• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5. Ruang Lingkup

Mengingat luasnya pembahasan tentang sanitasi dan Air Minum serta banyaknya program-program yang berkaitan dengan hal tersebut, maka ruang lingkup kajian ini hanya mengevaluasi komponen input, khususnya sejauh mana dukungan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam menyiapkan regulasi, menyediakan anggaran dan melakukan koordinasi dalam rangka pencapaian Universal Access dan SDGs. Ruang lingkup sanitasi dan Air Minum

8 yang menjadi bahasan kajian ini meliputi pengelolaan persampahan dan air limbah rumah tangga, serta penyediaan air minum untuk konsumsi (minum, makan dan masak).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sanitasi dan Air Minum

Usaha peningkatan kesehatan lingkungan yang umumnya dikenal dengan sebutan sanitasi merupakan salah satu tindakan yang dimaksudkan untuk pemeliharaan kesehatan maupun pencegahan penyakit pada lingkungan fisik, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

Sanitasi dalam bahasa Inggris berasal dari kata sanitation yang diartikan sebagai penjagaan kesehatan (Echols dan Shadily, 2003). Ehler dan Steel dalam Anwar (1999) mengemukakan bahwa sanitasi adalah usaha-usaha pengawasan yang ditujukan terhadap faktor lingkungan yang dapat menjadi mata rantai penularan penyakit. Sedangkan Azwar (1990) mengungkapkan bahwa sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan teknik terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi derajat kesehatan manusia.

Sanitasi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu usaha yang mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia terutama terhadap hal-hal yang mempengaruhi efek, merusak perkembangan fisik, kesehatan, dan kelangsungan hidup. Definisi ini serupa dengan yang diungkapkan Entjang (2000) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sanitasi adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak, dan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan.

Sementara itu, Ehler (1986) menyatakan bahwa sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit dengan melenyapkan atau mengendalikan faktor-faktor risiko lingkungan yang merupakan mata rantai penularan penyakit). Hal ini sejalan dengan pendapat Rantetampang (1985) bahwa sanitasi ialah suatu cara untuk mencegah berjangkitnya penyakit menular dengan jalan memutuskan mata

9 rantai dari sumber penularan. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesianomor:965/MENKES/SK/XI/1992, pengertian sanitasi adalah segala upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan (KEMENKES, 1992).

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatannya kepada usaha-usaha kesehatan lingkungan hidup manusia yaitu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap status kesehatan yang optimum pula. Sanitasi lingkungan ditujukan untuk memenuhi persyaratan lingkungan yang sehat dan nyaman. Lingkungan yang sanitasinya buruk dapat menjadi sumber berbagai penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Pada akhirnya jika kesehatan terganggu, maka kesejahteraan juga akan berkurang. Karena itu upaya sanitasi lingkungan menjadi penting dalam meningkatkan kesejahteraan.

Pentingnya lingkungan yang sehat ini telah dibuktikan oleh WHO dengan penyelidikan diseluruh dunia dimana didapatkan hasil bahwa angka kematian (mortalitas), angka kematian orang sakit ( morbiditas ) yang tinggi, serta seringnya terjadi epidemi, terdapat ditempat-tempat yang hygenitas dan sanitasi lingkungannya yang buruk, yaitu ditempat-tempat banyak terdapat lalat, nyamuk, pembuangan kotoran, air rumah tangga yang buruk dan perumahan yang terlalu sesak dan keadaan sosial ekonomi yang jelek. Ternyata pula bahwa bahwa di tempat – tempat yang hygenitas dan sanitasi lingkungannya diperbaiki, mortalitas, morbiditas menurun dan wabah berkurang dengan sendirinya.

Menurut Azwar (1990),secara umum, akibat yang ditimbulkan oleh lingkungan terhadap kesehatan manusia dapat dibedakan atas dua masalah, yaitu:

1. Akibat atau masalah yang ditimbulkan segera terjadi, artinya begitu foktor lingkungan yang tidak menguntungkan tersebut hadir atau tidak dalam kehidupan maka akan timbullah penyakit.

2. Akibat atau masalah yang ditimbulkan secara lambat laun, artinya terdapat tenggang waktu antara hadir atau tidak hadirnya faktor lingkungan yang tidak menguntungkan dengan munculnya penyakit.

10 Sedangkan peranan faktor lingkungan dalam menimbulkan penyakit dapat dibedakan atas empat macam:

1. Sebagai predisprosing artinya berperan berperan dalam menunjang terjangkitnya suatu penyakit.

2. Sebagai penyebab penyakit secara langsung, misalnya seorang yang bekerja pada pabrik yang bising mudah menyebabkan penyakit pada pendengaran.

3. Sebagai medium transmisi penyakit, misalnya air yang merupakan medium transmisi penyakit diare.

4. Sebagai faktor yang mempengaruhi perjalanan suatu penyakit, misalnya kondisi rumah / ruang yang sempit memudahkan penularan penyakit.

Anwar,(2003) menyatakan bahwa ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup: perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang) dan sebagainya. Sementara itu WHO merumuskan ruang lingkup kesehatan lingkungan sebagai berikut :

1. Penyedian air bersih yang cukup kuantitas maupun kualitasnya 2. Pengelolahan air limbah dan sampah

3. Pengelolahan sanitasi makanan dan minuman 4. Pencemaran terhadap udara, tanah dan air 5. Perumahan dan lingkungan sekitar

6. Kontrol vektor dan kemungkinan tempat penjamu penyakit 7. Masalah kesehatan kerja.

Slamet (2001) mengungkapkan bahwa sanitasi lingkungan lebih menekankan pada pengawasan dan pengendalian / kontrol pada faktor lingkungan manusia seperti:

a. Penyediaan air menjamin air yang digunakan oleh manusia bersih dan sehat.

b. Pembuangan kotoran manusia, air buangan dan sampah.

c. Individu dan masyarakat terbiasa hidup sehat dan bersih.

d. Makanan, menjamin makanan tersebut aman, bersih dan sehat.

e. Anthropoda binatang pengerat dan lain-lain.

f. Kondisi udara bebas dari bahan-bahan yang berbahaya dari kehidupan manusia.

11 g. Pabrik-pabrik, kantor-kantor dan sebagainya bebas dari bahaya-bahaya

kepada masyarakat sekitar.

Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Azwar,1996). Upaya sanitasi dasar meliputi penyediaan Air Minum, pembuangan kotoran manusia (jamban), pengelolaan sampah dan saluran pembuangan air limbah.

Air sebagai salah satu komponen sanitasi merupakan bahan pokok yang mutlak dibutuhkan oleh manusia sepanjang masa. Ketersediaan Air Minum akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Untuk mendapatkan air yang baik, sesuai dengan standar tertentu, saat ini menjadi barang yang mahal karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik limbah dari kegiatan industri dan kegiatan lainnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

416/MenKes/Per/IX/1990, yang di maksud air bersih adalah air bersih yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah di masak. Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat.ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan.

Pelayanan air bersih lebih mengutamakan pada user based karena menyangkut kesesuaian antara kebutuhan masyarakat akan air bersih dan kemampuan kualitas pelayanan dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut World Health Organization (WHO) terdapat lima kriteria penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan hak akan air bersih yang mengedepankan pelayanan air bersih bagi setiap orang, yaitu : aman (safe) dan layak, (accepTabel); cukup (sufficient); mudah diakses (accessible); dan terjangkau (affordable).

2.2 Kemiskinan dan Masyarakat Miskin

Pengertian kemiskinan sangat beragam, yaitu mulai dari sekedar ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dasar hingga pengertian

12 yang lebih luas dengan memasukkan komponen-komponen sosial, budaya, dan politik. Definisi kemiskinan mengalami perkembangan sesuai dengan penyebabnya yaitu, pada awal 1990-an definisi kemiskinan telah diperluas tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tapi juga mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sebagainya.

Belakangan ini pengertian kemiskinan telah mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Definisi orang miskin hanya dari sudut pemenuhan konsumsi saja sudah tidak cukup karena: (1) pengertian ini sering tidak berhubungan dengan definisi kemiskinan yang dimaksud oleh orang miskin itu sendiri, dan tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) pengertian tersebut dapat menjerumuskan kepada kesimpulan yang salah, bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai, dan (3) pengertian tersebut telah terbukti tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika merumuskan kebijakan lintas sektoral dan bisa kontra produktif (Smeru, 2001).

Pengertian kemiskinan menurut berbagai pihak sangat beragam, antara lain menurut Menko Kesra (2000), kemiskinan adalah suatu keadaan kekurangan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang di luar keinginan yang bersangkutan sebagai kejadian yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya yang disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks yang berinteraksi satu sama lain.

BKKBN (2002), kemiskinan adalah jumlah keluarga miskin prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya; tidak mampu makan 2 kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian; bagian tertentu dari rumah berlantai tanah; dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.

Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, Air Minum, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan

13 atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.

BPS (2009) penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Sedangkan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

Dalam mengukur kemiskinan ini, BPS menggunakan pendekatan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak-mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Sedangkan definisi kemiskinan menurut Bank Dunia adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan pendapatan $ 1 per hari per jiwa (Bank Dunia, 2004).

Definisi kemiskinan yang dikemukakan oleh Chambers adalah definisi yang saat ini mendapatkan perhatian dalam setiap program pengentasan kemiskinan di berbagai negara-negara berkembang dan dunia ketiga. Pandangan yang dikemukakan dalam definisi kemiskinan dari Chambers menerangkan bahwa kemiskinan adalah suatu kesatuan konsep (integrated concept) yang memiliki lima dimensi, yaitu:

1) Kemiskinan (Proper)

14 Permasalahan kemiskinan seperti halnya pada pandangan semula adalah kondisi ketidakmampuan pendapatan untuk mencukupi kebutuhankebutuhan pokok. Konsep atau pandangan ini berlaku tidak hanya pada kelompok yang tidak memiliki pendapatan, akan tetapi dapat berlaku pula pada kelompok yang telah memiliki pendapatan.

2) Ketidakberdayaan (Powerless)

Pada umumnya, rendahnya kemampuan pendapatan akan berdampak pada kekuatan sosial (social power) dari seseorang atau sekelompok orang terutama dalam memperoleh keadilan ataupun persamaan hak untukmendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

3) Kerentanan menghadapi situasi darurat (State of emergency)

Seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin tidak memiliki atau kemampuan untuk menghadapi situasi yang tidak terduga di mana situasi ini membutuhkan alokasi pendapatan untuk menyelesaikannya.Misalnya, situasi rentan berupa bencana alam, kondisi kesehatan yang membutuhkan biaya pengobatan yang relatif mahal, dan situasi-situasi darurat lainnya yang membutuhkan kemampuan pendapatan yang dapatmencukupinya.Kondisi dalam kemiskinan dianggap tidak mampu untuk menghadapi situasi ini.

4) Ketergantungan (dependency)

Keterbatasan kemampuan pendapatan ataupun kekuatan sosial dari seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin tadi menyebabkan tingkat ketergantungan terhadap pihak lain adalah sangat tinggi. Mereka tidak memiliki kemampuan atau kekuatan untuk menciptakan solusi atau penyelesaian masalah terutama yang berkaitan dengan penciptaan pendapatan baru. Bantuan pihak lain sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan terutama yang berkaitan dengan kebutuhan akan sumber pendapatan.

5) Keterasingan (Isolation)

Dimensi keterasingan seperti yang dimaksudkan oleh Chambers adalah faktor lokasi yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin.Pada umumnya, masyarakat yang disebut miskin ini berada pada daerah yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.Hal ini dikarenakan

15 sebagian besar fasilitas kesejahteraan lebih banyak terkonsentrasi di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti di perkotaan atau kota-kota besar.Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh fasilitas-fasilitas kesejahteraan relatif memiliki taraf hidup yang rendah sehingga kondisi ini menjadi penyebab adanya kemiskinan.

BAPPENAS memberikan rumusan yang konkrit sebagai indikator utama kemiskinan yaitu:

(1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan;

(2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan;

(3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan;

(4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha;

(5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah;

(6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi;

(7) terbatasnya akses terhadap Air Minum;

(8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah;

(9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam;

(10) lemahnya jaminan rasa aman;

(11) lemahnya partisipasi;

(12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga;

(13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

Sedangkan menurut Bank Dunia Indikator utama kemiskinan adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

Sementara indikator keluarga fakir miskin yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI (2005: 15-16), yaitu :.

16 (1). Penghasilan rendah, atau berada di bawah garis kemiskinan yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per orang per bulan berdasarkan standar BPS per wilayah propinsi dan Kabupaten/kota.

(2). Ketergantngan pada bantuan pangan kemiskinan (zakat/raskin/santunan sosial).

(3). Keterbatasan kepemilikan pakaian yang cukup setiap anggota keluraga per tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun).

(4). Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.

(5). Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya.

(6). Tidak memiliki harta yang dapat dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas kemiskinan.

(7). Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40 tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sjak awal.

(8). Ada anggota keluarga usia 15 tahun ke atas yang buta huruf.

(9). Tinggal di rumah yang tidak layak huni.

Secara umum jika 3 (tiga) kriteria tersebut di atas terpenuhi, maka sebuah keluarga sudah dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin yang layak untuk memperoleh pelayanan. Semakin banyak kriteria yang terpenuhi semakin fakir keluarga tersebut dan harus diprioritaskan penanganannya.

Dilihat dari karakteristik rumah tangga miskin di Indonesia, BPS (2008), mengekelompokkannya dalam bidang sosial demografi, pendidikan, ketenagakerjaan dan perumahan. Uraian ringkas masing-masing karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :

a. Karakteristik Sosial Demografi

Karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin meliputi :

1) Rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4,70 (perkotaan) dan 4,64 orang (perdesaan),

2) Prosentase perempuan sebagai kepala rumah tangga mencapai 14,18%

(perkotaan) dan 12,30% (perdesaan),

3) Rata-rata usia kepala rumah tangga 48,57 tahun (perkotaan) dan 47,86 tahun (perdesaan),

17 4) Tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang diukur dengan indikator

rata-rata lama sekolah yang dijalani kepala rumah tangga, yaitu 5,19 tahun (perkotaan) dan 4,06 tahun (perdesaan) atau setara dengan tamat SD dan SMP.

b. Karakteristik Pendidikan

Karakteristik pendidikan meliputi :

1) Prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf sebesar 14,30%

(perkotaan) dan 19,57% (perdesaan),

2) Tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga yang Tidak Tamat SD dan Tamat SD, di perkotaan sebesar 37,13% dan 35,55% sedangkan di perdesaan sebesar 45,36% dan 41,15%.

c. Karakteristik Ketenagakerjaan

Karakteristik ketenagakerjaan meliputi :

1) Rata-rata prosentase pengeluaran rumah tangga per-kapita/bulan atau sumber penghasilan utama rumah tangga di perkotaan sebesar 14,71% yang tidak bekerja dan 30,02% yang bekerja di sektor pertanian sedangkan di perdesaan sebesar 8,67% yang tidak bekerja dan 68,99% yang bekerja di sektor pertanian.

2) Status pekerjaan kepala rumah tangga, antara lain : tidak bekerja dan berusaha sendiri (atau berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap), masing-masing sebesar 14,71% dan 40,86% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 8,67% dan 60,63%.

d. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) Karakteristik tempat tinggal meliputi :

1) Luas lantai < 8 M² sebanyak 31,01% (perkotaan) dan 29,61% (perdesaan), 2) Lantai tanah sebesar 18,68% (perkotaan) dan 31,21% (perdesaan),

3) Jenis atap rumah yang terbuat dari ijuk/rumbia sebesar 0,41% (perkotaan) dan 4,57% (perdesaan),

4) Jenis dinding yang terbuat dari kayu dan bambu, masing-masing sebesar 16,15% dan 17,88% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 30,57%

dan 29,33%,

18 5) Jenis penerangan, yaitu petromax/aladin dan pelita/sentir/obor,

masing-masing sebesar 0,56% dan 3,07% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 1,37% dan 19,71%,

6) Sumber Air Minum yang meliputi mata air, sumur tak terlindung, air sungai, air hujan dll sebesar 49,70% (perkotaan) dan 63,99% (perdesaan),

7) Jenis jamban (jamban umum atau tidak ada) sebesar 34,95% (perkotaan) dan 51,66% (perdesaan),

8) Status pemilikan rumah tinggal yang bukan milik sendiri (sewa/kontrak, menumpang, dll) sebesar 14,93% (perkotaan) dan 7,27% (perdesaan).

Sama halnya dengan indikator, pada kenyataan di lapangan dapat diketahui bahwa tidak semua komunitas miskin menyandang semua karakteristik kemiskinan versi BPS atau karakteristik versi lainnya. Karakteristik yang umum ditemui dalam komunitas miskin adalah : 1) jumlah anggota rumah tangga, 2) prosentase perempuan sebagai kepala rumah tangga, 3) prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf, 4) jenis lantai tanah, 5) jenis penerangan dan 6) status kepemilikan tempat tinggal/rumah.

2.3 Evaluasi Kebijakan/Evaluasi Program

Evaluasi diartikan sebagai riset untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi, menilainya dengan membandingkannya dengan indikator evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi (Wirawan, 2016).

Evaluasi dilakukan secara independen untuk menilai proses kegiatan program baik dari aspek efesiensi dan efektifitas kegiatan maupun dampak dari program. Kegiatan evaluasi program mencakup aspek monitoring kesinambungan (proses partisipasi dan outcome), pelaksanaan dan output kegiatan, evaluasi dampak program, dan evaluasi yang meliputi proses, hasil, dan pendanaan.

Evaluasi program bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai hal yang muncul dalam pelaksanaan program sehingga memberi kesempatan kepada pelaksanan program untuk melakukan perbaikan yang diperlukan berdasarkan rekomendasi dan hasil pemantauan, dengan kata lain evaluasi program berguna untuk melihat apakah intervensi input yang dilakukan telah memberikan dampak sesuai harapan program yang ditetapkan.

19 2.4. Gambaran Umum Program-Program Terkait Sanitasi dan Air Minum

1. Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) adalah program nasional pembangunan sanitasi di Indonesia yang digagas oleh Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS) dengan mempromosikan Strategi Sanitasi Kota (SSK). SSK merupakan dokumen cetak biru berisi pembangunan sanitasi sebuah kota/Kabupaten yang komprehensif (http://www.ampl.or.id).

PPSP diarahkan pada 3 sasaran, yakni:

a. Menghentikan perilaku buang air besar sembarangan (BABS) pada tahun 2014, di perkotaan dan pedesaan.

b. Pengurangan timbunan sampah dari sumbernya dan penanganan sampah yang ramah lingkungan

c. Pengurangan genangan di 100 Kabupaten/kota seluas 22.500 hektar.

2. Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) adalah salah satu program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dengan dukungan Bank Dunia, program ini dilaksanakan di wilayah perdesaan dan pinggiran kota.

Program Pamsimas bertujuan untuk meningkatkan jumlah fasilitas pada warga masyarakat kurang terlayani termasuk masyarakat berpendapatan rendah di wilayah perdesaan dan peri-urban. Dengan Pamsimas, diharapkan mereka dapat mengakses pelayanan air minum dan sanitasi yang berkelanjutan serta meningkatkan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat. Penerapan program ini dalam rangka mendukung pencapaian target MDGs (sektor air minum dan sanitasi) melalui pengarusutamaan dan perluasan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat.

20 3. SANIMAS atau Sanitasi Berbasis Masyarakat adalah program untuk menyediakan prasarana air limbah bagi masyarakat di daerah kumuh padat perkotaan.

Dalam pembangunan fasilitas Sanimas, digunakan konsep pemberdayaan masyarakat untuk menjadikan masyarakat aktor utama dalam proses perencanaan, pembangunan, operasional dan pemeliharaan fasilitas sanitasi komunal, dengan tujuan agar fasilitas yang terbangun dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan. Konsep tersebut menggunakan prinsip-prinsip pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan berbasis-masyarakat seperti: pilihan yang diinformasikan sebagai dasar dalam pendekatan tanggap kebutuhan, air merupakan benda social dan ekonomi, pembangunan berwawasan lingkungan, peran aktif masyarakat, serta penerapan prinsip pemulihan biaya.

4. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. STBM menjadi acuan nasional untuk program sanitasi berbasis masyarakat sejak lahirnya Kepmenkes No 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis masyarakat.

STBM memiliki 6 (enam) strategi nasional, yaitu:

a. Penciptaan lingkungan yang kondusif (enabling environment) b. Peningkatan kebutuhan sanitasi (demand creation)

c. Peningkatan penyediaan sanitasi (supply improvement) d. Pengelolaan pengetahuan (knowledge management) e. Pembiayaan

f. Pemantauan dan evaluasi Keunggulan program :

a. Satu-satunya program yang mengusung non subsidi untuk pembangunan sarana jamban tingkat rumah tangga.

b. Sampai saat ini masih menjadi program sanitasi yang terbukti paling cepat meningkatkan akses sanitasi dan perubahan perilaku higiene di Indonesia.

21 c. STBM adalah satu-satunya program sanitasi yang menyasar

langsung ke tingkat rumah tangga.

d. STBM berfokus pada perubahan perilaku, bukan pembangunan sarana.

5. NAWASIS atau National Water Supply and Sanitation Information

5. NAWASIS atau National Water Supply and Sanitation Information