• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAHANAN DALAM KUHAP

Dalam dokumen HUKUM,HAM DAN PEMERINTAHAN (Halaman 71-75)

Implementasi Prinsip Due Process of Law

A. PENAHANAN DALAM KUHAP

Pengaturan lama masa penahanan dalam KUHAP salah satunya bertujuan untuk mengurangi overcrowding di rutan bagi para terduga tindak pidana dalam Pasal 24, 25, 26, 27, dan 28. Lama masa pena-hanan dalam KUHAP tercantum dalam Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Masa Penahanan dalam KUHAP

Penahanan Waktu Penahanan Total

Penyidik 20 hari diperpanjang 40 hari 60 hari

Penuntut Umum 20 hari diperpanjang 30 hari 50 hari Hakim Pengadilan Negeri 30 hari diperpanjang 60 hari 90 hari Hakim Pengadilan Tinggi (Banding) 30 hari diperpanjang 60 hari 90 hari Hakim Mahkamah Agung (Kasasi) 50 hari diperpanjang 60 hari 110 hari

Dalam hal ini, total masa penahanan dalam sistem peradilan pidana Indonesia sebelum dijatuhkan putusan inkracht adalah 400 hari atau sekitar 13 bulan. Hal tersebut merupakan salah satu per-masalahan yang menjadi alasan adanya overcrowding di Indonesia karena seseorang dapat menghabiskan waktu sampai dengan 13 bulan di dalam penjara sampai dengan putusan inkracht dijatuhkan atau setidaknya jika terpidana tidak melakukan upaya hukum banding, maka ia dapat dilakukan penahanan selama 200 hari atau sekitar 6 bulan sebelum dijatuhi putusan inkracht.

Tatanan peradilan pidana di Indonesia memungkinkan bagi se seorang untuk tidak ditahan, namun proses hukum tetap berjalan.

Dalam hal ini, KUHAP membagi alasan penahanan menjadi dua, yaitu alasan subjektif dan objektif. Alasan subjektif pada dasarnya merupakan alasan yang bersifat pencegahan dan menitikberatkan pada persangkaan atas kemungkinan tindakan yang dilakukan oleh tersangka pelaku tindak pidana dalam rangka menutupi penyidikan.

Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengatur alasan subjektif penahanan, seperti (1) adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa

tersangka akan melarikan diri, (2) adanya keadaan yang menimbulkan

Buku ini tidak diperjualbelikan.

kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan alat bukti, dan (3) adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana.

Alasan objektif penahanan merupakan alasan yang menitik be-ratkan pada materi pidana yang dilakukan serta pertimbangan tingkat kerusakan dan akibat yang timbul dari pelanggaran tindak pidana.

Pasal 21 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan, pemberian bantuan, atau percobaan tindak pidana dalam hal ancaman tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau lebih. Selain itu, terdapat beberapa tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah lima tahun, namun masuk dalam kategori alasan objektif (Tabel 5.2).

Tabel 5.2 Daftar Perbuatan Terancam Pidana Penjara di Bawah Lima Tahun dengan Alasan Objektif

No. Pasal Perbuatan

1. Pasal 282 ayat (3)

KUHP Menyiarkan atau mempertunjukan di muka umum suatu gambaran atau benda yang isinya melanggar kesusilaan (dilakukan secara terus menerus atau dilakukan sebagai suatu mata pencaharian).

2. Pasal 296 KUHP Menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain (dilakukan secara terus menerus atau dilakukan sebagai suatu mata pencaharian).

3. Pasal 335 ayat (1)

KUHP Memaksa orang lain untuk melakukan, tidak mela­

kukan, atau membiarkan sesuatu dengan meng­

gunakan kekerasan atau ancaman kekerasan 4. Pasal 351 ayat (1)

KUHP Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat.

5. Pasal 353 ayat (1)

KUHP Tindak pidana penganiayaan yang didahului dengan suatu rencana dan mengakibatkan luka berat.

6. Pasal 372 KUHP Tindak pidana penggelapan.

Buku ini tidak diperjualbelikan.

Indonesia Emas Berkelanjutan ...

52

No. Pasal Perbuatan

7. Pasal 378 KUHP Menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan dengan tujuan menggerakan orang lain untuk menyerahkan suatu barang, memberi utang, atau menghapus piutang.

8. Pasal 379 a KUHP Membeli barang­barang namun tidak membayar seluruh barang yang dibeli (dilakukan secara terus menerus atau dilakukan sebagai suatu mata pencaharian).

9. Pasal 453 KUHP Nakhoda kapal Indonesia yang setelah menerima suatu pekerjaan mengundurkan diri secara mela-wan hukum sebelum masa perjanjian kerja habis.

10. Pasal 454 KUHP Nakhoda kapal Indonesia yang mengundurkan diri secara melawan hukum sebelum masa perjanjian kerja habis dan karena pengunduran dirinya berpotensi terjadinya suatu bahaya bagi kapal, penumpang, atau muatan kapal.

11. Pasal 455 KUHP Anak buah kapal yang tidak mengikuti atau tidak meneruskan perjalanan yang telah disetujuinya secara melawan hukum.

12. Pasal 459 KUHP Penumpang kapal yang menyerang nakhoda dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau anak buah kapal Indonesia yang berada dalam kapal berdasarkan pekerjaan menyerang orang yang lebih tinggi pangkatnya (insubordinasi).

13. Pasal 480 KUHP Melakukan transaksi terhadap suatu benda yang sepatutnya diduga diperoleh dari kejahatan penadahan.

14. Pasal 506 KUHP Memperoleh keuntungan dari suatu perbuatan cabul seorang wanita (dilakukan sebagai suatu mata pencaharian).

15. Pasal 25 dan 26 Rechtenordon-nantie

Kejahatan terhadap bea dan cukai.

16. Pasal 1, 2 dan 4

No. Pasal Perbuatan

Secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan oleh orang lain, dalam hal ini narkotika yang dimaksud adalah daun koka atau tanaman ganja.

18. Pasal 41 UU

Narkotika Pelanggaran yang dilakukan oleh importir dalam kaitannya dengan izin dan kewajiban melakukan laporan bulanan terkait dengan narkotika.

19. Pasal 42 UU

Narkotika Pelanggaran yang dilakukan oleh farmasi, apotek, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan, dan pabrik farmasi terkait dengan kewajiban melakukan laporan bulanan terkait dengan penggunaan, produksi, dan distribusi narkotika.

20. Pasal 43 UU

Narkotika Pelanggaran yang dilakukan oleh nakhoda, pilot, atau pengemudi terkait dengan distribusi dan pengangkutan narkotika yang dilakukan secara melawan hukum.

21. Pasal 47 UU

Narkotika Saksi di pengadilan yang menyebut nama, alamat, atau data pribadi lain dari pelapor dalam kaitannya dengan kasus narkotika yang sedang diperiksa di pengadilan.

22. Pasal 48 UU

Narkotika Seseorang yang tidak melakukan pelaporan kepada pihak yang berwajib atas pengetahuannya tentang narkotika yang tidak sah.

Informasi yang disajikan dalam tabel di atas bersifat normatif de ngan mengacu pada KUHP yang telah memmuat beberapa perubahan posisi pasal dan pengaturan mengenai tindak pidana dengan ancaman pidana penjara di bawah lima tahun, namun masuk kategori tindak pidana yang wajib untuk dilakukan penahanan, khususnya nomor 15–22, yaitu tindak pidana yang diatur dalam Rechtenordonnantie, Undang-Undang No. 8 Drt. Tahun 1995, dan UU Narkotika yang dewasa ini telah banyak mengalami perubahan mengikuti dinamika perubahan sosial dan hukum.

Buku ini tidak diperjualbelikan.

Indonesia Emas Berkelanjutan ...

54

Dalam hal ini, jika diperhatikan secara normatif, alasan subjektif dan normatif berdiri sendiri-sendiri dan bukan merupakan suatu ma-teri yang bersifat komulatif karena tidak ada penjelasan yang menya-takan bahwa kedua alasan penahanan tersebut harus terpenuhi secara bersama-sama, namun KUHP hanya membagi alasan penahanan menjadi subjektif dan objektif. Artinya, walaupun ancam an pidana seseorang tidak termasuk ke dalam alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam alasan objektif pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP, penegak hukum memiliki kecurigaan terhadap terduga pelaku tin-dak pidana untuk melarikan diri, menghancurkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan pidananya. Jika diasumsikan demikian, hampir seluruh terduga tindak pidana yang dicurigai akan melakukan tindakan pada alasan subjektif akan dilakukan penahanan dengan tidak melihat tingkat kejahatan yang dilakukan, baik dampak yang dihasilkan maupun jumlah ancaman pidana dan juga sebaliknya.

B. UPAYA YURIDIS PEMERINTAH DALAM

Dalam dokumen HUKUM,HAM DAN PEMERINTAHAN (Halaman 71-75)