• Tidak ada hasil yang ditemukan

Langkah Gerakan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani

BAB I PENDAHULUAN

B. Rumusan Masalah

4. Langkah Gerakan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani

Muhammad Sholeh Darat bin Umar Al Samarani atau biasanya beliau dipanggil dengan Kiai Sholeh Darat. Sebagai putra seorang kiai yang sekaligus putra dari salah satu seorang pejuang, yaitu Kiai Umar, Kiai Sholeh Darat berkesempatan untuk berkenalan dan berguru kepada sahabat-sahabat dari Kiai Umar yang juga merupakan para ulama yang terpandang. Maka dari itu, bukanlah suatu kesempatan yang sia-sia bagi Kiai Sholeh Darat untuk membuat jaringan dengan para ulama senior di masanya. Di antaranya adalah Kiai Hasan

Bashori, Kiai Syada’, Kiai Darda’, Kiai Murtadlo, Kiai Jamsari Surakarta dan lainnya (Dzahir, 2012:10).

Tidak hanya itu, ketika Kiai Sholeh Darat belajar di Haramain, Kiai Sholeh Darat banyak bersentuhan dengan beberapa ulama’ Nusantara yang kala itu sama-sama sedang menimba ilmu di Haramain, di antaranya adalah Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Syaikh Mahfudz Al Tarmasi, Syaikh Kholil Al Bangkalani, dan lainnya (Darat, terj. Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxxi).

Ketika di Haramain, Kiai Sholeh Darat memang tergolong mempunyai kealiman dan keahlian di dalam bidang agama. Melalui itu, Kiai Sholeh Darat terkenal di kalangan ulama’ Haramain hingga penguasa Mekkah pun mengikat Kiai Sholeh Darat untuk menjadi salah satu mufti di Mekah. Melalui itu juga, banyak pendatang yang berdatangan di halaqah yang didirikan semasa di sana. Beberapa ulama’ juga yang bersentuhan dengan Kiai Sholeh Darat, di antaranya yaitu Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (Seorang mufti dan Rais Al Ulama juga Syaikhu Al Khuthaba Al Syafi’i), Syaikh Abu Bakar Syatha (Pengarang kitab Syarah Fath Al Mu’in yaitu I’anatu Ath Tholibin), Syaikh Ahmad Al Marzuki (Seorang Mujaddid dan pengarang kitab Aqidatu Al Awwam), dan yang lainnya (Ulum, 2016:68).

Saat Kiai Sholeh Darat tiba di Nusantara khususnya di Jawa, seketika itu Jawa sudah dalam kekuasaan kolonial Belanda yang

sudah secara formal terbentuk di dalam pemerintahan. Dengan keadaan seperti itu, serangan dengan fisik sudah tidak bisa di lakukan, karena mengingat revolusi yang pernah terjadi sebelumnya yaitu ketika Pangeran Diponegoro bersama dengan para ulama’ bersatu untuk berusaha mengusir penjajahan dari Nusantara. Setelah adanya revolusi dari Pangeran Diponegoro tidak ada lagi bentuk revolusi sampai adanya revolusi tahun 1945. Maka dari itu, langkah yang diambil oleh Kiai Sholeh Darat adalah dengan membumikan Islam melalui pencerahan pemikiran kepada rakyat pribumi yang mayoritas belum tertata agama Islamnya dalam beragama (Hakim, 2016:101). Langkah ini diambil oleh kebanyakan para ulama Nusantara yang salah satunya adalah Kiai Sholeh Darat sendiri. Seperti yang dijelaskan di awal bahwasanya langkah ini diambil oleh kebanyakan ulama’ dikarenakan untuk melancarkan serangan fisik sudah tidak mampu.

Keadaan Islam pada saat itu jauh dari makna hakikat dari Islam, hal ini bukan karena tidak ada yang mampu memberikan keterangan dalam beragama, namun karena Kolonial Belanda melarang adanya pendidikan tentang keagamaan dalam bentuk apapun. Bahkan, mereka tidak segan-segan untuk membakar terjemahan dari Alquran, baik yang tertulis dengan bahasa latin maupun aksara Jawa (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxxix). Dengan keadaan seperti itu, tentu masyarakat pribumi tidak akan tuntas

memahami Islam, jika hal itu terus dilanjutkan, dan agama pun akan dirasakan dari luar, tidak dapat dirasakan manisnya. Maka dari itu, usaha Kiai Sholeh Darat mencerdaskan masyarakat, beliau menjadikan pesantren milik mertuanya untuk mengembangkan dan menggembleng intelektual masyarakat dalam agama.

Dalam memberikan pencerahan keilmuan, Kiai Sholeh Darat lebih cenderung menggunakan pendekatan tasawuf. Menurut Kiai Sholeh Darat, dengan menggunakan pendekatan ini akan lebih sesuai untuk pemikiran dan mencerahkan rohani, karena yang disiapkan oleh Kiai Sholeh Darat adalah pencerahan jiwa, mental, pemikiran dan spriritual. Dengan demikian, bagi Kiai Sholeh Darat pendekatan tasawuf menjadi pintu strategi untuk mendidik dan membina masyarakat. Melalui pendekatan tasawufnya, Kiai Sholeh Darat menegaskan ingin memerdekakan jiwa spiritual masyarakat sebelum mendapatkan kemerdekaan yang nyata secara fisik (Hakim, 2016:102- 103).

b. Gerakan Nasionalisme

Gerakan nasionalis Kiai Sholeh Darat tidak secara gamblang terlihat, karena Kiai Sholeh Darat sendiri mendapatkan pengawasan oleh Belanda karena pengaruhnya terhadap perkembangan Islam. Gerakan Kiai Sholeh Darat melalui pendidikan merupakan politik dari Kiai Sholeh Darat untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada masyarakat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwasanya Kiai

Sholeh Darat menggunakan pendekatan tasawuf dan karenanya banyak karya-karya dari beliau yang bernafaskan sufistik.

Apabila menengok ke belakang lagi, bahwasanya Kiai Sholeh Darat dalam semangat membangun nasionalisme sudah tumbuh ketika Kiai Sholeh Darat masih kanak-kanak atau bisa dikatakan pada usia yang sangat muda sekitar kurang lebih 5 tahun. Ketika itu, terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro bersama para ulama’ yang salah satunya adalah ayahandanya yaitu Kiai Umar, terhadap penjajahan yang ada di Jawa pada tahun 1825-1830. Pengalaman di masa kanak- kanaknya ini mempengaruhi terhadap strategi dan pola pemikiran dari Kiai Sholeh Darat. Pengalaman ini, merupakan harta yang tak ternilai untuk bekal gerakan nasionalismenya untuk mengembangkannya bersama masyarakat di sekitar, terlebih khusus daerah Semarang Jawa Tengah. Maka dari itu, ketika membaca atau mengkaji tentang karya- karya beliau apabila tidak didasari dengan adanya flashback akan menimbulkan kerancuan dan kejanggalan bahkan bisa jadi tidak sinkron dengan apa yang dimaksud dalam karya-karya beliau (Hakim, 2016:103).

Terdapat beberapa ajaran yang disematkan Kiai Sholeh Darat dalam karya-karyanya terkait dengan semangat nasionalisme dan mengukuhkan budaya yang ada di Nusantara, Kiai Sholeh Darat mengatakan dalam karyanya kitab Majmu’at Asy Syari’at,

Lan Sayukjo ingatase wong Islam arep anduweni toto keromo maring sakpadane Islam lan meluho opo ‘adate negoro sekiro- kiro ora nulayani syari’at” (Darat, 1374 H:34)

Pernyataan Kiai Sholeh Darat diatas menunjukkan bahwa secara implisit menegaskan semangat oposisi berupa taat kepada pemerintah sepanjang aturan pemerintah tidak keluar dari ajaran syari’at. Di dalam perkataan Kiai Sholeh Darat yang lain masih dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at,

“Lan haram ingatase wong Islam nyerupani penganggone wong liyane agama Islam senadiyan atine ora demen, angendiko setengahe poro ngulama’ muhaqqiqin sopo wonge nganggo penganggone liyane ahli Islam koyo klambi, jas utowo topi utowo dasi mongko dadi murtad rusak Islame senadyan atine ora demen” (Darat, 1374 H:24-25).

Kiai Sholeh Darat menjelaskan adanya akulturasi budaya yang telah merusak Islam, baik dalam berpakaian maupun pergaulan bebas yang dibawa oleh Belanda ke Nusantara. Maka dari itu, Kiai Sholeh Darat bermaksud untuk mencegah berkembangnya budaya yang tidak sesuai dengan Islam. Dengan salah satu caranya yaitu mencegah masyarakat untuk tidak mengikuti pola tata cara dalam berpakaian dan pergaulan. Sebagai misal dalam pergaulan Kiai Sholeh Darat menyebutkannya dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at tentang cara penghormatan,

“Lan wajib ingatase wong Islam hurmat kelawan ngagungaken maring ratune lan ‘adate kahurmatane negoro kono koyo ‘adate wong ngarob hurmate kelawan aweh salam lan wong Turki kahurmate kelawan ngangkat tangane maring sirahe lan ‘adate wong jowo kahurmatane kelawan nangkepaken tangan lorone

den temoaken maring irunge mengkono iku den namani hurmat” (Darat, 1374 H:34-35).

Begitulah sekiranya Kiai Sholeh Darat dalam menggambarkan tentang menjaga tradisi lokal terkhusus yang ada di Jawa. Jika, tidak dibentengi, maka simbol kenegaraan di Nusantara ini akan berganti dengan budaya asing yang dibawa oleh Belanda.