• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSATAKA

2.3. Evaluasi Kebijakan/Evaluasi Program

Evaluasi diartikan sebagai riset untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi, menilainya dengan membandingkannya dengan indikator evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi (Wirawan, 2016).

Evaluasi dilakukan secara independen untuk menilai proses kegiatan program baik dari aspek efesiensi dan efektifitas kegiatan maupun dampak dari program. Kegiatan evaluasi program mencakup aspek monitoring kesinambungan (proses partisipasi dan outcome), pelaksanaan dan output kegiatan, evaluasi dampak program, dan evaluasi yang meliputi proses, hasil, dan pendanaan.

Evaluasi program bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai hal yang muncul dalam pelaksanaan program sehingga memberi kesempatan kepada pelaksanan program untuk melakukan perbaikan yang diperlukan berdasarkan rekomendasi dan hasil pemantauan, dengan kata lain evaluasi program berguna untuk melihat apakah intervensi input yang dilakukan telah memberikan dampak sesuai harapan program yang ditetapkan.

19 2.4. Gambaran Umum Program-Program Terkait Sanitasi dan Air Minum

1. Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) adalah program nasional pembangunan sanitasi di Indonesia yang digagas oleh Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS) dengan mempromosikan Strategi Sanitasi Kota (SSK). SSK merupakan dokumen cetak biru berisi pembangunan sanitasi sebuah kota/Kabupaten yang komprehensif (http://www.ampl.or.id).

PPSP diarahkan pada 3 sasaran, yakni:

a. Menghentikan perilaku buang air besar sembarangan (BABS) pada tahun 2014, di perkotaan dan pedesaan.

b. Pengurangan timbunan sampah dari sumbernya dan penanganan sampah yang ramah lingkungan

c. Pengurangan genangan di 100 Kabupaten/kota seluas 22.500 hektar.

2. Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) adalah salah satu program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dengan dukungan Bank Dunia, program ini dilaksanakan di wilayah perdesaan dan pinggiran kota.

Program Pamsimas bertujuan untuk meningkatkan jumlah fasilitas pada warga masyarakat kurang terlayani termasuk masyarakat berpendapatan rendah di wilayah perdesaan dan peri-urban. Dengan Pamsimas, diharapkan mereka dapat mengakses pelayanan air minum dan sanitasi yang berkelanjutan serta meningkatkan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat. Penerapan program ini dalam rangka mendukung pencapaian target MDGs (sektor air minum dan sanitasi) melalui pengarusutamaan dan perluasan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat.

20 3. SANIMAS atau Sanitasi Berbasis Masyarakat adalah program untuk menyediakan prasarana air limbah bagi masyarakat di daerah kumuh padat perkotaan.

Dalam pembangunan fasilitas Sanimas, digunakan konsep pemberdayaan masyarakat untuk menjadikan masyarakat aktor utama dalam proses perencanaan, pembangunan, operasional dan pemeliharaan fasilitas sanitasi komunal, dengan tujuan agar fasilitas yang terbangun dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan. Konsep tersebut menggunakan prinsip-prinsip pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan berbasis-masyarakat seperti: pilihan yang diinformasikan sebagai dasar dalam pendekatan tanggap kebutuhan, air merupakan benda social dan ekonomi, pembangunan berwawasan lingkungan, peran aktif masyarakat, serta penerapan prinsip pemulihan biaya.

4. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. STBM menjadi acuan nasional untuk program sanitasi berbasis masyarakat sejak lahirnya Kepmenkes No 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis masyarakat.

STBM memiliki 6 (enam) strategi nasional, yaitu:

a. Penciptaan lingkungan yang kondusif (enabling environment) b. Peningkatan kebutuhan sanitasi (demand creation)

c. Peningkatan penyediaan sanitasi (supply improvement) d. Pengelolaan pengetahuan (knowledge management) e. Pembiayaan

f. Pemantauan dan evaluasi Keunggulan program :

a. Satu-satunya program yang mengusung non subsidi untuk pembangunan sarana jamban tingkat rumah tangga.

b. Sampai saat ini masih menjadi program sanitasi yang terbukti paling cepat meningkatkan akses sanitasi dan perubahan perilaku higiene di Indonesia.

21 c. STBM adalah satu-satunya program sanitasi yang menyasar

langsung ke tingkat rumah tangga.

d. STBM berfokus pada perubahan perilaku, bukan pembangunan sarana.

5. NAWASIS atau National Water Supply and Sanitation Information Services merupakan pusat data dan informasi berbasis internet yang sedang dikembangkan untuk memantau perkembangan sektor air minum dan sanitasi di Indonesia. NAWASIS tidak hanya mengevaluasi kinerja sektor AMPL namun juga sebagai kesatuan sistem yang akan memberikan layanan advokasi dan peningkatan kapasitas dalam rangka meningkatkan pembangunan air minum dan sanitasi. NAWASIS tidak dimaksudkan untuk menggantikan berbagai sistem informasi yang telah ada, namun menjadi penghubung berbagai sistem data dan informasi yang telah ada di sektor AMPL. NAWASIS ditujukan menjadi Kebijakan Pengelolaan Data dan Informasi yang akan diadopsi pada RPJMN 2015-2019.

NAWASIS merupakan instrument pendukung dalam memberikan layanan yang meliputi:

- Manajemen Data dan Informasi

Layanan ini mencakup pengelolaan data dan penyediaan produk dan layanan, seperti majalah Percik dan berbagai situs AMPL (pengelolaan pengetahuan, nawasis.info, dan digilib AMPL)

- Advokasi

Layanan ini mencakup pengembangan strategi advokasi, optimalisasi, dan koordinasi advokasi

- Penguatan Kapasitas

Layanan ini mencakup penyediaan modul dan panduan, pertukaran pengetahuan, dan diseminasi pembelajaran

Salah satu instrument utama NAWASIS adalah situs nawasis.info yang dapat digunakan oleh pengguna untuk memasukkan dan mengetahui data sektor air minum dan sanitasi. Data tersebut kemudian akan diolah NAWASIS menjadi informasi yang lebih mudah, sehingga dapat dipahami oleh semua pengguna. Dengan NAWASIS sebagai portal maka alur input

22 data tidak akan dilakukan berulang-ulang dan lebih efisien karena adanya kolaborasi data antar program tersebut.

6. RPAM merupakan usaha pencegahan, perlindungan, serta pengendalian pasokan air minum bagi masyarakat Indonesia. RPAM merupakan adopsi dari konsep Water Safety Plan milik World Health Organization yang mengamankan air minum melalui pendekatan manajemen risiko. Konsep ini dilakukan dengan sistem dinamik yang diawali dengan mengidentifikasi risiko dari hulu sampai ke tangan konsumen dan selanjutnya dapat ditentukan tindakan pengendaliannya. Secara umum RPAM diharapkan dapat meningkatkan pelayanan air yang lebih baik di seluruh Indonesia dan dapat menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Dalam, pelaksanaannya, RPAM dilakukan menjadi 3 komponen:

a. Komponen Sumber, yaitu program pengamanan air minum di wilayah sumber air yang dapat berupa mata air, sungai, danau, laut, air tanah dangkal, maupun air tanah dalam. RPAM-Sumber bertujuan untuk mengendalikan pencemaran dan meningkatkan kualitas sumber air baku bagi operator air minum maupun para konsumen/pengguna yang langsung menggunakan air dari sumber air baku seperti mata air, dan lain sebagainya;

b. Komponen Operator, yaitu program pengamanan air minum yang dilakukan pada sistem pengolahan air minum yang meliputi unit intake, pengolahan, dan distribusi air minum. RPAM-Operator meliputi operator berbasis institusi seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Dinas, maupun Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang mengelola air minum di daerah maupun operator berbasis masyarakat seperti Badan Pengelola Sistem Penyediaan Air Minum (BP-SPAM), Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (HIPPAM), dan badan pengelola di tingkat desa dan/atau masyarakat yang mengelola air minum. RPAM-Operator bertujuan untuk mengefisiensikan biaya

23 pengolahan dan memperbaiki pelayanan penyelenggara air minum baik oleh pemerintah, PDAM, maupun masyarakat atau swasta;

c. Komponen Konsumen, yaitu program pengamanan air minum pada tingkat pengguna atau konsumen dan lebih ditujukan kepada cara-cara penyimpanan air yang aman di tingkat rumah tangga dengan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memiliki Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). RPAM-Konsumen ditujukan untuk mencegah terjadinya rekontaminasi air minum setelah mencapai tangan konsumen/pengguna. Pada RPAM-Konsumen, masyarakat dipastikan untuk selalu mendapatkan air minum yang berkualitas dan memenuhi standar kesehatan.

7. Program USAID Indonesia Urban Water, Sanitation andHygiene Penyehatan Lingkungan untuk Semua (IUWASH PLUS) merupakan sebuah inisiatif untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan akses air minum dan layanan sanitasi serta perbaikan perilaku higiene bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan di perkotaan (https://www.iuwashplus.or.id). USAID IUWASH PLUS bekerja sama dengan instansi pemerintah dan donor, pihak swasta, LSM, kelompok masyarakat dan mitra lainnya untuk mencapai hasil utama, yaitu:

a. Peningkatan akses untuk kualitas layanan air minum yang lebih baik bagi satu juta penduduk perkotaan, di mana 500.000 di antaranya adalah penduduk dengan 40% tingkat;

b. Kesejahteraan terendah dari total populasi (yang juga disebut sebagai B40); dan

c. Peningkatan akses untuk layanan sanitasi yang aman bagi 500.000 penduduk perkotaan.

8. TPS 3R adalah Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (mengurangi - menggunakan - daur ulang) Pendekatan pengelolaan 3R mulai dari menjemput sampah dari tiap rumah, pemilah sampah, pengelolaan sampah organik akan dijadikan kompos. Tujuan program ini pemerintah memberikan sarana kepada masyarakat dikawasan

24 permukiman padat diperkotaan yang ingin melaksanakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang sesuai dengan pilihan dan kondisi lingkungan sekitar mereka. Lahan yang dibutuh minimal 200 m2 dan tingkat pelayanan minimal 200 KK.

TPS 3R Berbasis masyarakat merupakan salah satu penyelenggaraan prasarana dan sarana pengelolaan persampahan dengan metode pendekatan pemberdayaan masyarakat melalui :

a. Keberpihakan pada masyarakat berpenghasilan rendah maupun tinggi, baik dalam proses maupun pemanfaatan hasil, ditujukan kepada masyarakat yang ada dipermukiman perkotaan.

b. Otonomi dan Desentralisasi Masyarakat memperoleh kepercayaan dan kesempatan yang luas dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan, dan pengelolaan prasarana dan sarana TPS 3R terbangun.

c. Partisipatif, dimana masyarakat dilibatkan langsung secara aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan, dan pengelolaan TPS 3R.

d. Keswadayaan, dimana masyarakat menjadi faktor pendorong utama keberhasilan kegiatan, baik perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan, pengelolaan, dan pemeliharaan prasarana dan sarana TPS 3R terbangun

9. Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) adalah satu dari sejumlah upaya strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mempercepat penanganan permukiman kumuh di Indonesia dan mendukung “Gerakan 100-0-100”, yaitu 100 persen akses universal air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak. Arah kebijakan pembangunan Dirjen Cipta Karya adalah membangun sistem, memfasilitasi pemerintah daerah, dan memfasilitasi komunitas (berbasis komunitas). Program Kotaku menangani kumuh dengan membangun platform kolaborasi melalui peningkatan peran pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat (http://kotaku.pu.go.id).

25 Tujuan umum program ini adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan untuk mendukung perwujudan permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan. Dalam tujuan umum tersebut terkandung dua maksud. Pertama, memperbaiki akses masyarakat terhadap infrastruktur dan fasilitas pelayanan di permukiman kumuh perkotaan. Kedua adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perkotaan melalui pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh, berbasis masyarakat, dan partisipasi pemerintah daerah.

10. Water Sanitation and Hygiene (WASH) adalah program dukungan pembangunan sektor Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) dalam kerangka kerjasama Pemerintah Indonesia dengan UNICEF. Cikal bakal program ini berawal dari dukungan UNICEF terhadap bencana tsunami di Aceh tahun 2004, yang kemudian dilanjutkan sampai sekarang dengan memperluas cakupan layanan ke daerah luar Aceh, khususnya Indonesia Timur. Tujuan Program WASH UNICEF adalah meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak melalui peningkatan pelayanan sektor air minum dan sanitasi yang layak

Terdapat 3 komponen besar sebagai strategi pendekatan program WASH UNICEF di tahun 2014, yakni:

a. Komponen perubahan perilaku melalui dukungan terhadap pelaksanaan STBM

b. Sanitasi Sekolah (WASH in School) melalui WASH in School Empowerment Project (dukungan Dubai Cares dan UNICEF) c. Peningkatan Kapasitas Institusional (institutional Strengthening) 2.5 Kerangka Pikir

Pemerintah daerah memiliki kewajiban memenuhi layanan penyehatan lingkungan (sanitasi dasar) dan air minum. Ditegaskan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa urusan terkait sanitasi dan air minum menjadi pelayanan dasar wajib yang merupakan urusan konkuren Pemerintah yang termasuk dalam kategori pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, perencanaan pembangunan, perumahan, dan

26 pemberdayaan masyarakat desa, sedangkan pemerintah pusat berperan dalam pembinaan, penyedian pedoman, norma, standar, dan kebijakan.

Untuk itu diperlukan komitmen bersama Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/kota dalam implementasi pembangunan sanitasi dan air minum yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan sanitasi dan air minum di Provinsi Sulawesi Selatan terutama dari segi : 1) ketersediaan regulasi yang akan dan telah ditetapkan, dimana pemerintah berkewajiban menyusun dan melakukan sosialisasi regulasi tentang pelayanan sanitasi dan air minum yang telah ada baik ditingkat Kabupaten/Kota maupun di tingkat desa dan masyarakat, 2) Proporsi penganggaran dimana Faktor ini sangat menentukan penentuan sistem dan cakupan pelayanan sanitasi dan air minum dan tergantung pada kemampuan keuangan daerah. Proporsi anggaran APBD murni pengelolaan sanitasi dan air minum terhadap belanja langsung minimal 2%. Selain itu dituntut adanya sumber alternatif pendanaan dengan keterlibatan pihak swasta dan lembaga donor dalam pengelolaan dan pelayanan sanitasi (persampahan, air limbah domestik dan drainase) dan air minum. Karena Keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan sanitasi dan air minum di Provinsi Sulawesi Selatan sangat dibutuhkan, 3) dukungan koordinasi antar seluruh stakeholder dimana Pemerintah baik pusat, provinsi, maupun Kabupaten/kota memiliki peran penting dalam pelayanan sanitasi dan air minum, disamping itu keterlibatan swasta (mitra) dan masyarakat perlu ditingkatkan dengan pola pemberdayaan masyarakat. Sehingga Evaluasi Pelayanan Sanitasi dan Air Minum di Pemukiman Miskin di Sulawesi Selatan dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat diterapkan dan ditindaklanjuti oleh Organisasi Perangkat Daerah terkait. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut :

Evaluasi Pelayanan Sanitasi dan Air Minum di Pemukiman Miskin di Sulawesi Selatan

Peran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

Rekomendasi Regulasi

Penganggaran

Koordinasi

27 Gambar 2.1 Diagram Kerangka Pikir

2.6. Definisi Operasional

1. Air Bersih adalah salah satu jenis sumberdaya berbasis air yang bermutu baik dan biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk dikonsumsi dalam bentuk layak pakai dan menjadi air minum.

2. Air Minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.

3. Sanitasi adalah upaya pencegahan untuk menjaga kesehatan yang kegiatannya fokus pada lingkungan manusia.

4. Penduduk Miskin adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

5. Pelayanan sanitasi adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah provinsi dan Kabupaten/kota berupa program-program terkait pengelolaan sampah, air limbah dan drainase serta promosi hidup bersih dan sehat.

6. Pelayanan Air Minum adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah provinsi dan Kabupaten/kota berupa program-program terkait penyediaan dan pengelolaan air layak minum bagi masyarakat.

7. Regulasi adalah aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah, baik ditingkat pusat maupun pemerintah daerah dan pemerintah desa yang bertujuan untuk mengendalikan masyarakat dalam mencapai tujuan pembangunan di bidang sanitasi dan Air Minum.

8. Penganggaran adalah perencanaan keuangan yang dipakai sebagai dasar pengendalian atau pengawasan.

9. Koordinasi multi stakeholder adalah kegiatan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk saling mendukung dan bersama mengatur serta menyepakati hal-hal terkait pembangunan sanitasi dan Air Minum.

28 10. Evaluasi adalah riset untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi, menilainya dengan membandingkannya dengan indikator evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Lokus kegiatan kajian dipilih dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu persentase penduduk miskin serta capaian akses sanitasi dasar dan capaian akses air minum di Kabupaten tersebut. BPS (2017), memberikan data sepuluh Kabupaten dengan persentase penduduk miskin terbesar di Sulawesi Selatan sebagai berikut:

1. Pangkep (16,2%) 2. Jeneponto (15,4%) 3. Toraja Utara (14,4%) 4. Luwu Utara (14,3%) 5. Luwu (14,0%) 6. Selayar (13,3%) 7. Enrekang (13,2%) 8. Toraja Utara (12,6%) 9. Maros (11,1%) 10. Bone (10,3%)

29 Selanjutnya data website STBM (Mei 2018) menunjukkan bahwa ada lima Kabupaten/kota dengan capaian persentase akses sanitasi dasar terendah adalah :

1. Selayar (73,3%), 2. Maros (75,28%), 3. Pangkep (78,16%), 4. Jeneponto (81,3%), dan 5. Palopo (87,2%).

Kemudian data RANDAL (2017) menunjukkan bahwa ada lima kabupaten/kota yang penduduknya sudah terlayani air minum (perpipaan) dengan persentase capaian mulai yang terendah sebagai berikut :

1. Gowa (58,35%), 2. Pamgkep (65,53%), 3. Maros (74,80%),

4. Jeneponto (84,25%), dan 5. Bantaeng (90,62%).

Berdasarkan data tersebut diatas dan dengan mempertimbangkan keterbatasan anggaran, waktu dan tenaga maka untuk lokus kajian dipilih tiga Kabupaten/kota yaitu Kabupaten Pangkep, Kabupaten Maros dan Kabupaten Jeneponto dengan pertimbangan ketiga Kabupaten tersebut mempunyai persentase penduduk miskin yang cukup tinggi serta capaian sanitasi dasar dan air minum yang juga relatif lebih rendah dibandingkan beberapa Kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan. Kajian dilaksanakan selama 3 bulan, dari September sampai dengan November 2018.

3.2 Pendekatan Kajian dan Metode Pengumpulan Data

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang diperkuat dengan data kuantitatif. Data kajian terdiri dari data primer dan data sekunder, data primer yang bersifat kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan metode survey.

Singarimbun (1989:3) mendefinisikan penelitian survey sebagai penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai instrumen pengumpulan data yang pokok. Kuesioner disusun menggunakan skala Guttman, yaitu skala yang digunakan untuk mendapatkan jawaban yang bersifat tegas dan konsisten, jawaban hanya terdiri dari dua pilihan, ada – tidak/belum ada.

30 Skor tertinggi yang digunakan adalah “satu” untuk jawaban “ada” dan skor terendah “0” untuk jawaban “tidak/belum ada”.

Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner disusun dalam bentuk semi tertutup dan dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, dimana selain menanyakan pertanyaan inti, peneliti juga dapat menggali lebih jauh penjelasan dari jawaban responden tersebut, sehingga sekaligus diperoleh data yang bersifat kualitatif. Selain itu data kualitatif juga diperoleh dengan wawancara mendalam (indeep interview) dengan informan lain yang sudah ditentukan. Sedangkan kebutuhan data sekunder terpenuhi dari dokumen-dokumen yang terkait dengan kajian.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada kajian ini adalah seluruh aparat pemerintah yang terlibat dalam penyelenggaraan fungsi pelayanan sanitasi dan Air Minum dari tingkat provinsi, Kabupaten dan tingkat desa pada tiga Kabupaten yang menjadi lokus kajian.

Untuk data kuantitatif, sampel dipilih dengan menggunakan teknik multistage sampling. Setelah Kabupaten yang menjadi lokasi kajian ditentukan (Pangkep, Maros dan Jeneponto), selanjutnya untuk masing-masing Kabupaten dipilih sepuluh desa dengan jumlah rumah tangga miskin terbesar (berdasarkan Basis Data Terpadu Kementerian Sosial RI, SK Mensos Nomor 71 Tahun 2018) sehingga diperoleh sebanyak 30 desa/kelurahan (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Desa/Kelurahan Lokus Kajian

No Desa/Kelurahan

Kabupaten Pangkep:

1. Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro 2. Desa Bara Batu, Kecamatan Labakkang 3. Desa Batara, Kecamatan Labakkang 4. Desa Taraweang, Kecamatan Labakkang 5. Desa Padang Lampe, Kecamatan Ma’rang 6. Desa Pitue, Kecamatan Ma’rang

7. Desa Benteng, Kecamatan Mandalle 8. Desa Boddie, Kecamatan Mandalle 9. Desa Baring, Kecamatan Segeri 10. Desa Parenreng, Kecamatan Segeri

Kabupaten Maros

11. Desa Moncongloe Bulu, Kecamatan Moncongloe 12. Desa Bontomarannu, Kecamatan Moncongloe

31 13. Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa

14. Desa Kurusumange, Kecamatan Tanralili 15. Desa Leko Pancing, Kecamatan Tanralili 16. Desa Samangki, Kecamatan Simbang 17. Desa Alatengae, Kecamatan Bantimurung 18. Desa Tompobulu, Kecamatan Tompobulu 19. Desa Bontomanai, Kecamatan Tompobulu 20. Desa Bori Kamase, Kecamatan Maros Baru

Kabupaten Jeneponto

21. Desa Beroanging, Kecamatan Bangkala Barat 22. Desa Pattiro, Kecamatan Bangkala Barat 23. Desa Karelayu, Kecamatan Tamalatea 24. Desa Kapita, Kecamatan Bangkala 25. Desa Bontojai, Kecamatan Tamalatea 26. Desa Sapanang, Kecamatan Binamu 27. Desa Mallasoro, Kecamatan Bangkala 28. Desa Bululoe, Kecamatan Turatea

29. Desa Barana, Kecamatan Bangkala Barat 30. Desa Borongtala, Kecamatan Tamalate

Dari 30 desa terpilih tersebut kemudian ditentukan sampel responden secara purposive, yaitu Kepala Desa atau Sekretaris Desa dengan pertimbangan merekalah yang paling memahami aspek-aspek regulasi, penganggaran dan koordinasi dalam pelaksanaan pelayanan sanitasi dan air minum di wilayahnya.

Dengan demikian terpilih sebanyak 30 orang responden.

Untuk data kualitatif, informan juga dipilih secara purposive yaitu orang-orang yang terlibat langsung dengan pelaksanaan Program sanitasi dan air minum pada tingkat Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu Pokja AMPL Provinsi dan Pokja AMPL Kabupaten.

3.4 Variabel dan Indikator

Variabel penelitian pada dasarnya merupakan segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut. Sedangkan operasionalisasi variabel penelitian berarti menjelaskan secara terperinci mengenai variabel-variabel yang ada di dalamnya menjadi beberapa bagian yaitu dimensi, indikator, ukuran, dan skala. Indikator adalah variabel yang akan membantu dalam mengukur beragam perubahan baik secara tidak langsung maupun secara langsung (Menurut WHO).

32 Indikator dalam penelitian bisa juga didefinisikan sebagai setiap variabel yang bisa mengindikasikan adanya kondisi tertentu yang kemudian digunakan untuk mengukur setiap perubahan yang terjadi dalam proses penelitian atau studi yang dilakukan. Dalam penelitian, indikator adalah acuan yang digunakan sebagai dasar untuk melihat perubahan pada objek yang diteliti.

Variabel dan indikator yang digunakan dalam kajian ini disajikan dalam Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Variabel dan Indikator Evaluasi Pelayanan Sanitasi dan Air Minum

No Variabel Indikator

1. Pelayanan terkait Regulasi dan perencanaan

a. Keterkaitan dalam RPJMD, RKP dan Renstra OPD terkait

b. Ketersediaan Pergub, Perbup/Perwalkot c. Ketersediaan RISPAM

d. Ketersediaan regulasi di tingkat desa 2. Pelayanan terkait

Penganggaran

a. Ketersediaan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

b. Keterlibatan sumber dana lain (CSR, Dana Desa dan ADD)

3. Pelayanan terkait koordinasi multi stakeholder

a. Pembentukan dan Keaktifan Pokja AMPL b. Ketersediaan Asosiasi SPAMS Kabupaten c. Bentuk koordinasi di tingkat desa

3.5. Analisis Data

Data berupa kuesioner yang telah diisi oleh responden, selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan mengacu pada penjelasan Prasetyo dan Jannah (2010) sebagai berikut:

33 1. Pengkodean data (data coding), data coding merupakan suatu proses penyusunan secara sistematis data mentah (yang ada dalam kuesioner) ke dalam bentuk yang mudah dibaca oleh mesin pengolah data.

2. Pemindahan data ke computer (data entering), data entering adalah memindahkan data yang telah diubah menjadi kode kedalam mesin pengolah

2. Pemindahan data ke computer (data entering), data entering adalah memindahkan data yang telah diubah menjadi kode kedalam mesin pengolah