• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1. Latar Belakang

Paradigma baru pembangunan wilayah dengan diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, diyakini dapat membawa angin baru untuk kemajuan pembangunan wilayah. Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perudang-undangan. Daerah juga dituntut untuk mengembangkan serta mengoptimalkan semua potensi wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan tingkat kemandirian yang tinggi.

Otonomi daerah sebenarnya merupakan sebuah peluang bagi daerah otonom (Kabupaten/Kota) untuk memperbaiki fungsi pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. Sebab otonomi yang mentransfer berbagai kewenangan akan melahirkan diskresi di tingkat lokal dalam membuat kebijakan pembangunan daerah yang sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat di daerah. Namun peluang tersebut tidak serta merta dapat merubah pola pembangunan daerah menjadi semakin baik untuk masyarakat daerah. Komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dan kesiapan masyarakat adalah faktor operasional yang cukup signifikan membuat peluang tersebut terealisasi secara empirik. Jika komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dan kapasitas masyarakat lokal lemah maka berbagai peluang tersebut cenderung hanya bersifat retoris yang indah dalam kata-kata dan tidak pernah terwujud dalam kehdupan nyata. Sebaliknya apabila komitmen dan konsistensi pemerintah daerah kuat yang terlihat dari adanya keinginan untuk mensejahterakan masyarakat melalui pembaharuan, baik secara struktural dan kultural serta internal dan eksternal institusi pemerintah daerah dan kehendak masyarakat cukup antusias membangun daerahnya maka peluang itu akan menjadi “pintu masuk” bagi kesejahteraan masyarakat lokal.

Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigma pembangunan, cara pandang pembangunan yang berorientsi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi luar

2

semata (persepektif materialistik), telah bergeser ke arah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannya.

Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan kepada proses- proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteran sosial dan material, termasuk meningkatkan keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian.

Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini telah banyak menimbulkan dampak masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks. Semakin melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi, degradasi dan tingkat kerusakan lingkungan yang semakin parah, beban dan ketergantungan pada utang luar negeri yang semakin berat adalah bukti-bukti nyata atas kegagalan praksis pembangunan. Realitas-realitas tersebut telah mendorong perubahan pemikiran dan konsepsi pembangunan wilayah yang lebih mendorong keterlibatan masyarakat.

Berbagai ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut, secara substansial di arahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan kemampuan masyarakat, yaitu diharapkan akan mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Di sisi lain, melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self-sustaining capacity masyarakat menuju sustainable development.

Salah satu tantangan pembangunan wilayah yang strategis dalam rangka mengatasi ketidakberdayaan yang selama ini terjadi adalah melalui upaya pemberdayaan masyarakat. Munculnya konsep pemberdayaan masyarakat sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang bersumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan, kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan. Disaat yang bersamaan, pendekatan pembangunan lebih bersifat sentralistik yang mengedepankan perencanaan top down serta keseragaman telah berhasil melemahkan kemandirian masyarakat.

3

Hadirnya konsep pemberdayaan masyarakat merupakan respon kritis terhadap pola pembangunan yang sentralistik dan seragam tersebut. Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat sebenarnya berakar pada paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centered development). Pengalaman dilapangan menunjukkan bahwa ketidakberdayaan masyarakat selama ini terjadi hampir di semua sektor kehidupan, di antaranya masih terbatasnya akses masyarakat terhadap berbagai sumberdaya ekonomi dan sumberdaya alam. Dalam kasus ini misalnya terbatasnya akses bagi para petani kecil untuk mendapatkan kredit dan ketiadaan akses bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam disekitarnya karena telah dikuasai oleh negara atau oleh perusahaan swasta. Ketidakberdayaan secara politik juga terjadi, banyak produk kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga politik tidak pro-poor, karena masyarakat tidak sanggup untuk mempengaruhi keputusan tersebut. Juga terjadi ketidakberdayaan berprakasrsa, hal ini terjadi karena tidak dilakukannya pengambilan keputusan secara partisipatif yaitu prosese-proses yang melibatkan pihak-pihak yang terkena pengaruh/dampak dari keputusan yang bersangkutan, sehingga masyarakat akhirnya menjadi tidak mau bepartisipasi karena tidak dilibatkan dalam setiap tahapan prosesnya.

Pemberdayaan masyarakat berarti menghilangkan ketidakberdayaan tersebut diatas dan memberdayakan masyarakat dengan membuka peluang yang sebesar-besarnya dalam proses perencanaan pembangunan wilayah, begitu juga dalam pelaksanaannya dan untuk menumbuhkan keberdayaan mesti bersandar pada aspirasi dan partisipasi masyarakat.

Dalam pengembangan masyarakat pertisipatif, masyarakat ditempatkan sebagai subyek pembangunan yang potensial sehingga membentuk motivasi dan perubahan partisipasi aktif masyarakat. Dengan pengembangan masyarakat partisipatif yang mengutamakan inner construction masyarakat, diharapkan masyarakat selanjutnya dapat membentuk dirinya sendiri dan bersikap mandiri dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul.

Kehadiran industri pertambangan disuatu wilayah dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan percepatan (akselerasi) pembangunan wilayah dimana perusahaan beroperasi ataupun wilayah-wilayah yang terbelakang yang diakibatkan oleh ketimpangan distribusi pembangunan. Keberadaan tambang disuatu wilayah juga secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah pada lokasi

4

tersebut. Di beberapa wilayah, sumbangan sektor pertambangan dan migas terhadap PDRB menempati urutan teratas dan jumlah penyerapan tenaga kerja sangat besar.

Hubungan pengembangan masyarakat dengan industri juga memberikan arti penting bagi pemerintah daerah mengingat adanya kecendrungan peningkatan perkembangan sektor industri merupakan potensi bagi peningkatan PAD serta peluang untuk melakukan pembangunan wilayah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks tersebut, pemerintah daerah tidak hanya dituntut untuk dapat menciptakan iklim bagi kelangsungan dunia usaha, tetapi juga menciptakan ketentuan hukum yang dapat memayungi program kemitraan antara pemerintah daerah, industri dan masyarakat.

Menurut Saleng (2004) dalam Hamzah (2005), dampak positif secara langsung kehadiran perusahaan pertambangan didaerah adalah adanya kesempatan kerja dan kesempatan usaha baru bagi masyarakat sekitar sehingga mengurangi pengangguran dan dapat memberikan kontribusi kepada pembangunan ekonomi, peningkatan kualitas hidup para pekerja maupun masyarakat disekitarnya

.

Sehingga dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi hal ini juga berarti meningkatnya pendapatan masyarakat. Dampak positif tidak langsung adalah meningkatnya kualitas sumberdaya manusia karena terbukanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sebagai dampak dari meningkatnya pendapatan, meningkatnya arus informasi yang dapat diterima oleh masyarakat karena adanya interaksi dengan para pendatang.

Dampak negatif secara langsung adalah berupa menurunnya tingkat kualitas lingkungan hidup karena adanya eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Dampak negatif secara tidak langsung adalah dampak sosial yaitu adanya pergeseran nilai sosial dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya interaksi dengan masyarakat luar yang lebih modern seperti misalnya masyarakat menjadi lebih permisif terhadap hal-hal negatif yang dulu sangat dilarang seperti perjudian, alkoholisme dan pergaulan bebas.

Kehadiran CHV diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan masyarakat sekitar. Hal ini diperlukan mengingat area pengelolaan sumberdaya panas bumi berada pada wilayah perdesaan yang

1

Studi ini dlakukan di wilayah kerja perusahaan CHV, perusahaan yang bergerak dalam bidang industri geothermal di Gunung Salak kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.

5

aksesibilitas masyarakatnya rendah karena berada jauh dari pusat Pemerintahan.

Letak yang jauh ini sering menjadi penyebab minimnya porsi pembangunan yang diterima masyarakat sehingga tidak hanya menyebabkan ketertinggalan perkembangan fisik wilayah tetapi juga dapat menciptakan masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang, serta semakin memperbesar disparitas antara wilayah maju dengan wilayah yang belum maju sehingga dalam proses pembangunannya menimbulkan ketergantungan terhadap wilayah yang sudah maju.

Oleh karena itu, suatu rancangan strategi pengembangan masyarakat yang dilakukan selayaknya adaptif terhadap pembangunan wilayah, sehingga perlu dibangun secara partisipatif dan berdasarkan inisiataif lokal. Diabaikannya partisipasi warga dalam mekanisme perencanaan pembangunan, membuat sebagian besar anggaran digunakan untuk kepentingan pemerintah, sampai saat ini, alokasi dana yang dikucurkan ke desa masih sangat kecil. Ini menyebabkan desa-desa sarat dengan berbagai persoalan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi yang lamban.

Program pengembangan masyarakat harus disesuaikan dengan perkembangan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tahapan perkembangan masyarakat yang berbeda menuntut adanya upaya pendekatan pengembangan yang berbeda pula. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kegiatan pengembangan masyarakat yang adaptif terhadap pembangunan wilayah dan mendorong percepatan pembangunan wilayah menjadi penting.