• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Hubungan Akhlak dengan Ilmu

4. Unsur-unsur Pendidikan Akhlak

Salah satu yang terkandung dalam pendidikan adalah adanya pendidik. Kiai Sholeh Darat dalam mengistilahkan pendidik terdapat beberapa istilah. Istilah tersebut adalah masyayikh, mursyid, ulama’, mu’allim, dan guru. Dari beberapa istilah ini Kiai Sholeh Darat tidak menjelaskan secara terperinci, namun istilah-istilah tersebut mempunyai kesamaan dalam hal kewajiban untuk menyampaikan ilmunya. Masyayikh menurut Kiai Sholeh Darat adalah orang yang sudah memiliki jalan thoriqoh. Lebih lanjutnya Kiai Sholeh Darat menjelaskan bahwa syaikh adalah orang yang berada di tengah-tengah kelompok manusia dalam rangka mengajarkan tentang perkara ibadah dan husnul khuluq (Darat, 1325 H:60). Dengan menggunakan kata ulama’, Kiai Sholeh Darat mengatakan,

“Ulama’ den janjeni supoyo mertelaaken siro ulama’ ing ngelmu mareng menungso kabeh lan ojo ono podo ngumpetaken siro kabeh ing sewiji-wiji sangking ngelmu” (Darat, 1325 H:254).

Sebagai seorang guru atau mu’allim, tidak hanya memiliki tanggung jawab berupa pemberian ilmu, namun juga bertanggung jawab untuk memberikan nasehat kepada peserta didik apabila melenceng dari syari’at yang ditentukan. Kiai Sholeh Darat dalam hal ini mengatakan, “Kerono guru wajib nuturi” (Darat, 1325 H:285).

b. Peserta Didik

Peserta didik dapat dikatakan sebagai obyek pendidikan atau subyek pendidikan, karena dalam hal ini peserta didik adalah peserta dalam mencari ilmu. Kiai Sholeh Darat mengistilahkan peserta didik dengan berbagai istilah, yaitu santri, murid, salik, dan tholabul ‘ilmi. Dengan menggunakan kata salik, Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Ono dene wong kang wus ngambah dalan utowo liwat ing dalem dedalan kerono arah arep ngaji ngelmu nafi’” (Darat, 1325 H:263). Maka dari itu, salik adalah orang yang sedang menempuh jalan untuk mencari ilmu.

Seorang murid atau salik dalam mencari ilmu harus diiringi dengan berbagai kegiatan yang menunjang demi kemanfaatan ilmu yang didapatnya. Misalnya seperti yang dijelaskan oleh Kiai Sholeh Darat bahwa seorang salik harus selalu melakukan taubat untuk menghiasi laku seorang salik. Kiai Sholeh Darat berkata, “Amriho siro ya salik ing taubat” (Darat, 1325 H:66). Lebih lanjutnya Kiai Sholeh Darat menerangkan, “Wong kang ora taubat iyo ora biso nandur to’at utowo ngamal solih” (Darat, 1325 H:76).

Dalam proses mencari ilmu, peserta didik pasti akan berhadapan dengan guru atau pendidik. Berangkat dari sini, murid atau peserta didik sudah dipastikan mempunyai kelemahan-

kelemahan, hal ini merupakan tugas seorang guru untuk membawakan materi yang sesuai dengan potensi murid. Begitu juga sebagai murid, maka harus menerima apa yang telah diusahakan oleh seorang guru untuk memberikan asupan pengetahuan. Ketika tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Ojo syu’udzzon maring poro guru-guru” (Darat, 1325 H:117).

c. Interaksi Edukatif

Interaksi merupakan bentuk keaktifan dari murid atau salik untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Terlebih lagi dalam hal mencari ilmu, merupakan kegiatan yang mempunyai level tingkat atas dalam Islam. Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Kelakuan ingkang utomo iyo iku ketungkul kelawan ngelmu” (Darat, 1325 H:253). Oleh karena itu, menuntut ilmu sangat diperhatikan oleh Kiai Sholeh Darat dengan melihat akan keutamaan-keutamaan yang terdapat di dalamnya.

Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam pandangan Kiai Sholeh Darat, lebih ke dalam bentuk sikap ta’dzim kepada guru. Sifat keta’dziman kepada guru harus ditanamkan dalam jiwa sebagai bentuk penghormatan dan ngalap berkah dari seorang mu’allim atau guru. Bahkan, untuk mencari ridho dari seorang guru sangat diperlukan menurut beliau, karena akan mempengaruhi kemanfaatan terhadap ilmu yang telah dimiliki

oleh seorang salik atau murid. Sikap Kiai Sholeh Darat yang demikian ditunjukkan ketika Kiai Sholeh Darat diberikan perintah oleh gurunya untuk menuliskan terjemah secara Jawa kitab tajwid Al Qur’an,

“Mongko den perintahi ingsun dene guru ingsun kapurih gawe terjemah coro Jowo ing dalem ngelmune tajwid Al Qur’an Al ‘Adzim, mongko dadi miturut ingsun lan ora kuwoso ingsun lamuno nulayani” (Darat, t.th:2).

Selain itu, sikap yang harus dilakukan oleh peserta didik ketika bertemu dengan gurunya adalah menyucup tangan gurunya (Darat, 1374 H:203). Guru atau mu’allim dalam pandangan Kiai Sholeh Darat merupakan orang yang berjasa dalam membawa seseorang dari alam dunia menuju alam akhirat. Demikian besarnya tanggung jawab seorang guru atau mu’allim memberikan suatu keharusan peserta didik dalam memberikan rasa hormat terhadap guru.

Ketika dalam suasana belajar mengajar, Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Arep moco guru ing Qur’an lan murid ngrungokake sangking wacane gurune” (Darat, t.th:30). Perkataan Kiai Sholeh Darat ini menunjukkan bahwa seorang murid harus benar-benar memperhatikan apa yang dijelaskan oleh guru, supaya apa yang telah diajarkan oleh guru dapat dipahaminya dengan baik. Setelah seorang murid mampu memahami ilmu atau pengetahuan, untuk mencapai kemuliaan akhlak, maka apa yang sudah didapatkan haruslah diamalkan sesuai dengan ilmu tersebut. Kiai Sholeh

Darat mengatakan, “Mongko lamun wus weruh mongko nuli lakonono”. Kiai Sholeh Darat melanjutkan, “Ora manfa’at ngelmu yen ora ngamal ngelmune” (Darat, 1325 H:102-104).

Di samping itu, seorang murid yang sedang mencari ilmu harus memiliki sarana untuk menunjang proses pendidikan, salah satunya adalah dengan mempersiapkan alat tulis. Hal ini ditegaskan oleh Kiai Sholeh Darat, “Lamuno ora ono qalam ono ing tangane ‘ulama’ lan tangane tolabatul ‘ilmi mongko yekti ilang ngelmu din” (Darat, 1325 H:256). Perkataan ini menegaskan bahwa ilmu itu akan hilang dengan sendirinya ketika tidak diikat dengan catatan.

d. Materi Pendidikan Akhlak

Dalam memberikan asupan nilai kepada peserta didik, harus memperhatikan seberapa pentingnya ilmu yang akan diberikan kepada peserta didik berpengaruh dalam pembentukan kepribadiannya. Menurut Kiai Sholeh Darat, hal yang paling utama harus diberikan kepada peserta didik adalah pendidikan tentang agama atau syari’at, karena dengan tertanamnya syari’at dalam diri peserta didik akan mampu membentuk karakter dalam dirinya, Kiai Sholeh Darat mengatakan, “Yen ora nglakoni syari’at mongko ora biso cukul akhlaqul mahmudah” (Darat, 1325 H:59).

Menurut Kiai Sholeh Darat, belajar ilmu itu yang baik adalah ilmu tentang syari’at (Ngesahaken ing ngibadah), ilmu

tentang tauhid (Ngesahaken i’tiqod), dan ilmu tentang akhlak (Mbagusaken ing qalbu arruhani) (Darat, 1325 H:101).

e. Metode Pendidikan Akhlak

Kiai Sholeh Darat dalam usahanya untuk menanamkan akhlak diawali dengan mencerahkan pemikiran atau dengan mengembangkan daya akal masyarakat pada waktu itu. Kiai Sholeh Darat menerangkan, “Setuhune ngulati ngelmu iku ferdhu ‘ain atas saben-saben wong mukmin lanang lan wong mukmin wadon”. Keterangan ini, menunjukkan bahwa Kiai Sholeh Darat sangat memperhatikan akan pendidikan yang harus diketahui oleh masyarakat pada saat itu. Berkaitan dengan akhlak, Kiai Sholeh Darat melanjutkan keterangan diatas,

“Tegese, ngulati ngelmune saben-saben ngamal kang den lakoni iku ferdhu ‘ain kerono ora sah ngamal yen ora kelawan ngelmu” (Darat, 1374 H:2).

Dapat dikatakan pula, Kiai Sholeh Darat tidak menyinggung ilmu apa yang harus dipelajari, namun ilmu yang dimaksudkan Kiai Sholeh Darat adalah ilmu yang bisa menuntun ke dalam kebaikan serta menjadikan manfaat bagi penuntut ilmu tersebut. Kiai Sholeh Darat menerangkan hal ini dengan menukilkan salah satu perkataan dari ulama’ madzhab yang terkenal yaitu Imam Syafi’i, “Utawi ketungkul kelawan ngaji ngelmu nafi’ iku luweh utomo”. Setelah itu, Kiai Sholeh Darat

menerangkan tentang keutamaan dalam menuntut ilmu dengan mengutip hadits dari Rasulullah SAW (Darat, 1374 H:2),

“Sopo wonge liwat ing dedalan kerono amrih ngelmu mongko anggampangaken Allah Subhanahu Wa Ta’ala ing wong iku dedalane maring suwargo”.

Oleh karena itu, Kiai Sholeh Darat sangat memperhatikan ilmu, agar seseorang mempunyai ilmu untuk dijadikan pijakan dalam beramal. Kiai Sholeh Darat menjelaskan dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at (Darat, 1374 H:153), “Setuhune wong bodo-bodo nuruti syaithon lan nuruti howo nafsune”.

1) Pembiasaan melalui ritual ibadah

Kiai Sholeh Darat dalam keberhasilannya mengeksplorasikan daya akal yang dimiliki oleh masyarakat, kemudian dilanjutkannya dengan mengenalkan dasar-dasar Islam. Seperti dalam hal bersuci, melaksanakan rukun Islam dan rukun iman, serta ritual ibadah yang lainnya. Kemudian berbagai bentuk ritual ibadah tersebut dijadikan Kiai Sholeh Darat sebagai sarana dalam menanamkan akhlak yaitu melaui bentuk pembiasaan-pembiasaan dalam beribadah.

Menurut Kiai Sholeh Darat, terdapat keterkaitan yang cukup erat antara ibadah dengan akhlak. Akhlak menjadi bentuk implementasi dari ritual ibadah, disamping itu ibadah juga sebagai batasan dalam berakhlak agar tidak menyimpang, karena dengan ibadah akan mencegah dari hal yang munkar.

Ibadah yang dijelaskan oleh Kiai Sholeh Darat lebih condong ke dalam makna yang terkandung dalam ibadah tersebut. Dengan mengetahui makna ibadah yang dilakukan, akan menjadikan seseorang untuk selalu berakhlaqul karimah. Oleh karena itu, Kiai Sholeh Darat sangat menekankan kepada masyarakat untuk suci dalam dan luarnya (dzahiriyah dan batiniyah). Kiai Sholeh Darat, menjelaskan seseoramg dalam bersuci tidak hanya berniat untuk mensucikan secara jasmaniyahnya, namun agar mendapatkan nilai dalam bersuci, maka dalam setiap gerakan ketika bersuci diiringi dengan niat dalam hati untuk mensucikan batiniyahnya (Darat, 1374 H:127).

Ibadah menggambarkan kebutuhan makhluk kepada yang menciptakan makhluk, bukan sebaliknya. Namun, implementasi ibadah masih belum sepenuhnya dapat terealisasi. Menurut Kiai Sholeh Darat, hal demikian dikarenakan manusia masih tergoda dengan kesenangan- kesenangan yang bersifat keduniawian (Darat, 1325 H:37). Sedangkan yang dimaksud dengan penghayatan ibadah, adalah melakukan apresiasi dan ekspresi ibadah itu dengan diiringi perbuatan-perbuatan yang bersifat aplikatif yang sejalan dengan hakikat dan hikmah ibadah. Kiai Sholeh Darat melanjutkan,

“Lan ngelmune rukun Islam kabeh mongko dadi persifatan muslim, lan wajib malih ngaweruhi arkanul iman wal ihsan mongko dadi persifatan mukminin” (Darat, 1325 H:3).

Oleh karena itu, seharusnya ibadah merupakan latihan spiritual juga latihan untuk membentuk kepribadian seseorang. Lebih lanjutnya, Kiai Sholeh Darat selalu menekankan pada aspek ilmu sebagai dasar dalam berakhlak dan beribadah. Kiai Sholeh Darat menjelaskan dalam kitab Majmu’at Asy Syari’at, “Endi-endi ngamal kang ora weruh ngilmune lakune mongko iyo ora sah” (Darat, 1374 H:119). Ilmu yang dimaksud disini sudah pasti ilmu yang berhubungan, sehingga dapat mengombinasikan dan menggambarkan kesempurnaan implementasi akhlak dan ibadah.

2) Tazkiyatun nafs

Selanjutnya, Kiai Sholeh Darat dalam upaya untuk menanamkan akhlaqul karimah, melalui konsep tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa. Konsep tazkiyatun nafs ini adalah berusaha menghilangkan sifat-sifat penyakit hati yang madzmumah dan mengisinya dengan sifat-sifat yang mahmudah. Sepengetahuan penulis, Kiai Sholeh Darat tidak menyebutkan hal ini secara eksplisit, namun kandungan yang ada dalam berbagai karyanya terutama dalam kitab Munjiyat, Kiai Sholeh Darat menjelaskan (Darat, 1422 H:65), “Mongko sakwuse wus buwang kelakuan ingkang madzmumah mongko

nuli nglakoni sifat mahmudah”. Hal ini mengingatkan bahwa apabila hati baik, maka akan baiklah seluruh anggota badannya, begitu juga sebaliknya. Kiai Sholeh Darat dalam keterangan yang lain menjelaskan,

“Mongko nuli madep siro marang qiblat sartane wus bersih penganggone lan wus bersih atine sangking piro- piro najis dzahir kelawan madep qiblat dzahire dadane lan batine atine” (Darat, t.th:2).

Seseorang dalam usahanya untuk menyucikan jiwa, harus melalui introspeksi diri sendiri terlebih dahulu. Kiai Sholeh Darat memberikan tata cara dalam melakukan proses ini. Hal ini tercantum dalam karyanya yaitu kitab Munjiyat (Darat, 1422 H:9), antara lain:

• Bercengkerama dengan guru yang mengetahui tingkah laku kita (Arep lelungguhan siro ing guru niro ingkang wus weruh jalane awak iro).

• Mencari teman yang baik tingkah lakunya untuk memberitahukan kejelekan diri kita (Arep amrih konco siro ingkang bener lakune supoyo ameruhaken olone ing awak iro).

• Mengajak bicara kepada teman kita yang membenci kita, karena teman yang demikian akan membuka segala keburukan kita (Arep ngalap siro saking pangucape sateru niro).

• Berbaur dengan orang lain dan merasakan apakah pantas ketika berada di dalamnya (Arep campur siro marang manungso).

Dengan demikian, adanya introspeksi terhadap diri sendiri akan menyadarkan seseorang dan mengetahui tingkat kebersihan hati orang tersebut. Oleh karena itu, introspeksi diri akan membawa seseorang tersebut ke dalam tingkat penyucian jiwa.

Semua ini terdapat ketentuan yang berupa seseorang harus mampu mengetahui syari’at yang benar. Namun, seiring dengan keadaan saat itu masyarakat kurang mendapatkan perhatiannya dalam mengkaji Islam. Dari hasil memahami situasi kondisi masyarakatnya, Kiai Sholeh Darat menggunakan beberapa cara untuk mengembalikan posisi mereka, yang saat itu dianggap sebagai kaum pribumi yang buta akan ilmu atau bisa dikatakan tidak berpendidikan. Kemudian, Kiai Sholeh Darat menggunakan aksara pegon untuk memberikan wawasan tentang Islam. Kiai Sholeh Darat lebih memilih aksara pegon atau aksara Arab yang berbahasa Jawa dan hanya itu yang dapat dilakukan, karena adanya berbagai pengawasan yang dilakukan oleh Belanda.

Upaya Kiai Sholeh Darat ini sangat menguntungkan bagi masyarakat yang kurang dalam memahami bahasa Arab, selain itu juga bentuk strategi dalam melawan penjajah Belanda kala itu yang membatasi kegiatan-kegiatan Islam. Kiai Sholeh Darat

menerangkan dalam muqaddimah Matnu Al Hikam (Darat, 1422 H: 2),

“Supoyo gampangke ingatase wong ngawam misal ingsun kelawan sun terjemah kelawan coro jowo supoyo enggal faham wong kang podo ngaji”.

Keterangan Kiai Sholeh Darat ini, mengisyaratkan bahwa pendidikan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat adalah menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh masyarakat, sehingga masyarakat benar-benar faham apa yang dipelajarinya. f. Lingkungan Pendidikan Akhlak

Lingkungan merupakan salah satu faktor utama dalam mempengaruhi perkembangan karakter atau akhlak para peserta didik, karena lingkungan merupakan ladang dalam menerapkan ilmu yang sudah di dapat. Dalam lingkungan keluarga misalnya, dimulai dengan hal yang paling dasar, Kiai Sholeh Darat menjelaskan,

“Wajib amisah antarane anak lanang lan biyunge ojo awor ing dalem paturune ing dalem bocah ngumur sepuluh tahun utowo kurang. Lan wajib amisah antarane bocah wadon lan dulure lanang kang wus podo ngumur songo utowo kurang” (Darat, 1374 H:201-202).

Dengan demikian, dapat disimpulkan pendidikan gender terhadap anak sangatlah penting untuk melatih atau mengontrol hawa nafsu pada diri anak. Namun, tidak hanya itu, di dalam lingkungan keluarga, ayah dimana menempati posisi sebagai kepala keluarga mempunyai kewajiban terhadap anak untuk

memberikan pengetahuan tentang agama, seperti dalam membaca Al Qur’an, memberikan teladan tentang adab yang baik, dan memberitahukan ilmu yang harus dipelajari (Darat, t.th:40).

5. Hubungan Akhlak terhadap Ilmu

Akhlak dan ilmu adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena ilmu dan akhlak mempunyai keterkaitan yang menjadikannya sempurna dalam beramal. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Sholeh Darat,

“Tegese, ngulati ngelmune saben-saben ngamal kang den lakoni iku ferdhu ‘ain kerono ora sah ngamal yen ora kelawan ngelmu” (Darat, 1374 H:2).

Maka dari itu, akhlak dan ilmu harus berjalan berdampingan, tidak mengunggulkan salah satu diantaranya.

Manusia yang berilmu bisa menjadi takabur, karena ketinggian atau banyaknya ilmu yang dimilikinya. Sehingga melihat orang lain lebih rendah daripadanya dan merasa paling pantas untuk dihormati (Darat, 1422 H:41). Namun, hal itu bisa saja tidak terjadi apabila manusia itu mengetahui sejatinya dari ilmu, karena ilmu bagi Kiai Sholeh Darat terdiri dari dua bagian yaitu ilmu dzahir dan ilmu batin. Hal ini disampaikan oleh Kiai Sholeh Darat dalam buah karyanya yaitu “Kadi dene wajib ngaji ngelmu dzahir, mongko iyo wajib ngaji ngelmu batin” (Darat, 1325 H:10).

Berakhlak dalam perspektif Kiai Sholeh Darat tidak hanya berada di dalam kedzahirannya saja, namun hati juga harus mampu

berakhlak. Kiai Sholeh Darat menjelaskan, “Lan toto keromoho siro ing dalem ati siro” (Darat, 1374 H:115). Ketika keduanya dapat dijalankan seiringan, maka apa yang diperbuat akan selalu berorientasi kepada ibadah, karena akhlak merupakan buah dari ibadah.

B. Relevansi Pendidikan Akhlak Muhammad Sholeh Darat Al Samarani