• Tidak ada hasil yang ditemukan

B A D A N P E N E L I T I A N D A N P E N G E M B A N G A N D A E R A H P R O V I N S I S U L A W E S I S E L A T A N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "B A D A N P E N E L I T I A N D A N P E N G E M B A N G A N D A E R A H P R O V I N S I S U L A W E S I S E L A T A N"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

EVALUASI PELAYANAN SANITASI DAN AIR BERSIH

PADA PEMUKIMAN MISKIN DI SULAWESI SELATAN

TAHUN 2018  

B A D A N P E N E L I T I A N D A N P E N G E M B A N G A N D A E R A H P R O V I N S I S U L A W E S I S E L A T A N

2 0 1 8

(2)

ii

LAPORAN AKHIR

EVALUASI PELAYANAN SANITASI DAN AIR BERSIH PADA PEMUKIMAN MISKIN

DI SULAWESI SELATAN TAHUN 2018

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN

TAHUN 2018

(3)

iii

EVALUASI PELAYANAN SANITASI DAN AIR BERSIH PADA PEMUKIMAN MISKIN DI SULAWESI SELATAN TAHUN 2018

Pengarah/Penanggung Jawab :

Kepala Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan

Tim Peneliti:

Drs. H. M. Pangurisang P, M.Si Muthya Diana, SP, M.Adm.Pemb.

Andi Fitriyani Yaya, ST St.Suryani, ST

M. Irfan, ST

Tenaga Ahli:

Dr. Ir. Murshal Manaf, MT

Tim Pengendali Mutu:

Prof. Dr. Hazairin Zubair, MS Dr. H. Eng. Kusno Kamil, ST Arsyuni Ali Mustary, ST, MT

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak atau menyebarkan sebagian atau seluruh Laporan ini tanpa izin tertulis dari Balitbangda Prov. Sulsel

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN

2018

(4)

iv

LEMBAR PERSETUJUAN LAPORAN AKHIR

EVALUASI PELAYANAN SANITASI DAN AIR BERSIH PADA PEMUKIMAN MISKIN DI SULAWESI SELATAN

Pelaksana : Ketua Peneliti

Drs. H.M.PANGURISANG P.M.Si

Menyetujui :

Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)

Drs. H. M. PANGURISANG P, M.Si

Mengetahui,

Kepala Balitbangda Prov. Sulawesi Selatan

Dr. M. IQBAL S. SUHAEB, SE, MT

(5)

v

HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul : Evaluasi Pelayanan Sanitasi dan Air Bersih pada Pemukiman Miskin Di Sulawesi Selatan

2. Nama Penanggung Jawab

: Dr. M. Iqbal S. Suhaeb, SE, MT 3. Ketua Unsur Pelaksana :

a. Nama lengkap : Drs. H. M. Pangurisang P, M.Si

b. NIP : 19620414 198812 1 001

c. Pangkat/Gol. : Pembina Tk. 1/IVb

d. Jabatan : Kepala Bidang Sosial dan Kependudukan

4. Alamat/Telepon :

a. Kantor : Jalan Urip Sumoharjo No. 269 Gedung G Lt III Makassar

b. Rumah : Jl. AP. Pettarani Blok E20/9 Makassar 5. Jangka Waktu Pelaksanaan : 3 (Tiga) bulan

6. Total Biaya yang Diusulkan : Rp. 121.550.000,-

Mengetahui, Kepala Balitbangda Prov. Sulawesi Selatan

Dr. M. Iqbal S. Suhaeb, SE, MT NIP. 19960902 198810 1 001

Makassar, Desember 2018

Ketua Tim Peneliti,

Drs. H. M. Pangurisang P,M.Si NIP. 19620414 198812 1 001

(6)

vi ABSTRAK

Tujuan kajian ini adalah untuk menganalisa bentuk pelayanan regulasi, penganggaran dan koordinasi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam program sanitasi dan air bersih pada pemukiman miskin di Sulawesi Selatan.

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang diperkuat dengan data kuantitatif, dilengkapi wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah. Temuan yang diperoleh menunjukkan hasil berikut: 1) Dukungan regulasi pada tingkat Kabupaten/Kota di bidang air minum sebesar 60%, bidang persampahan sebesar 55%

dan bidang pengolahan limbah sebesar 25%; 2) Ketersediaan RISPAM ditingkat Kabupaten/Kota di bidang air minum sebesar 75%, bidang persampahan sebesar 80%

dan bidang pengolahan limbah sebesar 35%; 3) Ditingkat desa, semua desa tidak memiliki regulasi terkait sanitasi dan air minum, dimana pelayanan dan pengelolaan sanitasi dan air minum disusun berdasarkan musyawarah sesuai kebutuhan masyarakat di desa tersebut; 4) Berdasarkan analisis diketahui bahwa dukungan penganggaran ditingkat desa sendiri sebesar 56,57% desa yang mendukung program air minum, sebesar 40% yang mendukung persampahan dan 56,67% desa yang mendukung program pengelolaan limbah; 5) Dukungan koordinasi dalam rangka pelaksanaan kegiatan advokasi/sosialisasi/kampanye terkait: a) Bidang air minum ditingkat Kabupaten/Kota sebesar 85% dan ditingkat desa sudah mencapai 100%. b) Bidang persampahan ditingkat Kabupaten/Kota sebesar 90% dan ditingkat desa meningkat sebesar 86,67%. c) Bidang pengelolaan sampah ditingkat Kabupaten/Kota sebesar 80% dan ditingkat desa sudah mencapai 96,67%. Rekomendasi kajian ini adalah 1) Kabupaten/Kota agar memberikan aturan-aturan operasional sebagai acuan di tingkat desa pada pelaksanaan pelayanan sanitasi dan air minum. 2) Kabupaten/Kota agar menyiapkan dukungan anggaran APBD untuk mendukung capaian universal akses 100% sanitasi dan air minum. 3) Kabupaten/Kota agar lebih melibatkan semua sektor untuk dukungan koordinasi dan kerjasama termasuk mitra swasta untuk mendukung pelayanan sanitasi dan air minum.

Kata kunci : kualitas pelayanan, sanitasi, air minum, pemukiman miskin

(7)

vii ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the forms of regulatory services, budgeting, and coordination provided by the Provincial and District / City Governments in sanitation and clean water programs in impoverished occupancy in South Sulawesi. This study uses a qualitative approach which reinforced with quantitative data, including in-depth interviews and focuses group discussions. The findings obtained indicate the following results: 1) Regulatory support at the Regency / City level in the field of drinking water by 60%, solid waste by 55% and waste treatment at 25%; 2) Availability of RISPAM at the Regency / City level in the field of drinking water by 75%, the waste sector by 80% and the waste treatment sector by 35%; 3) At the village level, all villages do not have regulations related to sanitation and drinking water, where sanitation and drinking water services and management are prepared based on consensus according to the needs of the community in the village; 4) Based on the analysis it is known that budgeting support at the village level alone amounts to 56.57% of villages that support drinking water programs, by 40% supporting solid waste and 56.67% of villages supporting waste management programs; 5) Coordination support in the context of conducting advocacy/outreach/ campaign related activities: a) The drinking water sector at the Regency / City level is 85% and at the village level has reached 100%. b) The sector of waste at the Regency / City level of 90% and the village level increased by 86.67%. c) The district / municipal level waste management sector is 80%, and at the village level, it has reached 96.67%. The recommendation of this study is 1) District / City to provide operational rules as a reference at the village level on the implementation of sanitation and drinking water services. 2) District / City to prepare APBD budget support to support the universal achievement of 100% access to sanitation and drinking water. 3) District / City to better involve all sectors for coordination and cooperation support, including private partners to support sanitation and drinking water services.

Keywords: service quality, sanitation, drinking water, impoverished occupancy

(8)

viii KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wata’ala, karena atas rahmat-Nya Laporan Hasil Kajian Evaluasi Pelayanan Sanitasi dan Air Bersih pada Pemukiman Miskin di Sulawesi Selatan dapat tersusun sebagaimana mestinya.

Berdasarkan capaian akses sanitasi dasar untuk Provinsi Sulawesi Selatan sampai dengan Bulan Maret 2018 baru pada angka 88,35%. Desa yang sudah mencapai status Open Defecation Free (ODF) atau bebas dari perilaku buang air besar sembarangan (BABS) baru mencapai 34.13% (STBM, 2018) dan akses air minum layak di Sulawesi Selatan pada tahun 2017 untuk daerah perkotaan baru mencapai 80,82%, dan daerah pedesaan hanya mencapai 62,10%, sementara targetnya adalah 100% pada tahun 2019 sesuai dengan target pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Untuk mencapai program universal access dan memenuhi target SDGs, Pemerintah pusat dan daerah telah meluncurkan berbagai program dan kegiatan yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga-lembaga internasional dan pada umumnya menyasar penduduk miskin perdesaan dan pinggiran kota (peri-urban).

Dalam pelaksanaan suatu program pembangunan, salah satu komponen yang patut untuk dilakukan evaluasi adalah komponen input. Input suatu program akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan tahapan program selanjutnya.

Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota mempunyai peran penting dalam penyediaan input terutama regulasi, penganggaran, dan mengoordinasikan dukungan multi stakeholder.

Disadari bahwa hasil kajian ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak diharapkan untuk kesempurnaannya. Kepada semua pihak yang telah membantu atau memberikan kemudahan pelaksanaan kajian ini, kami haturkan banyak terima kasih.

Makassar, Desember 2018 KEPALA BADAN,

DR. M. IQBAL S. SUHAEB, SE, MT

(9)

ix Pangkat : Pembina Utama Madya

NIP. 19660902 198810 1 001

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN HAK CIPTA……….. iii

LEMBAR PERSETUJUAN……… iv

LEMBAR PENGESAHAN………. v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Permasalahan ... 5

1.3. Tujuan... 7

1.4. Manfaat... 7

1.5. Ruang Lingkup... 7

BAB II TINJAUAN PUSATAKA... 8

2.1. Sanitasi dan Air Minum... 8

2.2. Kemiskinan dan Masyarakat Miskin... 11

2.3. Evaluasi Kebijakan/Evaluasi Program... 18

2.4. Gambaran Umum Program-Program Terkait Sanitasi dan Air Minum... 19

2.5. Kerangka Pikir... 25

2.6. Definisi Operasional... 26

BAB III METODE PENELITIAN... 28

3.1. Lokasi dan Waktu... 28

3.2. Pendekatan Kajian dan Metode Pengumpulan Data... 29

3.3. Populasi dan Sampel... 29

3.4. Variabel dan Indikator... 31

(10)

x

3.5. Analisa Data... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

4.1. Gambaran Umum Program Sanitasi dan Air Minum di Sulawesi Selatan... 34

4.2. Pelayanan Regulasi Pendukung Program Sanitasi dan Air Minum... 37

4.3. Pelayanan Anggaran Pendukung Program Sanitasi dan Air Minum... 45

4.4. Pelayanan Koordinasi Pendukung Program Sanitasi dan Air Minum... 54

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 64 5.1. Kesimpulan... 64

5.2. Saran... 66

5.3. Rekomendasi Kebijakan... 66

DAFTAR PUSTAKA... 67

LAMPIRAN... 70

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Desa/Kelurahan Lokus Kajian... 30 Tabel 3.2. Variabel dan Indikator Evaluasi Pelayanan Sanitasi dan Air

Minum... 32 Tabel 4.1. Program/Kegiatan Sanitasi dan Air Minum di Sulawesi

Selatan Tahun 2014-2018... 34 Tabel 4.2. Lokasi Pelaksanaan Program/Kegiatan Sanitasi dan Air

Minum di Sulawesi Selatan Tahun 2014-2018... 35 Tabel 4.3. Capaian pelayanan sanitasi dan air Minum di Sulawesi

Selatan Tahun 2017... 36 Tabel 4.4. Kondisi Regulasi Bidang Air Minum di Sulawesi Selatan

Tahun 2018... 37 Tabel 4.5. Analisis Frekuensi Dukungan Regulasi Bidang Air Minum.. 38 Tabel 4.6. Analisis Frekuensi Dukungan Regulasi terkait Air Minum

pada Tingkat Desa... 39 Tabel 4.7. Kondisi Regulasi Bidang Persampahan di Sulawesi Selatan

Tahun 2018... 40 Tabel 4.8. Analisis Frekuensi Dukungan Regulasi Bidang Persampahan 40 Tabel 4.9. Analisis Frekuensi Dukungan Regulasi terkait Pengelolaan

Sampah di Tingkat Desa... 41 Tabel 4.10. Kondisi Regulasi Bidang Pengelolaan Limbah di Sulawesi

Selatan Tahun 2018... 42 Tabel 4.11. Analisis Frekuensi Dukungan Regulasi Bidang Air Limbah. 43 Tabel 4.12. Analisis Frekuensi Dukungan Regulasi terkait Pengelolaan

Limbah di Tingkat Desa... 44 Tabel 4.13. PenganggaranSanitasi Dinas/Badan Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun 2014-2018... 45 Tabel 4.14. Kondisi Anggaran Bidang Air Minum di Sulawesi Selatan

Tahun 2018... 46 Tabel 4.15. Analisis Frekuensi Dukungan Penganggaran Bidang Air

Minum... 47 Tabel 4.16. Analisis Frekuensi Dukungan Penganggaran terkait Program

Air Bersih di Tingkat Desa... 48 Tabel 4.17. Kondisi Anggaran Bidang Persampahan di Sulawesi Selatan

Tahun 2018... 49

(12)

xii Tabel 4.18. Analisis Frekuensi Dukungan Penganggaran Persampahan.... 50 Tabel 4.19. Analisis Frekuensi Dukungan Penganggaran terkait Program

Pengelolaan Sampah di Tingkat Desa... 51 Tabel 4.20. Kondisi Anggaran Bidang Pengelolaan Limbah di Sulawesi

Selatan Tahun 2018... 52 Tabel 4.21. Analisis Frekuensi Dukungan Penganggaran untuk pelayanan

Limbah Rumah Tangga... 53 Tabel 4.22. Analisis Frekuensi Dukungan Penganggaran terkait

Pengelolaan Limbah di Tingkat Desa... 54 Tabel 4.23. Kondisi Koordinasi Bidang Air Minum di Sulawesi Selatan

Tahun 2018... 55 Tabel 4.24. Analisis Frekuensi Dukungan Koordinasi Bidang Air Minum 56 Tabel 4.25. Analisis Frekuensi Dukungan Koordinasi Pelayanan Air

Minum di Tingkat Desa... 57 Tabel 4.26. Kondisi Koordinasi Bidang Persampahan di Sulawesi Selatan

Tahun 2018... 58 Tabel 4.27. Analisis Frekuensi Dukungan Koordinasi Persampahan... 59 Tabel 4.28. Analisis Frekuensi Dukungan Koordinasi Pelayanan

Persampahan di Tingkat Desa... 60 Tabel 4.29. Kondisi Koordinasi Bidang Pengelolaan Air Limbah di

Sulawesi Selatan Tahun 2018... 61 Tabel 4.30. Analisis Frekuensi Dukungan Koordinasi Pengelolaan Limbah 62 Tabel 4.31. Analisis Frekuensi Dukungan Koordinasi Pengelolaan Limbah

di Tingkat Desa... 63

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Pikir... 26

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan, sanitasi dan ketersediaan Air Minum masih menjadi permasalahan umum di dunia. Oleh sebab itu ketiga permasalahan ini masuk dalam target pembangunan dunia yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Pada tahun 2015, SDGs ditetapkan sebagai pengganti Millennium Development Goals (MDGs) yang masih menekankan pentingnya pengurangan kemiskinan (prioritas 1) dan peningkatan akses terhadap Air Minum (prioritas 6) dari 17 prioritas atau tujuan yang ditetapkan (United Nations, 2016). Berbeda dengan MDGs terkait peningkatan akses terhadap Air Minum, SDGs menekankan pengelolaan sumber daya air yang harus mampu berkelanjutan. Pada tujuan enam, terdapat delapan target atau sasaran capaian pada tahun 2030, yaitu:

 akses air minum universal dan layak yang aman dan terjangkau bagi semua;

 akses sanitasi dan kebersihan yang memadai dan layak untuk semua, dan mengakhiri buang air besar sembarangan (BABS), memberikan perhatian khusus pada kebutuhan perempuan dan anak perempuan dan orang-orang dalam situasi rentan;

 meningkatkan kualitas air dengan mengurangi polusi, menghilangkan timbulan sampah serta mengurangi pembuangan bahan kimia berbahaya, dan mengurangi hingga separuh proporsi air limbah yang tidak ditangani serta meningkatkan guna ulang dan daur ulang aman secara global;

 secara substansial meningkatkan efisiensi penggunaan air di semua sektor dan memastikan keberlangsungan pengambilan dan pasokan air tawar untuk mengatasi kelangkaan air dan secara substansial menurunkan jumlah masyarakat yang menderita kelangkaan air;

 menerapkan pengelolaan sumberdaya air terpadu di semua tingkatan, termasuk melalui kerjasama lintas batas yang sesuai;

 melindungi dan memperbaiki ekosistem yang terkait air, termasuk pegunungan, hutan, lahan basah, sungai, akuifer dan danau; memperluas kerjasama dan pengembangan kapasitas dukungan internasional untuk

(15)

2 negara-negara berkembang dalam kegiatan ataupun program yang berhubungan dengan Air Minum dan sanitasi, termasuk pemeliharaan sumber air, desalinasi, efisiensi air, pengolahan air limbah, teknologi daur ulang dan guna ulang;

 mendukung dan memperkuat partisipasi masyarakat lokal dalam meningkatkan pengelolaan air dan sanitasi.

Setiap negara yang tergabung dalam United Nations (UN) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diharuskan mengagendakan kegiatan-kegiatan yang mendukung tujuan SDGs, termasuk Indonesia.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan PBB untuk anak- anak (UNICEF) bahwa, 2,1 miliar penduduk di seluruh dunia masih kekurangan akses terhadap kebutuhan air aman, tidak ada pasokan air di rumah, sementara manajemen sanitasi untuk 4,5 miliar penduduk lagi tidak diurus dengan baik. Dari 2,1 miliar orang yang tidak memiliki akses pasokan air aman, sebanyak 844 juta orang tidak memperoleh pasokan dasar air minum. Di 90 negara, pekerjaan peningkatan sanitasi dasar masih sangat lambat sehingga kemungkinan tidak bisa mencapai target di tahun 2030. Diproyeksikan pada tahun 2025 setengah dari populasi dunia akan memiliki masalah dalam mencari akses Air Minum (MIMS, 2017).

Laporan Program Monitoring Gabungan (JMP) dari dua agensi PBB dengan judul "Progress on drinking water, sanitation and hygiene: 2017 update and Sustainable Development Goal baselines," merupakan penilaian global pertama mengenai Air Minum dan sanitasi. Kemudian JMP melaporkan untuk memonitor dua target untuk Tujuan Perkembangan Berkelanjutan untuk tahun 2030 yang pertama yaitu bisa mencapai akses Air Minum dan sanitasi yang sama dan adil untuk semua orang, dan kedua, semua orang bisa mendapat akses ke sanitasi dan higienitas yang sama dan mengakhiri periode defekasi terbuka, begitu juga dengan memenuhi kebutuhan wanita yang rentan dan juga anak perempuan.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya air bersih, bahkan enam persen pasokan air dunia berasal dari indonesia. Jumlah yang cukup besar, namun pada kenyataannya di beberapa kota di indonesia masih sering terjadi krisis air bersih. Sehinggga Indonesia masih menghadapi permasalahan

(16)

3 ketersediaan air bersih, drainase, dan sanitasi. Tingginya pertumbuhan penduduk tidak diikuti dengan pertumbuhan pengadaan infrastruktur sehingga menyebabkan fenomena excess demand untuk sarana dan prasarana air bersih serta sanitasi.

Akibatnya Indonesia menghadapi tingginya kasus kesehatan terkait sanitasi (Winters, et al., 2014). Walaupun pemerintah telah melakukan sosialisasi pentingnya pembangunan sanitasi di daerah, permasalahan ini tidak dengan mudah terselesaikan. Salah satu kendala peningkatan infrastruktur air bersih dan sanitasi di Indonesia adalah keseriusan pemerintah daerah dalam mengatasi isu tersebut. Tantangan tersebut semakin meningkat di era desentralisasi mengingat semangat penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi yang layak dapat berbeda antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (Chong, et al., 2016).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, capaian akses air minum di Indonesia mencapai 70,97 persen dan sanitasi mencapai 62,14 persen.

Berarti sekitar 72 juta orang di Indonesia masih mengkonsumsi air yang tidak sesuai dengan standar kesehatan (Tempo, 2017). Pasokan Air Minum memiliki peran yang sangat penting dalam memperbaiki kondisi lingkungan maupun kesehatan masyarakat, mengurangi jumlah penderita penyakit, dan berkontribusi terhadap peningkatan kualitas atau tingkat kehidupan dari masyarakat. Sejauh ini, pasokan untuk air minum ke masyarakat masih sering menghadapi beberapa masalah yang kompleks dan sejauh ini belum bisa diatasi sepenuhnya. Masalah air minum bersih merupakan salah satu masalah yang tidak pernah berakhir, karena tidak semua orang menyadari bahwa Air Minum sangat penting bagi kehidupan mereka. Pentingnya Air Minum juga sangat erat kaitannya dengan kesadaran masyarakat untuk dapat melindungi lingkungan, dan secara sadar membuat gaya hidup bersih dan sehat.

Masyarakat miskin yang umumnya dibarengi dengan tingkat pendidikan rendah sangat rentan terhadap sanitasi dan air bersih. Di daerah-daerah kumuh perkotaan, sanitasi yang tidak memadai, praktek kebersihan yang buruk, kepadatan penduduk yang berlebihan, serta air yang terkontaminasi secara sekaligus dapat menciptakan kondisi yang tidak sehat (UNICEF, 2012). Penyakit- penyakit terkait dengan ini meliputi disentri, kolera dan penyakit diare lainnya, tipus, hepatitis, leptospirosis, malaria, demam berdarah, kudis, penyakit

(17)

4 pernapasan kronis dan infeksi parasit usus. Selain itu, keluarga miskin yang kurang berpendidikan cenderung melakukan praktek-praktek kebersihan buruk yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan peningkatan resiko kematian anak. Hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa rumah tangga pedesaan mempunyai akses sanitasi dan air bersih yang lebih buruk dibandingkan rumah tangga di perkotaan.

Bukan perkara mudah untuk bisa meningkatkan akses masyarakat terhadap sanitasi dan air bersih. Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi yaitu pertama persoalan infrastruktur, meliputi persoalan bagaimana menjaga dan memperluas jaringan infrastruktur yang telah tersedia. Hal ini tentu saja terkait dengan pembiayaan infrastruktur termasuk tarif dan kecakapan penyedia layanan dalam hal efisiensi dan produktivitas layanan. Kedua, dengan memahami air bersih sebagai kebutuhan dasar maka persoalan sosial politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan, misalnya tarif yang terjangkau, transparansi dan akuntabilitas.Terakhir adalah persoalan lingkungan dan kesehatan publik, dimana konservasi dan pengelolaan lingkungan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penyediaan layanan air. Dengan demikian, penyediaan layanan air bersih dan sanitasi yang baik sangat tergantung pada baik tidaknya kebijakan pembiayaan pembangunan, kebijakan sosial dan kebijakan sumber daya alam.

Pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk melanjutkan keberhasilan capaian target Millennium Development Goals sektor Sanitasi dan Air Minum (WSS-MDG), yang telah berhasil menurunkan separuh dari proporsi penduduk yang belum mempunyai akses sanitasi dan air minum dasar pada tahun 2015 sekaligus untuk mencapai target SDGs pada Tahun 2030. Sejalan dengan itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Pemerintah Indonesia mengambil inisiatif untuk melanjutkan komitmennya dengan meluncurkan program nasional Akses Universal Sanitasi dan Air Minum Tahun 2019 dengan capaian target 100% akses sanitasi dan air minum bagi seluruh penduduk Indonesia.

Untuk mencapai program universal access dan memenuhi target SDGs, Pemerintah pusat dan daerah telah meluncurkan berbagai program dan kegiatan

(18)

5 yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga-lembaga internasional, diantaranya:

 Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP)

 Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas)

 Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)

 Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas)

 Rencana Pengamanan Air Minum (RPAM)

 National Water Supply and Sanitation Information Services (Nawasis) Program-program tersebut pada umumnya menyasar penduduk miskin perdesaan dan pinggiran kota (peri-urban). Selain itu program lain yang masih terkait dengan sanitasi dan air bersih adalah Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan untuk Semua (IUWASH Plus), Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R), Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), dan UNICEF’s water, sanitation and hygiene (Wash UNICEF).

Permasalahan layanan dasar terkait sanitasi dan air minum ini harus menjadi perhatian khusus dan agenda prioritas pembangunan mengingat arah pembangunan kesehatan yang tertuang dalam RPJPD Sulsel 2008-2028 dan ditindaklanjuti dalam RPJMD Sulsel 2013-2018 yang menyebutkan untuk Memfasilitasi dan mendorong perbaikan sanitasi lingkungan, perumahan sehat dan ketersediaan Air Minum serta perilaku sehat dengan me nerapkan pendekatan paradigma sehat yang dilak sanakan melalui usaha yang bersifat promotif dan prefentif serta me lalui peningkatan dan pengem bangan kelembagaan sosial.

1.2 Permasalahan

Sebagai pelayanan publik yang mendasar, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengamanatkan pelayanan sanitasi dan air minum sebagai bagian dari pelayanan dasar wajib yang merupakan urusan konkuren Pemerintah Daerah, namun dengan berbagai program yang telah dilaksanakan capaian akses sanitasi dan air minum di Sulawesi Selatan masih berada dibawah target. Akses sanitasi dasar untuk Provinsi Sulawesi Selatan sampai dengan Bulan Maret 2018 baru pada angka 88,35%. Desa yang sudah mencapai status Open Defecation Free (ODF) atau bebas dari perilaku buang air besar sembarangan (BABS) baru mencapai 34.13% (STBM, 2018) dan akses air

(19)

6 minum layak di Sulawesi Selatan pada tahun 2017 untuk daerah perkotaan baru mencapai 80,82%, dan daerah pedesaan hanya mencapai 62,10%

(https://www.bps.go.id), sementara targetnya adalah 100% pada tahun 2019 sesuai dengan target pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Dalam pelaksanaan suatu program pembangunan, salah satu komponen yang patut untuk dilakukan evaluasi adalah komponen input. Input suatu program akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan tahapan program selanjutnya. Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota mempunyai peran penting dalam penyediaan input ini, dalam hal program sanitasi dan Air Minum peran tersebut terutama dalam menyiapkan regulasi, penganggaran, dan mengoordinasikan dukungan multi stakeholder.

Untuk mengejawantahkan tugas pelayanan sebagaimana dimaksud Undang- Undang Nomor 23 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, maka program pembangunan bidang sanitasi dan Air Minum harus secara eksplisit tercantum dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selanjutnya, dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Rencana Strategis Organisasi Perangkat Daerah terkait dan aturan-aturan operasional lainnya. Sebagai konsekuensinya, maka Pemerintah Daerah harus memberikan dukungan penganggaran yang proporsional. Selain itu karena program sanitasi dan Air Minum bersifat lintas sektoral, maka peran Pemerintah Daerah dalam menghimpun, mengerahkan dan mengarahkan dukungan multi stakeholder untuk mencapai tujuan SDGs di Sulawesi Selatan menjadi sangat penting.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan kajian guna mengevaluasi lebih lanjut peran Pemerintah Daerah dalam pelayanan sanitasi dan Air Minum di Sulawesi Selatan, khususnya untuk masyarakat miskin.

Adapun pertanyaan kajian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana dukungan regulasi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam program sanitasi dan Air Minum pada pemukiman miskin di Sulawesi Selatan?

(20)

7 2. Bagaimana dukungan penganggaran yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penyelengaraan program sanitasi dan Air Minum pada pemukiman miskin di Sulawesi Selatan?

3. Bagaimana bentuk koordinasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penyelengaraan program sanitasi dan Air Minum pada pemukiman miskin di Sulawesi Selatan?

1.3 Tujuan

Tujuan kajian ini adalah :

1. Untuk menganalisa bentuk pelayanan regulasi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam program sanitasi dan Air Minum pada pemukiman miskin di Sulawesi Selatan.

2. Untuk menganalisa bentuk pelayanan penganggaran yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan program sanitasi dan Air Minum pada pemukiman miskin di Sulawesi Selatan.

3. Untuk menganalisa bentuk pelayanan koordinasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan program sanitasi dan Air Minum pada pemukiman miskin di Sulawesi Selatan?

1.4 Manfaat

Kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tentang kondisi pelayanan sanitasi dan Air Minum di pemukiman miskin di Sulawesi Selatan, sebagai masukan bagi OPD terkait baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta diharapkan dapat menambah literatur kajian tentang sanitasi dan Air Minum di Sulawesi Selatan.

1.5 Ruang Lingkup

Mengingat luasnya pembahasan tentang sanitasi dan Air Minum serta banyaknya program-program yang berkaitan dengan hal tersebut, maka ruang lingkup kajian ini hanya mengevaluasi komponen input, khususnya sejauh mana dukungan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam menyiapkan regulasi, menyediakan anggaran dan melakukan koordinasi dalam rangka pencapaian Universal Access dan SDGs. Ruang lingkup sanitasi dan Air Minum

(21)

8 yang menjadi bahasan kajian ini meliputi pengelolaan persampahan dan air limbah rumah tangga, serta penyediaan air minum untuk konsumsi (minum, makan dan masak).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sanitasi dan Air Minum

Usaha peningkatan kesehatan lingkungan yang umumnya dikenal dengan sebutan sanitasi merupakan salah satu tindakan yang dimaksudkan untuk pemeliharaan kesehatan maupun pencegahan penyakit pada lingkungan fisik, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

Sanitasi dalam bahasa Inggris berasal dari kata sanitation yang diartikan sebagai penjagaan kesehatan (Echols dan Shadily, 2003). Ehler dan Steel dalam Anwar (1999) mengemukakan bahwa sanitasi adalah usaha-usaha pengawasan yang ditujukan terhadap faktor lingkungan yang dapat menjadi mata rantai penularan penyakit. Sedangkan Azwar (1990) mengungkapkan bahwa sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan teknik terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi derajat kesehatan manusia.

Sanitasi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu usaha yang mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia terutama terhadap hal-hal yang mempengaruhi efek, merusak perkembangan fisik, kesehatan, dan kelangsungan hidup. Definisi ini serupa dengan yang diungkapkan Entjang (2000) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sanitasi adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak, dan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan.

Sementara itu, Ehler (1986) menyatakan bahwa sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit dengan melenyapkan atau mengendalikan faktor-faktor risiko lingkungan yang merupakan mata rantai penularan penyakit). Hal ini sejalan dengan pendapat Rantetampang (1985) bahwa sanitasi ialah suatu cara untuk mencegah berjangkitnya penyakit menular dengan jalan memutuskan mata

(22)

9 rantai dari sumber penularan. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesianomor:965/MENKES/SK/XI/1992, pengertian sanitasi adalah segala upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan (KEMENKES, 1992).

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatannya kepada usaha-usaha kesehatan lingkungan hidup manusia yaitu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap status kesehatan yang optimum pula. Sanitasi lingkungan ditujukan untuk memenuhi persyaratan lingkungan yang sehat dan nyaman. Lingkungan yang sanitasinya buruk dapat menjadi sumber berbagai penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Pada akhirnya jika kesehatan terganggu, maka kesejahteraan juga akan berkurang. Karena itu upaya sanitasi lingkungan menjadi penting dalam meningkatkan kesejahteraan.

Pentingnya lingkungan yang sehat ini telah dibuktikan oleh WHO dengan penyelidikan diseluruh dunia dimana didapatkan hasil bahwa angka kematian (mortalitas), angka kematian orang sakit ( morbiditas ) yang tinggi, serta seringnya terjadi epidemi, terdapat ditempat-tempat yang hygenitas dan sanitasi lingkungannya yang buruk, yaitu ditempat-tempat banyak terdapat lalat, nyamuk, pembuangan kotoran, air rumah tangga yang buruk dan perumahan yang terlalu sesak dan keadaan sosial ekonomi yang jelek. Ternyata pula bahwa bahwa di tempat – tempat yang hygenitas dan sanitasi lingkungannya diperbaiki, mortalitas, morbiditas menurun dan wabah berkurang dengan sendirinya.

Menurut Azwar (1990),secara umum, akibat yang ditimbulkan oleh lingkungan terhadap kesehatan manusia dapat dibedakan atas dua masalah, yaitu:

1. Akibat atau masalah yang ditimbulkan segera terjadi, artinya begitu foktor lingkungan yang tidak menguntungkan tersebut hadir atau tidak dalam kehidupan maka akan timbullah penyakit.

2. Akibat atau masalah yang ditimbulkan secara lambat laun, artinya terdapat tenggang waktu antara hadir atau tidak hadirnya faktor lingkungan yang tidak menguntungkan dengan munculnya penyakit.

(23)

10 Sedangkan peranan faktor lingkungan dalam menimbulkan penyakit dapat dibedakan atas empat macam:

1. Sebagai predisprosing artinya berperan berperan dalam menunjang terjangkitnya suatu penyakit.

2. Sebagai penyebab penyakit secara langsung, misalnya seorang yang bekerja pada pabrik yang bising mudah menyebabkan penyakit pada pendengaran.

3. Sebagai medium transmisi penyakit, misalnya air yang merupakan medium transmisi penyakit diare.

4. Sebagai faktor yang mempengaruhi perjalanan suatu penyakit, misalnya kondisi rumah / ruang yang sempit memudahkan penularan penyakit.

Anwar,(2003) menyatakan bahwa ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup: perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang) dan sebagainya. Sementara itu WHO merumuskan ruang lingkup kesehatan lingkungan sebagai berikut :

1. Penyedian air bersih yang cukup kuantitas maupun kualitasnya 2. Pengelolahan air limbah dan sampah

3. Pengelolahan sanitasi makanan dan minuman 4. Pencemaran terhadap udara, tanah dan air 5. Perumahan dan lingkungan sekitar

6. Kontrol vektor dan kemungkinan tempat penjamu penyakit 7. Masalah kesehatan kerja.

Slamet (2001) mengungkapkan bahwa sanitasi lingkungan lebih menekankan pada pengawasan dan pengendalian / kontrol pada faktor lingkungan manusia seperti:

a. Penyediaan air menjamin air yang digunakan oleh manusia bersih dan sehat.

b. Pembuangan kotoran manusia, air buangan dan sampah.

c. Individu dan masyarakat terbiasa hidup sehat dan bersih.

d. Makanan, menjamin makanan tersebut aman, bersih dan sehat.

e. Anthropoda binatang pengerat dan lain-lain.

f. Kondisi udara bebas dari bahan-bahan yang berbahaya dari kehidupan manusia.

(24)

11 g. Pabrik-pabrik, kantor-kantor dan sebagainya bebas dari bahaya-bahaya

kepada masyarakat sekitar.

Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Azwar,1996). Upaya sanitasi dasar meliputi penyediaan Air Minum, pembuangan kotoran manusia (jamban), pengelolaan sampah dan saluran pembuangan air limbah.

Air sebagai salah satu komponen sanitasi merupakan bahan pokok yang mutlak dibutuhkan oleh manusia sepanjang masa. Ketersediaan Air Minum akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Untuk mendapatkan air yang baik, sesuai dengan standar tertentu, saat ini menjadi barang yang mahal karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik limbah dari kegiatan industri dan kegiatan lainnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

416/MenKes/Per/IX/1990, yang di maksud air bersih adalah air bersih yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah di masak. Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat.ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan.

Pelayanan air bersih lebih mengutamakan pada user based karena menyangkut kesesuaian antara kebutuhan masyarakat akan air bersih dan kemampuan kualitas pelayanan dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut World Health Organization (WHO) terdapat lima kriteria penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan hak akan air bersih yang mengedepankan pelayanan air bersih bagi setiap orang, yaitu : aman (safe) dan layak, (accepTabel); cukup (sufficient); mudah diakses (accessible); dan terjangkau (affordable).

2.2 Kemiskinan dan Masyarakat Miskin

Pengertian kemiskinan sangat beragam, yaitu mulai dari sekedar ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dasar hingga pengertian

(25)

12 yang lebih luas dengan memasukkan komponen-komponen sosial, budaya, dan politik. Definisi kemiskinan mengalami perkembangan sesuai dengan penyebabnya yaitu, pada awal 1990-an definisi kemiskinan telah diperluas tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tapi juga mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sebagainya.

Belakangan ini pengertian kemiskinan telah mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Definisi orang miskin hanya dari sudut pemenuhan konsumsi saja sudah tidak cukup karena: (1) pengertian ini sering tidak berhubungan dengan definisi kemiskinan yang dimaksud oleh orang miskin itu sendiri, dan tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) pengertian tersebut dapat menjerumuskan kepada kesimpulan yang salah, bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai, dan (3) pengertian tersebut telah terbukti tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika merumuskan kebijakan lintas sektoral dan bisa kontra produktif (Smeru, 2001).

Pengertian kemiskinan menurut berbagai pihak sangat beragam, antara lain menurut Menko Kesra (2000), kemiskinan adalah suatu keadaan kekurangan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang di luar keinginan yang bersangkutan sebagai kejadian yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya yang disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks yang berinteraksi satu sama lain.

BKKBN (2002), kemiskinan adalah jumlah keluarga miskin prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya; tidak mampu makan 2 kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian; bagian tertentu dari rumah berlantai tanah; dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.

Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, Air Minum, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan

(26)

13 atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak- hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.

BPS (2009) penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi- umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Sedangkan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

Dalam mengukur kemiskinan ini, BPS menggunakan pendekatan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak-mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Sedangkan definisi kemiskinan menurut Bank Dunia adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan pendapatan $ 1 per hari per jiwa (Bank Dunia, 2004).

Definisi kemiskinan yang dikemukakan oleh Chambers adalah definisi yang saat ini mendapatkan perhatian dalam setiap program pengentasan kemiskinan di berbagai negara-negara berkembang dan dunia ketiga. Pandangan yang dikemukakan dalam definisi kemiskinan dari Chambers menerangkan bahwa kemiskinan adalah suatu kesatuan konsep (integrated concept) yang memiliki lima dimensi, yaitu:

1) Kemiskinan (Proper)

(27)

14 Permasalahan kemiskinan seperti halnya pada pandangan semula adalah kondisi ketidakmampuan pendapatan untuk mencukupi kebutuhankebutuhan pokok. Konsep atau pandangan ini berlaku tidak hanya pada kelompok yang tidak memiliki pendapatan, akan tetapi dapat berlaku pula pada kelompok yang telah memiliki pendapatan.

2) Ketidakberdayaan (Powerless)

Pada umumnya, rendahnya kemampuan pendapatan akan berdampak pada kekuatan sosial (social power) dari seseorang atau sekelompok orang terutama dalam memperoleh keadilan ataupun persamaan hak untukmendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

3) Kerentanan menghadapi situasi darurat (State of emergency)

Seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin tidak memiliki atau kemampuan untuk menghadapi situasi yang tidak terduga di mana situasi ini membutuhkan alokasi pendapatan untuk menyelesaikannya.Misalnya, situasi rentan berupa bencana alam, kondisi kesehatan yang membutuhkan biaya pengobatan yang relatif mahal, dan situasi-situasi darurat lainnya yang membutuhkan kemampuan pendapatan yang dapatmencukupinya.Kondisi dalam kemiskinan dianggap tidak mampu untuk menghadapi situasi ini.

4) Ketergantungan (dependency)

Keterbatasan kemampuan pendapatan ataupun kekuatan sosial dari seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin tadi menyebabkan tingkat ketergantungan terhadap pihak lain adalah sangat tinggi. Mereka tidak memiliki kemampuan atau kekuatan untuk menciptakan solusi atau penyelesaian masalah terutama yang berkaitan dengan penciptaan pendapatan baru. Bantuan pihak lain sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan- persoalan terutama yang berkaitan dengan kebutuhan akan sumber pendapatan.

5) Keterasingan (Isolation)

Dimensi keterasingan seperti yang dimaksudkan oleh Chambers adalah faktor lokasi yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin.Pada umumnya, masyarakat yang disebut miskin ini berada pada daerah yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.Hal ini dikarenakan

(28)

15 sebagian besar fasilitas kesejahteraan lebih banyak terkonsentrasi di pusat- pusat pertumbuhan ekonomi seperti di perkotaan atau kota-kota besar.Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh fasilitas-fasilitas kesejahteraan relatif memiliki taraf hidup yang rendah sehingga kondisi ini menjadi penyebab adanya kemiskinan.

BAPPENAS memberikan rumusan yang konkrit sebagai indikator utama kemiskinan yaitu:

(1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan;

(2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan;

(3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan;

(4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha;

(5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah;

(6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi;

(7) terbatasnya akses terhadap Air Minum;

(8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah;

(9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam;

(10) lemahnya jaminan rasa aman;

(11) lemahnya partisipasi;

(12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga;

(13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

Sedangkan menurut Bank Dunia Indikator utama kemiskinan adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

Sementara indikator keluarga fakir miskin yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI (2005: 15-16), yaitu :.

(29)

16 (1). Penghasilan rendah, atau berada di bawah garis kemiskinan yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per orang per bulan berdasarkan standar BPS per wilayah propinsi dan Kabupaten/kota.

(2). Ketergantngan pada bantuan pangan kemiskinan (zakat/raskin/santunan sosial).

(3). Keterbatasan kepemilikan pakaian yang cukup setiap anggota keluraga per tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun).

(4). Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.

(5). Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya.

(6). Tidak memiliki harta yang dapat dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas kemiskinan.

(7). Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40 tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sjak awal.

(8). Ada anggota keluarga usia 15 tahun ke atas yang buta huruf.

(9). Tinggal di rumah yang tidak layak huni.

Secara umum jika 3 (tiga) kriteria tersebut di atas terpenuhi, maka sebuah keluarga sudah dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin yang layak untuk memperoleh pelayanan. Semakin banyak kriteria yang terpenuhi semakin fakir keluarga tersebut dan harus diprioritaskan penanganannya.

Dilihat dari karakteristik rumah tangga miskin di Indonesia, BPS (2008), mengekelompokkannya dalam bidang sosial demografi, pendidikan, ketenagakerjaan dan perumahan. Uraian ringkas masing-masing karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :

a. Karakteristik Sosial Demografi

Karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin meliputi :

1) Rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4,70 (perkotaan) dan 4,64 orang (perdesaan),

2) Prosentase perempuan sebagai kepala rumah tangga mencapai 14,18%

(perkotaan) dan 12,30% (perdesaan),

3) Rata-rata usia kepala rumah tangga 48,57 tahun (perkotaan) dan 47,86 tahun (perdesaan),

(30)

17 4) Tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang diukur dengan indikator rata-

rata lama sekolah yang dijalani kepala rumah tangga, yaitu 5,19 tahun (perkotaan) dan 4,06 tahun (perdesaan) atau setara dengan tamat SD dan SMP.

b. Karakteristik Pendidikan

Karakteristik pendidikan meliputi :

1) Prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf sebesar 14,30%

(perkotaan) dan 19,57% (perdesaan),

2) Tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga yang Tidak Tamat SD dan Tamat SD, di perkotaan sebesar 37,13% dan 35,55% sedangkan di perdesaan sebesar 45,36% dan 41,15%.

c. Karakteristik Ketenagakerjaan

Karakteristik ketenagakerjaan meliputi :

1) Rata-rata prosentase pengeluaran rumah tangga per-kapita/bulan atau sumber penghasilan utama rumah tangga di perkotaan sebesar 14,71% yang tidak bekerja dan 30,02% yang bekerja di sektor pertanian sedangkan di perdesaan sebesar 8,67% yang tidak bekerja dan 68,99% yang bekerja di sektor pertanian.

2) Status pekerjaan kepala rumah tangga, antara lain : tidak bekerja dan berusaha sendiri (atau berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap), masing- masing sebesar 14,71% dan 40,86% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 8,67% dan 60,63%.

d. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) Karakteristik tempat tinggal meliputi :

1) Luas lantai < 8 M² sebanyak 31,01% (perkotaan) dan 29,61% (perdesaan), 2) Lantai tanah sebesar 18,68% (perkotaan) dan 31,21% (perdesaan),

3) Jenis atap rumah yang terbuat dari ijuk/rumbia sebesar 0,41% (perkotaan) dan 4,57% (perdesaan),

4) Jenis dinding yang terbuat dari kayu dan bambu, masing-masing sebesar 16,15% dan 17,88% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 30,57%

dan 29,33%,

(31)

18 5) Jenis penerangan, yaitu petromax/aladin dan pelita/sentir/obor, masing-

masing sebesar 0,56% dan 3,07% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 1,37% dan 19,71%,

6) Sumber Air Minum yang meliputi mata air, sumur tak terlindung, air sungai, air hujan dll sebesar 49,70% (perkotaan) dan 63,99% (perdesaan),

7) Jenis jamban (jamban umum atau tidak ada) sebesar 34,95% (perkotaan) dan 51,66% (perdesaan),

8) Status pemilikan rumah tinggal yang bukan milik sendiri (sewa/kontrak, menumpang, dll) sebesar 14,93% (perkotaan) dan 7,27% (perdesaan).

Sama halnya dengan indikator, pada kenyataan di lapangan dapat diketahui bahwa tidak semua komunitas miskin menyandang semua karakteristik kemiskinan versi BPS atau karakteristik versi lainnya. Karakteristik yang umum ditemui dalam komunitas miskin adalah : 1) jumlah anggota rumah tangga, 2) prosentase perempuan sebagai kepala rumah tangga, 3) prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf, 4) jenis lantai tanah, 5) jenis penerangan dan 6) status kepemilikan tempat tinggal/rumah.

2.3 Evaluasi Kebijakan/Evaluasi Program

Evaluasi diartikan sebagai riset untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi, menilainya dengan membandingkannya dengan indikator evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi (Wirawan, 2016).

Evaluasi dilakukan secara independen untuk menilai proses kegiatan program baik dari aspek efesiensi dan efektifitas kegiatan maupun dampak dari program. Kegiatan evaluasi program mencakup aspek monitoring kesinambungan (proses partisipasi dan outcome), pelaksanaan dan output kegiatan, evaluasi dampak program, dan evaluasi yang meliputi proses, hasil, dan pendanaan.

Evaluasi program bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai hal yang muncul dalam pelaksanaan program sehingga memberi kesempatan kepada pelaksanan program untuk melakukan perbaikan yang diperlukan berdasarkan rekomendasi dan hasil pemantauan, dengan kata lain evaluasi program berguna untuk melihat apakah intervensi input yang dilakukan telah memberikan dampak sesuai harapan program yang ditetapkan.

(32)

19 2.4. Gambaran Umum Program-Program Terkait Sanitasi dan Air Minum

1. Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) adalah program nasional pembangunan sanitasi di Indonesia yang digagas oleh Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS) dengan mempromosikan Strategi Sanitasi Kota (SSK). SSK merupakan dokumen cetak biru berisi pembangunan sanitasi sebuah kota/Kabupaten yang komprehensif (http://www.ampl.or.id).

PPSP diarahkan pada 3 sasaran, yakni:

a. Menghentikan perilaku buang air besar sembarangan (BABS) pada tahun 2014, di perkotaan dan pedesaan.

b. Pengurangan timbunan sampah dari sumbernya dan penanganan sampah yang ramah lingkungan

c. Pengurangan genangan di 100 Kabupaten/kota seluas 22.500 hektar.

2. Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) adalah salah satu program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dengan dukungan Bank Dunia, program ini dilaksanakan di wilayah perdesaan dan pinggiran kota.

Program Pamsimas bertujuan untuk meningkatkan jumlah fasilitas pada warga masyarakat kurang terlayani termasuk masyarakat berpendapatan rendah di wilayah perdesaan dan peri-urban. Dengan Pamsimas, diharapkan mereka dapat mengakses pelayanan air minum dan sanitasi yang berkelanjutan serta meningkatkan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat. Penerapan program ini dalam rangka mendukung pencapaian target MDGs (sektor air minum dan sanitasi) melalui pengarusutamaan dan perluasan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat.

(33)

20 3. SANIMAS atau Sanitasi Berbasis Masyarakat adalah program untuk menyediakan prasarana air limbah bagi masyarakat di daerah kumuh padat perkotaan.

Dalam pembangunan fasilitas Sanimas, digunakan konsep pemberdayaan masyarakat untuk menjadikan masyarakat aktor utama dalam proses perencanaan, pembangunan, operasional dan pemeliharaan fasilitas sanitasi komunal, dengan tujuan agar fasilitas yang terbangun dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan. Konsep tersebut menggunakan prinsip-prinsip pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan berbasis-masyarakat seperti: pilihan yang diinformasikan sebagai dasar dalam pendekatan tanggap kebutuhan, air merupakan benda social dan ekonomi, pembangunan berwawasan lingkungan, peran aktif masyarakat, serta penerapan prinsip pemulihan biaya.

4. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. STBM menjadi acuan nasional untuk program sanitasi berbasis masyarakat sejak lahirnya Kepmenkes No 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis masyarakat.

STBM memiliki 6 (enam) strategi nasional, yaitu:

a. Penciptaan lingkungan yang kondusif (enabling environment) b. Peningkatan kebutuhan sanitasi (demand creation)

c. Peningkatan penyediaan sanitasi (supply improvement) d. Pengelolaan pengetahuan (knowledge management) e. Pembiayaan

f. Pemantauan dan evaluasi Keunggulan program :

a. Satu-satunya program yang mengusung non subsidi untuk pembangunan sarana jamban tingkat rumah tangga.

b. Sampai saat ini masih menjadi program sanitasi yang terbukti paling cepat meningkatkan akses sanitasi dan perubahan perilaku higiene di Indonesia.

(34)

21 c. STBM adalah satu-satunya program sanitasi yang menyasar

langsung ke tingkat rumah tangga.

d. STBM berfokus pada perubahan perilaku, bukan pembangunan sarana.

5. NAWASIS atau National Water Supply and Sanitation Information Services merupakan pusat data dan informasi berbasis internet yang sedang dikembangkan untuk memantau perkembangan sektor air minum dan sanitasi di Indonesia. NAWASIS tidak hanya mengevaluasi kinerja sektor AMPL namun juga sebagai kesatuan sistem yang akan memberikan layanan advokasi dan peningkatan kapasitas dalam rangka meningkatkan pembangunan air minum dan sanitasi. NAWASIS tidak dimaksudkan untuk menggantikan berbagai sistem informasi yang telah ada, namun menjadi penghubung berbagai sistem data dan informasi yang telah ada di sektor AMPL. NAWASIS ditujukan menjadi Kebijakan Pengelolaan Data dan Informasi yang akan diadopsi pada RPJMN 2015-2019.

NAWASIS merupakan instrument pendukung dalam memberikan layanan yang meliputi:

- Manajemen Data dan Informasi

Layanan ini mencakup pengelolaan data dan penyediaan produk dan layanan, seperti majalah Percik dan berbagai situs AMPL (pengelolaan pengetahuan, nawasis.info, dan digilib AMPL)

- Advokasi

Layanan ini mencakup pengembangan strategi advokasi, optimalisasi, dan koordinasi advokasi

- Penguatan Kapasitas

Layanan ini mencakup penyediaan modul dan panduan, pertukaran pengetahuan, dan diseminasi pembelajaran

Salah satu instrument utama NAWASIS adalah situs nawasis.info yang dapat digunakan oleh pengguna untuk memasukkan dan mengetahui data sektor air minum dan sanitasi. Data tersebut kemudian akan diolah NAWASIS menjadi informasi yang lebih mudah, sehingga dapat dipahami oleh semua pengguna. Dengan NAWASIS sebagai portal maka alur input

(35)

22 data tidak akan dilakukan berulang-ulang dan lebih efisien karena adanya kolaborasi data antar program tersebut.

6. RPAM merupakan usaha pencegahan, perlindungan, serta pengendalian pasokan air minum bagi masyarakat Indonesia. RPAM merupakan adopsi dari konsep Water Safety Plan milik World Health Organization yang mengamankan air minum melalui pendekatan manajemen risiko. Konsep ini dilakukan dengan sistem dinamik yang diawali dengan mengidentifikasi risiko dari hulu sampai ke tangan konsumen dan selanjutnya dapat ditentukan tindakan pengendaliannya. Secara umum RPAM diharapkan dapat meningkatkan pelayanan air yang lebih baik di seluruh Indonesia dan dapat menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Dalam, pelaksanaannya, RPAM dilakukan menjadi 3 komponen:

a. Komponen Sumber, yaitu program pengamanan air minum di wilayah sumber air yang dapat berupa mata air, sungai, danau, laut, air tanah dangkal, maupun air tanah dalam. RPAM-Sumber bertujuan untuk mengendalikan pencemaran dan meningkatkan kualitas sumber air baku bagi operator air minum maupun para konsumen/pengguna yang langsung menggunakan air dari sumber air baku seperti mata air, dan lain sebagainya;

b. Komponen Operator, yaitu program pengamanan air minum yang dilakukan pada sistem pengolahan air minum yang meliputi unit intake, pengolahan, dan distribusi air minum. RPAM-Operator meliputi operator berbasis institusi seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Dinas, maupun Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang mengelola air minum di daerah maupun operator berbasis masyarakat seperti Badan Pengelola Sistem Penyediaan Air Minum (BP-SPAM), Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (HIPPAM), dan badan pengelola di tingkat desa dan/atau masyarakat yang mengelola air minum. RPAM-Operator bertujuan untuk mengefisiensikan biaya

(36)

23 pengolahan dan memperbaiki pelayanan penyelenggara air minum baik oleh pemerintah, PDAM, maupun masyarakat atau swasta;

c. Komponen Konsumen, yaitu program pengamanan air minum pada tingkat pengguna atau konsumen dan lebih ditujukan kepada cara- cara penyimpanan air yang aman di tingkat rumah tangga dengan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memiliki Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). RPAM-Konsumen ditujukan untuk mencegah terjadinya rekontaminasi air minum setelah mencapai tangan konsumen/pengguna. Pada RPAM-Konsumen, masyarakat dipastikan untuk selalu mendapatkan air minum yang berkualitas dan memenuhi standar kesehatan.

7. Program USAID Indonesia Urban Water, Sanitation andHygiene Penyehatan Lingkungan untuk Semua (IUWASH PLUS) merupakan sebuah inisiatif untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan akses air minum dan layanan sanitasi serta perbaikan perilaku higiene bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan di perkotaan (https://www.iuwashplus.or.id). USAID IUWASH PLUS bekerja sama dengan instansi pemerintah dan donor, pihak swasta, LSM, kelompok masyarakat dan mitra lainnya untuk mencapai hasil utama, yaitu:

a. Peningkatan akses untuk kualitas layanan air minum yang lebih baik bagi satu juta penduduk perkotaan, di mana 500.000 di antaranya adalah penduduk dengan 40% tingkat;

b. Kesejahteraan terendah dari total populasi (yang juga disebut sebagai B40); dan

c. Peningkatan akses untuk layanan sanitasi yang aman bagi 500.000 penduduk perkotaan.

8. TPS 3R adalah Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (mengurangi - menggunakan - daur ulang) Pendekatan pengelolaan 3R mulai dari menjemput sampah dari tiap rumah, pemilah sampah, pengelolaan sampah organik akan dijadikan kompos. Tujuan program ini pemerintah memberikan sarana kepada masyarakat dikawasan

(37)

24 permukiman padat diperkotaan yang ingin melaksanakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang sesuai dengan pilihan dan kondisi lingkungan sekitar mereka. Lahan yang dibutuh minimal 200 m2 dan tingkat pelayanan minimal 200 KK.

TPS 3R Berbasis masyarakat merupakan salah satu penyelenggaraan prasarana dan sarana pengelolaan persampahan dengan metode pendekatan pemberdayaan masyarakat melalui :

a. Keberpihakan pada masyarakat berpenghasilan rendah maupun tinggi, baik dalam proses maupun pemanfaatan hasil, ditujukan kepada masyarakat yang ada dipermukiman perkotaan.

b. Otonomi dan Desentralisasi Masyarakat memperoleh kepercayaan dan kesempatan yang luas dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan, dan pengelolaan prasarana dan sarana TPS 3R terbangun.

c. Partisipatif, dimana masyarakat dilibatkan langsung secara aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan, dan pengelolaan TPS 3R.

d. Keswadayaan, dimana masyarakat menjadi faktor pendorong utama keberhasilan kegiatan, baik perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan, pengelolaan, dan pemeliharaan prasarana dan sarana TPS 3R terbangun

9. Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) adalah satu dari sejumlah upaya strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mempercepat penanganan permukiman kumuh di Indonesia dan mendukung “Gerakan 100-0-100”, yaitu 100 persen akses universal air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak. Arah kebijakan pembangunan Dirjen Cipta Karya adalah membangun sistem, memfasilitasi pemerintah daerah, dan memfasilitasi komunitas (berbasis komunitas). Program Kotaku menangani kumuh dengan membangun platform kolaborasi melalui peningkatan peran pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat (http://kotaku.pu.go.id).

(38)

25 Tujuan umum program ini adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan untuk mendukung perwujudan permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan. Dalam tujuan umum tersebut terkandung dua maksud. Pertama, memperbaiki akses masyarakat terhadap infrastruktur dan fasilitas pelayanan di permukiman kumuh perkotaan. Kedua adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perkotaan melalui pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh, berbasis masyarakat, dan partisipasi pemerintah daerah.

10. Water Sanitation and Hygiene (WASH) adalah program dukungan pembangunan sektor Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) dalam kerangka kerjasama Pemerintah Indonesia dengan UNICEF. Cikal bakal program ini berawal dari dukungan UNICEF terhadap bencana tsunami di Aceh tahun 2004, yang kemudian dilanjutkan sampai sekarang dengan memperluas cakupan layanan ke daerah luar Aceh, khususnya Indonesia Timur. Tujuan Program WASH UNICEF adalah meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak melalui peningkatan pelayanan sektor air minum dan sanitasi yang layak

Terdapat 3 komponen besar sebagai strategi pendekatan program WASH UNICEF di tahun 2014, yakni:

a. Komponen perubahan perilaku melalui dukungan terhadap pelaksanaan STBM

b. Sanitasi Sekolah (WASH in School) melalui WASH in School Empowerment Project (dukungan Dubai Cares dan UNICEF) c. Peningkatan Kapasitas Institusional (institutional Strengthening) 2.5 Kerangka Pikir

Pemerintah daerah memiliki kewajiban memenuhi layanan penyehatan lingkungan (sanitasi dasar) dan air minum. Ditegaskan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa urusan terkait sanitasi dan air minum menjadi pelayanan dasar wajib yang merupakan urusan konkuren Pemerintah yang termasuk dalam kategori pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, perencanaan pembangunan, perumahan, dan

(39)

26 pemberdayaan masyarakat desa, sedangkan pemerintah pusat berperan dalam pembinaan, penyedian pedoman, norma, standar, dan kebijakan.

Untuk itu diperlukan komitmen bersama Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/kota dalam implementasi pembangunan sanitasi dan air minum yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan sanitasi dan air minum di Provinsi Sulawesi Selatan terutama dari segi : 1) ketersediaan regulasi yang akan dan telah ditetapkan, dimana pemerintah berkewajiban menyusun dan melakukan sosialisasi regulasi tentang pelayanan sanitasi dan air minum yang telah ada baik ditingkat Kabupaten/Kota maupun di tingkat desa dan masyarakat, 2) Proporsi penganggaran dimana Faktor ini sangat menentukan penentuan sistem dan cakupan pelayanan sanitasi dan air minum dan tergantung pada kemampuan keuangan daerah. Proporsi anggaran APBD murni pengelolaan sanitasi dan air minum terhadap belanja langsung minimal 2%. Selain itu dituntut adanya sumber alternatif pendanaan dengan keterlibatan pihak swasta dan lembaga donor dalam pengelolaan dan pelayanan sanitasi (persampahan, air limbah domestik dan drainase) dan air minum. Karena Keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan sanitasi dan air minum di Provinsi Sulawesi Selatan sangat dibutuhkan, 3) dukungan koordinasi antar seluruh stakeholder dimana Pemerintah baik pusat, provinsi, maupun Kabupaten/kota memiliki peran penting dalam pelayanan sanitasi dan air minum, disamping itu keterlibatan swasta (mitra) dan masyarakat perlu ditingkatkan dengan pola pemberdayaan masyarakat. Sehingga Evaluasi Pelayanan Sanitasi dan Air Minum di Pemukiman Miskin di Sulawesi Selatan dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat diterapkan dan ditindaklanjuti oleh Organisasi Perangkat Daerah terkait. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut :

Evaluasi Pelayanan Sanitasi dan Air Minum di Pemukiman Miskin di Sulawesi Selatan

Peran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

Rekomendasi Regulasi

Penganggaran

Koordinasi

Referensi

Dokumen terkait

Melalui temuan dan analisis data di atas dapat dilihat bahwa adanya pembongkaran representasi kulit hitam dalam aspek kepemimpinan dan heroisme. Namun pembongkaran itu

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), rasionalization (rasionalisasi), capability

Melalui penerapan sistem data warehouse dapat memberikan dampak positif bagi perusahaan, diantaranya proses analisis ataupun pengelolaan informasi berdasarkan data

Ketidakmampuan manusia dalam menjalankan kehidupan sehari- hari akan mendorong manusia untuk selalu mengadakan hubungan timbal balik dengan sesamanya serta bertujuan

Informasi terkait adanya penambahan informasi terbuka pada Daftar Informasi Publik (Kepala) Sub Bagian Umum dan Kepegawaian (Kepala) Sub Bagian Umum dan Kepegawaian Maret

Ketuban pecah dini dapat menyebabkan PMH dikarenakan ketuban pecah dini menyebabkan infeksi ibu-janin. Infeksi dalam uterus dan korioamnionitis.. menyebabkan secara langsung

Merendam sampel ayam broiler dengan berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) varietas putih yang telah diencerkan dengan aquades selama 30 menit..