Perubahan Konsep Dasar Pemidanaan dan Penindakan: Keadilan Restoratif
C. REFLEKSI KEADILAN RESTORATIF DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM
Jika ketiga faktor tersebut dikaitkan dengan penjelasan keadilan restoratif di atas, maka dapat dipahami sebagai berikut.
1. Substansi hukum keadilan restoratif sudah diimplementasikan dengan baik setidak-tidaknya melalui Perkejaksaan 15/2020, Perkapolri 6/2019, dan SE Kapolri 8/2018, di mana beberapa peraturan tersebut telah memberikan legal standing yang jelas mengenai pelaksanaan keadilan restoratif, mulai dari definisi, syarat, mekanisme, dan lainnya.
2. Struktur hukum dapat dilihat bahwa pihak Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia secara normatif telah memberikan kesan mendukung keadilan restoratif me-lalui beberapa peraturan tersebut. Lebih jauh, Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Kep. Dirjen BPU MARI 1691/2020 telah memerintahkan kepada jajaran hakim di seluruh pe nga dilan negeri untuk melaksanakan keadilan restoratif. Hal tersebut merupakan refleksi dari kesiapan struktur hukum dalam mengimplementasikan keadilan restoratif. Namun, selain eksistensi institusi penegak hukum, kualitas dan realitas pelaksanaan juga harus seimbang dan sejalan dengan substansi hukum yang sudah ada.
3. Budaya hukum di Indonesia dewasa ini belum memiliki kesadaran mengenai dampak positif dari pelaksanaan keadilan restoratif, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Nasional melalui Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Kemanan, Slamet Soedarsono, menilai pelaksa-naan keadilan restoratif masih harus ditingkatkan. Hal tersebut dapat dilihat dari data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencatat Lembaga Pemasyarakatan (lapas) yang sewajarnya memiliki daya tampung 94.748 orang, saat ini menampung 189.414 orang. Slamet Soedar-sono menambahkan bahwa sebagian besar masyarakat masih
Buku ini tidak diperjualbelikan.
memiliki pemikiran punitif atau penghukuman (efek jera) yang menghambat pelaksanaan keadilan restoratif dalam praktiknya (Kementerian Bappenas, 2020).
D. PENUTUP
Walaupun secara teori sistem efek jera di Indonesia dilakukan dengan soft-approach melalui sistem pemasyarakatan, budaya masyarakat yang melihat mantan narapidana tetap sebagai seorang pelaku tindak pidana membuat mereka sulit untuk diterima di masyarakat. Terlebih lagi, narapidana yang telah menjalani masa pidananya tetap tercatat seumur hidupnya sebagai pelaku tindak pidana yang dapat terlihat melalui Surat Keterangan Catatan Kejahatan (SKCK) jika dibutuhkan untuk mencari pekerjaan. Sebagian besar pemberi kerja tidak akan menerima calon pekerja yang memiliki catatan kejahatan dengan tidak mempertimbangkan kejahatan yang dilakukan apakah pidana ringan atau berat. Oleh karena itu, sistem efek jera selalu dijadikan prioritas dalam menyelesaikan suatu tindak pidana akan berdampak buruk tidak hanya kepada pribadi narapidana, namun berdampak juga pada perkembangan negara, yaitu meningkatnya pengangguran karena catatan kejahatan selalu melekat pada pribadi seseorang dan meningkatnya tindak pidana karena para mantan narapidana yang telah menyelesaikan masa pidananya tidak dapat memiliki pekerja-an layak lalu terpaksa untuk melakukpekerja-an tindak pidpekerja-ana lagi untuk meme nuhi kebutuhan hidupnya dan menjadikannya sebagai seorang residivis.
Oleh karena itu, seharusnya terkait dengan pidana umum yang dapat diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif tetap di-prioritaskan untuk diselesaikan dengan pendekatan restoratif sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana yang tentunya dengan tetap memperhatikan mekanisme, persyaratan, dan batasan yang telah ditetapkan dalam Perkejaksaan 15/2020, Perkapolri 6/2019, dan SE Kapolri 8/2018 sebagai hukum positif di Indonesia karena pendekatan restoratif memiliki beberapa dampak positif, namun tidak terbatas pada hal-hal seperti
Buku ini tidak diperjualbelikan.
Indonesia Emas Berkelanjutan ...
44
1. meminimalisasi adanya diskriminasi yang dialami oleh mantan narapidana oleh masyarakat umum dalam kehidupan sosial, 2. mengurangi over-capacity lapas di Indonesia sebagai bentuk
penghargaan terhadap hak asasi manusia, 3. mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia,
4. mengurangi pengeluaran negara yang digunakan untuk keper-luan lapas, dan
5. menegaskan kembali tujuan hukum pidana modern dalam bingkai negara Indonesia, yaitu bukan lagi pada tujuan penjeraan, namun mengedepankan nilai-nilai Pancasila berupa penyele-sai an masalah yang berorientasi pada keseimbangan sosial me lalui musyawarah mufakat (dimuat dalam sila kelima), di mana keadilan sosial dapat tercipta jika seluruh pihak dalam permasalahan memiliki kedudukan sama dan memiliki haknya sendiri untuk menyelesaikan permasalahan dengan catatan tetap tunduk pada bingkai hukum positif sebagaimana dimaksud di atas. Namun, substansi hukum yang sudah ada jika tidak di-jalankan secara berkesinambungan dengan struktur hukum dan budaya hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat akan menjadi tidak optimal dan tidak efisien dalam pelaksanaannya.
Negara melalui institusi penegak hukum harus selalu meng utama-kan meutama-kanisme keadilan restoratif dalam segala proses penegautama-kan hukum yang termasuk ke dalam kategori tindak pidana yang dapat dilakukan restorasi sesuai dengan hukum positif Indonesia yang dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut.
1. Pemberian edukasi kepada masyarakat bahwa substansi hukum mekanisme keadilan restoratif sudah ada dan berlaku. Edukasi dapat dilakukan dengan berbagai cara mengingat era digitalisasi yang sudah semakin berkembang memungkinkan penyebaran informasi dilakukan dalam hitungan detik.
2. Pengubahan cara berfikir masyarakat bahwa merestorasi sesuatu yang dapat direstorasi lebih berdampak positif, baik dari sisi
Buku ini tidak diperjualbelikan.
pelaku tindak pidana maupun korban, mengingat mekanisme keadilan restoratif memiliki syarat utama, salah satunya membuat perjanjian perdamaian antara korban dan pelaku tindak pidana.
3. Negara sebagai subjek hukum yang juga dapat menjadi korban tindak pidana juga harus mempertimbangkan penggunaan me-kanisme keadilan restoratif sepanjang kejahatan tersebut dapat direstorasi dan memenuhi persyaratan. Misalnya, perbuatan vandalisme terhadap properti negara sepanjang dapat direstorasi oleh pelaku tidak perlu dilakukan pemidanaan.
4. Pembangunan kebiasaan di dalam internal institusi penegak hukum untuk selalu merekomendasikan kepada korban agar bersedia untuk terlibat secara aktif dalam penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif.
5. Selalu melakukan pembaharuan substansi hukum jika terdapat perkembangan di dalam masyarakat sosial terkait dengan me-kanisme keadilan restoratif.
REFERENSI
Aryana, I. W. P. S. (2015). Efektivitas pidana penjara dalam membina narapidana. Jurnal Ilmu Hukum, 11(21), 39–44.
Ball, J. C. (1955). The deterrence concept in criminology and law. Journal of Criminal Law and Criminology, 46(3), 347–354.
Friedman, L. M. (1975). The legal system: A social science perspective. New York, AS: Russell Sage Foundation.
Gavrielides, T. (2007). Restorative justice theory and practice: Addressing the discrepancy. New York, AS: Criminal Justice Press.
Gruber, A. (2010). A distributive theory of criminal law. William & Mary Law Review, 52(1), 1–73.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Nasional. (2020, Maret 13). “Bappenas dukung penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana Indonesia.” Diakses dari https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/bappenas- dukung-penerapan-keadilan-restoratif-dalam-sistem-peradilan-pidana-indonesia/
Buku ini tidak diperjualbelikan.
Indonesia Emas Berkelanjutan ...
46
Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Rosana, E. (2013). Hukum dan perkembangan masyarakat. Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam, 9(1), 99–118. https://doi.org/10.24042/tps.
v9i1.1578
Saifullah. (2007). Refleksi sosiologi hukum. Bandung: Refika Aditama.
Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Sutrisno, A. E. (2020, April 18). “Meretas kebijakan asimilasi bagi narapidana.” Diakses dari http://www.ditjenpas.go.id/meretas-kebijakan-asimilasi-bagi-narapidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.