Peningkatan Sistem Pengembalian Transaksi Keuangan Gelap
RELEASE AND DISCHARGE SERTA RESTORATIVE JUSTICE
D. LANGKAH MENUJU ANGGOTA PENUH FINANCIAL ACTION TASK FORCE (FATF)
Membangun arsitektur pengawasan finansial global yang dapat me-minimalisasi transaksi gelap transnasional memang tidak mudah.
Salah satu tim khusus multinasional yang yang secara resmi telah mengeluarkan standar internasional untuk mencegah dan membe-ran tas tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme adalah FATF.
FATF sendiri merupakan badan antarpemerintah (inter gover-mental body) yang pada awalnya didirikan oleh negara-negara G7 yang terdiri atas Italia, Kanada, Prancis, Jerman, Inggris, Jepang, dan Amerika Serikat. Pada dasarnya, selain memberantas pencucian uang (money laundering) lintas negara, FATF juga memberantas pendanaan terorisme (terorist financing). Kerja sama lintas negara diperlukan untuk dapat dilakukan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang yang merupakan transnational crime. Keikutertaan Indonesia sebagai bagian dari forum antarnegara dalam bidang antipencucian uang dan pendanaan terorisme tentu akan dapat mengoptimalisasi pertukaran informasi dan upaya asset recovery, serta sangat memung-kinkan di lakukannya joint analysis dalam kasus tertentu yang
meli-batkan transaksi lintas negara.
Buku ini tidak diperjualbelikan.
Standar yang dikeluarkan oleh FATF dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9).
FATF sebelumnya juga telah membentuk Asian Pacific Group (APG) dan Indonesia merupakan salah satu anggotanya. Indonesia perlu memenuhi rekomendasi FATF karena sudah menjadi bagian dari APG dan berkewajiban secara berkala melaksanakan telaah sejawat (peer-to-peer review) dengan sesama negara anggota APG lainnya dalam rangka pemenuhan rekomendasi FATF. Rekomendasi tersebut dapat mematangkan upaya Indonesia untuk menjalani pemberantasan transaksi gelap, termasuk pencucian uang. Dengan demikiam, FATF dapat menjadi kendaraan yang tepat bagi Indonesia untuk memi-nimalisasi transaksi gelap transnasional, setidaknya memudahkan adanya kerja sama dengan negara lain yang tergabung dalam FATF.
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu dipenuhi suatu negara untuk dapat bergabung dalam FATF, salah satu langkah penting yang harus ditempuh Indonesia untuk dapat menjadi anggota penuh FATF adalah mendapatkan penilaian yang dinilai cukup dalam mutual evaluation review (MER) oleh asesor dari FATF. Hasil reviu MER akan menggambarkan seberapa patuh suatu negara terhadap standar yang ditetapkan oleh FATF. Secara sederhana, dapat digam-barkan bahwa semakin tinggi nilai kepatuhan suatu negara dalam reviu MER, semakin tinggi juga komitmen negara tersebut dalam pemberantasan pencucian uang. Komitmen tersebut dapat menjadi dasar pertimbangan investor untuk dapat menanamkan dananya di suatu negara. Dengan demikian, secara tidak langsung, tingginya nilai reviu MER sangat penting karena dapat menjadi tolok ukur iklim investasi suatu negara.
Saat ini, Komite TPPU dibentuk dengan tujuan untuk mengopti-malisasi reviu MER yang akan dilakukan dan melibatkan beberapa instansi nasional, seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta PPATK. Pentingnya kesiapan segenap pihak dalam MER menjadi sangat krusial mengingat hasil reviu terse-but akan digunakan sebagai dasar bagi asesor FATF menilai apakah Indonesia layak menjadi anggota penuh atau tidak. Peranan Komite
Buku ini tidak diperjualbelikan.
Indonesia Emas Berkelanjutan ...
68
TPPU sangat penting mengingat persamaan persepsi antarinstansi juga akan dinilai dalam reviu MER. Reviu MER menilai persepsi sebuah negara, bukan hanya beberapa instansi semata. Artinya, tanpa adanya koordinasi dan persamaan persepsi lintas instansi, maka reviu MER dapat tidak optimal.
Selain itu, jika tidak memenuhi standar sebagaimana telah dite-tapkan oleh FATF, secara tidak langsung, Indonesia dapat dianggap belum memiliki kredibilitas tinggi dalam investasi internasional atau dengan kata lain dipandang memiliki risiko pengembalian hutang yang tidak tinggi. Hal ini tentu akan berdampak pada tingkat suku bunga yang harus dibayarkan Indonesia jika kelak perlu melakukan pinjam an ke luar negeri. Faktor tersebut juga dapat menjadi pertim-bangan khusus bagi calon investor yang akan menanamkan investasi-nya di Indonesia kelak. Sebalikinvestasi-nya, keikutsertaan Indonesia dalam forum dimaksud dapat meningkatkan bargaining position dalam dunia bisnis internasional. Selain itu, setiap anggota FATF juga memiliki hak suara dalam pengembangan standar sehingga Indonesia dapat menyuarakan persepsi dalam penetapan standar atau kajian yang kelak dilakukan oleh FATF.
Komite TPPU juga menggunakan national risk assessment (NRA) untuk membantu para stakeholders dalam memahami dan memetakan tingkat segala risiko terkait TPPU yang mungkin dihadapi oleh Indonesia dengan tujuan penanganan lebih fokus pada tingkat risiko tertinggi. Penanganan berbasis risiko ini selain sesuai dengan rekomendasi FATF juga menjadi modal dasar pengambilan keputusan untuk pengawasan transaksi gelap transnasional dikarenakan sumber daya yang terbatas. Dalam upaya mitigasi risiko transaksi gelap trans-nasional, regulasi dan ketentuan serta aksi yang dijalankan sebaiknya dapat sejalan dengan hasil penilaian risiko yang sebelumnya telah disusun.
E. PENUTUP
Selain perlu adanya penelaahan kembali atas sistem pengembalian berdasar release and discharge dan restorative justice, kolaborasi
multi-Buku ini tidak diperjualbelikan.
instansi dalam skala nasional serta kolaborasi lintas negara melalui forum terkait, salah satunya FATF, juga perlu dilakukan. Penelaahan kembali atas sistem pengembalian menitikberatkan pada faktor pem beda atau insentif tertentu bagi para obligor yang kooperatif dan yang tidak. Hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut sehingga dalam penetapannya tidak hanya terpaku pada proses yang hanya terpaku pada pendekatan formal dan legal saja. Sistem pengembalian berdasar release and discharge atau justru restorative justice yang dinilai lebih efektif bagi penanggulangan transaksi gelap di tanah air juga perlu dipertimbangkan. Kajian yang dilakukan untuk memilih sistem terse-but diharapkan melibatkan unsur-unsur sebagaimana tertera dalam konsep pentaheliks, seperti pemerintah selaku pengambil kebijakan, akademisi, pengusaha/swasta, serta pers atau media, agar pengam-bilan keputusan dapat dilakukan melalui kacamata yang luas dan komprehensif. Selain itu, perlu adanya komitmen kuat multiinstansi di taraf nasional untuk dapat meningkatkan pengawasan atas transaksi gelap. Indonesia sendiri telah memiliki Komite TPPU yang berfokus pada kolaborasi kementerian/lembaga untuk dapat menangani ber ba gai isu TPPU. Terakhir, merespons semakin kecilnya batasan (boundaries) yang ada bagi kegiatan transaksi lintas batas yurisdiksi di era globalisasi, Indonesia perlu bergabung dalam forum internasional yang dapat menjembatani pengawasan transaksi gelap antarnegara.
Hal ini menjadi penting mengingat dalam banyak kasus perbedaan sistem hukum di berbagai negara menjadi hambatan tersendiri dalam pengawasan transaksi gelap lintas negara dan lintas mata uang. Solusi tersebut diharapkan mampu menjawab tantangan penguatan sistem pengembalian demi terwujudnya efektivitas pencegahan dan pem-berantasan transaksi keuangan gelap dari kejahatan finansial yang merugikan negara.
REFERENSI
International Relations Edu. (2014). “What is the G7? Its purpose and history of influence.” Diakses dari https://www.internationalrelationsedu.org/
what-is-the-g7-its-purpose-and-history-of-influence/.
Buku ini tidak diperjualbelikan.
Indonesia Emas Berkelanjutan ...
70
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). (2020).
Rencana Strategis Tahun 2020-2014 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Jakarta: PPATK.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). (2020, September 24). Komite TPPU: Satukan tekad hadapai mutual evaluation review FATF [Siaran pers]. Diakses dari https://www.ppatk.
go.id/siaran_pers/read/1096/siaran-pers-komite-tppu-satukan-tekad-hadapai-mutual-evaluation-review-fatf.html
Riawan T. (2014). Hukum keuangan negara. Jakarta: Grasindo.
Senoadji. (2006). Korupsi dan pembalikan beban pembuktian. Jakarta: Diadit Media.
Supadmo I. I. (2008). Prinsip pengembalian kauangan negara akibat tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata. Surabaya: Airlangga Surabaya.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. (2010). https://www.kpk.go.id/images/
pdf/Undang-undang/uu_8_tahun_2010_tindak_pidana_pencucian_
uang.pdf
United Nations. (2006). Handbook on restorative justice programmes. New York: UN Publication.
Zulfi D. Z. (2012). Independensi Bank Indonesia dan penyelesaian bank bermasalah. Bandung: Keni Media.