• Tidak ada hasil yang ditemukan

Riwayat Pendidikan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani

BAB I PENDAHULUAN

B. Rumusan Masalah

2. Riwayat Pendidikan Muhammad Sholeh Darat Al Samarani

Ketika perang Jawa sudah mulai redam (1830), usia beliau menginjak 10 tahun. Sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan masa remaja Kiai Sholeh Darat sudah diwarnai dengan ajaran-ajaran Islam yaitu belajar Al Quran dan Ilmu Agama. Dari usia inilah beliau mendapatkan gemblengan ajaran agama Islam secara intensif dari ayahnya, Kiai Umar. Setelah Kiai Umar sudah tidak disibukkan lagi dengan peperangan. Sebelum tahun 1830, Kiai Sholeh Darat sudah diberikan sendi-sendi aqidah dan syari’at Islam, namun belum maksimal sebab kondisi perang yang sedang berkecamuk (Ulum, 2016:39).

Kiai Sholeh Darat selain belajar dengan ayahnya, beliau juga mencari ilmu di beberapa kiai ternama pada masa itu. Di antaranya guru-guru beliau yang ditimba ilmunya adalah sebagai berikut.

1) K.H. M. Syahid Pati

Seorang ulama yang mempunyai pesantren di daerah Waturoyo, Margoyoso, Pati. Pesantren ini, hingga kini keberadaannya masih ada. Kiai M. Syahid adalah cucu dari Kiai Mutamakkin yang mana Kiai Mutamakkin adalah ulama Nusantara pada masa Paku Buwono II (1727 M-1749 M). Dari sinilah Kiai Sholeh Darat memulai pengembaraan ilmunya di Jawa. Kiai Sholeh Darat belajar beberapa kitab kepada Kiai M. Syahid yaitu Fath Al Qorib, Fath Al Mu’in, Minhaj Al Qowwim, Syarah Al Khatib, Fath Al Wahhab dan yang lainnya (Dzahir, 2012:6).

2) Kiai Raden H. Muhammad Sholeh bin Asnawi Kudus

Kepadanya Kiai Sholeh Darat mendalami kitab Tafsir Al Jalalain karya dari Syaikh Jalaluddin As Suyuthi.

3) Kiai Ishak Damaran Semarang

Kepada beliau, Kiai Sholeh Darat belajar Nahwu dan Shorof untuk memahami kaidah bahasa Arab.

4) K. Abu Abdullah Muhammad bin Hadi Baquni

Beliau merupakan salah satu mufti dari Semarang dan kepadanya Kiai Sholeh darat belajar Ilmu Falak.

5) Sayyid Ahmad Bafaqih Ba’alawi Semarang

Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar Jauhar Al Tauhid karya Syaikh Ibrahim Laqqani dan Minhaj AlAbidin karya Imam Al Ghozali.

6) Syeikh Abdul Ghani Bima

Seorang mufti Mekah dari Nusa Tenggara Barat yang berkunjung ke Semarang. Kepadanya Kiai Sholeh Darat mengkaji kitab Masail Al Sittin karya Abu Abbas Ahmad Al Mishri.

7) Mbah Ahmad (Muhammad) Alim Purworejo

Seorang ulama yang berasal dari Bulus, Gebang, Purworejo. Kepada beliau Kiai Sholeh Darat belajar Ilmu Tasawuf dan Tafsir Al-Qur’an.

Kiai Sholeh Darat juga belajar agama kepada sahabat-sahabat dari Kiai Umar, ayahandanya, seperti: Kiai Murtadlo, Kiai Darda’, Kiai Syada’, dan Kiai Bulkin. Dari sekian banyak guru-guru Kiai Sholeh Darat yang ada di Jawa menunjukkan bahwa Kiai Sholeh Darat yang di kala itu masih dalam usia tergolong belia mencerminkan akan kealimannya dan kecerdasannya. Melihat potensi yang ada di diri Kiai Sholeh Darat, ayahandanya yaitu Kiai Umar, berencana akan membawanya ke Tanah Suci yaitu Haramain (Dzahir, 2012:7). Selain untuk menunaikan haji, Kiai Umar juga bermaksud untuk memberikan pendalaman terhadap pendidikan Islam kepada Kiai Sholeh Darat (Ulum, 2016:40). Perencanaan akan hijrah ke

Tanah Suci atau Haramain juga dilandasi dengan adanya kekhawatiran akan keamanan di Jawa pasca penangkapan Pangeran Diponegoro.

b. Pendidikan di Haramain

Setelah Kiai Sholeh Darat belajar agama di beberapa daerah di Nusantara, Kiai Sholeh Darat diajak ayahandanya ke Haramain untuk beribadah haji. Sebelum mereka melakukan perjalanannya ke Haramain, Kiai Umar dan putranya yaitu Kiai Sholeh Darat, singgah terlebih dahulu di Singapura selama berbulan-bulan. Hal ini karena menanti izin resmi untuk perjalanannya ke Haramain dengan menggunakan kapal dari Belanda (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxviii).

Dalam penantiannya, Kiai Umar dan Kiai Sholeh Darat juga sempat mengajar agama di Singapura. Seiring waktu santrinya bertambah banyak yang berada di kalangan etnis Melayu dan Jawa. Di Singapura juga terdapat kerabat beliau yaitu Kiai Umar karena menikahi salah satu perempuan yang di sana, yang mana kemudian menurunkan anak perempuan yang diperistri oleh Kiai Muhammad Hadi Giri Kusumo dari Demak (Ulum, 2016:43). Bahkan di Singapura juga terdapat perkampungan yang diberi nama Kiai Sholeh. Kemudian, berangkatlah Kiai Umar dan Kiai Sholeh Darat yang diperkirakan pada tahun 1835 yang dihubungkan dengan keberangkatan Syaikh Nawawi Al Bantani pada 1828 yang mana

Syaikh Nawawi Al Bantani dengan Kiai Sholeh Darat terpaut tujuh tahun lebih tua Syaikh Nawawi Al Bantani (Dzahir, 2012:8).

Perjalanannya ke Haramain juga diwarnai berbagai rintangan, sebelum Kiai Sholeh Darat dan ayahandanya sampai di Haramain. Hal ini dikarenakan C. Snock Hurgronje telah membuat kebijakan pembatasan haji atau mempersulit orang Islam dari Nusantara yang ingin menunaikan ibadah haji. Hal ini juga disebabkan visi dan misi dari Belanda untuk menjajah perekonomian dan akidah, yang mana penentang di barisan utama adalah para ulama. Kiai atau ulama dengan gelar haji bagi mereka yang sepulang dari Haramain diartikan bahwa mereka sudah menguasai ilmu syari’at. Kemudian, apabila mereka menyebarkannya ke dalam masyarakat yang pada saat itu masih belum mengerti akan syari’at, akan terjadi gejolak perang lagi seperti pasca perang Diponegoro yang mana sangat merugikan bagi Belanda (Ulum, 2015:215-217).

Bahkan ada sebagian ulama yang nekad pergi ke Haramain untuk menunaikan ibadah haji bersama dengan keluarganya. Ia tidak menggunakan kapal yang telah disediakan oleh Belanda, tetapi menggunakan kapal layar. Beliau adalah Kiai Ghozali bin Lanah, keponakan dari Kiai Saman, teman seperjuangan Kiai Umar di barisan pasukan Pangeran Diponegoro. Dengan demikian, Haramain menjadi sebuah tempat berlabuh bagi orang Nusantara karena hal tersebut. Dalam buku Al Rihlah Al Hijaziyah yang dikarang oleh Syaikh

Muhammad Labib Al Batanuni yaitu ketika beliau sedang mengadakan perjalanan ke Hijaz pada 1327 H menyatakan, bahwa mayoritas yang mendatangi majlisnya adalah masyarakat Jawa yang meninggalkan bumi pertiwinya sebab adanya kedzaliman pemerintah terhadap umat Islam di negerinya. Jumlah asli yang terdapat di Hijaz dapat dikatakan hanya 5 % dari yang mendatangi majlis tersebut. Oleh karena itu, terbentuklah kampung Jawa, yang mayoritas mereka bertempat tinggal di Syamiah, Syi’ib Ali dan Al Falaq, Jabal Qubais, dan Syaqul Lail (tempat tinggal Kiai Sholeh Darat ketika di Makkah) (Ulum, 2016:40-43).

Kemudian sampailah Kiai Sholeh Darat di Haramain. Sesampainya disana dan selepas menunaikan ibadah haji, Kiai Umar, ayahanda Kiai Sholeh Darat meninggal dunia dan dimakamkan di sana (Darat, Terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, 2016:xxviii). Hal ini menjadi ujian yang berat bagi Kiai Sholeh Darat selama perjuangannya dalam mendalami agama di Haramain, tetapi dengan semangat untuk mendalami ilmu agama dan mengingat tujuan mengapa ke Haramain, beliau pantang menyerah dan putus asa untuk bangkit dan menuntaskan apa yang menjadi hajat beliau. Dengan semangatnya, Kiai Sholeh Darat menetap selama beberapa tahun di Haramain untuk memperdalam ilmunya di bidang agama.

Selama di Haramain Kiai Sholeh Darat belajar ke beberapa kitab dan bidang ilmu kepada beberapa ulama yang alim. Beberapa ulama’ tersebut yaitu:

1) Syaikh Muhammad Al Maqri Al Mishri Al Makki

Kepada beliau Kiai Sholeh Darat belajar kitab Ummul Barahin karya Imam Al Sanusi dan kitab Hasyiyah Al Baijuri karya Ibrahim Al Baijuri.

2) Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasballah

Salah seorang ulama’ yang mengajar di Masjid Al Haram Masjid Nabawi. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar fiqh dengan kitab Fathul Wahhab dan Syarah Al Khotib, dan belajar bahasa Arab dengan menggunakan kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta syarahnya.

3) Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan

Salah seorang mufti di Mekah dan pembaharu pada abad ke 13 H sekaligus menjadi seorang mufti dari madzhab Syafi’i. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Ihya’Ulumuddin karya Imam Al Ghozali.

4) Sayyid Muhammad Shalih Al Zawawi Al Makki

Beliau merupakan salah seorang pengajar di Masjid Nabawi. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al Ghozali juz I dan II serta belajar Shorof.

5) Syaikh Ahmad Al Nahrawi Al Mishri Al Makki

Beliau merupakan salah satu pengajar di Masjid Al Haram. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Al Hikam karya Ibnu ‘Athoillah.

6) Kiai Zahid

Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Fathul Wahhab. 7) Syaikh Umar Al Syami

Kepadanya Kiai Sholeh Darat mengkaji kitab Fathul Wahhab.

8) Syaikh Yusuf Al Sanbalawi Al Mishri

Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar kitab Al Tahrir karya Syaikh Zakariya Al Anshori.

9) Syaikh Jamal Al Hanafi

Beliau merupakan salah satu mufti dari madzhab Hanafi di Mekah. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar Tafsir Alquran.

Dengan semangat yang tumbuh dalam diri Kiai Sholeh Darat dan intelektual yang dimilikinya, menjadikan beliau disegani oleh beberapa kalangan ulama dan beberapa sahabat beliau di Haramain hingga penguasa Hijaz. Reputasi yang dimiliki Kiai Sholeh Darat dalam bidang agama memuncak hingga mendapatkan pengakuan dari penguasa Mekah pada saat Kiai Sholeh Darat menetap di Mekah. Oleh karena itu, Kiai Sholeh Darat pada akhirnya diangkat sebagai salah

satu pengajar di Haramain oleh penguasa Mekah (Dzahir, 2012:11- 12).