• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIII. KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka era perdagangan bebas, hampir semua negara baik negara maju maupun negara berkembang sedang mempersiapkan diri. Hal ini mendorong terintegrasinya negara–negara dalam bentuk global sehingga adanya kebebasan untuk keluar masuk barang dan jasa, modal maupun SDM.

Globalisasi pada satu sisi akan memberikan manfaat, namun di sisi lain akan dapat menimbulkan kerugian. Seberapa besar manfaat globalisasi bagi suatu negara akan sangat bergantung pada kesiapan negara tersebut. Salah satu sasaran yang hendak direbut oleh negara–negara berkembang adalah masuknya investasi asing langsung (Foreign Direct

Invesment), karena manfaatnya secara umum antara lain : meningkatnya pertumbuhan

domestik bruto, menyerap tenaga kerja, mendorong dan menarik kegiatan ekonomi lainnya serta meningkatnya cadangan devisa.

Dewasa ini negara–negara pesaing Indonesia seperti Vietnam, RRC, Malaysia, Thailand dan sebagainya telah menyusun kebijakan investasinya sedemikian rupa dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Berbagai insentif pajak diberikan, kemudahan ekspor impor ditawarkan, pelatihan dan pendidikan tenaga kerja dilakukan, disusunnya peraturan ketenagakerjaan yang pada intinya mengarah pada upaya merangsang masuknya investasi asing.

Indonesia yang dalam kondisi masih belum pulih sepenuhnya dari krisis juga mengupayakan berbagai langkah konkrit dan menyusun berbagai kebijakan yang pada intinya berupaya meningkatkan daya saing internasional. Hal ini perlu dilakukan karena ternyata saat ini daya saing Indonesia masih rendah. Laporan pada World Competitiveness

Year Book 2005, menempatkan bahwa Indonesia berada di peringkat 59 dari 60 negara.

Hal ini disebabkan ketidakpastian iklim investasi, ketidakpastian hukum, birokrasi, waktu pelayanan yang lama, biaya tinggi dan tidak transparan. Padahal di sisi lain sebenarnya Indonesia memiliki keunggulan komparatif bagi investor asing antara lain dengan jumlah penduduk yang relatif besar, sumber daya alam yang cukup berlimpah serta letak geografis yang strategis.

Kondisi perekonomian Indonesia awal tahun 2006 masih dinyatakan kurang baik. Pertumbuhan ekonomi lambat (5,6%), angka kemiskinan relatif tinggi (17,75%) demikian

juga dengan pengangguran (11,1%) masih tinggi, kesenjangan daya saing antar negara dan daerah semakin lebar dan iklim investasi kurang kondusif (BKPM, 2007).

Akumulasi keadaan tersebut diatas sangat merugikan kegiatan ekonomi dan kelancaran roda dunia usaha, baik langsung maupun tidak langsung dirasakan di Propinsi DKI Jakarta. Kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi dan sosial serta perdagangan, dimana lebih dari tiga perempat jumlah uang beredar berada di Jakarta. Karena itu, mudah dipahami jika Jakarta merupakan kawasan terdepan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter, mengingat sebagian besar dunia usaha dan organisasi bisnis berpusat di Jakarta.

Dampak negatif krisis ini jelas mengganggu iklim investasi dan menjadikan kurang menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk di Jakarta. Bahkan investor asing dan investor lokal melakukan “wait and see“ untuk menanamkan modalnya di Indonesia, yang mengakibatkan nilai realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) terus menurun.

Data statistik nilai persetujuan investasi di Propinsi DKI Jakarta belum menunjukkan angka yang menggembirakan pada umumnya, walaupun minat berinvestasi di Propinsi DKI Jakarta masih cukup tinggi.

Tabel 1. Perkembangan nilai persetujuan investasi PMA/MPDN tahun 2003 - 2007 PMA PMDN Investasi Investasi Tahun Proyek (Ribu US$) Proyek (Rp Juta) 2003 197 6.218.084 150 2.317.881 2004 294 2.764.325 193 6.034.677 2005 170 7.200.237 120 964.227 2006 306 2.688.143 56 3.716.855 2007 429 6.542.748 33 3.914.507 Sumber : BKPM Tahun 2008

Kemerosotan nilai investasi lainnya yang harus mendapat perhatian pemerintah adalah keinginan investor untuk memindahkan modal investasinya (capital flight) ke negara lain yang lebih baik kondisi ekonomi, politik dan jaminan keamanannya. Untuk itu diperlukan strategi guna memulihkan kepercayaan investor agar mau dan tetap menanamkan modalnya di Provinsi DKI Jakarta. Dalam rangka menggairahkan kembali

perekonomian dan mengupayakan perbaikan ekonomi yang lebih intensif melalui kebijakan makro maupun mikro, serta langkah alternatif, harapan untuk pemulihan perekonomian Indonesia dan pengembangan investasi dengan mengaktualisasikan kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil, maka sangat dibutuhkan kehadiran investasi dalam skala besar baik PMA maupun PMDN.

DKI Jakarta sebagai barometer dalam segala aspek memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam upaya mencapai pertumbuhan investasi. Kondisi DKI Jakarta adalah mewakili kondisi daerah yang paling maju di Indonesia sehingga diharapkan DKI Jakarta dapat berperan menarik investor asing masuk ke Indonesia juga sebagai pintu gerbang investasi bagi daerah lain di Indonesia.Untuk dapat menarik para investor menanamkan modalnya di Indonesia khususnya di DKI Jakarta, diperlukan iklim investasi yang kondusif, yaitu jaminan keamanan, kepastian hukum, prasarana penanaman modal yang memadai dan juga adanya kemudahan-kemudahan dalam pengurusan perizinan penanaman modal.

Pengurusan perizinan adalah hal yang selama ini dikeluhkan para Investor, disamping waktu yang cukup lama juga biaya yang tidak jelas. Sejalan dengan hal tersebut Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Dalam Inpres tersebut juga mengatur tentang percepatan dalam mengurus izin investasi dari 156 hari menjadi 30 hari, salah satu tindakannya adalah penyederhanaan perijinan satu pintu atau dikenal dengan kebijakan penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang ditindak lanjuti dengan keluarnya Permendagri nomor 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Dengan keluarnya Undang-Undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang merupakan pengganti dari Undang-Undang No 11 tahun 1967 tentang PMA dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1968 tentang PMDN merupakan bentuk keseriusan Pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang pro penanaman modal, dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tidak lagi pembedaan perlakuan, baik untuk PMA maupun PMDN. Undang-undang Penanaman Modal mengamanatkan bahwa Perusahaan-penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang, dan izin dimaksud diperoleh melalui PTSP.

Salah satu instansi publik di DKI Jakarta yang memegang peranan penting serta memiliki potensi besar dalam menunjang perekonomian di DKI Jakarta adalah Badan Penanaman Modal dan Pendayagunaan Kekayaaan dan Usaha Daerah (BPM&PKUD) Propinsi DKI Jakarta. Badan ini memiliki tugas menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan di bidang penanaman modal yang meliputi perencanaan, promosi, pelayanan dan fasilitasi serta menyelenggarakan usaha pendayagunaan kekayaan dan usaha daerah.

Dalam menindak lanjuti kebijakan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan berbagai kebijakan di bidang penanaman modal. Kebijakan yang sudah ditempuh oleh Pemerintah DKI Jakarta diantaranya Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Peraturan Gubernur Nomor 53 Ttahun 2008 tentang Petunjuk Tehnis Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Untuk mengubah kondisi perekonomian pada kondisi yang lebih baik maka investasi merupakan solusi yang realistis. Investasi tidak hanya meningkatkan produk ekspor dan meningkatkan daya beli, tetapi juga untuk menanggulangi pengangguran dan angka kemiskinan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Membangun iklim investasi yang sehat dan kondusif bukan hal mudah, sebab iklim investasi terkait dengan suatu kumpulan faktor-faktor lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan dorongan bagi perusahaan untuk melakukan investasi yang secara produktif dan juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam rangka meningkatkan investasi di Propinsi DKI Jakarta salah satunya melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Keluarnya Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2007 dan Peraturan Gubernur Nomor 53 Tahun 2008 adalah dalam rangka memudahkan para investor dalam pengurusan perijinannya, investor hanya mendatangi kantor BPM dan PKUD yaitu Instansi yang ditunjuk untuk menjadi leading sector pelaksanaan perijinan investasi, dan setelah itu para investor juga bisa mengambil perijinan yang sudah jadi di kantor BPM dan PKUD. Diharapkan dengan dilaksanakannya PTSP Penanaman Modal, investor dapat menghemat waktu, tenaga dan juga biaya sehingga diharapkan dapat memberikan kepuasan bagi investor.

Pengukuran tingkat kepuasan investor sangat diperlukan dalam penyelenggaraan PTSP Penanaman Modal, serta strategi apa yang harus dilakukan oleh PTSP Penanaman Modal agar dapat meningkatkan fungsi pelayanan kepada investor. Hal tersebut dilakukan

untuk mengetahui sejauh mana peran dan fungsi BPM dan PKUD selaku Pembina Perusahaan PMA/PMDN di Propinsi DKI Jakarta dalam penyelenggaraan PTSP Penanaman Modal untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi para investor, sehingga para investor merasa puas.

Konsep kepuasan yang paling mendasar adalah dengan memahami kepentingan dan harapan setiap investor. Hasil dan pengukuran terhadap tingkat kepuasan investor akan berguna bagi penyelenggaraan PTSP Penanaman Modal untuk mengetahui hal – hal yang harus dipertahankan atau diperbaiki, sehingga akan terjalin hubungan yang baik antara investor dan BPM & PKUD Propinsi DKI Jakarta selaku pembina perusahaan PMA / PMDN. Di lain pihak, teknologi informasi telah mampu memberikan informasi tentang layanan serupa yang diselenggarakan di negara lain, sehingga investor mulai membandingkan layanan tersebut dengan layanan serupa di Indonesia khususnya di DKI Jakarta.

Gagasan akan perlunya efisiensi sektor publik dan profesionalisme aparatur/ petugas ini, jelas didasari oleh pemikiran bahwa pada masa yang akan datang, aparatur negara akan dihadapkan pada suatu kondisi objektif yang menuntut adanya daya saing (competitiveness) serta kecepatan dan kearuratan (effectiveness) penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Terlebih lagi jika diingat bahwa sumber daya yang dimiliki oleh aparatur / petugas tetap terbatas, sementara tuntutan investor terhadap jasa pelayanan penanaman modal semakin meningkat.

Untuk itu DKI Jakarta berusaha untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada para investor melalui PTSP Penanaman Modal, dengan harapan investor merasa puas dengan layanan yang diberikan dalam merealisasikan investasinya. Kepuasan investor sangat mempengaruhi sikap investor dalam pengambilan keputusan untuk segera atau menunda merealisasikan investasinya. Hal ini yang melatar belakangi penulisan tentang faktor apa yang menjadi pertimbangan investor dalam menilai kualitas layanan. Untuk mengkaji tentang faktor yang dipertimbangkan investor dalam mempersepsikan kualitas layanan, Parasuraman (1988) mengemukakakan 30 item jenis layanan. Item-item tersebut dikelompokan dalam 10 dimensi (Ten Dimention ServQual).

Hasil dari penilaian investor tersebut selanjutnya dianalisis menggunakan Analisa SWOT, Untuk dapat merealisasikan hal tersebut diatas maka diperlukan suatu kajian mengenai bagaimana “Strategi kebijakan pengembangan penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) penanaman modal dalam meningkatkan pelayanan kepada para investor di Propinsi DKI Jakarta“.

1.2 Perumusan Masalah

Salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi perekonomian nasional, adalah berusaha meningkatkan nilai investasi , yang diharapkan dampaknya dapat memperbaiki pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan menekan kemiskinan. Untuk itu berbagai proses penyelenggaraan pemerintahan yang terkait dengan pengaturan

tatalaksana perizinan dan iklim investasi perlu lebih cepat diperbaruhi secara konseptual baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Banyaknya para investor yang mengalihkan modalnya ke luar negeri (Capital Flight) salah satu bukti masih buruknya pelayanan yang diberikan kepada para investor. Tentu hal ini tidak diinginkan oleh Pemerintah, khususnya Pemprov DKI Jakarta yang masih banyak membutuhkan investasi dalam menunjang peningkatan pertumbuhan perekonomian di DKI Jakarta.

Salah satu keseriusan Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta dalam meningkatkan mutu pelayanan penanaman modal yang lebih baik kepada para investor yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) Penanaman Modal di Propinsi DKI Jakarta dan Peraturan Gubernur Nomor 53 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu bidang Penanaman Modal. Tuntutan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat dalam era globalisasi tidak terhindarkan, sebab kehidupan dalam era ini ditandai dengan ketatnya persaingan di segala bidang kehidupan, baik kehidupan berbangsa maupun kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, maka kualitas pelayanan perijinan penanaman modal merupakan salah satu jawaban dalam menghadapi era globalisasi.

Pada saat ini disadari bahwa citra Indonesia menunjukan pandangan yang kurang baik di mata investor. Pada kenyataannya banyak dijumpai aparat/petugas yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, pelayanan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga tuntutan investor terhadap layanan yang diberikan pada akhirnya menimbulkan gejala ketidakpuasan terhadap kinerja PTSP Penanaman Modal. Oleh sebab itu tantangan yang harus dihadapi adalah membangun kembali kepercayaan para investor dengan lebih meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan.

Pengukuran kepuasan investor terhadap kualitas pelayanan merupakan salah satu solusi untuk dapat menggali tingkat kinerja aktual PTSP Penanaman Modal dan tingkat harapan terhadap layanan penanaman modal yang diberikan. Dalam hal ini yang memberi layanan adalah petugas-petugas PTSP Penanaman Modal, dan yang merasakan pelayanan yang diberikan adalah para investor yang melakukan investasinya di Propinsi DKI

Jakarta. Maka pertanyaan spesifik kajian ini adalah Bagaimanakah tingkat kepuasan investor terhadap kualitas layanan PTSP Penanaman Modal di Propinsi DKI Jakarta ?

Untuk dapat menjawab permasalahan tersebut di atas maka perlu dikaji kinerja PTSP Penanaman Modal DKI Jakarta. Dimensi kinerja ini penting karena merupakan hal yang dapat menjawab dinamika bekerjanya fungsi – fungsi pelayanan dalam PTSP tersebut, seperti input, proses dan outputnya. Sedangkan khusus untuk investor perlu dikaji lebih lanjut bagaimanakah kepuasan mereka terhadap pelaksanaan pelayanan lembaga PTSP Penanaman Modal. Untuk itu pertanyaan spesifik berikutnya adalah Apakah faktor (1) faktor Fisik Nyata (Tangible), (2). faktot Keandalan (Reliability), (3). faktor Daya Tanggap (Responsiveness), (4). faktor Ketrampilan (Competence), (5). Faktor Keramahan (Courtesy), (6). faktor Kredibilitas (Credibility), (7). faktor Keamanan (Security), (8). faktor Kemudahan (Access), (9). faktor Komunikasi (Communication), (10). faktor Pengertian Terhadap Pelanggan (Understanding the Customer) menjadi pertimbangan investor dalam mempersepsikan kualitas pelayanan PTSP Penanaman Modal di Propinsi DKI Jakarta ?

Keberhasilan PTSP Penanaman Modal di Propinsi DKI Jakarta dalam mengemban amanah yang telah dituangkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2007 dan Peraturan Gubernur Nomor 53 Tahun 2008 sangat ditentukan oleh kerjasama berbagai pihak yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perizinan penanaman modal. Berjalannya PTSP Penanaman Modal sangat diperlukan oleh dukungan instansi teknis yang selama ini menangani perizinan-perizinan penanaman modal, maupun kemampuan PTSP Penanaman Modal itu sendiri dalam menjawab tantangan ekonomi global. Untuk itu pertanyaan spesifik berikutnya adalah Faktor-faktor internal maupun eksternal apa yang mempengaruhi pengembangan PTSP Penanaman Modal di Propinsi DKI Jakarta ?

Untuk itu yang menjadi pertanyaan pokok dalam kajian ini adalah bagaimanakah rancangan program strategi pengembangan PTSP Penanaman Modal di Propinsi DKI Jakarta ?. Hal ini sangat penting karena dari hasil kajian tersebut, berbagai program

peningkatan pelayanan dalam rangka penyelenggaraan PTSP Penanaman Modal diharapkan dapat diintegrasikan dan disinergikan menjadi suatu kebijakan baru untuk pengembangan pelaksanaan PTSP Penanaman Modal pada waktu mendatang .

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk merumuskanstrategi peningkatan kualitas penyelenggaraan PTSP Penanaman Modal dalam upaya kepuasan investor di Provinsi DKI Jakarta.

Adapun tujuan dari kajian ini adalah :

1. Mengetahui bagaimana tingkat kepuasan investor terhadap kualitas pelayanan yang diberikan PTSP Penanaman Modal di Propinsi DKI Jakarta kepada para investor. 2. Mengetahui apakah faktor Fisik Nyata (Tangible), (2). faktot Keandalan (Reliability),

(3). faktor Daya Tanggap (Responsiveness), (4). faktor Ketrampilan (Competence), (5). Faktor Keramahan (Courtesy), (6). faktor Kredibilitas (Credibility), (7). faktor Keamanan (Security), (8). faktor Kemudahan (Access), (9). faktor Komunikasi (Communication), (10). faktor Pengertian Terhadap Pelanggan (Understanding the

Customer) menjadi pertimbangan investor dalam mempersepsikan kualitas layanan

PTSP Penanaman Modal di Propinsi DKI Jakarta.

3. Menganalisis faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) serta faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang) yang mempengaruhi pengembangan PTSP Penanaman Modal di Propinsi DKI Jakarta.

4. Merumuskan strategi pengembangan PTSP Penanaman Modal di Propinsi DKI Jakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi investor/calon investor sebagai gambaran dan bahan masukan penyelenggaraan PTSP Penanaman Modal bagi Investor yang akan mananamkan modalnya atau merencanakan investasi di DKI Jakarta.

2. Bagi penulis,kajian ini dapat menambah pemahaman penyelenggaraan PTSP Penanaman Modal yang diberikan kepada para Investor/calon investor.

3. Bagi akademisi sebagai referensi atau sumber informasi mengenai penyelenggaraan PTSP Penanaman Modal

4 Bagi Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, khususnya BPM & PKUD Propinsi DKI Jakarta, kajian ini diharapkan mampu memberikan masukan untuk memperbaiki kinerja PTSP Penanaman Modal kearah yang lebih baik.

1. 5 Ruang Lingkup Kajian

Ruang lingkup kajian ini dimaksudkan agar kajian ini lebih terarah dan tidak

menyimpang dari permasalahan yang ada. Kajian ini dibatasi pada perijinan Penanaman Modal baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang diselenggarakan pada Badan Penanaman Modal dan Pendayagunaan Kekayaan dan Usaha Daerah Propinsi DKI Jakarta.

II. TIN JA UA N PUSTA KA

2.1 Kualitas Pelayanan

Kualitas pelayanan/Service Quality (ServQual) jauh lebih sukar didefinisikan, dijabarkan dan diukur bila dibandingkan dengan kualitas barang. Bila ukuran kualitas dan pengendalian kualitas telah lama eksis untuk barang– barang berwujud (Tangible Goods), maka untuk pelayanan, berbagai upaya sedang dikembangkan untuk merumuskan ukuran – ukuran semacam itu.

Pada dasarnya, definisi kualitas pelayanan terfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Menurut Wykop (dalam Lovelock,1988), kualitas pelayanan merupakan tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas kesempurnaan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Sedangkan Parasuraman berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan adalah layanan yang diharapkan (Expected Service) dan layanan yang dipersepsikan (Perceived Service), sehingga implikasinya baik buruknya layanan tergantung pada kemampuan penyediaan layanan memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten.

Terbentuknya harapan atas layanan dari para pelanggan dipengaruhi oleh berbagai kegiatan marketing seperti iklan, promosi, penjualan, harga, tradisi maupun adanya kontak konsumen dengan penyediaan layanan sebelumnya. Sementara layanan yang diterima dipengaruhi oleh kontak antar personel dengan penyediaan layanan , fasilitas fisik, prosedur yang merupakan bagian dari sistem layanan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Christoper (1992) bahwa pelayanan pelanggan dapat diartikan sebagai suatu sistem manajemen, diorganisir untuk menyediakan hubungan pelayanan yang berkesinambungan antara waktu pemesanan dan waktu barang atau pelayanan yang diterima dan digunakan dengan tujuan memuaskan pelanggan dalam jangka panjang.

Menurut Lovelock (1994) dalam bukunya ”Produk Plus” merupakan suatu gagasan menarik tentang bagaimana suatu produk bila ditambah dengan pelayanan (Service) akan menghasilkan suatu kekuatan yang memberikan manfaat pada perusahaan dalam meraih profit bahkan untuk menghadapi persaingan. Lebih jauh Lovelock (1994) merumuskan secara rinci faktor–faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan secara langsung dapat dirasakan investor yaitu pelayanan (Service) digambarkan sebagai diagram bunga yang

memiliki titik-titik rawan yang ada disekitar inti (core) yang akan menjadi penilaian bagi pelanggan. pada ”Fenomena Sektor Publik dan era Service Quality (Servqual)”.

1 Information

Proses suatu pelayanan yang berkualitas dimulai dari suplemen informasi dari produk dan jasa yang diperlukan oleh customer. Seorang custcomer akan menanyakan pada penjual apa, bagaimana, berapa, kepada siapa, dimana diperoleh, dan berapa lama memperoleh barang dan jasa yang diinginkannya. Penyediaan saluran informasi yang langsung memberikan kemudahan dalam rangka menjawab keingintahuan customer tersebut, adalah penting. Absennya saluran informasi pada petal yang pertama ini akan membuat minat para pembeli menjadi surut.

2 Consultation

Setelah memperoleh informasi yang diinginkan, biasanya customer akan membuat suatu keputusan, yaitu membeli atau tidak membeli. Didalam proses memutuskan ini acapkali diperlukan pihak-pihak yang dapat diajak berkonsultasi baik menyangkut masalah teknis, administrasi, harga, hingga pada kualitas barang dan manfaatnya. Untuk

mengantisipasi titik krisis yang kedua ini, para penjual harus menyiapkan sarananya, menyangkut materi konsultasi, tempat konsultasi, personal konsultan, dan waktu untuk konsultasi secara Cuma-Cuma.

3. Ordertaking

Keyakinan yang diperoleh customer melalui konsultasi akan menggiring pada tindakan untuk memesan produk yang diinginkan. Penilaian pembeli pada titik ini adalah ditekankan pada kualitas pelayanan yang mengacu pada kemudahan pengisian aplikasi maupun administrasi pemesanan barang yang tidak berbelit-belit, fleksibel, biaya murah, syarat-syarat ringan, dan kemudahan memesan melalui teleopon/fax dan sebagainya.

4. Hospitality

Costomer yang berurusan secara langsung ketempat-tempat transaksi akan memberikan penilaian terhadap sikap ramah dan sopan dari para karyawan, ruang tunggu yang nyaman, kafe untuk makanan dan minuman, sehingga tersedianya wc/toilet yang bersih.

5 Caretaking

Variasi background customer yang berbeda-beda pula. Misalnya yang bermobil menginginkan tempat parker yang leluasa, yang tidak mau keluar rumah mengininkan fasilitas delivery. Kesemuanya harus dipedulikan oleh penjual.

6 Exceptions

Beberapa customer kadang–kadang menginginkan pengecualian kualitas pelayanan, misalnya saja bagaimana dan dengan cara apa perusahaan melayani klaim-klaim pelanggan yang datang secara tiba-tiba; garansi terhadap tidak berfungsinya produk;restitusi akibat produk tidak bias dipakai,layanan untuk orang diet, anak-anak, kecelakaan dan sebagainya.

7 Biling

Titik rawan ketujuh berada pada administrasi pembayaran. Niat baik pembeli untuk menuntaskan transaksi sering digagalkan pada titik ini. Artinya penjual harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pembayaran, apakah itu menyangkut daftar isian formulir transaksi, mekanisme pembayaran hingga keakuratan rekening tagihan.

8 Payment

Pada ujung pelayanan, harus disediakan fasilitas pembayaran berdasarkan pada keinginan pelanggan. Dapat saja berupa self service payment seperti penggunaan koin/uang receh pada telepon umum, kemudian melalui LLG/ transfer bank, melalui credit card, debet langsung pada rekening pelanggan di bank, sehingga tagihan ke rumah (Lovelock,1994).

Konsep kualitas pelayanan dapat dipahami pula melalui ”Consumer Behavior” (perilaku konsumen) yaitu perilaku yang dimainkan oleh konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan dan mengevaluasi suatu produk maupun pelayanan yang