD-RI. Maka, bila penguasa terus melakukan diskriminasi tsb, tidak sungguh-sungguh berusaha untuk menangani serta mengkoreksi politik Orba yang salah itu, berarti pemerintah terus membiarkan pelanggaran terhadap UUD RI dan HAM, terhadap sejumlah besar warganegara sendiri.

Adalah kewajiban pemerintah sekarang ini yang menyatakan akan melaksanakan HAM dan memberlakukan Reformasi, untuk merehabilitasi mereka. Apalagi bila dikaitkan dengan janji pemerintah untuk merealisasi usaha mencari kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi nasional, maka bukankah janggal sekali bila pemerintah yang begitu santer bicara tentang rekonsiliasi masih saja menyumbat telinga dan menutup mata terhadap keadaan lebih duapuluh juta warganegara Indonesia, yang disebabkan oleh fitnahan dan tuduhan rekayasa keterlibatan dengan G30S, sampai dewasa ini masih menderita lahir dan bathin.

Mengangkat kasus J.J. Kusni dalam usahanya untuk memperoleh kembali hak kewarganegaraan Indonesanya, bagiku -- sekaligus mengangkat nasib dua puluh juta warganegara Indonesia yang sampai saat ini masih didiskriminasi di Indonesia, sebagai akibat pelanggaran HAM yang oleh Orba sejak berdirinya rezim tsb. * * *

*********** 0 0 0 0 0 **********

Sementara DPR sedang sibuk mempertimbangkan pemberian amnesti, abolisi dan rehabilitasi bagi anggota GAM; baik pemerintah RI maupun kalangan GAM, ternyata melupakan orang-orang Aceh lain. Itulah orang-orang Aceh yang dicap anggota PKI dan semua onderbouwnya, pendek kata orang Aceh yang beraliran kiri. Jangankan pengampunan atau pemulihan nama baik, orang- orang Aceh kiri ini, seperti halnya orang-orang kiri Indonesia lainnya, tidak pernah memperoleh perhatian. Salah satunya adalah Tom Iljas yang sekarang menetap di Swedia. Berikut ini penuturan Tom Iljas kepada Radio Nederland. Pedih

Tom Iljas [TI]: "Pedih memang. Pedih. Kalau saya bilang waktu itu istilahnya iri hati ya karena mereka itu jelas-jelas angkat senjata, berontak, hendak memisahkan diri dari Indonesia. Sekarang dengan tercapainya

TI: "Betul. Itu tidak hanya Aceh. Setiap pemberontakan yang terjadi, sejak adanya republik, apakah itu DI TII, apakah itu Permesta PRRI, apakah itu di Papua, atau di Poso, di mana-mana di Maluku. Semuanya sesudah diselesaikan, sebagian juga ditindas secara militer, tapi sesudah selesai kan tidak berkelanjutan diskriminasinya. Sesudah selesai kemudian ada masalah rekonsiliasi, apakah kekeluargaan kan diselesaikan dengan baik-baik."

"Saya ambil contoh ya, Ahmad Hussein yang waktu itu pentolan pemberontakan di Sumatra Barat, PRRI. Di Jakarta, mereka hidup sendiri, hidup senang. Tidak pernah dibawa ke pengadilan. Jadi pedagang kaya, diberi fasilitas oleh pemerintah."

RN: "Sementara, pihak GAM yang mengangkat senjata pada ujung akhirnya juga

begitu. Artinya memperoleh hak-hak sipil-lah singkatnya."

TI: "Sepenuhnya, malah GAM dikasih modal, dikasih tanah, dan sebagainya." RN: "Jadi kalau menurut Anda, mengapa ini ada suatu perbedaan seolah-olah ada

khusus buat yang PKI atau yang dianggap bekas PKI atau nasionalis kiri ini?"

Berontak dulu

TI: "Saya tidak tahu kenapa. Saya pernah bercanda sama beberapa diplomat dari KBRI di Stockholm ya. Apa ya kira-kira, apa barangkali kita ini tidak punya kekuataan untuk dibikin bargaining ya. Tidak punya organisasi, tidak punya senjata kayak GAM sehingga tidak ada yang menggubris. Itu kepala bagian politik di KBRI sini bilang pada saya, "Pak Tom berontak dulu saja supaya bisa digubris." Bergurau tapi." RN: "Tapi ini bergurau-gurau yang sangat sinis ini."

RN: "Jadi seolah-olah angkat senjata dulu dong biar bisa kembali hak sipilnya." TI: "Ya, artinya ndak punya apa-apa, ndak punya organisasi, ndak punya kekuatan untuk dibikin bargaining, orang ndak ada yang menggubris. Kecuali Gus Dur, tidak ada yang menggubris sejak zaman Habibie sampai sekarang."

RN: "Ya, Anda menyebut Gus Dur. Maksudnya ketika itu Menteri Kehakiman Yusril

Ihza Mahendra pergi ke Belanda?"

TI: "Ya, betul. Satu-satunya yang mengangkat isu ini cuma Gus Dur walaupun oleh Yusril tidak ditindaklanjuti setelah dia pulang dari Belanda, kan?"

RN: "Tapi ketika itu, Anda berharap banyak?"

TI: "O ya, tentu saja. Tidak hanya saya yang berharap banyak waktu itu. Banyak sekali. Semua pada gembira kan."

RN: "Anda siap pulang ketika itu?" TI: "Kenapa tidak?"

RN: "Tapi poinnya di mana, sekedar untuk pulang atau hak-hak sipil?"

Minta maaf dulu

TI: "Kalau sekarang ya, kalau bicara soal itu kalau dilihat dari kenyataannya memang para eks mahasiswa atau yang terdampar di luar negeri, sekarang sudah banyak yang tua dan sakit. Soal-soal begini tentu juga diperhatikan efek ekonomisnya. Mungkin malah menjadi beban saja di Indonesia. Tapi kuncinya bukan di situ." "Masalahnya itu, kami-kami ini kan orang yang tidak bersalah. Pemerintah belum pernah menyatakan minta maaf apalagi merehabilitasi atau kompensasi. Minta maaf saja tidak. Jadi intinya dulu yang diselesaikan. Kalau itu sudah selesai, masalah dalam praktek mungkin juga ada yang tidak bisa pulang karena kesehatan tapi itu soal lain."

RN: "Jadi maksud Anda, kalau soal pribadi ada yang tua ada yang muda, atau ada

yang sakit ada yang sehat, ini soal masing-masing. Artinya soal pulang soal masing- masing. Tapi yang lebih prinsipil soal maaf?"

TI: "Betul. Masalahnya di-clearkan. Kalau memang kami ini salah, seperti saya, mbok di bawa ke pengadilan. Saya bersedia. Tidak tahu salahnya, tidak pernah dihukum, ndak pernah diadili, tapi 40 tahun hak-haknya dirampas."

RN: "Tapi ini kalau menyangkut GAM kan tidak ada soal maaf memaafkan. Artinya

keduanya menandatangani suatu perjanjian. Keduanya berjanji secara bermartabat. Masalahnya, kalau GAM memperoleh hak sipil. Seharusnya Anda kan menuntut hak sipil bukan soal maaf?"

TI: "Soalnya dua. Antara GAM dengan RI memang maaf-memaafkan tidak ada, karena mereka memang mengangkat senjata. Jadi sekarang ada perjanjian kedua belah pihak yang bermartabat. Kalau saya itu, itu bukan orang yang mengangkat senjata tapi ndak tahu salahnya, dihukum."

"Kan yang menghukum yang harus meminta maaf, begitu. Bahwa saya menuntut apa tidak, itu soal saya. Selama ini juga kita menuntut melalui beberapa organisasi di Jakarta,tapi kan ndak ada yang menggubris."

Demikian Tom Iljas, salah seorang Aceh kiri yang kini menetap di Swedia. ******************

Kolom IBRAHIM ISA 14 Agustus 2005.

--- SAMA-SAMA "EKSIL" - TAPI DIDISKRIMINASI -

* * *

Wawancara Tom Iljas dengan RCTI:

Dari sahabat baik saya Tom Iljas (Stockholm, Sweden), baru saya terima transkrip wawancara sahabat saya itu dengan wartawan RCTV (Rajawali Citra Televisi Indonesia), yang berlangsung pada pagi hari, tanggal 11 Agustus, 2005. Pandangan yang diajukan oleh Tom Iljas, adalah unik. Suatu pandangan salah seorang yang menurut istilah Gus Dur adalah "orang yang terhalang pulang". "Orang yang terhalang pulang" jumlahnya meliputi ratusan orang. Mereka itu adalah produk kesewenang-wenangan politik Orba yang tanpa proses apapun telah mencabut paspor dan kewarganegaraan mereka atas tuduhan terlibat atau berindikasi terlibat dengan G30S. Sesudah Presiden Suharto digulingkan (Mei 1998) oleh Gerakan Reformasi, berdiri pemerintah Presiden Abdurrahman sebagai hasil pemilu yang jurdil. Selanjutnya Presiden RI telah mengeluarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun 2000, dan khusus mengirimkan Menkumdang Yusril Ihza Mahenra ke Belanda, untuk mengurus kepulangan mereka-mereka yang "terhalang pulang" itu.

Tetapi Menteri Yusril punya politik lain. Beliau tidak melaksanakan Instruksi Presiden yang dibanggakannya dan dijanjikannya akan dilaksanakannya ketika beliau mengadakan pertemuan dengan para "orang yang terhalang pulang" di Belanda. Kongkritnya, di KBRI Den Haag, pada Januari 2000. Instruksi Presiden itu "dipeti- eskan" oleh Menkumdang Yusril sampai saat ini. Yusril jangankan menjamah, bicara- pun tidak lagi mengenai masalah kepulangan ini. Tidak ada kesimpulan lain tentang menteri ini: Munafik!

Tindakan sewenang-wenang Menkumdang Yusril memang punya latar belakang politik pemerintah yang mendiskiminasikan "orang-orang yang terhalang" pulang yang selama puluhan tahun diperlakukan sewenang-wenang tanpa melalui proses hukum apapun. Padahal mereka-mereka itu sebagian terbesar di kirim bertugas ke luarnegeri untuk studi demi nantinya mengabdi pada pembangunan Republik Indonesia. Mereka ke luarngeri atas tugas pemerintah Presiden Sukarno. Tuduhan terlibat dengan G30S yang dialamatkan kepada mereka-mereka itu, dilakukan penguasa Orba tanpa bukti apapun, semata-mata fitnah dan rekayasa. Politik peme- rintah terhadap mereka-mereka ini samasekali berbeda --- dengan politik yang dijalankan pemerintah terhadap orang-orang "eksil" seperti orang-orang GAM (dulu terhadap orang-orang PRRI-Permesta). Mereka itu (GAM dan dulu PRRI-permesta) jelas-jelas telah melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah

Republik Indonesia. GAM jelas berniat hendak mendirikan negara sendiri, yang bisa membawa akibat tercabik-cabiknya Republik Indonesia.

Tapi pemerintah melakukan perundingan dan mencapai persetujuan dengan GAM Wawancara Tom Iljas, adalah jeritan keadilan yang timbul dari hati nurani dan di- alamatkan kepada pemerintah Indonesia!

Sudah waktunya pemerintah Indonesia mengkoreksi pelanggaran HAM yang dilakukan Orba terhadap warganegaranya sendiri yang tak bersalah, yang ketika itu sedang mengemban tugas negara. Sudah waktunya pemerintah mengambil langkah nyata untuk merehabilitasi 'orang-orang yang terhalang pulang'. Lebih-lebih lagi merehabilitasi -hak politik dan kewarga-negaraan sekitar dua puluh juta warganegara tak bersalah Indonesia, dikenal sebagai "korban peristiwa 65". Pada saat-saat ketika seluruh bangsa akan memperingati Ultah Ke-60 Republik Indonesia, "para korban 65 ' itu masih mengalami tuduhan, diksriminasi dan stigmatisasi - atas tuduhan sewenang-wenang, terlibat atau berindikasi terlibat dengan G30S.

Pemerintah Indonesia, bila sungguh-sungguh hendak menegakkan negara hukum Indonesia, bila benar-benar hendak memberlakukan HAM, maka harus mengambil langkah nyata merehabilitasi para 'korban 65' dan semua 'orang-orang yang ter- halang pulang', seperti Tom Iljas, yang hak-hak kewarganegaraan dan politiknya telah dirampas sewenang-wenang oleh rezim Orba..

Mari ikuti wawancara Tom Iljas di bawah ini:

Interview Tom Iljas dng RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), Sdri. Devi Trianna. ==============================================

Pandangan saya, sebagai orang Indonesia yang telah lama tinggal di Swedia, terhadap GAM dan orang-orangnya yang bermukim di Swedia

Sebelum menjawab yang diajukan, Tom Iljas menguraikan singkat latarbelakang dirinya.

Tom adalah salah seorang dari sekelompok orang-orang Indonesia yang terhalang pulang karena dikaitkan dengan peristiwa 30S. awal tahun 60-an Tom Iljas tugas belajar dari PTIP. ketika selesai studinua, peristiwa 30S. Passport Iljas ditahan oleh bagian imigrasi KBRI. Sampai sekarang surat ketrangan bahwa paspornya masih tersimpan .

Sebelum peralihan kekuasaan tahun 65/66, salah satu kriteria yang tidak tertulis dalam memilih pemuda-pemuda untuk belajar keluar negeri ketika itu yalah kecinta- an kepada bangsa dan Tanahair Indonesia (patriotisme). Sebagai contoh: kasus Tom Iljas sendiri, yang mendapat tugas belajar keluar negeri atas surat rekomendasi Bupati Pesisir Selatan dan Gubernur Sumatera Barat kepada PTIP. Dalam surat rekomendasi itu diingatkan Tom Iljas melawan pemberontakan PRRI. Salinan dari surat rekomendasi tsb sampai sekarang masih ia simpan

Selanjutnya di jelaskannya bahwa kebanyakan dari para pemuda yang dikirim belajar keluarnegeri ketika itu adalah seperti itu. Atau orang tuanya, pamannya, anggota famili lainnya, ikut mendirikan/membela Republik Indonesia, atau ia sendiri pernah ikut aktiv dalam membela Republik Indonesia, umpamanya aktiv dalam demonstrasi- demonstrasi perjuangan pembebasan Irian Barat. Kebanyakan mereka dikirim belajar kenegeri-negeri blok sosialis karena biayanya sangat murah. Setelah peristiwa 30S pemuda-pemuda dengan semangat cinta tanahair yang berkobar- kobar ini tidak bisa pulang dan tidak bisa mengabdikan ilmu yang dituntutnya di Indonesia.

Selesai menngisahkan sedikir latar belakang tentang dirinya, Tom Iljas kemudian menjawab pertanyaan yang diajukan oleh wartawan RCTV, sbb:

Saya dan GAM -- Sama-sama "eksil" -- Tetapi Pendirian Bertolak Belakang:

"Secara lahiriah memang ada kesamaan antara saya (dan orang-orang seperti saya) dengan orang-orang GAM, yaitu sama-sama eksil Indonesia di Swedia. Tetapi, dari latarbelakang yang saya uraikan tadi mudah dipahami bahwa saya dan GAM secara politik diametral berseberangan. Saya termasuk orang-orang yang membela keutuhan Republik Indonesia sedangkan GAM justru angkat senjata untuk memisah- kan diri dari RI.

Namun, meskipun bertentangan secara diametral, tetapi sesuai dengan hukum yang berlaku din Swedia, kami tidak saling mengganggu, Tidak pernah terjadi bentrok apapun, tetapi juga tidak saling berhubungan. Karena bermukim dinegeri kecil, sudah barang tentu kadang-kadang bertemu dipasar, ditoko, dsb. Kadang-kadang bertegur sapa tetapi pembicaraan tidak menyentuh urusan politik masing-masing. Sehubungan dengan keberadaan -orang Indonesia di Swedia, satu hal yang tidak dimengerti oleh pemerintah Indonesia yalah bahwa hukum dinegeri ini tidak seperti di Indonesia. Pemerintah bolak-balik mengirim Ali Alatas kemari mendesak pemerintah Swedia untuk menindak GAM. Ini tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah Swedia, karena dinegeri ini orang tidak bisa dihukum atas dasar pandangan politik atau ideologi. Setiap orang dijamin secara hukum untuk berpendapat dan berserikat. Selama seseorang tidak melakukan tindakan kriminal ia tak bisa dihukum. Di Indonesia seseorang bisa dihukum karena pandangan politik atau ideologi yang berbeda dengan penguasa.

Apakah GAM mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah Swedia, apakah organisasinya diakui pemerintah, dsb., bisa dijawab singakt: saya tidak. Mereka, orang-orang GAM, menghidupi keluarganya seperti penduduk lainnya, kebanyakan malah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang orang setempat enggan melakukannya seperti cleaning service. Yang tidak bekerja karena berbagai sebab mendapat tunjangan sosial, persis seperti orang-orang lainnya. Mengenai organisasinya diakui atau tidak, selama AD/ART organisasinya tidak bertentangan dengan undang- undang Swedia tidak ada alasan bagi pemerintah Swedia untuk melarangnya. MENYAMBUT PERDAMAIAN DI ACEH

Tanggapan saya atas perundingan perdamaian: Atas pertanyaan yang diajukan oleh wartawan RCTV, dijelaskan sbb: saya menyambut tercapainya perdamaian di Aceh.

Dengan demikian penderitaan rakyat Aceh yang berkepanjangan itu bisa diakhiri, dan rakyat Aceh bisa hidup dalam kedamaian, bebas dari rasa takut dan bisa membangun Aceh untuk hari depan yang lebih baik.

Dalam dokumen menguak tabir g30s bagian pertama (Halaman 168-189)