• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Sumber Pendidikan Akhlak

1. Al Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan yang paling utama dalam pendidikan Islam, dan pendidikan Islam mempunyai tujuan yang utama yaitu membentuk kepribadian yang baik atau pendidikan akhlak.

Al Qur’an juga merupakan kitab suci umat Islam yang keberadaannya menjadi petunjuk bagi umat Islam khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya. Sebagai petunjuk, Al Qur’an memuat berbagai aturan dalam dimensi kehidupan. Menurut Abdul Wahab Khallaf, isi kandungan dalam Al Qur’an dibagi dalam dua pokok pembahasan yaitu masalah akidah dan masalah amaliah yang mencakup ibadah dan muamalah (Hakim dan Jaih Mubarok, 2012:77).

Dalam Al-Qur’an terdapat tujuan pendidikan yaitu membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan Kholifah-Nya. Manusia dalam hal ini dipastikan memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Beberapa unsur tersebut memiliki daya potensi masing-masing, daya potensi yang dimiliki oleh akal akan menghasilkan ilmu, jiwa akan menghasilkan kesucian dan etika, dan jasmaninya akan menghasilkan keterampilan. Dari ketiga unsur tersebut, apabila dapat dibina dengan baik, akan menghasilkan makhluk yang mempunyai keseimbangan dalam dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Maka dari itu, muncullah dalam pendidikan Islam dengan istilah adab al din dan adab al dunya (Shihab, 1992:173).

Firman Allah tentang pendidikan dalam Al Qur`an Surat Al ‘Alaq ayat 1-5 yang artinya:

ِﻢْﺳﺎِﺑ ْأَﺮْـﻗا

) َﻖَﻠَﺧ يِﺬﱠﻟا َﻚﱢﺑَر

١

) ٍﻖَﻠَﻋ ْﻦِﻣ َنﺎَﺴْﻧﻹا َﻖَﻠَﺧ (

٢

(

َﻚﱡﺑَرَو ْأَﺮْـﻗا

) ُمَﺮْﻛﻷا

٣

َﻢﱠﻠَﻋ يِﺬﱠﻟا(

) ِﻢَﻠَﻘْﻟﺎِﺑ

٤

َنﺎَﺴْﻧﻹا َﻢﱠﻠَﻋ(

)ْﻢَﻠْﻌَـﻳ ْﻢَﻟ ﺎَﻣ

٥

(

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Q.S. Al-‘Alaq: 1-5) (Al Qur’an, t.th:537). Dari ayat-ayat tersebut, memberikan kesimpulan bahwa seolah- olah Tuhan berkata hendaklah manusia meyakini akan adanya Tuhan Pencipta manusia (dari segumpal darah). Dari ayat tersebut pula, Allah memperkenalkan kepada manusia tentang istilah yang berkaitan dengan pendidikan yaitu iqra’ (bacalah), ‘allama (pengajaran), dan al qalam (pena atau alat tulis). Ketiga istilah tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan pendidikan (Nata, 1997:12). Oleh karena itu, Al Qur’an dijadikan sebagai sumber pendidikan akhlak, baik dari segi dasar dalam menetapkan sesuatu maupun kisah-kisah yang dijadikan teladan berakhlaqul karimah.

2. Hadits

Secara bahasa hadits memiliki arti al jadid (baru), al khabar (berita), dan al qorib (dekat). Secara terminologi, para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan hadits. Menurut ahli hadits, hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat atau kebenaran Nabi SAW (Hassan, 1994:17). Sedangkan menurut jumhur ulama’, hadits adalah segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasulullah SAW., sahabat atau tabi’in dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan, baik semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu saja, maupun lebih sering dan banyak diikuti

oleh para sahabat (Nata, 2013:237). Berbeda lagi menurut ulama’ ushul fiqh, menurutnya pengertian hadits hanya dibataskan pada ucapan-ucapan Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum dan apabila mencakup perihal tingkah laku dan ketetapan beliau, maka menurutnya adalah Sunah bukan Hadits (Shihab, 1992:121).

Hadits menjadi sumber ajaran yang kedua, memberikan perhatian yang amat besar terhadap pendidikan. Nabi SAW telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education), yang dibuktikan dengan perkataan Nabi SAW tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat (uthlubul ‘ilma min al mahdi ila allahdi). Selanjutnya, didukung oleh para ulama’ dengan memberitahukan untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina (uthlubul ‘ilma walau bishshin). Lebih dalam lagi, Nabi SAW menegaskan tentang kewajibannya dalam menuntut ilmu (tholabul ‘ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin) (Nata, 1997:12).

Diutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini adalah salah satunya mempunyai tujuan untuk memperbaiki moral atau akhlak manusia, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda:

قﻼﺧﻷا

ﺎﻜﻣﺮﻣ

ﻢﻤﺗﻻ

ﺖﺜﻌﺑ

ﺎﻤﻧإ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus tiada lain adalah untuk menyempurnakan akhlak”. (HR. Muslim) (Faruq, 2005: 121). Makna hadist ini sudah jelas, tujuannya sudah dapat dimengerti oleh umat muslim, yaitu menyempurnakan akhlak. Rasulullah SAW juga

seorang pendidik, yang telah berhasil membentuk masyarakat rabbaniy, masyarakat yang terdidik secara Islami. Bahkan Robert L. Gullick, Jr. dalam bukunya Muhammad The Educator mengakui akan keberhasilan Nabi Muhammad dalam melaksanakan pendidikan (http://mahadir- aziz.blogspot.co.id/2012/05/sumber-dan-dasar-pendidikan-islam.html, diakses pada 20 Februari 2017, jam 16.33 WIB). Bahkan, dalam suatu riwayat dikatakan:

“Sebaik-baik kamu adalah (yang hidup) generasiku, kemudian (generasi yang datang) sesudah mereka, lalu generasi yang datang sesudah mereka” (HR. Bukhori dan Muslim melalui Imran Ibn Al Husein) (Shihab, 2013:365).

Hadits ini yang dimaksud dengan baik adalah karena pada zaman tersebut Nabi SAW masih hidup bersama mereka, dan karena mereka adalah para pejuang yang menegakkan fondasi Islam, serta menyaksikan turunnya wahyu, dan memiliki akhlak yang sangat luhur. Dengan demikian, hadits mempunyai eksistensi yang penting sebagai sumber dalam pendidikan akhlak.

3. Ijtihad

Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata al jahdu dan al juhd yang berarti bertenaga, kuasa, dan daya. Sedangkan ijtihad, berarti menumpahkan segala kesempatan dan tenaga. Makna lainnya, berasal dari kata jahada, yaitu mencurahkan segala kemampuan dan menanggung beban. Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat dzanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya (Khoiriyah,

2013:77). Secara terminologi, para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan ijtihad. Menurut Al Allamah Al Khudlori, ijtihad yaitu memberikan kesanggupan untuk mengistinbathkan hukum syar’i dari yang telah dipandang dalil oleh syara’, yaitu kitabullah dan sunnatur Rasul (Mardani, 2015:142).

Menurut ulama’ ushul fiqh, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian pada tingkat zhan mengenai hukum syara’. Sedangkan, Hasan Nasution dalam menerangkan ijtihad tidak membatasi hanya pada bidang fiqh saja, namun ijtihad merupakan pengerahan segala kemampuan untuk memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan celaan. Pendapat ini seperti halnya dengan Adz Dzarwi, Fakhruddin Ar Razy, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad Ar Ruwaih (Anwar, dkk., 2011:193).

Ijtihad dalam hal ini meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang di olah oleh akal yang sehat dan para ahli pendidikan Islam (ulama’). Ulama’ memahami Al Qur’an sejauh mana pengetahuan dan pengamalan ilmiah mereka yang kemudian mereka paparkan kesimpulannya kepada masyarakat. M. Quraish Shihab memaparkan tentang ulama’ terkait dengan ungkapan “Para ulama’ adalah pewaris nabi” bahwa para ulama’ melalui pemahaman, pemaparan, dan pengamalan kitab suci mempunyai tugas untuk memberikan petunjuk dan

bimbingan kepada masyarakat guna mengatasi perselisihan-perselisihan pendapat, dan problem-problem sosial yang berkembang dalam masyarakat (Shihab, 1992:374-375).