• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM INTEGRITAS NASIONAL DAN PERAN MASYARAKAT SIPIL

Dalam dokumen HUKUM,HAM DAN PEMERINTAHAN (Halaman 109-113)

Peningkatan Pencegahan Berbagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi

B. SISTEM INTEGRITAS NASIONAL DAN PERAN MASYARAKAT SIPIL

Usaha pemberantasan korupsi sebenarnya bukan hanya tanggung-jawab pemerintah terutama para penegak hukum, tetapi merupakan kombinasi usaha check and balances oleh seluruh lapisan masyarakat

Buku ini tidak diperjualbelikan.

tanpa terkecuali dalam sebuah sistem yang teratur (Pope, 2000). Atas dasar inilah, Jeremy Pope (2000) mengajukan ide mengenai sistem integritas nasional. Menurutnya, efektivitas pemberantasan korupsi hanya mungkin terwujud jika setiap pilar di sebuah negara memeran-kan fungsinya dengan optimal dan terintegrasi, saling mendukung antara satu dengan yang lain. Pilar tersebut adalah legislatif yang ter-pilih, peranan eksekutif, sistem peradilan independen, auditor negara, ombudsman, badan antikorupsi independen, pelayanan publik, pemerintah daerah, media independen dan bebas, masyarakat sipil, sektor perusahaan swasta, serta aktor dan mekanisme internasional.

Kedua belas pilar tersebut hanya dapat berdiri kokoh jika ditopang oleh kesadaran publik berbasis nilai dan pranata yang ber laku di masyarakat sehingga membentuk bangunan nasional berintegritas dengan ujuan akhir untuk mencapai pembangunan yang berkelan-jutan, supremasi hukum, dan kehidupan yang berkualitas.

Seiring dengan semakin terdelegasinya kekuasaan dari pusat ke daerah, peluang korupsi berpindah kepada para aktor baru yang me-miliki kontak langsung dengan masyarakat sipil. Artinya, kemampuan masyarakat sipil dalam memonitor dan mendeteksi perilaku koruptif para pejabat publik meningkat pesat karena kedekatan dan familiaritas terhadap isu lokal (Pope, 2000). Hal ini sesuai dengan konteks Indo-nesia yang menerapkan desentralisasi, terutama melalui dana desa.

Masyarakat sipil, dalam hal ini adalah perguruan tinggi, LSM, ormas, dan komunitas sipil, menjadi aktor utama dalam mengawal isu ini.

1. Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi merupakan pusat keunggulan yang mencetak sarjana setiap tahunnya yang diharapkan siap berkiprah di masyarakat.

Pergu ruan tinggi dapat dikatakan sebagai inkubator utama untuk me mastikan tersedianya agen-agen perubahan dan perbaikan, tidak ter kecuali dalam pemberantasan korupsi. Hal ini bermuara pada per soalan mengenai definisi korupsi di mana perguruan tinggi juga ber peran. Korupsi, sebagaimana yang umumnya ditampilkan di media, terkesan hanya dapat dilakukan oleh para politisi, birokrat,

Buku ini tidak diperjualbelikan.

Indonesia Emas Berkelanjutan ...

90

atau pengusaha, padahal korupsi mengandung makna yang jauh lebih luas. Merujuk pada definisi korupsi oleh TI (2009) yang dinyatakan sebagai “penyalahgunaan atas kewenangan yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi”, maka pada dasarnya seluruh aspek kehidupan dan pekerjaan memiliki potensi korupsinya masing-masing. Sebagai contoh, seorang sopir taksi yang biaya perjalanan penumpangnya diukur dengan argo berbasis jarak dapat melakukan korupsi ketika ia memperpanjang jarak perjalanan yang tidak dibutuhkan demi menambah pemasukannya.

Ketika makna korupsi dibatasi sebagai pemerasan, penyuapan, dan nepotisme (Alatas, 1982), ketiga bentuk tersebut hanya mungkin terjadi jika para ilmuwan dan profesional membiarkan potensi korupsi itu berkembang. Inilah yang dimaksud Alatas (1987) sebagai korupsi otogenik, yaitu ketika sebuah kejahatan berlindung di balik undang-undang atau aturan hukum legal lainnya, padahal ia mengandung unsur korupsi yang mungkin sangat besar. Sebagai contoh, seorang insinyur yang mendesain sebuah jembatan tentu mengetahui seluk-beluk bahan yang dibutuhkan sekaligus biaya pembangunannya.

Namun, ketika ia diam saja saat bahan yang digunakan atau proses pembangunannya tidak sesuai dengan biaya, maka ia telah berkon-tribusi dalam praktik korupsi.

Perguruan tinggi perlu memetakan potensi perilaku koruptif pada profesi yang umumnya menjadi orientasi praktis mahasiswa.

Pemetaan itu kemudian dilanjutkan dengan pemuatan agenda pen-didikan antikorupsi. Jika penambahan mata kuliah khusus untuk menjangkau aspek kognitif mahasiswa tidak memungkinkan, input wawasan semacam ini dapat ditambahkan ke dalam mata kuliah kewarganegaraan, ilmu etika profesi, atau semacamnya. Di sisi lain, aspek afektif dan psikomotorik dapat dijangkau, terutama dengan penugasan dalam berbagai kesempatan, seperti laporan investigasi.

Kegiatan Kuliah Kerja Nyata dan sejenisnya perlu dimanfaatkan se-bagai momentum untuk mendiseminasi wawasan seputar antikorupsi kepada masyarakat umum. Selain memberikan pengalaman kepada para mahasiswa untuk menjadi penyuluh, nilai-nilai integritas dan

kesadaran dalam membangun lingkungan yang antikorupsi.

Buku ini tidak diperjualbelikan.

Lebih jauh, pusat studi yang berkonsentrasi pada isu kebijakan publik, penegakan hukum, dan antikorupsi perlu diinisiasi agar tri dharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, peneli-tian, dan pengabdian masyarakat, dapat diarahkan untuk mencegah perilaku koruptif di daerah. Pusat studi semacam ini dapat menjadi mentor sekaligus supervisor bagi gerakan berbasis kampus, seperti badan eksekutif mahasiswa dan unit kegiatan mahasiswa yang memi-liki konsentrasi pada isu-isu ini. Hanya saja, kunci utama suskesnya agenda ini adalah lingkungan kampus yang berintegritas dengan keteladanan dari rektor, para guru besar, dan tenaga pengajar.

2. LSM, ORMAS, DAN KOMUNITAS SIPIL

Selain perguruan tinggi, LSM, ormas, dan komunitas sipil menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan sistem integritas nasio nal. Sejumlah nama dari kalangan LSM yang telah bertahun-tahun mendedikasikan dirinya pada isu ini dapat menjadi mitra strategis, baik yang merupakan perpanjangan tangan pihak luar, se perti TI Indonesia, maupun yang merupakan inisiatif masyarakat, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), dan sebagainya. Sejumlah ormas besar keagamaan, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Per-wakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), juga memiliki perhatian pada isu integritas, meskipun terbatas karena cakupan agenda yang teramat besar. Ada pula inisiatif dari kalangan lain berbasis komunitas, seperti Future Leaders on Anti-Corruption (FLAC), Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK), dan masih banyak lagi.

Berbicara seputar LSM, banyak tantangan yang perlu di atasi, ter-utama soal pendanaan. Dalam konteks ini, TI Indonesia (2017) dalam publikasinya berjudul Korupsi, Patronase dan Gerakan Anti-Korupsi menerangkan bahwa sejumlah LSM dengan bantuan pendanaan yang besar dari pendonor asing memang dapat membentuk organisasi yang profesional, merekrut lulusan terbaik dari kampus terkemuka, serta menjalin kerja sama erat dengan para jurnalis untuk menjalankan

Buku ini tidak diperjualbelikan.

Indonesia Emas Berkelanjutan ...

92

tugas advokasinya. Meskipun demikian, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya justru terjebak pada problematika “kecanduan donor”

yang berimplikasi pada beberapa hal. Sebagai contoh, LSM tidak dapat mengadvokasi kepentingan publik strategis di luar kesepakatan dan kepentingan modal internasional atau investasi global yang berpo-tensi mengancam independensi. Kondisi di mana profesionalitas tersebut membuat LSM macam ini tidak memiliki basis sosial-politik di masyarakat akar rumput karena mereka adalah konsumen dari industri media.

Dalam rangka meningkatkan kemandirian pendanaan, ICW (2020a), sebagaimana dijelaskan dalam laporan tahunan 2019, ber-inisiatif mendirikan satu unit usaha dengan konsep social entrepre-neurship. Di samping itu, problematika regenerasi LSM juga coba diatasi dengan langkah ini. Meskipun sejauh pengamatan penulis belum ditemukan penelitian yang membuktikan efektivitas langkah tersebut, namun langkah evaluatif ini tetap perlu diapresiasi.

C. PENGUATAN JEJARING EDUKASI DAN ADVOKASI

Dalam dokumen HUKUM,HAM DAN PEMERINTAHAN (Halaman 109-113)