• Tidak ada hasil yang ditemukan

Justifikasi kebijakan desentralisasi, sebagaimana diungkapkan oleh Oates (1999), adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah dan meningkatkan efisiensi anggaran. Pemberian keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan terhadap program dan pengelolaan anggaran juga akan meningkatkan efektivitas penyediaan layanan umum kepada masyarakat (Bjornestad, 2009). Desentralisasi fiskal juga akan meningkatkan efisiensi pembiayaan, akuntabilitas penggunaan anggaran, dan dapat lebih memberi ruang kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam perumusan kebijakan, serta meningkatkan pelayanan publik. Lebih jauh, kebijakan desentralisasi fiskal juga diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan melalui program-program

pro-poor yang lebih efektif.

Mulai awal tahun 1970-an, banyak negara berkembang yang mulai melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal (Ismail, et.al., 2004). Hasil kajian empiris terkait dengan analisis hubungan desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi tidak menghasilkan kesimpulan yang konsisten. Berbagai penelitian menunjukkan hubungan negatif, sebagian lagi menunjukkan hubungan yang tidak nyata, dan beberapa yang lain, menunjukkan hubungan positif. Hasil penelitian yang menunjukkan dampak positif desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi (Lin and Liu, 2000; Desai et.al., 2003; Akai et.al., 2004; Zhang and Zou 1998; Akai and Sakata, 2002; Ismail, et.al., 2004; Iimi, 2005; Huther and Shah, 1998; Bjornestad, 2009; dan Armas, et.al., 2010). Penelitian yang menganalisis dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan dampak negatif, antara lain ditunjukkan oleh Zhang and Zou, (1998); Davoodi and Zou, (1998), sementara penelitian lain menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan (Wolter and Phillips, 1998; Xie et.al., 1999).

Implementasi otonomi daerah yang diikuti dengan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia sebenarnya lebih didorong karena masalah politik dan kegagalan pemerintah yang terpusat untuk membawa kesejahteraan secara lebih berkeadilan, dibandingkan oleh justifikasi ekonomi dan kesiapan yang matang. Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilaksanakan mulai Januari tahun 2001. Setelah lebih dari 10 tahun pelaksanaan tersebut, banyak pihak

yang mempertanyakan efektivitas kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendorong kinerja ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Hal ini dikonfirmasi dengan berbagai kajian yang telah dilakukan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan selama ini belum mampu membawa peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat (Aziz, 2009).

Beberapa penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal yang dilakukan untuk kasus Indonesia, menunjukkan bahwa desentralisasi belum mampu mencapai tujuan yang dikehendaki (Brodjonegoro, 2003; Aziz, 2009; dan Ramayandi, 2003). Sementara Darsono dkk., 2008 menunjukkan dampak positif desentralisasi fiskal terhadap kinerja sektor pertanian dan agroindustri.

Struktur sumber anggaran daerah untuk membiayai pengeluarannya meliputi sumber pendapatan daerah (kabupatan/kota dan provinsi) dan transfer dari pemerintah pusat, baik berupa conditional transfer maupun unconditional

transfer. Hal ini menimbulkan adanya perbedaan perilaku pengeluaran

pemerintah daerah, dimana terdapat kecenderungan transfer dari pusat (terutama unconditional transfer) akan mendorong pengeluaran daerah lebih besar dibandingkan dengan dana dari pendapatan daerah (flypaper effect) (Bae and Feiock, 2004; Widarjono, 2006; Kuncoro, 2007; Aragon, 2008). Fenomena ini membawa implikasi bahwa terdapat kecenderungan pemerintah daerah menjadi lebih “boros” dan kurang hati-hati menggunakan dana yang bersumber dari transfer pusat. Dalam kontek Indonesia hal ini menjadi menarik untuk ditelaah, pada kondisi dimana sumber pembiayaan pemerintah daerah sampai saat ini yang masih dominan dari transfer pusat.

Iimi (2005) mencermati hasil penelitian yang tidak konklusif tentang hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi, dan mensinyalir bahwa hal ini terutama disebabkan karena desentralisasi merupakan fenomena yang kompleks meliputi politik, fiskal, dan administrasi (kelembagaan), masalah kapasitas dari pemerintah daerah dan respon pemerintah daerah terhadap otoritas yang diberikan tidak sama. Disamping itu, faktor struktur perekonomian suatu negara turut berpengaruh terhadap dampak desentralisasi.

Disamping penjelasan konseptual tersebut, menurut Breuss dan Eller (2004), terdapat beberapa permasalahan statistik dalam mengkaji hubungan desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi, yaitu: (1) masalah spesifikasi model, (2) ukuran desentralisasi fiskal (pendapatan dan pengeluaran daerah) belum dapat merepresentasikan secara utuh dari desentralisasi yang

menyangkut juga aspek struktural, pengambilan keputusan, sumberdaya, proses politik, dan kelembagaan, dan (3) jalur hubungan sebab akibat antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi tidak tergambarkan secara utuh. Berbagai penelitian yang dilakukan umumnya membendakan secara dikotomi, antara desentralisasi dan sentralisasi, belum banyak melihat lebih detail, melihat derajat desentralisasi. Penelitian yang dilakukan juga lebih banyak mengupas aspek makro; sehingga pendekatan sektoral menjadi lebih menarik.

Penelitian ini mencoba menggali lebih detail, dengan melihat lebih jauh terhadap dampak pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah, yang di rinci pada beberapa sektor utama perekonomian. Secara khusus pada sektor pertanian, juga dilihat dampak dari anggaran dari pemerintah pusat dalam bentuk dana dekonsentrasi dari Kementerian Pertanian dan pengeluaran pembangunan daerah pada sektor pertanian, untuk melihat anggaran yang lebih efektif. Pemilihan sektor pertanian menjadi fokus, karena sektor ini memiliki posisi strategis dalam perekonomian dan juga sebagian besar penduduk miskin berada pada sekor pertanian. Dengan demikian penelitian ini dapat dikaitkan langsung terhadap pengentasan kemiskinan. Disamping itu, kajian terhadap perilaku pemerintah daerah dalam memperoleh dan mengalokasikan anggaran, termasuk di dalamnya menganalisis terjadinya flypaper effect.

Peran strategis sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, meliputi: (1) kontribusi terhadap pendapatan nasional yang cukup besar, (2) penyerapan tenaga kerja, (3) penyedia bahan baku bagi sektor lain, (4) menyediakan bahan pangan bagi masyarakat, (5) sumber pendapatan devisa, dan (6) pasar bagi produk non pertanian. Secara umum kondisi pertanian Indonesia menghadapi berbagai masalah, antara lain: kemampuan penghimpunan modal yang kecil, infrastruktur yang terbatas, produktivitas petani yang relatif rendah, aksesibilitas petani terhadap pasar yang rendah, dan posisi tawar petani yang rendah. Peran pemerintah terhadap sektor memegang peranan penting dalam mendorong kinerja sektor pertanian yang meliputi pertumbuhan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai tambah, maupun daya saing produk pertanian.

Peranan pemerintah dalam pembangunan pertanian diwujudkan dalam alokasi anggaran pemerintah pada sektor pertanian. Dalam kerangka desentralisasi fiskal, alokasi anggaran pada sektor pertanian dapat diwujudkan melalui: (1) anggaran pemerintah daerah (APBD), (2) alokasi anggaran pusat melalui dana dekonsentrasi, (3) dana alokasi khusus sektor pertanian, dan (4)

pelaksanaan program pusat. Dari sisi alokasi, anggaran pemerintah dialokasikan terhadap berbagai sub sektor, tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perkebunan.